Rabu, 13 April 2011

bab 3 (belum jadi)

Mekanisme Fisiologis Kegairahan

Menjelang akhir setiap semester, terjadi sebuah fenomena menarik. Para mahasiswa jatuh sakit. Pada awalnya saya menyebut fenomena ini berkaitan dengan usaha-usaha oleh mahasiswa tertentu untuk menghindari ikut ujian yang mungkin mendapatkan nilai lebihr endah daripada yang mereka duga. Etelah mngamati fenomena penyakit semester akhir ini dan mengamati fenomena serupa pada diri saya dan kolga saya selama mengalami stres akut, sayamenyimpulkanbahwa ini bukan sebuah upaya untuk menunda dampak stres yang tak terhindarkan. Bagi mahasiswa, stres-stres meningkat menjelang akhir semester ketika ujian dijadwalkan, proyek mendekati rambung, dan laporan-laporan atau makalah harus dikumpulkan. Bagi fakulas, stresstres lebih sering melibatkan tenggat untuk mengajukan artikel untuk publikasi, mempersiapkan proposal-proposal beasiswa atau mempersipakan jadwal-jadwal kuliah baru.
Pengamatan saya sendiri adlaah stres-stes ini berakumulasi hingga tubuh kita diserang flu atau penyakit lain.

Pendahuluan
Untungnya saya tidak sendiri dalam berpikir bahwa stres berkaitan dengan penyakit; banyak riset dilakukan yang menyatakan hubungan antara keduanya. Kami akan menguji beberapa riset pada akhir bab ini.
Stres sreing ditempatkan pada ujung ekstrim sebuah kontinum kegairahan. Jika level-level kegairahan terlalu rendah kita tidur – atau mungkin dalam kondisi koma. Level-lvel kegairahan sedang, ktia sadar dan waspada, sementara pad aujung kontinum adlaah kecemasan dan stres. Dalam bab ini kami menguji teori dan riset yang berusha menjelaskan perilau termotivasi oleh perubahan-perubahan kegairahan. Banyak riset berfokus pada mekanisme-mekanisme kegairahan otak.
Karena suatu alasan, bahasa-bahasa asing dan statis dan struktur-strutkur otak fisiologis memasukkan ketakutan ke dalam hati par asiswa. Yang paling umum dari ketiganya adalah struktur-sturktur otak fisiologis dan bahasa-bahasa asing ini menuntut para siswa untuk berfikir (dan menggunakan istilah-istilah baru yang asing) yang berbeda dari pendekatan normal mereka terhadap pembelajaran. Oleh karena itu bahan dalma bab ini dan bab berikutnya ditampilkan senon-teknis mungkin, meski istilah-istilah baru pembelajaran dan kadang-kadang tentang bagaimana perubahan apda aktivitas otak menyebabkan perubahan dalam perilkau akan diperluikan, karena semua hal yang bisa kita lakukan, setiap perilaku dari menyikat gigi hinga memecahkan persamaan-persamaan diferensial, adalah hasil dari aktivitas sistem saraf kita.
Dalam bab ini kami akan menguji die-ide dan riset-riset yang dikedepankan untuk menjelaskan kegairahan atau aktivtasi perilaku. Kami akan mulai dengan menguji gagasan-gagsaan wal bagaimanaotak menyelesaikan aktivitas ini lalu berlanjut ke teori-teori dan riset yang menunjukkan proses-proses otomatis otak (sistem saraf otonom) terlibat secara intom. Kami kemudian akan menguji secara deteil teori aktvitasi Hebb sebagia wakil dari pemikiran tentang kegairahan yang masih baru pada 1950an. Ini mendorong kita ke pengujian mekanisme kegairahan otak secara lebih detail,. Khususnya pada struktur yang disebut sistem aktivasi retikular. Kami akan menguji teori dan riset yang menyebutkan keterlibatan struktur ini dalam kegairahan (dari tidur hingga perhatian aktif) dan kemudian menguji informasi tentang satu aspek kegairahan – tidur.
Keadaan-keadaan kegairan tinggi menyebabkan stres, dan kami akan melihat riset yang mengindikasikan bahwa kegairahan tinggi atau stres mepengaruhi kemampuan kita untuk beradaptasi dengan lingkungan. Secara khusus kami akan menguji sindrom adaptasi umum Selye dan riset terbaru tentang stres dan kerentanan terhadap penyakit.
Kami akan menemukan bahwa konsep gelombang-gelombang emosi itu sendiri dan di luar riset dan yang biasanya sulit memisahkan motivasi, emosi dan kegairahan.

Formulasi-formulas awal kegairahan emosional
Sebelum publikasi artikel William James tentang emosi pada 1884, dirasakan bahwa kegairahan perilaku adlaah langakh terakhir dalam pross tiga langkah yang mulai dengan perspesi beberapa stimulus dan diwujudkan dalam perilaku. Gambar 3.1a menggambarkan rangkaian peristiwa-peritiwa yang berasal dari perspsi terhadap perilaku seperti dipahami sebelum 1884.

Teori James-Lange
James pada 1884 dan Lange pada 1885 secara terpisah mengusulkan bawha perasaan-perasaan emosi tidak muncul segera setelah perspesi-persepsi beberapa peristiwa dalam lingkungan tapi akibat respon-respon tubuh kita terhadap obyek. Pendekatan mereka dikenal sebagai teori emosi James-Lange. Bagi James pengalaman emosi terjadi sebagai berikut: perspesi sebuah stimulus lingkungan menyebabkan perubahan-perubahan pada tubuh yang kemudian diumpankan ke otak, menunjukkan kodnisi yang diubah. Perbahan kondisi fisik adalah pengalaman emosi. Dengan kata lain, persepsi kita tentang perubahan-perubahan tubuh menyebabkan pengalaman emosional. Rangkaian peristiwa-peristiwa yang menyebabkan persepsi terhadap perilaku ditunjukkan dalam gambar 3.1b.
Misalnya, jika sebuah mobil menyerempet kita ketika kita jogging di sepanajng sisi jalan, kita bereaksi dengan perubahan-perubahan pada tensi otot dan sekresi glandular, dan kita menjadi marah (mungkin dengan membuat gestur tertentu) – dalam urutan tersebut.
James berpikri bawah tanpa perubahan-perubahan tubuh, emosi tidak akan ada atau akan menjadi dingin atau terintelektualisasi (saya tahu saya semestinya marah, tapi saya tidak melakukannya).
Teori emosi James-lange sangat populer karena sesuai dengan anggapan umum dan secara umum disbeut “kebenaran” hingga WB Cannon (1929, 1968) mulai mempertanyakannya secara eksperimental. Berdasarkan risetnya, dia mengkritik teori James-Lange pada lima hal.
Pertama, Cannon berpendapat bahwa perubahan-perubahan tubuh yang diangap memberi feedback bagi otak dan memberikan kualtias emosional bagi pengalaman bisa dihilangkan sepenuhnya tanpa menggangu emosi-emosi sebuah organisme. Dia mendenervasi kucing sehingga tidak ada perubahan-perubahan tbuh yang terjadi. Kucing-kcuing tersbeut masih menunjukkan perilaku kemarahan normal dengan adanya seekor anjing yang menggonggong.
Yang kedua, Cannon mencatat perubahan-perubahan tubuh yang terjadi dalam keadaan-keadaan emosional sangat mirip tanap memperhatikan emosi yang ditunjukkan. Misalnya, dia mencatat bahwa dalam kondisi takut dan marah denyut jantung menjadi lebih cepat, gula darah meningkat, pupil mata melebar, dan rambut menjadi berdiri. Sehingga umpan balik dari jenis-jenis perubahan tersbeut tidak bisa menentukan kondisi emosional organisme. Dia mencatat bahwa perubahan-perubahan tubuh yang sama tersebut terjadi akibat perubahan-perubahan temperatur (pempaparan terhadap dingin atau panas ekstrim).
Ketiga, Cannon mengklaim bahwa organ-organ intenral (viscera) yang dianggap memberi umpan balik ke otak untuk pengalaman emosi buknalah struktur-struktur yang sangat sensitif. Jumlah serat saraf sensoris (aferen) yang berasal dari struktur-struktur tersebut (perut, usus, jantung dan sterusnya) seringkali hanya seper sepuluh dari jumlah serat-serat saaraf motor yang sampai ke mereka dari otak (eferen). Cannon mencatat kita biasanya tidak menyadari pergerakan dan perubahan organ-organ internal kita I(misalnya apa yang dilakukan susu kecil anda pada gerkaan ini?). Dia mencatat bahwa seseorang bisa memotong, membcorkan atau merusak atau bahan membakarn komponen-komponen sistem pencernaan tanpa ketidaknyamanan pada manusia yang tidak dianastesi – yang menyatakan bahwa organ-organ tersebut tidak berperan penting dalam memberikan umpan balik.
Keempat, Cannon merasa perubahan-peurbahan yang terjadi pada organ-organ internal terlalu lamban untuk memberikan pngalaman emosi. Dia mengamati bawha pengalaman emosi kadang-kadang langsung, tapi pemicu organ-organ itnernal dan umpan balik ke otak yang berkaitan dengna perubahan mereka bisa membutuhkan waktu beberapa detik. Cannon percaya kondisi emosi terjadi sebelum umpan balik dari viscera terjadi.
Kelima, Cannon mencatat bahwa induski buatan dari sebauh kondisi emosional yang dibangkitkan tidak menyebabkan perasaaan emosional. Sehingga injeksi adrenalin (sebuah hormon yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal selaam episode emosional) tidak membuat orang yang disuntik menjadi emosional, meskipun adrenalin mengubah fungsi-fugnsi tubuh dengan cara-cara yang berkaitan dengan emosionalitas. Sekitar 70% subyek yang disuntik melaorkan perasaan “seperti jika” mereka menjadi emosional tapi tanpa pengalaman emosional itu sendiri. Pada sekitar 30% dari kasus-kasus yang dipelajari oleh Maranon, emosi-emosi real dihasilkan, tapi hanya ketiak individu diinduksi ke sebuah kondisi emosional o dengan berbicara tentang anak mereka yang sakit atau orang tua mereka yang meninggal setelah mereka diinkeksi.
Lima kritk dari teori James-Lange mendorong Cannon mengusulkan sebuh teori emopsi alternatif yang disebut teori emergensi.

Teori Emergensi dari Kegairahan Emosional
Untuk memahami teori Cannon secara penuh, kita harus menguji secar asingkat sistem saraf otonom.

Sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom (ANS) terlibat dalam regulasi proses-proses vegetatif (Carlson 1977); yaitu, ANS mengontrol proses-proses yang tidak kita kontrol secara sengaja, seperti denyut jantung, kontstriksi pembuluh darah atau dilatasi pembuluh darah, sekresi glandular dan seterusnya. ANS terdiri atas dua subsistem, sistem saraf simpatetik dan parasmpatetik, yang cenderung memiliki efek bertentangan terhadap tubuh. Sistem saraf simpatetik (SNS) paling aktif ketika cadangan-cadangan energi tubuh diperluas. Ketika diaktivasi, SNS menyebabkan meningkatnya aliran darah ke otot, sekresi adrenalin (saat ini istilah epineprin lebih sering dipakai) dari kelenjar-kelenjar adrenalin, meningkatnya denyut jantung, dan pelepasan gula darah tambahan oleh liver. SNS secara umummempersiapkan organisme untuk menangani situasi-situasi darurat seperti serangan atau melarikan diri.
Sistem saraf parasimpatetik (PNS) paling aktif ketiak tubuh berada dalam proses menyimpan energi untuk dipakai nanti. Ini menruunakn denyut jantung, melebarkan pembuluh darah dan menyebabkan aliran saliva ke mulut ketika seseorang makan. Ini juga meningkatkan aktivitas intestinal dan perut dan megn arahkan aliran darah menjauh dari otot-otot ke sistem pencernaan. Sistem ini paling katif ketika kita diam dan berelaksasi setelah makan besar.
ANS juga mengontrol sistem endocrine, yang terdiri atas kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah (kelenjar pituitary, tiroid dan adrenal). Sistem ini akan dibicarakan nanti ketika kami menguji hubungannya dengan stres.
SNS dan PNS tidak bekerja secara bertentangan satu sama lain, karena organ-organ yang mereka masuki seringkali berbeda. Karena itu sangat bermanfaat untuk memandangnya berbeda satu sama lain dari sudut pandangn motivasional – yang tidak bisa dilakukan oleh Cannon.
Cannon percaya emosi dikaitkan dengan aktivasi SNS. Dia berpendapat bawha kontrol emosi didasrakan pada struktur otak yang disebut thalamus, yang menerima inforamsi dari beragam idnera di seluruh tubuh dan lokasinya seperti pada gambar 3.2. meskis aat ini kita yakin thalamus hanya satu dari beberapa struktur yang terlibat dalam perilaku emosional,. Sebuah struktur yang terletak sangat dekat dengannya, yang disebut hipotalamus (gb 3.2) juga penting. Kami akan menguji peran motivasional dan emosional dari hipotalamus secara lebih detail pada bab 4.
Cannon mengusulkan bahwa beragam pola respon emosional (misalnya kemarahan dan ketakutan0 diaktivasi oleh thalamus ketiak informasi sensoris eksternal yang diterimanya disebarkan ke korteks. Dia berpendapat perilaku-perilaku emosionla yang diaktivasi oleh thaamus terus diperiksa oleh korteks (lihat gambar 3.2). ketiak korteks menerima inforamsi sensoris yang seusai, korteks melepaskan thalamus untuk memicu respon-respon emosional. Canon beranggapan thalamus juga bertanggungjawab untuk aktivasi SNS yang menyebabkan perubahan-perubahan tubuh yang dianggap sangat penting dalam teori James-Lange. Sehingga Cannon melihat ekspresi emosi bertepatan dengan aktivagsi tubuh, bukan hasil dari aktivasi tubuh (gb. 3.1).

Teroi Emosi Kognitif-Fisiologis Schachter
Stanley Scachter mengusulkan sebuah teori emosii yang melibatkan kegairahan fisiolgosi dan atribusi-atribusi kognitif (Schachter, 1964; Schachter & Singer 1962). Pada dasarnya teori ini berasumsi kegairah fisiologis dan label kognitif perlu untuk pengalaman emosi penuh. Jika keduanya tidak ada, kondisi subyektif yang dialami akan tidak lengkap. Seprti disebutkan oleh Cornelius (1991), model Scahcter sangat mirip dengan model emosi yang diusulkan oleh Maranon pada 1924 yang sebagian besar diabaikan oleh para psikolog pada eranya.
Schachter dan Singer mencurahkan pengalaman baru untuk menguji ide bahwa kegirahan dan pelabelan kognitif penting bagi pengalaman emosi. Dalam sebagaian besar kondisi-kondisis ehar-hari kegairahan fisiologis yang terjadi dijelaskan oleh situasi, sehignga kita tidak memahami label kognitif dan kegairahan sebagai dua hal yang berbeda. Apa yang akan terjadi jika subyek dibangitkan secara artifisial melalui injeksi sebuah zat yang biasanya ada ketika seseorang dalam kondisi terbangkitkan? Mereka menduga bahwa subyek yang mengalami kegairahan fisiologis di mana tidak ada penjelasan yang cukup akan mencari lingkungan mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang bisa membantu mereka menyebutkan kegairahan yang mereka rasakan.
Para subyek pria yang berpartisipasi dalam ekspeirmen ini diberitahu bawha eksperimen ini melibatkan efek-efek suplemen tivitamin abru terhadap penglihatan. Suplemen ini diberikan dengan cara disuntikkan, setlah itu subyek akan menunggu 20 menit agar suplemen ini bekerja lalu memberikan sebuah uji penglihatan. Sebenarnya injeksiini adalah epinephrine (zat kimia yang dilepaskan oleh tubuh selama kondisi bergairah yang menyebabkan perubahan denyut jantung, pernapasan, kemerhaan dan tremor pada tangan) atau larutan garam yang tidak berbahaya (larutan placebo). Bebeapa subyek diberitahu apa yang diharapkan dari injeksi epinephrine, sementara kelompok lain tidak diberitahu bawha kaki mereka akan terasa mati dan mereka mungkin meraskaan gatal dan sedikit sakit kepala. Kelompok subyek ketiga tidak diberi informasi tentang apa yang diharapkan dari injeksi epinephrine. Subyek dalam kondisi placebo juga tidak diberi informasi tentang injeksi ini.
Untuk memb erikan label kognitif yang diinduksi secara eksperimental. Separuh subyek dari setiap kelompok menunggu untuk menjalani tes mata di sbeuah ruangan bersama subyek lain yang bertindak sebagai euforik (memainkan pesawat kertas, melempar kertas, menggunakan hula hoop) atau marah (saat akan disuntik, saat mengisi kuesioner, dan saatnya mengisi kuesioner dan keluar dari uangan). Tujuh kelompok dan kondisi yang dijalankan adalah sebagai berikut:
Euforia, diberitahu tentang epineprin, tidak mempedulikan epineprin, tidak tahu tentang epineprin, placebo
Marah, diberitahu epineprin, tidak peduli epineprin, placebo.

Schacthter dan Singer menduga bahwa kondisi diberitahu tentang epineprin tidak menimbulkan pengalaman emosi euforia atau kemarahan karena subyek-subyek tersebut mestinya mampu menyebutkan perubahan-perubahan tubuh yang mereka alami pada injeksi epineprin. Demikian juga kondisi placebo tidak boleh mendorong banyak pengalaman emosional karena seharusnya tidak ada kegairahan fisiologis. Baik mereka yang mengabaikan epinephrine dan mereka yang tidak tahu tentang epineprin bisa diperkirakan mencari petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan reaksi-reaksi tubuh yang mereka rasakan. Adanya peserta yang euforik atau marah seharusnya menyebabkan subyek menyebutkan pengalaman-pengalamannya sebagai euforia atau kemarahan. Dengan kata lain, in subyek diperbolehkan menyebut perasaan yang dia alami sebagai euforik atau marah.
Hasil-hasil eksperimen mendukung hipotesis Schachter dan Singer. Euforia atu kemarahan yang dialami oleh kelompok yang mengabaikan epineprin lebih besar daripada kelompok yang diberitahju epineprin. Demikian juga kelompok yang tidak diberitahu tentang epineprin menunjukkan euforia yang lebih beasr daripada kelompok yang diberitahu tentang epinperin. Satu problem pada hasil ini adalah subyek kondisi placebo mengalami emosi sedang tehradap kondisi yang diberitahu epineprin dan yang mengabaikan epineprin dan tidak berbeda dari kondisi yang mengabaikan epineprine. Schachter dan Singer percaya tidak adanya perbedaan antara kondisi yang mengabaikan epinephrine dan kondisi placebo berasal dari fakta bahwa beberapa subyek dalam kondisi mengabiakan epineprhine menyebutkan perasaan mereka terhadap injeksi, meski mereka belum diberitahu secara khusus bahwa injeksi tersebut akan menimbulkan efek. Subyek yang mengetahui dengan sendirinya mestinya kurang dipengaruhi oleh moidel euforik atau marah, dan efek dari konfederasi terhadap emosi mereka cenderung berkurang. Schachter dan Singer mampu menentukan subyek mana yang tahu sendiri lewat jawaban mereka terhadap sebuah pertanyaan terbuka. Ketika subyek tersebut dihilangkan dari analisis, kelompok yang mengabaikan epinephrine dan kelompok placebo sangat berbeda dalam hal emosionalitasnya.
Data Schachter dan Singer mendukung gagasan bahwa perasaan emosi subyektif memerlukan kegairahan fisiologis dan label kognitif yang menyebutkan kondisi yang dibangkitkan tersebut pada sebab-sebab tertebtu. Petunjuk-petunjuk untuk melabelkan kondisi fisiologis dibangkitkan dan kita belum punya penyelasan untuknya, kami kemudian menelusuri lingkungan kita untuk petunjuk-petunjuk yang akan emmbantu kami mengatributkan (melabelkan) kegairah yang kita alami.
Analisis Schachter tentang emosi menunjukkan bawha jika label kognitif muncul tanpa adanya kegairahan fisioologis, pengalaman emosi mestinya tidak lngkap. Pengalaman ini mungkin mirip dngan kemarahan dingin atau kondisi “sebagaimana jika; aitu oran merasa “sebagaiman jika” dia marah atau sedih tapi kondisi subyektif ini tidak menunjkkan perasaan meledak-ledak atas emosi ygn sebenarnya.
Salah satu cara untuk menguji kontribusi kegairahan fisiologis terhadap emosionalitas adalah mewawancari para psien dengan kerusakan spinal cord. Semakin dekat kerusakan spinal cord dengan otak, semakin kecil informasi yang tersedia untuk menilai kondiis kegairahan seseorang. Schachter (1964) menyebutkan sebuah studi yang dilkaukan oleh Hohmann (1962) yang menunjukkan bahwa semakin dekat kersaukan spinal dengan otak, semakin besar penurunan emosi. Penurunan emosionaltias ini berlaku juga pada kegirahan seksual, ketakutan, kemarahan dan rasa duka tapi tidak pada sentimentalitas. Beberapa korban kecelakaan juga measakan emosionalitas mereka lebih kognitif dan bersifat mental daripada sebelumnya. Meski demikain sebuah studi oleh Chwazllisz, Diener, dan Gallagher (1988) mendapatkan hasil-hasil dengan para pasien spinal cord yang mengkontradiksikan hasil Hohmann. Chwalisz et al menemukan bahwa para partisipan yang mengalami cidera spinal cord dalam studi mereka melaporkan eprasaan emosional yang lebih kuat, khususnya emosi ketakutan. Seperti mereka catat (Chwalisz et al 1988 hal 825) “hasil-hasil kami tidak mendukung bentuk-bentuk yang lebih kuat dari teori-teori bebrasis kegairahan otonom tentang emosi. Teori-teori tesebut menyatakan bahwa perspesi kegaiahan otonom merupaka omponen esnesial emosi dan pengalaman emosi tidak bisa tejradi tanpanya.
Dalam banyak hal model emosi Scachter merupakan okmbinasi dan omdifikasi dari teori James-Lange dan teori emergensi emosi Cannon. Teori Schachter, seperi teori James-Lange, mengusuilkan bahw aperubahan-perubahan tubuh terlibat dalam pengalaman emosi. Dengan cara sperti Cannon, Schachter jug amengusulkan bahwa itnerperasi sebuah persitiwa penting bagi pengalaman emosi penuh. Tapi Scahchter melampaui teri-teori sebelumnya dalam mengusulkan peurbahan fisilogis danpelabelan kogntif perlu untuk pengalaman emosi penuh. Model Schachter terbukti populer sejak diperkenalkan pada 1964. selain tujuan awalnya sebagai penjelasan emosi, teori ini jgua memperlaus badan liteartur tentang misatirbusi kegairahan, khsusnya sebagai misatribusi yang berkaitan dnegan reduksi ketaktuan dan kcemasan. Kami akan menguji beberapa aspek riset misatribtsi dalam bab 11.
Meski teori Scahcter memiliki beberapa lini baru riset, dukungan abgi teori inis endiri kurang begitu besar. Cotton (1981) meninjau riste tentang model ini dan mencaat bahwa studi asli yang menajdi dasar model ini pada atas dasar empiris dan metodologisnya. Selain itu beberapa usaha untuk meniru studi Scahcter dan Singer tidak berhasil, meski Edmann dan Janke (1978) memberi dukungan tas model ini dari riset mereka. Riset oleh Lazarus (1968) dan Weiner, Russell dan Leman (1978) menyatakan bahwa komponen okgnitif saja mungkin penting dan cukup bagi kegairahan emosi. Seperti dibuktikan dalam poin ini, terdapat debat yang besar dia ntara para psikolog tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk memantik emosi. Selama bebearpa dekade yang lalu, analisis emosi semakin menekankan komponen kognitif. Apakah kognitif saja akan memberikan penjelasan emosi yang memadai masih perlu dibuktikan lagi, namun banyak yang diketahuis aat ini tentang kegairahan menumbuhkan riset tenatng fisiologi emosi.

Teori kegairahan
Pendekatan kegairahan cenderung menekankan organisme secara kesleuruhan dan berpenapat bahwa kita bisa memahami perilaku dengan cara paling baik dengan memahami bagiamana organisme teraktivasi.
Ide dasa ryang mendasari teori kegairahan adalah kita memahami emosi dan motivasi dengan memandangnya pada sbeuah kontinum aktivasi perilaku. Kontinum iniberskisar dari level-level kegairahan rendah (koma atau tidur) hbignga level-level yang sangat tinggi (kemarahan). Teori kegairahan mengangap emosi sebagai akibat dari level kegairahan individu.
Teori kegairahan berasumsi bawha perilaku akan berubah ketika kita lebih terbgairahkan. Beberap a perubahan dalam kegairahan, seperti dari tidur menjadi bangun penuh, akan menyebabkan menignkatnya efisiensi performa, tapi perubahan-eperubahan kegairahan lain dari bangun sadar hingga emosi kegairahan emosi ekstrim, akan menganggu respon efisien. Pemikiran ini menunjukkan bawha l evle kegairaan optimal mucnul di mana perikau akan menjadi paling efiisen, seperti digambarkan pada gambar 3.3.
Kurva dalam gambar 3.3 disebut sebuah fungsi Uterbalik dan mengindikasikan meningkatnya kegairahan akan memperbaiki performa hanya hinga pada suatu poin, setelah itu akan terus menurun hinga mengganggu respon. Hubungan kegairahan-performa ini, kadang-kadang disebuthukum yerkes-Dodson, bisa dilihat dengan mudah. Untuk belajar secara obektif bagi sebuah ujian, kita harus cukup tergairahkan; di sisi lain, jika kita menajdi terlalu emosional dengan ujian tesebut, kecemasan kita bsiamenggangu proses belajar kita hingga kita tidak bisa mempelajari materi tersebtu.
Hokanson (1969) mencatat bahwa hubungan yang diusulkan dia ntara perforam dan kegairahan bisa berlaku bagi suatu tipe tugas tertentu saja. Misalnya Freeman (1940) mendapatkan fungsi U terbalik dia tara kegairahan (seperti diukur oleh konduktansi kulit) dan waktu reaksi, tapi Hokanson tidak mendapatkan fungsi U terbalik untk tugas-tugas seperti pencpcpkan simbol dan pembentukan konsep. Sehingga hubungan antara kegirahan dan perilaku nampak lebih kompleks dan spesifik tugas daripada yang diindikasikan oleh teori kegairahan.
Jika emosi dan motivasi berasal dari aktivitasi sistem saraf, seperti disarnakan teori ekgariahan, kemungkinan terdapat struktur-struktur dalam sistem saraf yang memicu aktivasi ini. Bremer (1937) menunjukkan jika kita memotong melalui batang otak seekor binatang di antara meulla dan spinal cord (gambar 3.4), binatang terus menjalanis iklus tidur-bangun normalnya meski tubuhnya kekurangan semua jaringan otak kortikal tinggi (bremer menyebut preparsi in iencephale isole). Di sisi lain, jika kita memotong lebih tinggi batang otak pada level colliculi, siklus tidur-bangun dihilangkan dan binatang tidur secara konstan, tidak menunjukkan bangun spontan (disbut cerveau isole).
Secara bersamaan, hasil-hasil dua potongan Bremer ini menyatakan bawha beberapa sturktur otak (struktur-struktur oz) yang terletak di antara dua potongan ini bisa mengontor perubahan-perubahan pada level kegairahan yang terlibat dalam gerakan-gerakan dari tidur ke bangun. Lebih lanjut, sebuah struktur mungkint ereltak berdekatna dengan pons (gambar 3.4).

Sistem Aktivasi Retikular
Teori kegairahan mendapatkan dukungan besar dengan penemuan Moruzzi dan Magoun (1949) tentang peran sistem atkivasi retikular dalam kegairahan. Sistem aktivasi retikular (RAS) adalah sekelompok neuron (sel-sel saraf) yang terlaetak pada inti sentral batang otak, yang berjalan dari level medulla hingga thalamus, seperti ditunjukkan pada gamba 3.4 (Carlson 1977). MORuzzi dan Magoun menemukan bahwa stimulsi listrik RAS menyebabkan perubahan aktivitas listrik korteks (dicatat oleh elektroencepahogram atau EEG) yang tidak bisa dibedakan dari perubahan-perubahan yang terlihat keitka stimuli eksternal (misalnya kebisingan keras) muncul. Untuk memahami peran RS dalam kegairahan, kita harus menguji secar singkat apa yang ditunjukkan oleh EEG.
Seseorang yang tidur tenang menunjukkan pola regular aktivitas listrikortikal yangibsa diukur dengan EEG. Aktivitas listirk sel-sel dalam kodnisi rileks ini terjadi pad waktu yang sama (yaitu besifat sinkronis dan menyebbakan pola aktivtias listirk yang dikenal sebagai gelombang alaf. Jikakita akan membuat suara keras, indivdiu akan membuka mat adan melihat sekelilingse cara waspada, dan pola EG selama perilaku waspada ini sangat berbeda. Sel-sel korteks cenderung bisa diaktivasi secar indpeneden satu sama laiN (mereka didisinronisasi) yangmenyebabkan pola-pola EEG baru yang disbeut gelombagn-gelombang beta. Gelombang0gelombang beta dikaitkan dengan kodnisi sadar, atentif dan tergairahkan sheingag individu siap menangani perubahan-perubahan dalam lingkugan.
Moruzzi dan Magoun (1949) menemukan bahwa stimulasi RAS menyebabkan atkvitas gelombagn beta seperti halnya stimuli lingkunga. Oleh karena itu cuup masuk akal bila RAS juga bertanggungjawab untuk aktiviasiorganisme. Dukungan bagi ide ini diberikan dalam beragam cara. Pertama, RAS mendapatkan input sensoris dari sistem-sistem sesori eksterndan dari otot-otot organ intenral da (Hokanson 1969); sehingga ini memerlukan input yang diperlukan untuk memicu kegairahan. Kedua, Lindsley (1951) memotong semua struktur otak di sekliling RAS pada binang eksperimetnal dan menemuaknbiatang ini masih menunjukkan siklus tidur-bangunnormal. Tapi ketika dia emotong RAS, yang menyebabkans emua hal utuh, hasilnya adalah binatang tidur secara permanen, seperti pada preparasi isole cervau primer. Yang terakhir, RAS terbukti mengirimkan serat-serats ecara menyebar ke seluruh korteks. Oleh karenaitu RAS merupakans truktur otak yang berfungsi membangkitkan organisme dari tidur ke kodnisi bangun dan meurpakan mekanisme yang menentukan di mana pad kontinum kegairahan kita menemukan diri kita.
Penemuan peran RAS pada kegairahan mendorong para ahli teori aktivasi berpendapat bawha emosi dan motivasi sama dengan kegirahan kortikal. Mungkin salah satu teori pemikirant erbaik dikedepankan oleh Donald Hebb(1955).

Teori Hebb
Hebb percaybahwa informasi sensoris memilki dua tujuan: memberikan informasi, atau apa yang dia sebut sebagai fungi petunjuk dari sebuah stimulus dan membangitkan inividu (fungsi kegairahan). Jika korteks individu tidak dibangkitkan, fungsi petunjuk dari sebuah stimlus tidak akan erdampak (ktia tidak bereaski terhadap sura mobil yang lewat ketika kita tidur karena korteks tidak dibangkitkan oelh RAS).
Stimuli sensoris yang dibawa oleh seseorang dikirm ke RAS dan korteks lewat thalamus. Hebbpercay abahwa efek stimulis terhadap level RAS adalah mengaktivasi atua membangkitkan korteks sehignga informasi stimulus yang berasal dari thalamus bisa diproses oleh korteks. Motivasi bagi Behh adlah aktivasi korteks oleh RAS.
Juga diketahui bahwa korteks mengirimkan sreat-serat ke bawha ke RAS (Magoun 1963). Sehingga korteks bisajuga mengaktivasi RAS dan menjaga kegairahan tetap tinggi bahkan ketika stimulasi eksternal atau internal rendah. Koneksi downsteream dari korteks ke RAS inibisamemberikan penjelasan yangmungkin untuk bagamana pemikiran bsia memotivasi perilaku. Misanya, berbaring di rancjang dan berpikir tentang ujianbesok akan mengaktivasi RAS seseorang yang pada gilirannya akan menaga koreteks tetap bangun, dan tidur menjadi sulit. Seingga piemikiran dan stiuli seksternal bisa menyebabkan kegirahan seseorang. Lebih banyhakr iset tentang aspek kegairan ini basi mebantu pemahaman kita tentang car pkikiran kita mempengaruhi perilaku.

Ukuran-ukuran psikofisiologis
Teori kegairahan didasrakan pada asumsi bawha seseorang bisa mengukrukegairahan dengan memantau aktivitas otak atau perubahan-perubahan pada sistem saraf otonom dan mengkorelasikannya dengna peurbahan-perubahan pada perilaku. Para peneliti menemukan korelasi tersebut bersifat minimal (meski biasanya positif). Tidak adanya korelasi substansisl l dia ntara indeks=indeks kegairahan yagnberbeda menimbulkan problem bagi teori kegairahand an mendorogn Lacey (1967) mengusulkan ada lebih dari satu tipe kegairahan. Shingga kitabisa melihat kegirahan perilaku seperti yang diindikasikan oleh organisme yang merespon, kegairahan otonom yang ditunjukkan oleh peurbahan-perubahan pada fungsi tubuh, atau kegairahan kortikal yang dibuktikan oleh gelombang otak yang cepat dan tidak sinkrun. Lacey mengusulkan bahwa meski tiga kegairahan ini bseringkali muncul bersamaan, kegiairahan ini tidak harus independen. Dia mencatat, bahwa zat-zat kimai tertentu menghasilkan aktiitas EG yang berkaitand engan tidur pada kucing dan anjing, yang bagaimanapun merepson secar normal. Zat-zat kimia lain (misalnya physostigmine) menghasilkan aktivitas EEG seperti pada binatang yang bangun tapi binatang bertindak seakan mengantuk. Para pasien commatose kadang-kadan gmenunjukkan EEG normal dan respon normal kadang ditemukan pada orang-orang dengan EEG seperti tidur. Lacey juga melaporkan beberapa studi yang menunjukkan kadang-kadang terdapat sedikit hubngan atnara aktivitas sistem saraf pusat dan perubahan-perubahan otonom. Akibat dari problem ini dia mengusulkan situasi-situasi yang berbeda menghasulkan pola-pola respon somatis yang berbeda (denyut jantung misalnya).
Feedback dari perifreral tubuh juga penting pada model kegairahan Lacey. Misalnya, dia melaporkan riset yang menunjukkan distensi sinus karotid (mekanisme di mana arteri karotid) menyebabkan aktivitas EEG berubah dari aktivitas sadar, frekuensi tinggi hingga aktivtiasf rekuensi rendah biasanya berhubungan dengan tidur. Perubahan ini mengindikasikan bawha feedback adri beragam sistem tubuh bisa scara langsung mempengaruhi sistem kegairahan dan menyarankan bawha sistem tubuh juga berperan dalam durasi episode kegairahan.
Seabgai ringkasan, riset RAS mengindikasikan mekanisme fisiologis yang dilibatkan dalam kegairahan organisme. Siklus tidur-bangun dan perhatian sadar bagi lingkugan. Kesimpulan ini sangat cocok dengan konsep teori kegairahan motvasi dan emosi sebagai hal yang sama dengan kegairahan.

Problem-problem pada teori kegairahan
Sayangnya, beberapa rpblem pada teori kegairahant etap ada. Satu problem utama adalah tidak adanya hubungan yang kuat antara ukran-ukuran periaku, kortikal dan kegirahan otonom. Problem kedua yagn khusus dengan teori Lacey adalah ini mengasumsikan pola-pola respn tubuh yang berbeda, tapi ada perbedan-perbedaan yang eprlu ditunjukkan. Beberapa studi mengindikasikan bawha norepinephrine hormon adrenal bisa dikaitkan dengna kemahran atau agresi dan epineprin dengna ketakutan atau kecemasan (Schildkraut &* Kety, 1967).
Meski demikian karya lebih lanjut diperlukan utuk menentukan apakah teori Lacey bisamencakup emosi-emosi yang berbeda dalam hal pola-pola respon tubuh yang berbeda. Ayng menarik dalam hal ini adalah studi Ekman, Levenson dan Friesen (1983) yang mengndikasikan bahwa perubahan-perubahan pada aktivias otonom bisadipahami untuk emosi kelicikan, keamrahan ketakutan dan kesedihan ketika prosdur-prosedur kontrol cermat dipakai. Ekman dan rekan menyatakan bahwa perubahan-perumabahn otonom bisa dibangkitkan oleh kotnaksi otot-otot fasiel ke dalam sinyal-sinyaluniversal bagi emosi-emosi tersebut. pola-opla muskualr fasial bisa memberi pola respon tubuh yang berbeda serpti diduga teori kegairahan dan bisa mempertahnakan teori emosi James-Lange.
Problem lain dengan teori kegairahan adalah asumsi umum dari kegairahan kortikal, seprti dibuktikan oleh EEG yang mengindikasikans uatu kondisi emosional atau termotiasi. Seprti disebutkan Lacey, hubungan ini tidak selalu ditemukan. Jelas bahwa kegairahan kortikal sama dengan perilaku termotivasi; tapi meski jika kita mebuat asumsi ini, juga tidak jelas bagaimana kegarihanini mengarahkan perilaku. Satu problem akhir adalah asumsi bahwa pemahaman kegairahan hanya memerlukan pemahaman mekanisme fisiologis dasar. Ini mungkin tdiak benar. Pemahaman penuh tentang kegairahan juga memerlukan pegnetahuan faktor-faktor lingkungan dan sejarah organisme.
Riset yang berubungan dnegan teori ekgairahan menambah pemahaman kita tentang perilkau. Kegirahan muncul selama episode emosionald an orang-orang yagn tergairahkan secara emosional termotivasi. Tapi problem-problem utama pada teori kegarihan emosi dan motivasi tetap perlu dipecahkan. Riset saat ini menyatakan bawha okndiisi fisiologis yagnberbeda atau kesiemabgnan kimia yagn berbeda bisa menyertai beragam emosi. Agar teori kegairahan tetap hidup, kita harus mampu memahami tipe-tipe emosi berbeda yang diaktivasi.

Tidur
Sebagian besar teorikegairahan menganggap tidur sebagai tidak adanya kegairahan, atau kodnisi kegairahan rendah. Tapi tidur ius endiri terdiria tas lebih dari atu ondisi dan dalam beberapa hal menyerupaki aktivitas bangun. Setiap orang yagn mengalami masa terjaga panjang menyadari bahwa tidur bisa menjadi motif yagn kuat, yang mengesampingkan motif-motif seperti rasa lapar dan seks. Observasi ini didukung oleh riset yang mengindikasikan bahwa tidur menunjukkan karakteristik kondisi kebutuhan yagn termotivasi (Dement, 1972).
Riset tidur bisa dilacak kembali sejak akhir 1800an, tapi riset sistmatik hanya dimulai sejak studi-studi Nathaniel Kleitman pada awal 1920an (Kleitman, 1963). Banyak yagn diketahui tentang proses tidur, naun alasan tidur masih tetap kabur. Diketahui bahwa efek kurang tidur sangat spesifik pada tipe tugas yagn diperlukan dari individu yang kurang tidur. Webb (1986) menemukan bahwa tidak tidur selama 48 jam menyebabkan prblem memelihar performa pad tugas panjagn dan kompleks yagn emerlukan perhatian tinggi dan proses kognitif yagn tinggi. Tidak ada indikasi yagn jelas bahwa akurasi performa menurun. Dalam bagian berikutnya kami akan menyelidiki apa yagn diketahui tentang tidur, struktur-struktur fisiologis apa yang nampak dilibatkan dan beberapa fungsi tidur apa yagn diajarkan.

Ciri-ciri tidur secara umum
Kita menghabiskan sepertiga hidup kita dalam kondisi tidur. Tidur harus dianggap sebagai perilaku penting untuk dipahami. Meski sebagian besar waktu kita dihabiskan untuk tidu, terdapat variasi-variasi besar di antara individu dalam hal jumlah tidur yang diperlukan. Sementara sebagian besar orang tidur 7-8 jam per malam, beberapa lagi mampu tidur lebih lama atau lebih sedikit. Dement (1972) melaporkan studinya terhadap dua orang yagn tidur scara teratur kuragn dari 3 jam per malam tanpa mengalami efek sakit.
Anggapan umum menunjukkan bawha kita tidur ktika kita lelah. Ini tidak bisa membeirkan penjelasan yagn lengkap, karena orang-orang dibatasi pad 24 jam per hari akan tidur sama dengan yagn dihabiskan jika mereka aktif. Dement menyatakan bahwa kita mungkin tidur karena kita merasa paling tidak efisien pada waktu-waktu tertentu. Tubuh kita mengalami perubahan siklik yagn seringkali berkisar pada 24 jam; sikuls ini disetbu ritme circadian. Banyak ritme circadian beroperai pada bagian terendah siklus mereka selama tidur, dan Dement mengusulkan bawha tidur bisa melindungi kita dari terlibat dalam perilaku pada saat kita paling tidak efisien. Webb dan Agnew (1973) menyatakan bahwa tidur itu bersifat adaptif karena menjaga organisme dari merespon waktu yagn berbahaya taut idak perlu. Meddis (1975) mengusulkan hal yagn sama berdasarkan pada perspektif evolusioner. Beberapa lini riset menyatakan bawha ritme circadian dan tidur berhubugnan erat. Pemahaman yang lebih kompleit tentang peran ritme circadian dalam posestidur bisa terbukti berguna dalam mengobati gangguan tidur dan jet lag.
Binatang-binatang yang berbeda menghabiskan waktu tidur yang berbeda. Variasi ini nampak cocok dengan ide daya adaptif tidur Webb dan Agnew, karena binatang yang berbeda diperkriakan memilki durasi waktu yang berbeda.
Pada manusia waktu yang dihabiskan untuk tidur menurun seiring usia. Bayi berusia 3 hari tidur sekitar 14 hingga 16 jam sehari, sementara anak usia 5 tahun tidur 11 jam. Pad usia 20 tahun rata-rata orang tidur sekitar 6,5 hingga 7 jam per malam. Lebih lanjut, tidur orang-orang tua berbeda dari orang muda. Ancoli-Isreal dan Kripke (1991) mencatat bahwa orang-roagn lansia melaporkan bangun lebih lama selama malam dan lebih sering mengalami insomnia. Demikian juga Buysse dan kolega (1992) menemukan bwha subyek lansia sehat tidur siang lebih lama dan tidur malam lebih pendek dibandingkan orang dewasa muda. Slielman dan Herrera (1991) mel;aporkan bahwa orang lansia masih tidur sekitar 7 jam per hari tapi tidur ini lebih sering dilakukan di siang hari. Mereka juga melaporkan ada penurunan pada tidur tahap 3 dan tahap 4 (lihat bagian berikutnya) dengan usia dan penurunan ini nampak lebih parah pada pria daripada wanita.
Pertimbangkanbagaimana kita tertidur. Tertidur nampak terjadi secara bertahap; yaitu ktia nampak perlahan-lahan tertidur. EEG recording otak selama tidur menunjukkan perspesi kita tidak benar – kita tidur secara mendadak (Dement, 1972).
EEG merupakan alat yang kuat untuk membantu peneliti mepelajari tidur. Alat ini dipakai untuk mengidentifikasi tahap-tahap atau level-level tidur yang berbeda.

Tahap-tahap tidur
Seperti ditentukan oleh aktivitas listirk otak tidur berlangsugn lewat lima tahap selam malam. Aktivitas gelombagn alfa yang menandai kondisi terjaga rieks digantikan oleh gelobang cepat dan tak teratur dengan amplitudo rendah pada tahap 1 tidur, yagn berlangsugn selama 10 hingga 15 menit setelah jatuh tidur. Kemudian pola EEG mulai menunjukkan periode singkat tidur (gelombang 14 Hz/detik) dan subyek sekarangbeada pada tahap 2 tidur. Ketika tahap 2 berlanjut (sekitar 15 menit), amplitudo gelombang menjadi lebih beasr dan lebih lamban (1/2 hingga 3 ½ Hz/.detik). ketiak gelombang lamban ini menjadi cukup sering, orang disebut berada pada tahap 3 (15 menit). Tahap 4, di mana gelombang amplitudo tinggi dan lamban menjadi dominan, akan dicapai sektiar 30 hingga 45 menit setelah tertidur. Setelah beberapa saat pada tahap 5, pola EEG mulai berubah lagi ke tahap 3, lalu ke tahap 2 dan akhirnya ke tahap 5. pada tahap 5 mata individu biasnaya mulai bergerak dengan cepat di bawha kelopak mata, dan denyut otot, seprti diukur olehott rahang, sangat rendah. Tahap 5 umumnya disebut tidur REM (rapid eye movement) dan ini merupkaan waktu di mana mimpi terjadi (Webb & Agney 1973; Carlson 1977). Contoh-contoh dari beragam pola EEG tahap-tahap tidur ditunjukkan pada gambar 3.5.

Tidur REM dan NREM
Tidur tahap 1 hingga 4 umumnya disebut tidur NREM (non REM) karena gerakan-gerakan mata tidak terjadi pada tahap ini. Tidur NON-REM jgua kadang disebut tidur gelombang lamban untuk menyebutkan domiansi ampitudo tinggi, gelombang lamban (disebtu gelombang delta) dilihat pad tahap 3 dan 4.
Beberapa peneliti percaya bahwa tidur NREM melakuakn fugnsi retroatif, memberi peluang bagi tubuh untuk membangun kembali smberdaya. Kita tahu, tidur tahap 4 menurun seiring usia, menunjukkan penurunan tajam setelah usia 30 dan pada beberapa individu hilang bersamaan pada usia 50. hayashid an Endo (1982) juga menemuakn penurunan beassar pada tahap 3 dan 4 pada orang sehat. Hasil-hasil mereka menunjukkan pergesran kedepan REM ke arah bagian-bagian malam sebelumnya, mugking karena reduksi pada tahap 3 dan 4.
Mendengkur juga tejadi selama tidur NREM, dan orang yang terbangun pada tidur NREM biasanya tidak melaporkan mimpi. Dia melaporkan pemikrian random, biasanya non emosional, seperti pikiran-pikiran saat terjaga.
Waktu tidur tidak dibagi secara sama pada lima tahap tersbeut, juga tahap-tahap terebut tidak terjadi secara merata selama malam, seperti yagn terjadi ari diskusi tahap-tahap tidur sebelumnya. Periode tidur total hanya sekitar 5% dari tidur total dihabiskan pada tahap 1, sementara hampir 50% dihabiskan pada tahap 2. tahap 3 hanay menempati sekitar 6% dari waktu tidu total dan tahap 5 mencakup sekitar 14%. Tidur REM mencakup sekitar 25% dari waktu tidur.
Dari beragam tahap tersebut, tahap 4 dan REM paling banyak dipelajari. Bagian yang lebih besar dari tidur tahap 4 terjadi lebih dini di malam hari sementara tidur REM sebagian besar terjadi kemudian. Gambar 3.6 menunjukkan bagimana tahap-tahap tersebut berbah selama tidur di maalm hari.
Tidur REM ditemukan oleh Aserinsky dan Kleitman pada 1955 (lihat juga Aserinsky, 1987). Segera jelas bagi para penliti bahwa tidur REM berkorlasi dengan laporan-laporan mimpi. Misalnya, Dement (1972) mencatat bahwa laporan-laporan mimpi dari individu yang terjaga selama tidur REM adalah sekitar 80% sementara laporan bermimpi dari orang-orang yagn bangund ari tahap 4 hanya sekitar 7%. Ada kontroversi tentang persentase mimpi agn dilaporkan dalam tidur REM dan REM. Goodenough (1991), yagn mencatat tinjauan Foulkes (1966), Rechtschaffen (1967), dan Styva dan Kamiya (1968) menyimpulkan bahwa bermimpi bisa terjadi selama NREM dan di bawha kondisi-kondisi tertentu tidur REM terjadi ketika mimpi tidak terjadi. Sehignga penggunaan gerakan mata cepat sebagai satu-satunya indeks bermimpi tidak akurat seluruhnay. Kemungkinan terdapat perbedaan antara mimpi yagn dilaporkan dalam tidur REM dan NREM. Mimpi-mimpiREM lebih cendrurng aneh, emosional atau seperti nyata, sementara mimpi-mimpi selama tidur NREM lebih cenderung non emosional dan merupakan pemikiran random. Lebih lnajut, seperti dilaporkan oleh Goodenough (1991), karya beberapa kelompok peneliti menemukan bahwa frekuensi gerakan mata selama REM dikaitkand engan aktivitas yagn dilaporkan dalam mimpi-mimpi REM. Frekuensi gerakan mata juga nampak dikaitkan dengan keanehan mimpi dan intensitas dan emosionalitas mimpi-mimpi REM
Selama tidur REM aktivitas EEG korteks nampak sanga tmirip dengan aktivitas EEG yang ditemukan pada orang yang terjaga dan sadar. Sebenarna aktivitas EEG yang terjadi selaam tidur REM pada tikus tidak bisa dibedakan dari aktivvitas EEG saat mereka bangun (Jouvet 1976). Tapi meski aktivitas listrik korteks nampak dekat dengan perilkau bangun, mebangkitkan seseorang dari tidur REM sangat sulit. Karena itu tidur Rem kadang disbeut tidur paradoksial (paradoks di mana EEG nampak bangun, tapi stimulasi kuat diperlukan untuk membangunkan individu).
Selain gerakan mata cepat adlamt idur REM, jgua terjadi kehilangan nada otot skeletal. Ini disebabkan oleh hambatan neuron-neuron motor pada otak dan jumlah parlaisis temorer. Hilangnya nada otot merpakan indikator terbaikd ari REM atau tidur bermimpi. Tidur bREM biasanya terjadi sekitar sekali setiap 90 menit selama malam. Periode REM menajdi lebih lama selama malam sehingga pad pagi hari seseorang mungkinberada pada periode Rem selama 1 jam (Demen,t 1972).
Tidur REM, seperti tidur tahap 4, cenderung menurun seiring usia p; meski dmeikain tidu Rem menjadi stabil pad usia 20 dan tetap relatif konstan setelahnya. Bayi yang baru lahir menghabiskan sektiar 50% dari waktu tidur mereka dalam tidur REM, sementar adiketahui bayi prematur menghabiskan lebih dari 75% dari tidur mereka dalam kondisi REM. Tidurnya anak kucing, anak anjing dan anak tikus adalah 100% dari REM (Dement (1972) pada saat lahir. Semau temuant ersbeut mendorong Dement berspekulasi bahwa tidur REM bisa mengatur hubungan-hubugnand engan otak. Dalam mendukugn hipotesisnya, Dement mencatat bawha marmut yang lebih dewasa daripada anak kucing saat lahir menunjukkan tidur REM sangat sedikit.
Fakta bahwa binatang menunjukkan tidur REM dengan cara yang sama pad amanusia menimbulkan pertanyaan apakah binatang bermimpi. Meski ktia tahu bahwa tidur REM dan bermimpi berkorelasi pada manusia, tidak bisa diyakini ini juga terjadi pada speises lain. Sementara pertanyaan ini cukup rumit, saat ini belum ada jawaban yang benar. Pengetahuan kita ttnang prsoes-proses evolusioner mungkin mendukugn kemungkinan bawa beberapa binatang seperti primata dan mungkin juga anjing dan kucing bisa bermimpi.
Aspek yang paling menarik dari riset tidur REM adalah temuan bawha ini biasanya bertepatan dengan bermimpi. Untuk pertama kalinya, para ilmuwan mimpi bisa mulai mempelajari secara obyektif kondis imimpi yang sangat subyektif.

Mimpi
Meski beberapa orang tidak percaya mereka bermimpi, riset menunjukan setiap orang bermimpi. Ini bisa ditunjukkan dengan meminta tidur ”non-dreamer” selam beberapa malam sambil menghubungkannya ke aparatus EEG dan pada peralatn yang mengukue gerakan-gerakan mata dan nada otot. Nondreamer tertidurd an kadang memasuki periode aktivitas REM. Jika dibangunkan selama periode REM ini nondreamer meenmukan bahwa dia bermimpi seolah nyata.
Individu rata-rata menghabiskan sektiar 100 menit per malam dalam bermimpi. Sebaigan besar mimpi tidak diingat kecuali sesorang dibangunkan segera setelah mimpi itu muncul (Goodenough 1991). Ini mungkin mengapa kita cenderung menginga tmimpi yagnkita alami sebelum alarm mati tapi tidak ingat mimpi yang terjadi sebelumnya.
Riset menunjukkan meski sebagian beasr mimpi berlangsung singkat, tapi beberapa bisa berlangsugn selama satu jam (Dement, 1972). Sebagian besar mimpi terjadi dalam seting ehar-hari dan kadang-kadang tidak emosional sangat. Ketika emosi muncul dalam mimpi ini cenderung negatif; sekitar 65% mimpi emosional besifat negatif. Dement juga menvatat bahwa mimpi lebih awal di malam hari cenderugn menggambanrkanpeiristwa-perisitwa hari sebelumnya sementara mimpi yang lebih lambat lebih menggambarkan ingatan-ingatan yang tersimpan.
Suatu riset juga menyatakan bahwa mimpi berubah seiring usia (Herman & Showks 1984; Waterman 1991). Hermand an Shows menemukan dalam sebuah sampel 295 mahasiswa lulusan bahwa orang-orang yang lebih muda lebih sering mengingat mimpi daripada orang yag leih tua. Setelah mennjau beberapa studi survei dan laboratorium Waterman menyimpulkan bawha ”ingatan mimpi berkurang ketika orang menjadi dewasa.” lebih lnajut, Waterman menemukan terjadinya perubahan-perubahan isi mimpi di antar orang yang lebih muda dan lebih tua. Orang yang leih tua menunjukkan kurangnya keagresifan, keramahan dan emosi dalam mimpi mereka. Megnapa peruabhan ini terjadi seiring usia masih belum jelas – namun demikian tidur REM beurbah seiring dengan usia – waktu yang dihabiskand alam REM berkurang seiring usia dan Rem kurang stabil (Woodruff 1985) – dan peurbahan-perubahan pada REM ini bisa dikaitkand engan peurbahan-perubahan pada ingatan dan isi dari mimpi.

Kurang Tidur
Seperti dicatat seelumnay efek kuragn tidur berbeda-beda untuks etiap tipe tuas. Tugas-tugas pendek yang dilakukan di bahw amotivais yang cukp seringkali hanya menunjukkan efek-efek kecil dari kurang tidur. Tugas-tugas yang panjagn dan membosankan yang memerlukan motivasi tinggi menunjukkan defiist dalam m,enjaga perhatian (Webb 1986). dsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar