Rabu, 13 April 2011

bab 7 (ini finish)

Bab 7
Motivasi-motivasi insentif
Tinjauan bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan beriktu:
1. Apa itu motivasi insentif?
2. bagaimana motivasi isnentif dijelaskan secara teoritis?
3. Bagimana kosnep-konsep ekpensktasi dan kebermkanaan dimasukkan ke dalam konsep insnetif?

Bob mengemudi menuruni jalan raya dengan melihat ke kanan kiri mencari tanda-tanda adanya restoran. Hari sudah hampir siang dan dia hanya meminum kopi sejak makan siang kemarin. Dia telah bekerja semalaman mengerjakan promosi iklan untuk bank dan baru saja dia menyelesaikannya. Posisi analis iklan senior bar-baruj ini di buka dan dia punay peluang bagus untuk mengisi posisi tersebut jika kampanyenya ini sukses. Dia telah mengerjakan proyek ini selama tiga tahun tearkhir, dan promosinya saat ini bergantung pada satu proyek ini.
Ketika Bob terus mengemudi, berhenti tiba-tiba karena lampu mrah, dia bin gung di mana harus makan. Toko-toko makanan siap saji terlintas saat dia memandang sekilas, tapi dia tak tertarik. Yang benar-benar dia inginkan adalah steak besar dan kentang panggang serta salad, bukan hamburger keras dan kentang goreng dingin. Pikirannya tentang steak membuat mulutnya berliur, dan dia meningkatkan kecepatan mobilnya,.
Skets singkat beberapa detik dalam kehidupan seseorang ini menunjukkan beberapa ide tentang konsep motivasi insentif. Bagiamana kita mengartikan insentif dan motivasi insnetif?
Pertama, perlu dicatat bahwa istilah insnetif biasanya menjelaskan suatu obyek tujuan yang memotivasi kita (steak besar merupakan insentif bagi Bob). Insentif penting bagi kita untuk mencapai atu menghindari. Seperti Bob, kita mungkin menghargai sensasi yang berkaitan dengan makanan lezat (insentif positif) dan menghindari makanan yang tidak lezat (insentifnegatif. Insentif memiliki nilai yang berbeda buat kita sementara dan dari waktu ke waktu. Saat Bob mengerjakan proyeknya, steak bukanlah insentif dan tidak mempengaruhi perilkaunya; tapi setelah proyek rampung, makanan yang lezat merupakan insentif yang menyebabkannya mengemudi mengitari jalan raya untuk mendapatkannya. Kami juga berasumsi abwha setelah makan makanan tersebut, makanan lain ayng sama akan bernilai lebih kecil baginay, meski insnetif-insentif lain akan segerae mempengaruhi perilakunya.
Insentif memotivasi perilaku. Ini bisa dilihat dalam kisah Bob. Dia punya motivasi yang kuat untuk mendapatkan promosi sebagai analis ikaln senior dan hal ini mepengaurhi o perilakunay selama beberapa tahun. Insnetif promosi cukup kuat untuk mengesambingkan secara sementara kebutuhan-kebutuhan fisiolgisnya untuk makan dan tidur. Poin lain yang perlu diamati dalam episode ini adalah insnetif tidak “muncul dari dalam” tapi dipelajari. Bob tidak lahior dengan kebuutuhan untuk menjadi seorang analis iklan senior; di sepanjang jalan dia mepelajaris esuatu yang menjadikan ini sebagai tujuan penting. Yang terakhir kisah Bob menjelaskan ide- bawha pikiran bisa berufngsi sebagai motivator insnetif. Kami akan menyelidiki pendekatan ini nanti dalam bab ini dan lebih menyeluruh dalam bagian IV buku ini.
Konsep insentif sebagia motivator perilaku menjadi alat yang penting untuk mnejelaskan mengapa orang-orang (dan binatang) melakukan apa yang mereka lakukan. Penggunaanya dalam teori mengakui bahwa obyek atau peristiwa bisa memodifikasi dan mempengaruhi perilaku kita melebihi kebutuhan-kebutuhan fisik kita.
Motivasi insnetif bisa dianggap sebagia mediator (M) yang muncul di antara beberapa karakteirstik stimulus (S)da ri suatu obyek tujuan. Kita bisa melihat hubungan antara stimulus, mediator, dan respon sebagai SMR. Lebih lanjut, Overmier dan Lawry (1979) memberikan bukti yang cukup bahwa hubungan ini terddiria tas dua hubungan terpisah, satu di antar astimulus dan mediator (SM) dan yang kedua antara mediaotr dan respon (MR), jadi hubungan harus dianalisa sebagai SM, MR. setiap link bisa dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dalam istuasi-situasi di man insnetif muncul, jadi hasil-hasil yang mungkin dari memanipulasi motivasi insentif bisa kompleks.
Para ahli teori insentif membahas bagaimana M dibentuk dan ciri-ciri M apa yang meembuatnya menguabh perilaku. Seprti yang akan kita temui, sebagian besar ahli teori menekankan pengkondisian klasik sebagai cara membentuk M, teapi mereka tidak sepakat tentang ciri-cirinya. Satu pendekatan menekankan csifat penguat dari M, yang kedua menyarankan bawha emosioanlitas penting, semntara yang ketiga menekankan aspek-aspek infromasional dari mediator. Kami akan menguji setiap pendekatan tersebut dalam bagian berikut.

Insentif sebagai penguat
Seperti dicatat pada bab 5, konsep dorongan merupakan alat utama yang dipakai untuk memperhitungkan motivasi perilkau. Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa obyek-obyek eksternal (tujuan) juga memotivasi perilaku, sehingga memaksa modifiaksi sistem ini. Sebagai wakil dari karya ini, kami akan menguji kembali eksperimen klasik Crespi (1942) yang dibicarakan dalam bab 6.
Perhatikan bahw Crespi melatih tikus untuk berlari menuruni Alleyway untuk mendapatkan pelet makanan. Satu kelompok tikus mendapatkanr eward besar (256 pelet), semntara kelompok kedua mendapatkan reward yang kecil (1 pelet) untuk perilaku yang sama. Kelompok ketiga berfungsi sebagai kontorl, mendapatkan 16 pelet selama eksperimen. Pada percobaan ke 20, Crespi mengganti kelompok reeward besar dan reward kecil menjadi masing-masing mendapatkan 16 pelet per percobaan. Kelompok reward besar, yang sekarag mendapatkan reward yang lebih kecil secara tiba-tiba menurun motivasinya dibandingkan kelompok kontrol; kelompk reward kecil yang sekarang menerima reward yang lebih besar segera berlari lebih cepat dibandingkan kontrol. Gambar 7.1 menunjukkan hasil-hasil studi ini. Zeaman (1949) mendapatkan hasil-hasil yang sama di bawah kondisi yang sama.
Poin penting bagi diskusi kamis aat ini tentang eksperimen Crespi adalah perilaku (berlari menurun alleyway berubah secara drastis dan cepat ketika insentif diubah. Teori dorongan Hull tidak bis menjelaskan perubahan-perubahan langsung perilaku yang diamati ketika insentif-insentifnya bergeser; perubahan-perubahan ini terlalu tiba-tiba disebabkan oleh perubahan kekuatan kebiasaan (sHt) atau dorongan (D). hinga saat eksperimen Crespi, para ahli teori seperti Hull berasumsi jumlah atau kuran reward yang berbeda mempengaruhi tingkat pembelajarn tapi tidak mengubah motivasi organisme. Studi Crespi menunjukkan bahwa halyang sbealiknay benar; obyek-obyek insentif yang berbeda mempengaruhi seberapa keras orgnaisme bersedia bertindak tapi bukan apa yang dipelajari. Istilah insentif dipilih untuk mewakili tipe motivasi ini.

Motivasi insentif K
Pada awal 1950an para ahli teori mulai memasukkan knsep insentif dalam menjelaskan perilaku (Hull 1951m 1952, Spence, 1956). Bagi Hull, potensi reaksi (perilaku) saat ini dipandang sebagai fungsi kerja pembelajaran (kekuatan kebiasan), dorongan (D), intensitas stimulus (V) dan motivasi insentif (K). jika antisipasi sebuah tujuan mempengaruhi motivasi sebuah organisme, maka pertanyaan berikutnya menjadi bagaimana insentif berkembang?

Hull-Spence dan re-sg. Karena pendekatan-pendekatan mereka memiliki kemiripan, kami akan membahas Hull-Spence secara bersamaan. Keduanya menggunakan simbol K untuk motivasi insnetif dalam merumuskan perilaku dan keduanya berasumsi bawah nilai insnetif dari sebuah obyek tujuan bisa diindeks oleh kekuatan respon konsumatoris yang ditimbulkannya. Sehingga reward yang besar harus menyebabkan perilaku mengunyah dan menelan yang kuat, dalam kasus makanan, daripada reward yang kecil. Respon konsumatoris (disimbolkan sebagai Rg) tidak terjadi dalam kekosongan; bagi tikus stimuli kotak tujuan muncul selama terjadinya (sensasi visual dari cangkir makana, tekstur lantai, kecerahan dinding dan seterusnya). Stmuli muncul ketika kemunculan Rg dikaitkan dengannya (lewat pengkondisian klasik) dan akan cenderung untuk menimbulkan Rg secara langsung. Selama stimuli tersebut (tekstur lantai yang sama dan kecerahan dinding pada kotak awal dari sebuah maze) juga terjadi sebelum orgnaisme mencapai kotak tujuan, mereka akan cenderung menyebabkan Rg sebelum tujuan. Akan bersifat mengganggu (dan maladaptif) jika seekor tikus yang duduk pada kotak awla sebauh maze merespon dengan Rg fullblown, mengunyah dan menelan makanan yang tidak ada. Setidaknya ini akan mengganggu respon-respon pindah dari kotak awal ke kotak tujuan, di mana makanan bisa didapatkan. Karena itulah diasumsikan bawha stimuli seperti yang muncul pada kotak tujuan hanya akan menimbulkan respon konsumatoris parsial (disimbolkan rg) yang tidak akan mengganggu respon-respon instrumental (berlari) yang diperlukan untuk mencapai makanan. Sehingga seekor tikus bisa berliur atau melkaukan gerakan mengunyah kecil pada kotak awal tapi tidak menunjukkan full blown Rg.
Pendekatan ini berasumsi bawha organisme bisa meraskan bahwa ini akan menghasilkan rg. Misalnya, tutup mata anda dan julurkan lengan kanan anda lurus. Sekarng dengan mata masih menutup, tekuk siku anda 90 derajat. Meski mata anda tertutup, anda tahu bahwa lengan anda dibengkokkan karena feedback sensorisd ari otot-otot dan sendi-sendi lengan anda. Logika untuk merasakan rg adalah sama; feedback sensoris dalam bentuk stimuli memberitahu organisme bawha ini akan menghasilkan rg.
Kejadian respon-respon khusus dan stimulinya, aygn sering disebut mekanisme rg-sg, berfungsi memotivasi respon-respon insturmental yang harus dibuat untuk asuk ke kotak tujuan dan terlibat dalam Rg. Penjelasan ini, yang harus ditekankan, adalah bersifat mekanis. Melalui proses pengkondisian klasik, stimuli dalam lingkungan menimbulkan bagian-bagian kecil dari Rg akhir, dan feedback dari respon-respon tersebut berfungsi memotivasi perilaku terus-menerus. Meski pengliahtan seekor tikus yang terdesak di pintu kotak start mungkin menunjukkan antisipasi tikus dari sebuah reward yang diharapkan pada ujung maze, model ini tidak mengasumsikan pemikiran tikus. Kita bisa memprogram sebuah komputer untuk bertindak sama. Hull pada awalnya mengusulkan mekanisme rg-sg untuk menjelaskan kesengajaan perilaku dan antisipasi tujuan. Spence (1956) menggunakan mekanisme motivasi insentif, mengusulkan bahwa motivasi insentif adalah hasil dari rg dan sg feedbacknya.
Secara tak sengaja, rg-sg terjadi seluruh jalur dari kotak awal ke kotak tujuan, selama stimuli tersebut berada pada jalur. Ketika organisme mendekati area tujuan, lebih banyak stimuli yang harus terjadi yang berkaitan dengan Rg; sehingga rg-sg harus meningkat dan memotivasi perilaku terus-menerus. Ini mencakup fenomena yang sering diamati nampak lebih temrotivasi (dengan berlari lebih cepat misalnya) mendekati tujuan. Gambar 7.2 memberikan prepresntasi skematik proses ini.
Tapi bagaimana jika stimulinya berbeda pada awal daripada pada tujuan? Jawabannya adalah stimuli yang berkaitan dengan Rg dan mengembangkan rg-sg tidak harus eksternal bagi organisme. Sensasi yang kita rasakan di saat lapar misalnay akan selalu bersama kita dari awal hingag tujuan; dan karena mereka muncul ketika Rg terjadi, mereka juga harus membangkitkan respon antisipatoris fraksional. Stimuli tersebut merupakan stimuli dorongan Hulls (Sd) yang dibicarakan dalam bab 5.
Satu poin akhir harus disebutkan yang berkaitan dengan mekanisme respon antisipatoris, ketika rg-sg disebutkan. Seperti dirumuskan pada awalnya, ini merupakan penjelasan periferal dari motivasi insentif, dan rg dianggap terdiri ats reposn-respon muskular kecil dan feedback sensoris yang berhubungan dari kontraksi-kontraksi otot tersebut. Upaya-upaya untuk menempatkan dan mengukur rg belum ter bukti sukses.

Persistensi perilaku
Satu area di mana penejlasan respon antisipatoris fraksional perilaku masih dianggap relevana dalah studi tentang persistensi perilaku. Salah satu dari aspek perilaku paling fundamental adalah perilaku ini tetap ada meski dalam kondisi sulit. Pertanayannya adalah mengapa? Amsel sudah mepelajari pertanayan ini selama bertahu-tahun dan jawabannya menunjukkan bahwa sebuah mekanisme yang sangat mirip rg-sg bisa dilibatkan.

Amsel dan rf-sf. Amsel tertarik pada pertanyaan apa yang terjadi ketika seekor tikus mencapai tujuan dimana tikus ini diberi hadiah sebelumnya dan sekarang tidak mendapatkan apapun. Jika tikus bearda dalam situasi tersebut beberapa kali dan diberi hadiah, motivasi insnetif akan berkembang. Tapi jika tikus sekarang tidak menemukan reward atas usahanya, menurut Amsel, respon frustasi yang tak dipelajari terjadi (disimbolkan sebagai Rg). Setiap stimuli yang muncul pada saat Rp terjadi akan dikaitkan denganya; jika stimuli juga terjadi lebih awal dalam rangkaian peristiwa, stimuli terebut cenderung menimbulkan respon-repson frustasi tertentu (rf). Seprti pada Rg-sg, organisme tahu ini menyebabkan respon karena stimuli feedbacknya 9sf). Respon-respon frustasi parsial tersebut menyebabkan biantang berhenti menunjukkan perilakunay dan melakukan perilaku lain. Frustasi dari nonreeward menyebabkan respon-respon yang bertentangan yang membuat organisme berhenti melakukannya dan mungkin bertindak lebih adaptif.
Misalkan, kita mendesain situasi kita sehingga respon-respon yang bertentangan sulit dibuat dan susunan tentang respon asal apapun bisa dibuat sudah dikuti oleh reward di masa lalu. Apa yang akan terjadi?
Amsel mengusulkan respon-respon frustasi parsial (rf) dan feedback stimulus yang berhubungan dikontraindikasikan ke respon-respon yang ditimbulkan organisme. Dengan menggunakan istilah kontra-conditioning Amsel menyatakan bahwa motivasi yang dihasilkan oleh frustasi nonreward disalurkan ke respon yang menyebabkan frustasi. Respon-respon yang bertentangan yang kaan berkembang akibat frustasi ini dihadpi dalam situasi tersebut, dan motivasi menjadi terkondisikan pada hanay respn-repson yang bisa terjadi dengan mudah; respon-respon yang menyebabkan kotak tujuan terisi reward. Dengan kata lain, mekanisme rf-sf berfungsis ebagai motivator untuk perilaku terus-menerus, seperti rg-sg di bawah kondisi lain
Kapan kondisi-kondisi di atas terjadi? Kondisi-kondisi ini terjadi ketika seekor binatang ditaruh pada jadwal penguatna parsial. Pada jadwal tersebut beberapa respon diberi hadiah dengan makanan atau air, sementar di waktu lain respon tersbeut tidak diberi reward. Salah satu fenomena terbaik dalam psikologi adalah organisme yang diperkuat pada jadwal penguatan aprsial terjadi dalam respon yang lebih lama ketika makanan dijauhkan (penghilangan) daripada yang lain ayng dipekruat untuks etiap respon. (sebauh jadwal penguatan kontinyu, atau CRF).
Bagaimana teori frustasi membahas persistensi? Selama melatih penguatna kontinyu kelompk diberi hadiah pad asetiap percobaan. Sehingga rg-sg harus membentuk dan memotivasi respon-respon yang diperlukan untujk mencapai tujuan. Untuk kelompok pnguatan parsial, rg-sg akan terbebtnuk juga meski lebih lambatn pada percobaan-percobaan training yang diberi hadiah. Selain itu, rf-sf akan terbentuk pada percobaan-percobaan yang tidak diberi reward. Pada awalnay ini akan menyebabkanr epson-repson yang bertnetangan (yang menyebabkan perilkau yang lebih lamban). Respon-respon yang bertentangan ini kadang akan mati karena selalu tidak diperkuat (memunah)( dan rf-sf akan menjadi terkontraindikasikan pada respon yang sama yang mengaktivasi rg-sg. Untuk kelompok penguatan parsial, kita punya dua sumber motivasi insnetif pad asetiap percobaan, rg-sg (terben tuk pad apercobaan non-reward). Karena repson-repson yang beretentangan yang dihasilkan oleh rf-sf menghilang, motivasi insnetif yang dihasilkan oleh rf-sf akan disalurkan ke respon apapun yang terjadi 9respon-respon yang menyebabkan tujuan karena dipertahankan oleh rg-sg).
Sekarang untuk bagian pentingnya. Dalam proses pemunahan kelompk CRF merepson dan terus tidak diberi reward. Ini menyebabkan Rf dan rf-sf dan menimbukan respon-repson yang bertentangan. Jika reward dihilangkan secara permanen, efek-efek insnetif rg-sg akan mati dan tidak digantikan oleh rf-sf dan respon-respon yang bertentangan. Karena rf-sf tidak pernah dikontrakondisikan dalam binatang-binatang CRF, kejadian ini tidak akan menyebabkan respon berlari terus berlanjut tapi akan menyebabkan penghentian respon secara cepat. Binatang yang diperkuat secara kontinyu selanjutnya akan berhenti merespon lebih cepat. Kelompok yang diperkuat seara parsial memiliki dua sumber motivasi yang dihubungkan dengan respon sekarang tidak lagi diberi reward. Bagian rg-sg akan mati, tapi respon akan terus lebih lama pada kelompok ini karena dipertahnakan oleh motivasi yang dihasilkan oleh rf-sf. Pendekatan Amsel memberikan penjelasan rapi tentang fakta terkenal repson-respon yang diperkuat sebagian lebih perssiten daripada respon-respon yang diperkuat secara kontinyu. Efek ini disebut efek pemunahan penguatan pasial (PREE) dan cukup handal.
Jika seseorang berhenti dan memikirkan”dunia nyata”orang tersebut segera mengetahui bahwa penguatan parsial ini lebih merupakan sebuah aturan dariapda pengeculaian. Mungkin hanya dalam laboratroium kita bisa membatasi lingkungan dengan suatu cara sehingga memungkinkan penguatan kontinyu. Kita membuat ratusan respon setiap hari, sbeagian besar bersifat tidak langsung diberi reward; tapi kita terus ada. Mengapa? Mungkin seperti alasan pada tikus – karena suatu imbalan, tidak lebih.
Frustasi melakukan test dengan buruk bisa memotivasi kita untuk belajar lebih keras untuk test berikutnya (jika kita sudah diberi reward dalam masa lalu karena belajar keras). Di sisi lain, bekerja secara bruk pada sebuah tes bisa menyebabkan perilaku yang bertentangan (mendengarkan CD favorit kita). Poin penting adlah frustasi akan masuk ke dalam perilaku terus-menerus dan menjadikannya lebih persisten jika perilaku tersebut pernah diberi reward sebelumnay; ini akan menyebabkan perilaku bertentangan yang akan mengurangi persistensi. Sehingga tipe perilaku yangd iaktivasi bergantung pada pengalaman-pengalaman sebelumnya dengan reward dan non reward.
Jenis bukti apa yang diberikan Amsel untuk mendukung ide-idenya? Cukup banyak.
Pada sebuah eksperimen klasik, Amsel dan Roussel (1952) menempatkan tikus pada situasi seperti gambar 7.3. Tikus berlari dari kotak awal ke kotak tujuan 1 di mana mereka diberi makanan; kemudian menjalankan Alley 2 ke kotak tujuan 2 untuk mendapatkan makanan tambahan. Setelah melatih tikus pada prosedur ini, makanan kadang diambil dari kotak tujuan1. Amsel menduga ini akan menyebabkan Rf yang akan muncul dalam bentuk berlari lebih cepat pada Alley 2 pada percobaan-percobaan tanpa penguatan. Dia membandingkan kecepatan membalik Alley 2 pada percobaan yang diperkuat versus non diperkuat dan menemukan bahwa tikus berlari lebih cepat setelah percobaan yang tak diperkuat. Sementara hasil-hasil eksperimen ini terbuka bagi beberapa penjelasan alternatif, riset lebih lanjut cenderung mendukung pendekatan Amsel. Nonreward setelah respon yang sudah diperkuat secara teratur di masa lalu nampak memperkuat perilaku, seperti diklaim Amsel.
Apakah frustasi nonreward menyebabkan perilaku yang bertentangan? Sekali lagi riset nampak mendukung Amsel. Dalam sebuahs tudi oleh Adelman dan Maatsch (1955), dua kelompok tikus ini dianggap berlari ke kotak tujuan untuk mendapatkan makanan. Kemduian makanan ditahan (pemunahan dilakukan). Satu kelompok tikus diizinkan melacak kembali jalurnya dari kotak tujuan ke kotak awal, sementara kelompok kedua diizinkan lepas dari situasi tersebut dengna melompat keluar dari kotak tujuan. Tikus yang diizinkan untuk melacak kembali jalurnya dengan cepat mendapatkan epmuhnahan, sementara tikus yang dibiarkan melompat ke kotak tujuan untuk percobana-percobaan berikutnya. Untuk kedua kelompok frustasi non reward mendorong pada respon-repson baru, seperti diprediksikan Amsel. Tikus yang diizinkan melacak kembali akan mengembangkanr espon baru yang bersaing dengan respon lari lama, dan mereka mengalami kepunahan dengan cepat. Untuk tikus-tikus yang diizinkan melpompat, persaingan dia ntara respon ini dan repson berlari tidak terjadi, dan mereka mengalami pemunahan jauh lebih lamban. Sehingag reward non frustatif cenderung menimbulkan respon baru yang bersaing dengan respon-respon yang dipelajari sebelumnya.
Studi oleh Ross (1964) memberikan dukungan kuat untuk efek-efek penguatan furstasi dan penggunaan energi ini ke dalam perilkau yang muncul pada sat frustasi terjadi. Dalam fase pertama eksperimen, enam kelompok tikus dilatih untuk melakukan satu dari tiga respon untuk mendapatkan makanan. Tiga kelompok mendapatkan penguatan kontinyu (100%) dan berfungsi sebagai kontrol terhadpa kelompok lain yang menerima penguatan parsial (50%) bisa dibandingkan. Untuk kedua kelompok ini, respon yang diperlukan adalah berlari ke makanan; untuk dua kleompok lain, respon yang tepat adlaah meloncati sebuah celah dalam lantai untuk mendapatkan makanna; dan untuk dua kelompok terakhir, respon yang tepat adalah memanjat sebuah jaring kawat untuk mencapai makanan. Ketiga respon tersebut memilki tingkat kesulitan yang sama dan pada dasarnya dipelajari pada kecepatan yang hampir sama. Teori frustasi Amsel memprediksikan b ahwa binatang dalam tiga kelompok yang diperkuat secara parsial mestinya mengalami fdrustasi pad percobaan-percobaan yang tidak diperkaut dan rf-sf yang dihasilkanharus dikondisikan pada respon apapun yang harus dipelajari tikus untuk mencapai tujuan (berlari, melompat, atau memanjat).
Dalam fase eksperimen kedua, enam kelompok diajarkan berlari untuk mendapatkan air dalam bilik eksperimental yang berbeda dari yang dipakai pad fase 1 dan diperkuta 100 persen dari ewaktu. Dalam fase akhir yang penting, respon berlari untuk mendapatkan air dihilangkan. Proses penghilangan ini harus menimbulkan frustasi, dan teori Amsel memprediksikan bahaw respon-respon yang dikondisikan terhadap frustasi selama fase 1 harus menyebabkan tingkat pemunahan yang berbeda pada fase akhir pemunahan sebagai fungsi apakah respon yang pada awalnay berhubungan dengan rf-sf membantu atau menghambat respon berlari yang dipelajari dalam fase 2. untuk binatang yang diajari berlari pada fase 1, frustasi yang ditimbulkan selama pemunahan harus meningkatkan persistensi, karena berlari merupakan respon yang benar dalam fase 2, dan rf-sf harus bersambung ke repson yang terjadi. Untuk tikus yang diajari melompat pad afase 1, pemberian efek ulang frustasi oleh pemunahan akan mengganggu proses berlari dan mengurangi resistnsi terhadap pemunahan. Untuk kelompok memanjat, reinstitusi frustasi akan menuntut respon memanjat, yang sangat mengganggu respon berlari, dan pemunahan akan terjadi dengan cepat. Tiga kelompok penguatan, jika dibandingkan dengan kontrol penguatan kontinyu berfungsi seperrti yang diprediksikan teori fruastsais.
Data Ross memberikan konfirmasi efek-efek penguat frustasi dan penyaluran energi ini menjadi perilaku. Lebih lanjut, efek dari penyaluran terhadap persistensi perilaku ini tebukti bergantung pada hubungan repson yang diperkuat dengan respon yang dihilangkan. Respon yang diperkaut bisa menyebabkan resistensi yang lebih besar atau pengurangan resistensi dengan bergantung pada apakahn ini membantu atau menghambat respon yang mengalami pemunahan.
Teori frustasi Amsel mampu menangani banyak fenomena yang dikenal dalam riset motivasi dan pembelajarna. Ini meurpakan teori insnetif karena keahdiran atau iketiadaan tujuan mempengaruhi motivasi organisme. Respon-repson fruasi antisipatoris dan feedback stimulus mereka (rf-sf) bisa menyebabkan penguatan perilaku yang bertentangan atau pada aktivasi perilaku instrumenta, dengan bergantung pada kondisi-kondisinya. Persistensi perilaku dibentuk menurut riwayat masa lalu organisme dengan insnetif.
Amsel (1972) melihat teori frustasi sbagai teori persistensi yang lebih umum. Persistensi terjadi ketika organisme belajar mendekat atu terus merepson meski stimuli tersebut menghamabt perilaku. Ini terjadi karena stimuli penghambat dikontrakondiskan ke repson-respon yang terjadi dalam situasi. Amsel mencatat bahwa respon-respon emosional dan stimuli feedback seringkali bersifat menghambat, tapi seringkali dikontrakondisikan pada perilaku.
Misalkan perasaan emosi yang anda rasakan ketika deadline untuk mengumpulkan tugas semakin dekat. Kondisi emosi yang tidak menyenangkan masih bisa menyebabkan semua jenis perilaku yang bersaing untuk menghentikan kerja yang diperlukan untuk merampungkan makalah. Jika misalnya anda mulai mengerjakan makalah tersbeut akibat emosi yang dihasilkan oleh deadline yang maju, anda mungkin menemukan perasaan in akan menciptakan respon yang diperlukan untuk merampungkan tugas. Seseorang mungkin berpendapat bahw asatu aspek perilaku siswa yang bagus adalah belajar menyalurkan emosionalitas dan frustasi kehidupan kuliah menjadi perilaku konstruktif. Para mahasiswa yang lemah secara akademis mungkin tidak belajar mengkonterkondisikan emosi dan frustasi mereka dengan cara yang benar.
Konsep kontra-pengkon disian menunjukkan repson-respon emosi tidak akan menghilangkan kaultias emosional mereka hingga dihubungkan ke perilaku yang terjadi. Jika karena suatu alasan mereka tidak dihubungkan, stimuli yang menimbulkan emosi tersbeut akan terus mengganggu perilaku.
Teori frustasi Amsel terbukti sangat sukses; meski demikian ini hanya satu dari beberpaa teori yang berusaha menjelaskan bagiamana motivasi insentif bisa menguabh perilkau. Dan ini telah dikritik. Juga, teori Amsel menjelaskan sifat memotivasi dari penghilangan insentif yang diharapkan; ini tidak berkaitan langsugn dengan sifat memotivasi positif ketersediaan insentif yang dianggap dicakup oleh mekanisme rg-sg.

Insentif-insentif sebagi penghasil emosi
Riset Amsel dan koleganya memberi dukungan untuk gagasan bawha efek memediasi dari sebuah insentif bersifat motivasional; para ahli teori lain seprti Neal Miller, Frank Logan dan O Hobart Mowerer mengambil pendekatan yang berbeda. Kami akan menguji teori Mowrer sebagia satu alternatif bagi pendekatan rg-sg karena dia mengusulkan bahwa motivasi insentif memediasi antara stimulus danr espon dengan mencitpakan kondisi emosional.

Mowrer: ketakutan, harapan, pemulihan, dan kekecewaan
Mowrer (1960) berpendapat bahwa motivasi insentif merupakan pemicu utama perilkau. Bagi Mowrer motivasi insnetif berhubungan erat dengna pembelajaran respon-repson emosi. Dia mengusulkan empat emosi utama: ketakutan, harapan, pemulihan dan kekecewaan.
Menurut Mowrrer, peningkatan dorongan (misalnay dari setrum listrik atau kekurangan makanan) menyebabkan emosi ketakutan. Respon-respon emosi yang ebrkaitan dengan kondisi ketakutan akan terhubung ke stimuli yang muncul pada saat emosi terjadi. Setelah beberapa pemasangan tersbeut, stimuli menjadi petunjuk yang memberi sinyal pendekatan sebuah peningkatna dorongan dan mencitpakan kondisi ketakutan sebelumn terjadinya peningkatan kondisi dorongan. Ketakutan aygn terkondisikan ini kemudian meotivasi organisme untuk membuat respon apapun yang bisa dilakukan untuk melepaskan dri dari sitausi yang mengandung petunjuk-petunjuk ketakutan. Peran penguatan dalam sistem Mowrrer adalah mengaktivasi satu dari empat emosi tersebut daripada mempengaruhi repson-respon isntrumental secara langsung. Bagi Mowrer, pembelajaran mengubah apa yang ingin dilakukan organisme daripada apa yang bisa dilakukan organisme.
Dalam sebuah analisis seperti analissit erhadap ketakutan, Mowrer mengusulkan bahwa penuruunan dorongan (perut penuh) disertai oleh emosi harapna. Setiap petunjuk yang muncul pada saat harapan muncul akan dikaitkan dengan emosi dan kadang mulai berfungsi sebagai sinyal bahwa penurunan dorongan dan harapan sangat dekat. Sehingga Mowrer sekali lagi memandang perilaku diaktivasi oleh sebuah insentif emosional. Stimuli yang menghasilkan emosi harapan akan mengaktivasi perilaku yang menaga organisme dalam kondisinya sekarang, sementara stimuli yang berkaitan dengan ketakutan akan mengaktivasi perilaku menghindar.
Mowrer melangkah lebih lanjut untuk menganalisa situasi di mana harapan diharapkan tapi belum datang. Situasi ini menyebabkan gagasan emosional ketiga motiasi insnetif – kekecewaan. Kekecewaan terjadi ketika petunjuk-petunjuk ahrapan yang memprediksikan penruunan dorongan tidak menyebabkan reduksi dorongan aktual. Kekecewaawn, seperti ketakutan adalah kondisi negatif bagi organisme dan memotivasi perilaku yang akan berdampak menghilangkan petunjuk-petunjuk yang menandakan kekecewaan.
Yang terakhir dalam cara yang sama seperti analisis terhadap kekecewaan ini, Mowrer mengusulakn emosi pemulihan. Pemulihan terjadi ketika petunjuk-petunjuk yang menandakan peningkatan dorongan dijauhkan. Stimuli yang muncul pada saat petunjuk ketakutan dihilangkan akan menjadi sinal pemulihan. Sehingga bel tanda selesai kelas laboratoriuym yang sulit bisa menajdi petunjuk pemulih jika stimuli yang berkaitan dengna kelas menjadi petunjuk ketakutan. Seperti dengan harapan, organisme berusaha memelihara situasi-situasi yang memprediksikan pemulihan.
Mari ambil contoh. Seekor tikus diajarai menekan tuas untuk mendapatkan pelet makanan. Makanan dalam perut mengurangi dorongan dan menghasilkn harapan. Sebuah lampu di atas batang selau menyala ketika makanan datang. Setlah beberapa percobaan di mana tikus mendapatkan makanan dengan adanya cahaya tersebtu, cahaya menjadi petunjuk bahwa makanan akan datang. Pada poin ini lampu akan mengaktivasi perilaku yang menjaga kehadiran tikus, dan ini menjadi aktivator harapan bahkan sebelum makanan datang. Jika kita membawa eksperimen imajiner melangkah lebih lanjut, kita bisa melihat bagaimana konsep kekecewan Mowrer bekerja. Msialkan ita mendengakran sebuah nada selama 5 detik, setelah itui kita mematikan lampu dan melepas tuas dari bilik. Setelah beberapa pemasangan nada dan lampu, nada akan menjadi petunjuk yang memberi sinyal pelepasan harapan. Nada akan mengaktivasi emosi kekecewaan dan perilaku-perilaku yang dirancang untuk mengeluarkan tikus dari situasi aversif ini.
Pendekatan Mowrrer terhadap motivasi insnetif menekankan pentingnya emosi sebagai mediator antara karakteristik-karakteristik stimulus obyek-obyek insentif dan perilaku instmenta; sehingga, reward dan hukuman menghasilkan emosi. Petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemicuan emosi kadang memnjadi mampu memicu emosi sebelum peristiwa yang menyebabkan emosi. Aktivasi emosi antisipatoris ini mengarahkan perilaku instrumental menuju atau menjauh dari ob yek lingkungna.
Posisi Mowrer uinik dalam mengenali induksi dorongan dan reduksi dorongan sebagai kontributor peirlkau (lihat bab 5). Petunjuk ketakutan dan kekecewaan menandakan situasi-situasi induksi dorongan, sementara petunjuk harapan dan pemulihan menandakan situasi-situasi yang mereduksi dorongan. Arus diingat bahwa motivastor-motivator perilaku adalah emosi, bukan kondisi-kon disi dorongan secara langsung. Perubahan-perubahan pad adorongan berfungsi membentuk beragam emopsi (Bolles 1967).
Bolles (1967) dan Miller (1963) menyebutkan beberapa kesulitan konseptual pada pendekatan Mowerer. Miller mencatat meski sisttem ini bisa menyangkut perilkau ketika perilaku mulai terjadi, ini tidak menjelaskan bagamana perilkau dipicu pada awalnya. Misalnya,s etelah tikus belajar bahwa petunjuk-petunjuk pada kotak awal sebuah maze dikaitkand engan harapan karena makanan berada dalam kotak tujuan, perilaku ini akan terus berlanjut; tapi apa yang menyebabkan tikus melintasi maze pada awalnya? Mowrer tidak menjawabnya, dan Miller menganggap problem ini sebagai acad tatal pada teori ini.

Insentif-insentif sebagai pembawa informasi
Pendekatan Mowrer menyatakan bahwa stimuli informasional menyebabkan emosi yang pada gilirannya menyebabkan perilaku mendekat atau menarik diri dari situasi. Beberapa ahli teori lain mungkin juga menekankan pentingnay aspek-aspek informasional petunjuk bagi motivasi insentif. Teori-teori mereka menekankan ide bahwa motivasi insentif berfungsi memediasi antara stimulus dan respon karena stimuli prediktif menghasilkan motivasiinsnetif, yang pada akhirnya mengarahkan respon yang tepat. Meski pendekatan-pendekatan ini dalam banyak hal mirip dengan pendekatan Mowrer, mereka memiliki pendekatan yang berbeda; emosi tidak dipandang sebagai pemicu perilaku tetapi sebagai petunjuk yang memprediksikan (memberikan informasi tentang) tujuan dan mngarahkan perilaku menuju tujuan. Konsep prediktabilitas sebagai sbuah penjelasan untuk efek-efek insentif berhutang banyak pada konsep-konsep teoritis Tolman. Sekarang kami akan membahas ide Tolman sebelum menguji konsep prediktabilitas.

Tolman: Formulasi-formulasi Kognitif
Pendekatan-pendekatan yang diuji sejauh ini menekankan penjelasanp-penjelasan mekanis dari efek-efek insentif terhadap perilaku tapi tidak semua ahli teori memilih melihat insentif dengan cara ini. yang paling jelas dari kelompok terkahir ini adalah Tolman, yangberpenapat bahwa motivasi insnetif berasal dari pengembangan ekspektansi. Mari kita uji secara singkat sudut pandang ini.
Edward Chase Tolman (1959, 1967) memberikan sanggahan yang bagus terhadap teori-teori Hull dan Spence. Sementara para peneliti tersebut berusaha mereduksi perilaku pada unit terkecil mungkin (sebuah pendekatan yang disebut reduksionisme), Tolman mengambil pandangan yang lebih menyeluruh. Tolman kurang memperhatikan respon-respon muskular tertentu yang ditimbulkan dalam usaha mencapai tujuan daripada fakta bahwa organisme bekerja untuk mendapatkan tujuan. Dia memandang perilaku itu sengaja; tikus dan juga manusia menurutnya mengembangkan ekspektasi dari perilaku tertnetu yang akan menyebabkan tujuan tertentu.
Tolman (1967) menyebutkan bahwa tujuan-tujuan yang berbeda memiliki nilai-nilai yang berbeda bagi organisme. Misalnya Simmons (1924) melatih tikus untuk menemukan jalan melewati sebuah maze kompleks dan kelompok-kelompok yang berbeda menerima reward yang berbeda pada akhirnya. Dia menemukan bahwa sebuah kelompok yang diberi susu dan roti bekerja lebih baik daripada kelompok kedua yang dibeeri biji bunga matahari sebagai rewad, dan kelompok kedua bekerja lebih baik daripada kelompok yang tidak diberikan apa-apa. Dalam eksperimen yang sama Elliot (1928) menemukan bahwa wet bran menyebabkan performa yang lebih b aik dalam sebuah maze kompleks daripada biji bunga matahari.
Dengan mengikuti karya awal Blodgett (1929), Tolman dan mahasiswanya terus menggarap pembelajaran laten. Stujdi-studi ini berusaha menunjukkan b ahwa penguatan tidak perlu bagi terjadinya pembelajaran. Selain itu mereka menunjukkan pentingnya insentif-in snetif yang tepat untuk peforma pembelajaran. Dalam eksperimen-eksperimen tersebut kelompok-kelompok tikus dilatih untuk melintasi maze kompleks. Satu kelompok menerima makanan pada ujung maze dan belajar untuk berlari dengan cepat dan mengurangi eror uyntuk menerima reward. Kelompok kedua tidak menerima apa-apa pada ujung maze; performanya menunjukan sedikit indikasi bagaimana mencapai ujung maze secara efisien. Kelompok ketiga tidak mendapatkan apapun dalam maze hingga percobaan ke 11, ketika dia mulai menerima reward makana. Selama sepuluh percobaan pertama, kelompok ketia ini, seperti kelompok 2, menunjukkan seidkit bukti adanya pembelajaran. Ketika reward digunakan, performa kelomok ketiga membaik dengan cepat pada level kelompok 1. perubahan cepat pada performa ini mengindisikan Tolman bahwa pembelajaran terjadi sleama sepuluh percobaan pertama tapi tidak jelas pada performa d hinga insentif makanan diberikan (Tolman, Honzik, 1930a).
Eksperimen-eksperimen tersebu tmendorong Tolamn menyimpulkan bawha obeyk-obyek tujuan mengeluakran sejumlah permintaan yang berbeda atas performa, atau yang lebih sederhana, insentif-insentif ini memiliki nilai-nilai yang berbeda. Insentif-insentif mengontgrol perilaku, efek-efeknay bergantung pada nilai insentif tertentu bagi organisme.

Ekspektansi. Aspek penting dari pandangan Tolman adalah obyek-obyek insentif mempengaruhi perilaku hanya jika dialami beberapa kali sehingga ekspektasi kognitif terbentuk. Dengan ekspektasi kognitif, Tolman menyatakan bahwa organisme setelah beberapa pengalaman dengan tujuan, menduga bahwa perilaku-peirlaku tertentu akan menyebabkan tujuan di masa mendatang. Sehingga tikus yang sudha menerima jaring bran basah beberapa kali dalam sebuah baris untuk melintasi sebuah maze diperkirakn akan melintasi maze.
Apa yang terjadi jika kita mengubah aturan mainnya? Tolman mengatakan bahwa insentif yang berubah setelah timbulnya ekspektasi didapatkan akan menyebabkan tgerganggunya perilaku, khususnya jika perubahan itu berasal dari insnetif yang lebih besar. Tolman mencatat bahwa perubahan tersebut membuktikan adanya ekspektasi kognitif. Contoh dari eksperimen itu adlaah studi klasik oleh Tinklebpaugh (1928) – seekor monyet mengamati pengeksperimen menaruh makanan di dalam satu di antara dua wadah; beberapa saat kemudian monyet-monyet itu diminta memilih wadah yang benar untuk mendapatkan reward. Pada beberapa percobaan Tionklepaugh menguabh reward selama masa jjeda (dan tanpa sepengetahuan monyet) dari bahan makanan yang lebih disukai, seperti pisang, pada makanan yang kurang disukai, seperti lettuce. Monyet ini, setelah mengamati lettuce, tidak memakannya, memilih mencari pisang dan kadang-kadang bertindak seperti mengancam pengeksperimen (monyet juga memiliki perspesi tentang asal perubahan yang menyimpang). Bagi Tolman, gangguan terhadap perilkau pembelajaran normal memilih wadah yang berisi makanan menunjukkan bahwa ekspektasi kognitif mendapatkan pisang berkembang.
Tolman juga menakui interaksi kondisi fisiologis dengan ilai insnetif tujuan. Tolman menyebutkan sebuah eksperimen Szyumanski di mana tikus betina diajari berlari pada mae untuk mendapatkan anaknya. Ketika anak tikus tersebut tumbuh dan tidak lagi diirawat induknya, kecepatan dan akurasi tikus betina tersebut menurun, kemungkinan karena anak-anaknya tidak lagi bernilai insnetif tinggi. Sehingga perubahan kondisi fisiologis mengurangi nilai insentif anak tikus tersebut.
Tolman menampilkan sebuah model insnetif yang menekankan terbentuknya ekspektansi yang berkaitan dengan perilaku yang akan mendorong pada tujuan-tujuan tertentu. Ekspektasi tersbeut meperkuat dan memandu perilaku. Insnetif-insetif positif didekati dan insentif-insentif negatif dihindari. Semakin tinggi nilai insnetif akan mendorong perilaku lebih besar. Ketiak ekspektasi didiskonfirmasikan, seprti dalam eksperimen Tinklebaugh, perilaku terganggu. Tidak sperti pendkeatan Hull Spence, yang menjelaskan insentif mmenurut repson konsumatoris, parsial, kecil, Tolman memahami insnetif sebagai represtnasi sentral (pemikiran) dari hubungan dia ntara perilaku-perilkau tertentu dan tujuan aygn ingin dicapai.
Teori-teori Mowrer dan Tolman menekankan ide bawha petunjuk-petunjuk prediktif (ekspektansi) penting dalma pengembangan motivasi insentif. Mungkin efek mediasi insentif bergantugn pada kemampuan memprediksikan tujuand engan cara ini. Beberap a teori yang menekankan pentingnya prediktabilitas dalam pen gembangan motivasi insentif sudah diusulkan; kami akan menguji hanay dua, ide Overmier dan Lary dan ide Bindra.

Prediktabilitas
bOlles dan Moot (1972) dalam tinjauan tentang konsep insentif menyarankan bawha petunjuk menjadi motivator insentif selama itu memprediksikan kedatangan atau penarikan diri dari suatu obyek tujuan. Dalam pandangan mereka, apakah sebuah petunjuk berbentuk kontrol motivasional (menjnadi sebuah motiator insnetif) bergantung pada apakah ini memprediksikan suatu peristiwa di masa mendatang. Petunjuk-petunjuk prediktif dianggap memotivasi perilaku terus-menerus dan memperkuat repson-respon lengkap ((bertindak sebagai penguat kedua0.
Satu cara untuk membaut petunjuk prediktif adalh memasngkannya dengan penguat seprti makanan dalam sebuah prosedur pengkodnisan klasik. Setiap kali stimulus muncul, demikian juga makanan. Sekali stimulus dipasangkan dengan sebuah penguat selama beberap-a percobaan, kita bisa mengubah situasi sehingga respon menekan batang diperlukan untuk mendapatkan makanan. Pertanyaan yang menarik disini adlaah apakah presentasi petunjuk yang berkaitan dengan makanan dalam situasi pengkondisian klasik akan mempengaruhi pemeblajaran respon emnekan batang. Jika menekan batang dibnantu oleh adanya petunjuk, kita punya bujkti untuk sebuah efek insnetif petunjuk (kelompok-kelompok kotnrol yang tepat diperlukan untuk mengatakan bawha petunjuk yang sebelumnya berkaitan dengan makanan membantu respon instrumental).
Eksperimen-ekspeirmen yang melibatkan transfer desain kotnrol ini sering mendapatkan fasilitasi. Bolles dan Moot mencatat bahwa petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengna makaan membantu kinerja sebauh repson operan, semntara petunjuk-petunjuk yan gmemprediksikan penarikan makanan memiliki efek menghilangkan motivasi. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan menarik adalah ktia menemukan diri kita tidak termotivasi untuk melakukan perilaku-perilakut ertentu karena petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan tugas meprediksikan sukses yang lebih kecil. Mungkina nak yang memilikis edikit motivasi untuk kerja sekolah dimasukkan lingkujgnan sekolah atau rumah yang mengandung petunjuk-petunjuk yang dipasangkan dengan tidak adanya sukses di masa lalu. Petunjukp-petunjuk tersebut menimbulkan efek demotivasi terhadap kienrja anak, dan karena proses pemasangan hanya menuyntut anak dipaparkan pada petunjuk, anak mungkint idak sadar mengapa sekolah itu membosankan. Penting untuk dipahami bagaimana petunjuk-petunjuk prediktif bsia mempengaurhi motivasi organisme.
Seperti dicatat dalam awal bab ini, motivasi insentif bisa dikonseptualisasikan bekerja seperti sebuah mediator di antara stimuli lingkungan dan respon-respon terhadap stimuli tersebut. Lebih lanjut, overmier dan Lawry (1979) menganggap aspek mediasional insnetif terdiri atas dua link yang terpisah: ada satu link antara stimulus dan perilaku (SM) dan link independen kedua antara mediator dan respon (MR). bukti yang cukup banyak saat ini menunjukkan bahwa satu cara insentif memeidasi perilaku adalah melalui sifat-sifat informasional mereka; isnntif, menurut sudut pandang ini berfungsi sebagai petunjuk yang membantu dalam selksi respon. Overmier dan Lawry mencatat bahwa sebuah penjelasan informasional tidak bisa mencakup semua yang diketahui tentang efek-efek mediasi pada eksperimen transfr kontrol, dan mereka selanjutnya menaytakan bahw insentif memiliki fungsi petunjuk dan penguat. Sehingga ketika petunjuk yang berkaitan dengan sebuah tujuan muncul kembali pada waktu selanjutnya atau dalam sitausi yang berbeda merka diangap memperkaut perilaku dan mengarahkan repson menuru tasosiasi-asosiasi yang sudah mereka dapatkan sebelumya. Meski penguatan dan aspek inforamsional mediator berperan dalam mengubah pembelajaran dan performa, Overmier dan Lwry memberi bukti bahwa aspek-aspek informasional lebih penting, setidaknya dalam stiausi di mana dua aspek insentif ini bersaing untuk mengontrol perilaku. Data yang ditampilkan oleh Overmier dan Lawry (1979) untuk penjelasan mediasi dual-link mereka untuk efek-efek insentif didasarkan pada serangkaian ekspeirmen kompleks dan subtil yang berada di luar lingkup diskusi; meski demikian, studi-studi yang dilaporkan oleh mereka mendukung pandangan bahwa insnetif mengubah performa karena memberi informasi tentang tujuan.
Stimuli yang secara konsisten dikaitkan dengna penguatan menjadi nya sendiri dan disebut penguat sekunder (terkondisikan). Banyak ahli teori saat ini percaya bahwa penguatan berfungsi mengembangkan motivasi inbsentif daripada memperkuat koneksi respon-stimulus. Ini berarti penguat sekunder juga meruakan motivasi insnetif dan harus memiliki sifat penguat dan seleksi respon.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak pernah memperhatikan mengapa uang cukup berharga untuk didapatkan. Mengapa kita menghargai uang? Kita menghargai uang karena kita menghubungkannya dengan reward yang memiliki nilai buat kita. Ini mungkin bersifat fisiologis (uang membeli makanan, air, dan bahkan seks) atau dipelajari (uang membeli status, mobil baru atau rumah di suburbia). Bagi manusia, uang berfungasi sebagai penguat sekunder yang kuat. Karena penguat-penguat sekunder juga merupakan motivator-=motivator insnetif, uang mengaktivasi dan mengarhakan perilaku kita karena uang memprediksikan keberadaan item-item yang penting bagi ikita; jika kita tidak bisa membeli item dengan uang, maka motivasi kita untuk mendapatkannya akan hilang. Bertahun-tahun yang lalu atu dolar akan cukup untuk menonton bioskop dan membeli sekantong popcorn juga. Saat ini parkri di sebuah gedung biopskop saja akan membutuhkan beberapa dolar. Satu dolar tidak memiliki nilai insnetif yang sama sperti sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa insnetif itu bersifat relatif, bukan absolut. Bagaimana memotivasi insnetif tertentu akan bergantung pada later belakang peristiwa yang dibandingkannya. Karena latarbelakang selalu berubah, demikian juga nilai insentif.
Karya Trapold dan Overmier (1972), Bolles dan Moot (1972), dan Overmier dan Lawry (1979) dan juga karya-karya oain berkotnribusi banyak bagi pemahaman kita tentang bagaimana sebuah stimuylus yang dikaitkan dengan tujuan bisa menjadi motivator insentif. Dalbir Bindra di McGill University mengembangkan model motivasional yang memasukkan bukan hanya petunjuk-petunjuk prediktif tapi juga kondisi-kondisi organismik (dorongan) dan tujuan. Sekarang kami akan membahas secar asingka tpemikiran ini/

Model Bindra. Bindra mengusulkan sebuah model perilaku yang menekankan produksi sebuah kondisi motif sentral (pertamakali diusulkan oleh Morgan 1943) yang mengaktivasi perilkau yang diarahkan tujuan ke opbyek-obyek insentif. Menurut Bindra, kondisi motivasional dan kondisi emosional adalah dua hal yang sama, jadi modelnya juga merupakan model perilaku emosional.
Bindra berpendapat bawha kondisi motif sentral diciptakan ketika terdapat kondisi-kondisi organismik tertentu (sepreti perubahan-perubahan kodnisi hormonal atau gula darh) dan organisme distimulasi oleh ciri-ciri sebauh obyek insntif (stimuli bau, rasa, visual, atau auditoris). Sehinga kondisi orpganismik (dorongan) dan stimuli dari obyek tujuan (insentif) bersama-sama menghasilkan kondisi motif sentral.
Aktivasi kondisi motif setnral ini memicu koordinasi sensoris-motor bawaan (ummnya otonom) sepreti salivasi atau perubahan denyut jantung yang mempersiapkan organisme berhubungan dengan (atau lepas dari) obyek insnetif. Selain itu, aktivasi dari kondisi motifs entral meicu kordinasi sensoris-motor yang sebelumnya dibentuk oleh pembelajaran atau maturasi. Misalnya, represetnasi sentral (emmori) dari ciri-ciri stimulus makanan mengaktivasi periaku pendekatan instrumentan dan saat berkontak dengan maknan perilaku konsumatoris seperti mengunyah dan menelan.
Sistem Bindra berasumsi bawha stimuli in snetif memperkaut dan mengarahkan. Pengarahan perilaku dicapai oleh stimuli yang berkaitan dengan obyek tujuan (makanan) dan berfungsi memilih perilaku yang benar (mendekati, mengunyah, menelan) daripad arepson-repson lain. Stimuli netral bis amenjadi insentif melalui pemasangan sederhana dengan in sentif-in sentif lain yang sudha membangkitkan kondisi motif sentral. Meski dengan proses pembelajaran kotningensi ini, sebuah stimulus suara dari sebuah kaleng yang dibuka dan didengar oleh anjking anda bsia menjadi prediktor stimuli di mas amendatang (bau, citarasa dan tekstur makanan anjin) dan berfungsi memotivasi perilaku.
Contoh kami sebelumnya menjelaskanbagaimana sebuah stimulis bisa mendapatkan sifat-sifat insentif, tapi mari lihat juga bagaimana sebuah stimulus bisa mendemotivasi perilkau. Misalkan stimulus tertentu (S1) selalu memprediksiakn tidak adanya stimulus kedua (S2). Misalkan S22 merupakan akrakteristik stimulus dari suatu obeyk tujuan yang sangat dipilih. Karena S1 memprediksikan tidak adanya S2, S1 akan menekan kondisi motisf sentral. Kecuali jika kondisi motof sentral muncul, perilaku tidak akan terjadi.
Ini membawa kita pada poin yang mungkinnyata tapi perlu disbutkan. Obyek-obyek insenbtif bisa positif atau negatif. Insentif-insentif positif menimbulkan perilaku mendekat, sementar ainsentif negatif menyebabkan penarikan diri. Karena petunjuk-petunjuk netaral bisa dipasangkan dengan insnetif, petunjuk-petunjuk yang sebelumnya netral bisa meprediksikan tiga hubungan. Sebuah hubungan positif memprediksikan presentasi kuat dari sebuah obyek insentif. Hubungan negatif memprediksikan bahwa insentif, baik bagus atau buruk, tidak akan datang. Yang terakhir, ada hubungan netral ketika stimulus tidak memiliki hubungan konsisten dengan insentif dan tidak memberikan informasi tentang kejadiannya. Perilaku tertentu yang diamati oleh seseorang akan bergantung pada apakah insnetif positif atau negatif plus hubungan antara stimuli yang memberi informasi tentang insnetif dan obyek insentif. Misalnya sebuah stimulus yang elalu dihubungkan dengna tidak adanya shock (di mana stimuli lain memprediksikan shok) diperkirakan menimbulkan motivasi mendekat, sementar stimulus lain yang berkaitan dengan tidak adanya makanan akan menimbulkan respon menarik diri.
Sistem Bindra menarik karena bersuaha memberikan suatu model untuk memberikan sebuah model yang meliputi kondis iorganisme (dorongan), pengaruh ciri-ciri tujuan (insentif) dan asosiasi petunjuk-ppetunjuk dengan insentif (prediktabilitas). Riset lebih lanjut dibutuhkan, sebelum kita bsia menetukan keun an modle motivasi Bindra.
Sebelum mengakhiri diskusi kami tentang motivasi insnetif, kami akan menguji satu pendekatan teoritis lagi. Pendekatan yang diusulkan oleh Ewric Klinger penting karena menekankan faktor-faktor kognitif (dengan cara yang mirip dengan cara tolman) dan karena ini merupakan teori insnetif yang berasal dari studi manusia. Seperti yang akan kita lihat, insentif-insentif dalam sistem Klinger berfgungsi sebagi mediator dia ntara stimulus dan respon selama ini bermakna secara emosional.

Klinger: kebermaknaan
Ide dasar klinger adalah pentingnya kebermkanaan bagi hbidup orang-orang. Kebermaknbaan diberikan oleh insentif terhadap apa yang dikerjakan oleh oran g-orang. Dia percaya bahwa orang-orang mengupayakan obyek, peristiwa dan pengalaman yang secara emosional penting bagi mereka. Sehingga emosionalitas idmasukan ke dalam konsep insnetif untuk Klinger. Jika sesorang kekurangan insnetif yang penting baginya, hidup menjadi kurang bermakna. Orang-orang bekerja (atau bertindak) untuk mendapatkan insentif-insentif yang dihargai.
Satu aspek menarik dari pendekatan Klinger adalah dia menunjukkan bahwa insentif tersebut memberikan kebermaknaan yang tidak luar biasa. Sebenarnya hubungan keluarga, anak dan pribadi nampak menjadi sumbe rmakna utama bagi sebagian besar orang (klinger 1977). Klingert juga mencatat bahwa orang-orang yang menyebutkan hidup mereka bermkana menyebutkan kategori-kategori yang sangat konkrit ketika menjelaskan apa yang bermakna baginya.

Insentif-insentif dan tujuan-tujuan
Klinger membuat perbedaan antara insnetif dan tujuan pada perilaku manusia. Insnetif merupakan obyek atau peristiwa yang dinilai. Orang-oran g tidak selalu bersedia bekerja mendapatkan apapun yang memiliki nilai in sentif. Misalnya, orang mungkin menghaagai memiliki yacht 50-kaki tapi tidak bersedia melakukan sesuatu untuk mendapatkannya (mengambil pekerjaan sambin gan). Sementara sebuah yacht merupakan insnetif karena bernilai, ini bukan sbeuah tujuan keculai individu bersedia menghabiskan upaya untuk mendapatkannya. Sehingga tujuannya sleau insntif, tapi insnetif mungkin atau tidak mungkin selalu menjadi tujuan.
Klinger mencatat bawha tidak ada organisme yang benar-benar terpisah dari tujuannya, meski pada level manusia, tujuan bisa meliputi item-item yang tidak diperlukan untuk survival (keintiman, pemahaman, keyakinan agama dan steterusnya). Sehingga tujuan dan insnetif merupakan bagian dari pabrik kehidupan dan perilaku insentif secara kon tinyu.
Ketika seseorang memutuskan mengejar insentif tertentu (sehingga menjadi sebuah tujuan) orang tersebut dikatakan berkomitmen terhadap tujuant ertentu itu. Sebuah tujuan disebut persoalan utama oleh Klinger. Seseorang biasanaya berkomitmen terhadap beberapa tujaunt erbaru meski perilaku bersifat selektif; yaitu, ada perhatian sekarang, meski pikiran pada suatu momen mungkin tidak merefleksikannya.

Fase Pemisahan
Perhatian terbaru berkaitan teurs mempengaruhi perilaku hinga tujuan dicapai atau individu melalui proses penarikan diri. Penarikan diri terjadi ketika sbeuah tujuan menjadi tidak terjangkau. Klinger percaya sejulah bukti dari beragam sumber menyatakan bahwa pemisahan diri dari sebuah tujuan melibatkan pergeseran perilaku melalui sebuah siklus. Siklujs ini bisa dijeaskan terdiri atas lima fase.

1. Invigorasi. Jika dihambat dari mencapai tujuan, perilkau sesorang pada awalnay menjadi lebih kuat. Klinger menganggap efek frustasi Amsel (disebutkan sebelumnya dalam bab ini) sebagai con toh invigorasi. kLInger juga menyatakan abwha satu konsekwensi dari invigorasi adlaah insenif yang terhambat menjadi lebih menarik dan daya tarik insentif lainnya akan tereduksi sementara (lihat Klinger 1975 untuk tinjauan eksperimen yang menyebabkan kesimpulan ini). Sehingga individu dalam fase invigorasi menjadi berpikiran tugngal dalam mencapai tujuan yang terhambat.

2. Primitivisasi

Jika lebih kuat, usaha-usaha yang lebih bersamaan tidak akan berhasil mencapai tujuan, perilkau dipandang tersetereotipkan dan primitif hinga menjadi destruktif. Misalnya Barker, Dembo dan Lewin (1941) menunjukkan bahwa perilaku bermain anak menjadi lebih primitif setelah frustasi. Demikain juga, Hinton (1968) menunjukkan abwha orang dewasa merespon secar lebih primitif terhadap test-tes keaslian dan pemikrian divergen setyelah frustasi,

3. Agresi
Ketika menghambat penapaian tujuant erus berlanjut, respon menjadi lebih primitif hingga menjadi agresif. Perilaku aresif sebagai rspon terhadpa penghamabtan pencapaian tujuan sudah dicatatr dengan baik (Dollard et al 1939, Johnson 1972) dan bisa menjadi usaha terkahir individu untuk mendapatkan sebuah tujuans ebelum menyerah (Klinger 1975).

4. Depresi
Menurut Klinger, ketika semua usaha untuk mencapai tujuan gagal, depresi tebentuk. Kondisi depresif bisa berbeda-beda mulai darikekecewaan ringan hingga depresi ekstrim. Perjunagan einsturmental untuk tujuan berhenti dan individu menunjukkan rasa tak berdaya dan putus asa. Orang yang depresi menjadi tidak tertarik pada insentif-insentif yan ggbiasanya mempengaruhi mereka dan nampak tak termotivasi dalam interaksi-interaksi sosial. Klinger percaya depresi meruakan bagian normal dari memisahkan diri dari sebuah tujuan yang tidak bisa dicapai dan kondisi depresif tersetbu isa mengurangi nilai emosional insnetif sehinga insentif-insentif lain bisa diusahakan.

5. Pemulihan
Fase akhir dari siklus pemisahan diri adalah pemulihan. Seperti dicatat Klinger, tidak banyak yang diketahui tentang apa yang memciu pemulihan dalam situasi alami, tapi pemulihan biasanya terjadi. Klinger menyarankan bwha sukses dalam mendapatkan tujuan-tujuan lain bisa menstimulasi pemulihan dari depresi. Misalnya Beck (1967) menunjukkan bahwa pasien yang dperesi biasanya sensitif terhadap suskes pada tugas-tugas kecil.

Kedukaan sebagai Pemisahaan diri. Setiap orang yang kehilangan teman dekat atu kerabat dekat karena meninggal mengetahui perasaan-persaaan yang berkaitan dengan apa yang disebut kedukaan. Bowlby dan Parkes (1970) menyarankan bahwa kerja pada proses duka melibatkan empat dimensi terpisah. Pertama ada guncangan atau mati rasa, selama ini pembuatan keputusan bisa sulit. Selama tahap ini in dividu yang berduka menunjukan panik, setres dan bahkan kemarahan. Frase-farase sepeti “ini tidak boleh terjadi” menunjukkan kesulitan menerima kehilangan tersebut.
Dimensi kedua dari mourning melbatkan peringatan dan pencarian orang yang hilang. Stimuli yang berkaitan dengan individu yangpergi membawa reaks-reaksi tak bisa tidur, marah atau ambiguitas dan orang yang beruka mengajukan pertanyaan seperti “apa ini artinya” atau “bagaimana bisa begini?”
Dimensi ketiga yang dicatt oleh Bowlby dan Parkes meliobatkan disoreientasi dan disorganisasi. Dimensi ini seling melibatkan depresi dan rasa bersalah seperti dinyatakan oleh pemikiran-pemikiran seperti “Apakah saya melakukan semua yang saya bisa?”
Yang terakhir, dimensi keempat melibatkan resolusi dan reorganisasi. Secara bertahap seseorang mulai menempatkan kematian orang tercin ta dalam perspektif tertentu dan mulai bertindak lebih kompeten. Peran-peran baru bisa didapatkan, dan pikiran seseorang bisa sesuai dengan realitas situasi.
Dimensi-dimensi Bowlby dan Parkes dari proses mourning agak mirip dengan siklus pemisahan diri yang diusulkan oleh Klinger (1977). Dari perspektif Klinger proses mourning bisa dipandang sebagai contoh pemisahan iri dari insentif kehilangan tertentu (kematian orang tercinta). Serangan panik dan stres dan rasa tak bisa tidur menunjukkan fase invigorasi dari siklus ini, sementar akemarhaan dan penyangkalan diri merupakan aspek agresi-frustasi siklus ini. Dimensi disorientasi dan disorganisasi Bowlby dan Parkes berhubungan erat dengan fase derpesi Klinger dari siklus ini yang mengawali proses pemisahan diri dari insentif baru. Sehingga dimesni resolusi dan reorganisasi Bolwby dan Parkes berhubungan erat dengan fase pemulihan Klinger.
Poin yang disebutkan oleh analisis tentang perasaan duka adalah seseorang yang memiliki insnetif penting diperkirakan menangai kematian orang tercina lebih baik daripada mereka yang memiliki insentif yang lebih sedikit. Mungkin kita perlu mengembangkan insnetif-insnetif baru atau membantu mereka mengarhakan perilkau ke insentif-insentif yang sudah ada. Kita sering melakukannya secara naluriah; saat pemakaman, orang-porang biasanya memberi saran seperti “Kamu harus kaut demi anak-anakmu sekarang.”

Aspek-Aspek insentif dari motivasi seksual
Dalam bab ini kami harus menguji riset yang menunjukkan bahwa banyak perilaku yang dimotivasi oleh karakteristik obyek-obyek tujuannya. Kita telah mengunakan motivasi insentif untuk menjelaskan situasi-situasi ini. Dalam bab 5 kami menemukan perilaku seksual memiliki sejenis karakteristik dorongan. Apakah motivasi seksual juga memiliki karakteristik motivasi insentif?
Teori-teori motivasi insnetif menyebutkan bahwa karakteirstik tujuan seringklai cukup penting dalam memotivasi perilaku. Jika tujuanya adlah kopulasi, maka pertanyaannya jadi jenis stimuli apa yang dimiliki oleh binatang yang bisa menghasilkan kegairah seksual adan perilaku seksual pada calon pasangan? Bagi beberapa binatang zat-zat kimia yang berkaitan dengan kesiapan seksual merupakan stimuli penting untuk menarik pasan gan. Tikus betina dalam estrus (reseptif secara seksual) menghasilkan zat kimia urinary yang menarik tikus jantan. Menurut Money dan Ehrahrd (1972), monyet resus pejantan dirangsang oleh bau vagina betina resus.
Sinyal-sinyal kimia disebut feromon./ feromon adlaah sinyal-sinyal kimia yang menyebarkan informasi dari satu binatang ke binatang lain (Carlson, 1994). Pada binatang feromon terbukti mempengaurhi siklus estrrus dan usia maturasi reproduksi mencegah iplantasi dari embrio yang dibuahi dan mengindikasikan kesiapan seksual si betina (bartoshuk & Beauchamp, 1994).
Zat-zat kimia yang memberikan informasi ke binatang lain tentang keiapan seksual binatang ini nampak terdeteksi oleh sekelompok reseptor yang terpisah dari sistem olfaktori primer. Sistem sekunder disebut organ vomeronasal dan mengirimklan informasinya ke bulb olfaktori kimia, sebuah lokasi otak yang berbeda daripada bau normal yang dikirimkan. Organ vomeronasal, dan khsuusnya ofalktori bulb aksesoris, nampak bertanggungjawab untuk berbagai efek ferom,on terhadap perilaku karna kerusakan pad asistem ini menggangu efek feroon tapitidak perilkau lain.
Meski tidak ada bukti langsung bawha manusia dibangkitkan secara seksual oleh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh pasnagan seksual tertentu, kemugnkiann perilkau seksual mansuia bisa ditentukan sebagian oleh feromon. Peran feromon pada perilaku seksual manusia lebih cenderung terjadi karena terbkti bahwa hidung manusia memiliki sebuah organ vomeronasal, meski jgua kemugnkiann man suia tidak menyadari sensasi yan gdideteksi oleh sistem reseptor ini (Barto0shuk & B\eauchamp, 1994).
Bukti tak langsung untuk komunikasi kimia seksual diberikan oleh beberapa studi. Misalnya diketahui bahwa sensitivitas wanita untuk mencium diubah oleh perubahan-peurbahan hormonal. Money dan Ehrhardt (1972) melaporkan bawha setelahb pubertas wanita lebih sensitif terhadap bau musk dan beberapa steroid urinary. Parlee (1983) juga menunjukkan bahwa beberapa wanita mengalami penurunan ambang sensoris untuk bau-bau di sekitar tengah siklus menstrual mereka. McClintock (1971) menemukan b ahwa siklus-siklus menstrual wntia yang tinggal berdekatan cenderung disinrokniskan (yaitu terjadi dalam beberapa ahri satu sama lain). Tidak jelas appakah perubahan ini berkaitan dengna kemungkinan perilaku seksual.
Manusia merupakan binatang seksual sehingga kita mungkin menduga stimuli s\visual yang diberikan oleh seorang pasangan seksual akan membnerikan nilai insentif. Money dan Ehrhardt (1972) berpendapat bahwa manusia memiliki sistem sinyal seksual yang pada suatu jarak bersifat visual dan pada jarak dekat melibatkan sentuhan.

Daya tarik wanita
Menurut Symons (1979), dua atribut utama daya tarik wanita adlaah kesehatan dan usia. Wanita yang muda dan sehat lebih cenderung bereproduksi dan merawat keturunanny. Analisis Symons menyatakan bahwa pria merasa tertarik pada karakteristik-karakteristik yang mengindikasikan kesehtna. Dia mencatat bahwa Ford dan Beach (1951) menemukan kompleksi dan kebersihan yang bagus dianggapmenarik oleh kelompk-kelompok yang dipelajari. Dalam kultur-kultur primitif kompleksi dan keberishan harus memberi suatu idniaksi kesehatan, dan oleh karena itu akan dipandang menarik. Simons menyatakan bahwa karakterisitk fisik lain seprti mata jenrih, otot yang menonjol, gigi yan gbagus, rambut yhagn indah dans eterusnya bisa menjadi indikator kesehatan yang b agus dan dianggap menarik. Meski ada sedikit data tentang subyek, cukup menarik bahwa banyak dari produk-produk yang diiklankan untuk wanita menarik karakteristik-karakterisitk fisik tersebut. Symons mengusulkan b ahwa memberi perhatrian erat tewrhadap kulit dan tertarik oleh kompleksi yang jelas mungkin bersifat bawaan.
Kemudaan merupakan karakteristik fisik kedua yang disebut Symons penting untuk menarik pria bagi seorang wanita. Sebenarnya GC Williams (1975) berpendapat bahwa kemudaan merupakan determinan penting dari daya tarik wanita. Usia wanita penting karena berhubugnan erat dengan nilai reproduktifnya. Wanita berusia 17 meiliki hampir semua tahun reproduktifnya di depannya sementara wanita berusia 35 tahun berusia reprodutif lebih pendek dibandingkan wanita pertama. Menurut analisis ini pria akan lebih tertarik pada wanita yang lebih muda karena nilai reproduktifnya lebih besar. Syumons (1979) memberikan data lintas budaya yang mendukung ide bahwa kemudaan pada wanita merupakan dayua tarik seksual kuat bagi pria. Dia juga percaya bahwa kemudaan sebagai sebuah faktor dalam daya tarik seksual relatif bawaan. Dengan kata lain, pria secara genetik diprogram menemuakn wanita yang lebih muda menarik secara seksual.
Baik kesehatan atau usia belum dipandang sebagai variabel penting oleh sebagian besar peneliti daya tarik. Meski demikian ironi bahwa sebagian besar studi telah dilakukan di negar-anegara barat di mana kesehatannya relatif bagus dan di mana sebagian besar subyek berusia muda; karena itu kesehatan dan usia merupakan kontributor utama bagi daya tarik wanita. Studi-studi lebih lanjtu dari dua variabel tersebut bisa memberikan wawasan penting tentang daya tarik fisik.
Karakteirstik ketiga yang diusulkan oleh Simons sebagai menarik secara seksual pada wanita adlaah kebaruan. Menurut Symons, dalam masyarakat pemburu-penmgump;ul makanan primitif seorang pria bisa berharap menghasilkan empat atau lima keteruunan dengan satu istri selama tahun-tahun reproduktifnya. Jika dia memikiki istri kedua dia bisa menggandakan sukses reproduktif ini. Di mana istri ganda tidak mungkin berubpa hubungan ekstra perkawinan maka satu keturunan saja yang dihasilkan, ini meningkatkan sukses reproduktifnya sebesar 20% hingga 25%. Karena strategi-strategi perilaku yang menyebabkan jumlah ketuurnan terbesar akan cenderung dipilih, sesoerang bisa memahami mengapa pria harus menarik dan ingin menikah dengan banyak wanita. Sehingga satu karakteristik kuat bagi wanita menarik adalah kebaruan.
Pada binatang-binatang ternak efek kebaruan betina bisa sangat kuat. Misalnya, setelah seekor banteng berhenti berkop-ulasi dengan sapi pengenalan sapi baru akan menyebabkan kopulasi baru, dan repson banteng terhadap sapi ke tujuh hapir sama kuatnya dengan yang pertama (Schein & Hale 1965). Rams menunjukkan efek serupa terhadap pengenalan ewe baru dan tikus jantan juga menunjukkan fenomena ini. Meski aya jantan bekopulasi lebih sering ketika terdapat beberapa pasangan (Simons 1979).
Efek stimulatoris dari pengenalan betina baru terhadap perilkau seksual jantan sudah ditulis sebagai efek Coolidge setelah percakapan antara PreideN Valvoin Voolidge dan istrinya. Misalkan presiden dan first ladi mengunujungi sebuah pertanian pemerintah. Saat dilewati oleh ayam pertania Ny Coolidge bertanya kepada pemandunya apakah ayam jantan berkopulasi lebih dari sekali dalam sehari. Pemandunya memastikan bahwa ayam jantan tersebtu berkopulasi dengan lusinan ayam betina beberapa kali per hari. Ny Coolidge menyampaikan informasi tersbeut pada Ny Coolidge (Bermant, 1976).
Yang terakhir, Suymons berpendapat bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan utnuk akrakteristik fisik khusus betina yang mampu menstimulasi pejantan secara visual. Stimulus yang paling konsisten bagi pejantan adlah melihat genital betina; meski demikain, tidak sepreti primata lain, di mana estrus menghasilkan peurbahan yang sangat jelas pad warna atau ukruang enital betina, wanita tidak mengalami perubahan nyata tersebut.
Riset menunjukkan bahwa ada perbedaan konsisten pada prefernesi jantan (bweberapa pria memilih kaki panjang, beberapa lagi memilki payudara besar dan seterusnya); meski demikia, kemungkinan preferensi tersebut dipelajari. Luria dan rekan berpendapat bahwa stimlis yang membangkitkan seksual secar abawaan adalah sentuhan ringan, khususnya genital dan preferensi untuk payhudara, kaki panjang atau pantat bagus merupakans timuli erotis yang dipelajari.

Daya tarik pria
Jika pria tertarik pada wanita muda yang sehat, karakteristik apa yang dianggap menarik oleh wanita pada diri pria? Dibandingkan dengan pejantan, wanita memiliki keturunan potensial yang lebih sedikit dan invgestasi parental yang lebih tinggi. Akibatnya tekanan-tekanan evolsioner harus memilih konservatisme pada perilaku seksual betina. Yaitu, dalam sbeuah masyarakt di mana pria bersaing untuk emdnaaptkan status, wanita cendeurng menunjukkan sukses reproduktif yang lebih tinggi dengan tetap bersama pria berstatus tinggi yang bisa memberinay keturunan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk bertahan. Sehigna seseorang akan memprediksikan bawha domiansi sosial dan status akan menarik bagi wanita.
Suymons menaytakn bahwa pada wanita yang bersifat bawaan adalah aturan seleksi (dayha tarik terhadap pria berstatus sosial tinggi) daripada pengakuan ciri-ciri spesifik seperti kesehatan dan usia. Sehinga, menurut analisis ini atribut-atribut fiusik dari pejantan mestinya kurang penting daripada karakteristik yang mengindikasikan status. Ford dan Beach (1951) melaporkan bahwa daya tarik jantan didasrakan pada skil dan kemampuan, bukannya pada penampilan. Ini menarik sebagaimana Berscheid dan Walster (1974) menemukan bahwa hanya satu-satunya ciri fisik pria yang dianggap menarik secara seksual adalah tinggi. Pria tinggi diperkirakan memiliki keuntungan dalam persaingan di antara pria, dan daya tarik terhadap pria yang lebih tinggi bisa diperkirakan memberi keuntungan reproduktif bagi wanita.
Symons (1979) juga menyarankan bawha daya tarik seksual pria kurang bergantung pada ketampanan daripada terhadap skil dan kemampuan. Buss (1994) menyatakan ide yang sama – wanita akan lebih memiliihb pria yang bisa memberiakn sumberdaya cukup bagi keturunannya. Karena skil, kemampuan, status dan akumulasi sumebrdaya bisasanya butuh waktu untuk berkembang, seseorang bisa jgua berpendapat bahwa wanita akan sering memilih pria tua daripada pria muda. Dalam bebepraa kultur primitif pria muda harus bersaing terhadap pria dominan yang lebih tua untuk mendapatkan wanita yang lebih muda (Symons 1979).
Sebagai ringkasan, nampak bahwa kaakteristik obyek tujuan (calon pasangan seksual) untuk perilaku heteroskesual berfungsi sebagai motivator untuk daya tarik seksual. Bagi pria, atirbut-atirbut sfisik yang berkaitand engna kesehatan dan kemudiaan memberi stimulasi seksual. Bagi pria, atirbut-atribut fisik yang berkitan dennga kesehatan dan kemduian memberikan stimlasi seksual, seperti kebaruan. Bagi wanita, daya tarik seksual nampak kurang didasrakan apda karakteristik fisik seperti ketampanan daripada pada dominasi, status dan sumberdaya. Perbedaan-perbedaan pada daya tarik seksual bisa dipahami dalam hbal kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari pria dan wanita dalam menjamin keberlangsungan hidup gen-gen mereka.

Ringkasan
Dalam bab ini kami m enguji kosnep motivasi insnetif. Ide dasar yang mendasari konsep motivasi adlah karakteristik tujuan yang kita kerjakan untuk mendapatkan pengaruh perilaku kita. Penejlasan-penejalsan motivasi insnetif berkisar dari rteori=-teori stimulus respon yang sangat mekanis. Seprti mekanisme rg-sg Hull Spence, hinga teori-teori yang lebih kognitif dari Tolmand an Klinger. Analisis Amsel tentang pertsistensi perilaku yang berasal dari kontra kondisi respon-respon fruasi fraksionala dalh perluasan modern dari model Hll Spence.
Penekanan Mowrer pada ide bahwa insentgif mengahsilkan emosi memberi usualn altgernatif untuk bagaimaan tujuan bisa menimbulkan perilaku dan dikaitkan dengan penejalsan-penejlasan populer yang menekankan ciri informasional insentif. Penekanan Tolman tentang pen tingnya ekspektansi sebgai pencitpa perilaku juga menjadi kontributor signifikan bagi pemahaman kami tentang motivasi insnetif, dan sepetrti teori Mowrer, menyebutkan pentingnya petunjuk-petunjuk informasional.
Teori-teori yang menekankan pentingnya ciri-ciri informasional petunjuk yang dikaitkan dengan tujuan dan efek dari petunjuk-petunjuk itu tehradpa perilaku menekankan konsep rpediktabilitas mungkin analisis paling mahal tentang insentif dari sudut pandang ini dilakukan oleh Overmier dan Lawry yang mengangap insentif sebagai mediator antara stimuli dalam lingkugnan dan respon-reposn organisme. Beberapa peneliti lain seperti Bolles dan Moot dan Trapiold dan Overmier juga menekmankan pentingnya prediktabilitas dalam situasi-stiuasi motivasional insentif sementara Bindra berusaha mengumpulkan konsep-konsep dorongan insentif, dan prediktibilitas dalam konsep kondisi motif sentral.
Yang terakhir, Klinger menganalisa peirlaku manusia dari perspektif motivasi isnnetif dan menyipulkan bahwa insentif-insentif menjadi kekuatan utama yagn mendasari apa yagn kita lakukan. Klinger berpendapat bahwa kita bekerja untuk mendcapai tujuan yang secara emosional bermakna buat kita. Selai itu, insentif tidak hanay mempengaruihi tindakan-tindakan kit atapi juga pemikiranpemikiran kita dan bahkan pengaruh-pengaruh lingkungan yang mempengaruhi kita. Memisahkan diri dari tujuan aygn tleah diusahakan sangat sulit dan melibatkan serangkaian fase yang bisa diprediksikan.
Motivasi insnetif terus menjadi sebuah pendekatan teoritis penting bagi pemahaman motivasi perilaku. Seperti yang sudah kita lihat, beberapa aspek daya tarik seksual nampak cocok dengan pendekatan motivasi insnetif. Tujuan-tujuan kita bekerja memberikan sumber motivasi yang kuat. Bagi perilaku manusia sumber motvasi ini seringkali mengungguli sumber-=sumber lain termasuk regulasi homeostatis.

Bab 8 Hedonisme dan Stimulasi Sensoris

Tinjauan bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut;
1. Bisakah konsep hedonisme menjelaskan beberapa perilaku termotivasi?
2. Apakah stimulasi sensoris memotivasi perilkau?
3. Efek-efek apa yagn titmb ulkan oleh pemb atasan sensoris terhadap perilaku termotivasi?
4. Bisakah beberapa perilaku dijelaskan menurut proses-proses yagn bertentangan dalam sistem saraf?

Jika dirasa bagus, lakukna. Say amendapati pernyataan ini pada sebauh stiker bumper ketika saya menuju ke kantor beberapa tahun yang lalu. Ungkapan ini merupakan penjelasan dari perilaku termotivasi (meski dalam versi modern) yang sudah bersama kita selama berabad-abad. Democritus, rekan Plato di Yunani kuno, berpendapat bawha kita bertindak untuk mendapatkan jumlah kesenangan terbesar (Bolles 1975). Epicurus yagn namanya lebih dikaitkan dengan pendekatan ini juga percaya bahwa kita termotivasi untuk mendapatkan kesenangan. Pendekatan ini disebut hedonisme dan bisa diartikan sebagai pencarian kesenangan dan menghindari rasa sakit.
Teori-teori hedonik menekmankan die bahwa petunjuk atau stimuli memiliki ciri-ciri motivasional karena mereka dikaitkan dengan pengalaman positif dan negatif. Dalam banyak hal ini mirip dengan argumen-argumen yagn berkaitan dengan motivasi insentif. Seseorang mungkin berharap bahwa insentif memotivasi perilaku karena menimbulkan efek hedonikk; yaitu mungkin obyek tujuan menjadi nsentif karena menimbulkan kesenangan atau rasa sakit.

Hedonisme
Banyak filsuf dalam era ini berpendapat untuk penjelasan perilaku hedpnis. Hobbes percaya semua tidnakan termotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan menghidnari rasa sakit (Boles 1975; Woodbridge 1958). Spencer mengusulkan bawha perilaku-perilaku yang menyenangkan memilki nilai survival bagi sebuah organisme; yaitu perilaku-perilaku yang dianggap menyenangkan bersifat adaptif seama sejarah spesies. Dia percaya bawha respon-respon random yang menyebabkan nyeri probabilitasnya berkurang. Sehingga bagi Spencer kesenangan dan rasa sakit menjadi pemodifiaksi perilaku yang penting. Pendekatan Spencer merupakan awal darihukum efek thoirndiek, yagn merupakan awal dari tgeori penguatan modern (Young 1961).
Troland (1932) percaya bawha sistem saraf dipicu pada perisittwa-peirsitwa menyenangkan dan avewrsif. Dia membagi stimulasi menjadi tiga kategori: beneception, ncoception, dan neutroception. Beneception terjadi ketika rasa senang dibangkitkan oleh stimuli, sementara nociception terjadi akibat stimuli yagn membangkitkan rasa tidak menyenangkan. Tronland percay asensasi bisa digolongkan ke dalam satalh satu dari tiga kategori tersebut. Setnuhan cutaneous, audiusi, visi dan kinestesis dianggap sebagai neutroseptif. Nyeri,. Rasa pahit, rasa sain yang kuat, rasa asam yang kuat,bau yang menyebabklan mual dan muntah dan beberapa respon visveral. Sehingga menurut Troland, nilai hedonik dari sebauh obyek dalam lingkungan berkaitan erat dengan kualtias-kualtias sesnoris yagn dimliki dan efek-efek stimuli tersebut terhadap sistem sartaf dalam hal beneception, nociception atau neutroception.
Beebe-Center (1932) menyatakan bahwa kesenangan dan ketidaksenangan muncul sebagai ekstrim yagn bertentangan pada kontinum, hedonik (Troland 1932, juga menayrankan ini).di antara ekstrim-estrim rasa menyenagnkan dan tidak menyenangkan terdapat zona netral di mana stimuli tidak menyenangkan atau menyenangkan. Beebe-Center menyatakan bawha sensasi menyenangkan dan tidak menyenangkan bergantng pada bagaimana rogan pengidnera bereaksi terhadap stimulasi. Reaksi-reaksi dari organ-orang erasa dalam satu car (yang dia sebuat sebagai tekanan cerah) menghasilkan perasaan menyenangkan sementara reaksi yagn berbeda menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Sehingga Beebe-Center percaya bahwa rasa menyenangkan dan tidak menyenangkan berasal dari beberapa tipe aktivitas berbeda dalam sistem sensoris. Sehingga Beebe-Center peraya bahwa rasa menyenagnkan dan tidak menyenangkan berasal dari tipe-tipe aktivitas yang berbeda dalam sistem snesori.s Beebe-Center juga merupakan salah satu ahli teori pertama yang mengakui bawha insturksi bisa mengubah krasa menyenangkan atau tidak menyenangkan dari suatu stimuli.

PT Young: Tanda, Intnesitas dan Durasi
Dari para ahli teori hedonik modern, Paul Thomas Young merupakan yang paling terkenal. Riset luas Young tehradp prefernesi makanan mendorongnya sepakat dengan Beebe-Center bawha ada sebuah kontinym dengan afek negatif maksimum (stimuli tak menyenangkan atau aversif) di satu sisi dan afek positif maksimum (stimuli meneynagnkan) di sisi lain. Menurut Young proses-proses afektif yagn direpresetnasikan oleh kontinum ini punya tiga ciri: tanda, intenstias dan durasi.
Afek positif dikaitkan dengan perilkau mendekati, sementara afek negatif dikaitkan dengan penghindaran. Sehingga kita bisa menentukan tanda situasi afektif tertentu dengan mengamati apakah organisme mendekati atau menghidnari situasi. Misalnya tikus akan mendekati dan minum cairan berasa manis tapi menghindari stelah kontak awal dengan minuman berasa pahit.
Proses-proses afektif juga memiliki intnesitas yang berbeda. Untuk mengamati perbedaan-perbedaan intensitas afektif dari beragam zat, para peneliti basanya menggunakan uji preferensi. Dalam sitausi dua-pilihan zat yagn dipilih dianggap lebih kaut daripada yagn tidak dipilih. Seseorang mungkin membandingkan larutan-larutan air gula yagn berbeda. Jika konsentrasi gula dalam air berbeda dalam dua botol itu, tikus akan memilih larutan yagn berkonsentrasi lebih tingi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar