Jumat, 15 April 2011

Bab 3 Finish

Mekanisme Fisiologis Kegairahan

Menjelang akhir setiap semester, terjadi sebuah fenomena menarik. Para mahasiswa jatuh sakit. Pada awalnya saya menyebut fenomena ini berkaitan dengan usaha-usaha oleh mahasiswa tertentu untuk menghindari ikut ujian yang mungkin mendapatkan nilai lebihr endah daripada yang mereka duga. Etelah mngamati fenomena penyakit semester akhir ini dan mengamati fenomena serupa pada diri saya dan kolga saya selama mengalami stres akut, sayamenyimpulkanbahwa ini bukan sebuah upaya untuk menunda dampak stres yang tak terhindarkan. Bagi mahasiswa, stres-stres meningkat menjelang akhir semester ketika ujian dijadwalkan, proyek mendekati rambung, dan laporan-laporan atau makalah harus dikumpulkan. Bagi fakulas, stresstres lebih sering melibatkan tenggat untuk mengajukan artikel untuk publikasi, mempersiapkan proposal-proposal beasiswa atau mempersipakan jadwal-jadwal kuliah baru.
Pengamatan saya sendiri adlaah stres-stes ini berakumulasi hingga tubuh kita diserang flu atau penyakit lain.

Pendahuluan
Untungnya saya tidak sendiri dalam berpikir bahwa stres berkaitan dengan penyakit; banyak riset dilakukan yang menyatakan hubungan antara keduanya. Kami akan menguji beberapa riset pada akhir bab ini.
Stres sreing ditempatkan pada ujung ekstrim sebuah kontinum kegairahan. Jika level-level kegairahan terlalu rendah kita tidur – atau mungkin dalam kondisi koma. Level-lvel kegairahan sedang, ktia sadar dan waspada, sementara pad aujung kontinum adlaah kecemasan dan stres. Dalam bab ini kami menguji teori dan riset yang berusha menjelaskan perilau termotivasi oleh perubahan-perubahan kegairahan. Banyak riset berfokus pada mekanisme-mekanisme kegairahan otak.
Karena suatu alasan, bahasa-bahasa asing dan statis dan struktur-strutkur otak fisiologis memasukkan ketakutan ke dalam hati par asiswa. Yang paling umum dari ketiganya adalah struktur-sturktur otak fisiologis dan bahasa-bahasa asing ini menuntut para siswa untuk berfikir (dan menggunakan istilah-istilah baru yang asing) yang berbeda dari pendekatan normal mereka terhadap pembelajaran. Oleh karena itu bahan dalma bab ini dan bab berikutnya ditampilkan senon-teknis mungkin, meski istilah-istilah baru pembelajaran dan kadang-kadang tentang bagaimana perubahan apda aktivitas otak menyebabkan perubahan dalam perilkau akan diperluikan, karena semua hal yang bisa kita lakukan, setiap perilaku dari menyikat gigi hinga memecahkan persamaan-persamaan diferensial, adalah hasil dari aktivitas sistem saraf kita.
Dalam bab ini kami akan menguji die-ide dan riset-riset yang dikedepankan untuk menjelaskan kegairahan atau aktivtasi perilaku. Kami akan mulai dengan menguji gagasan-gagsaan wal bagaimanaotak menyelesaikan aktivitas ini lalu berlanjut ke teori-teori dan riset yang menunjukkan proses-proses otomatis otak (sistem saraf otonom) terlibat secara intom. Kami kemudian akan menguji secara deteil teori aktvitasi Hebb sebagia wakil dari pemikiran tentang kegairahan yang masih baru pada 1950an. Ini mendorong kita ke pengujian mekanisme kegairahan otak secara lebih detail,. Khususnya pada struktur yang disebut sistem aktivasi retikular. Kami akan menguji teori dan riset yang menyebutkan keterlibatan struktur ini dalam kegairahan (dari tidur hingga perhatian aktif) dan kemudian menguji informasi tentang satu aspek kegairahan – tidur.
Keadaan-keadaan kegairan tinggi menyebabkan stres, dan kami akan melihat riset yang mengindikasikan bahwa kegairahan tinggi atau stres mepengaruhi kemampuan kita untuk beradaptasi dengan lingkungan. Secara khusus kami akan menguji sindrom adaptasi umum Selye dan riset terbaru tentang stres dan kerentanan terhadap penyakit.
Kami akan menemukan bahwa konsep gelombang-gelombang emosi itu sendiri dan di luar riset dan yang biasanya sulit memisahkan motivasi, emosi dan kegairahan.

Formulasi-formulas awal kegairahan emosional
Sebelum publikasi artikel William James tentang emosi pada 1884, dirasakan bahwa kegairahan perilaku adlaah langakh terakhir dalam pross tiga langkah yang mulai dengan perspesi beberapa stimulus dan diwujudkan dalam perilaku. Gambar 3.1a menggambarkan rangkaian peristiwa-peritiwa yang berasal dari perspsi terhadap perilaku seperti dipahami sebelum 1884.

Teori James-Lange
James pada 1884 dan Lange pada 1885 secara terpisah mengusulkan bawha perasaan-perasaan emosi tidak muncul segera setelah perspesi-persepsi beberapa peristiwa dalam lingkungan tapi akibat respon-respon tubuh kita terhadap obyek. Pendekatan mereka dikenal sebagai teori emosi James-Lange. Bagi James pengalaman emosi terjadi sebagai berikut: perspesi sebuah stimulus lingkungan menyebabkan perubahan-perubahan pada tubuh yang kemudian diumpankan ke otak, menunjukkan kodnisi yang diubah. Perbahan kondisi fisik adalah pengalaman emosi. Dengan kata lain, persepsi kita tentang perubahan-perubahan tubuh menyebabkan pengalaman emosional. Rangkaian peristiwa-peristiwa yang menyebabkan persepsi terhadap perilaku ditunjukkan dalam gambar 3.1b.
Misalnya, jika sebuah mobil menyerempet kita ketika kita jogging di sepanajng sisi jalan, kita bereaksi dengan perubahan-perubahan pada tensi otot dan sekresi glandular, dan kita menjadi marah (mungkin dengan membuat gestur tertentu) – dalam urutan tersebut.
James berpikri bawah tanpa perubahan-perubahan tubuh, emosi tidak akan ada atau akan menjadi dingin atau terintelektualisasi (saya tahu saya semestinya marah, tapi saya tidak melakukannya).
Teori emosi James-lange sangat populer karena sesuai dengan anggapan umum dan secara umum disbeut “kebenaran” hingga WB Cannon (1929, 1968) mulai mempertanyakannya secara eksperimental. Berdasarkan risetnya, dia mengkritik teori James-Lange pada lima hal.
Pertama, Cannon berpendapat bahwa perubahan-perubahan tubuh yang diangap memberi feedback bagi otak dan memberikan kualtias emosional bagi pengalaman bisa dihilangkan sepenuhnya tanpa menggangu emosi-emosi sebuah organisme. Dia mendenervasi kucing sehingga tidak ada perubahan-perubahan tbuh yang terjadi. Kucing-kcuing tersbeut masih menunjukkan perilaku kemarahan normal dengan adanya seekor anjing yang menggonggong.
Yang kedua, Cannon mencatat perubahan-perubahan tubuh yang terjadi dalam keadaan-keadaan emosional sangat mirip tanap memperhatikan emosi yang ditunjukkan. Misalnya, dia mencatat bahwa dalam kondisi takut dan marah denyut jantung menjadi lebih cepat, gula darah meningkat, pupil mata melebar, dan rambut menjadi berdiri. Sehingga umpan balik dari jenis-jenis perubahan tersbeut tidak bisa menentukan kondisi emosional organisme. Dia mencatat bahwa perubahan-perubahan tubuh yang sama tersebut terjadi akibat perubahan-perubahan temperatur (pempaparan terhadap dingin atau panas ekstrim).
Ketiga, Cannon mengklaim bahwa organ-organ intenral (viscera) yang dianggap memberi umpan balik ke otak untuk pengalaman emosi buknalah struktur-struktur yang sangat sensitif. Jumlah serat saraf sensoris (aferen) yang berasal dari struktur-struktur tersebut (perut, usus, jantung dan sterusnya) seringkali hanya seper sepuluh dari jumlah serat-serat saaraf motor yang sampai ke mereka dari otak (eferen). Cannon mencatat kita biasanya tidak menyadari pergerakan dan perubahan organ-organ internal kita I(misalnya apa yang dilakukan susu kecil anda pada gerkaan ini?). Dia mencatat bahwa seseorang bisa memotong, membcorkan atau merusak atau bahan membakarn komponen-komponen sistem pencernaan tanpa ketidaknyamanan pada manusia yang tidak dianastesi – yang menyatakan bahwa organ-organ tersebut tidak berperan penting dalam memberikan umpan balik.
Keempat, Cannon merasa perubahan-peurbahan yang terjadi pada organ-organ internal terlalu lamban untuk memberikan pngalaman emosi. Dia mengamati bawha pengalaman emosi kadang-kadang langsung, tapi pemicu organ-organ itnernal dan umpan balik ke otak yang berkaitan dengna perubahan mereka bisa membutuhkan waktu beberapa detik. Cannon percaya kondisi emosi terjadi sebelum umpan balik dari viscera terjadi.
Kelima, Cannon mencatat bahwa induski buatan dari sebauh kondisi emosional yang dibangkitkan tidak menyebabkan perasaaan emosional. Sehingga injeksi adrenalin (sebuah hormon yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal selaam episode emosional) tidak membuat orang yang disuntik menjadi emosional, meskipun adrenalin mengubah fungsi-fugnsi tubuh dengan cara-cara yang berkaitan dengan emosionalitas. Sekitar 70% subyek yang disuntik melaorkan perasaan “seperti jika” mereka menjadi emosional tapi tanpa pengalaman emosional itu sendiri. Pada sekitar 30% dari kasus-kasus yang dipelajari oleh Maranon, emosi-emosi real dihasilkan, tapi hanya ketiak individu diinduksi ke sebuah kondisi emosional o dengan berbicara tentang anak mereka yang sakit atau orang tua mereka yang meninggal setelah mereka diinkeksi.
Lima kritk dari teori James-Lange mendorong Cannon mengusulkan sebuh teori emopsi alternatif yang disebut teori emergensi.

Teori Emergensi dari Kegairahan Emosional
Untuk memahami teori Cannon secara penuh, kita harus menguji secar asingkat sistem saraf otonom.

Sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom (ANS) terlibat dalam regulasi proses-proses vegetatif (Carlson 1977); yaitu, ANS mengontrol proses-proses yang tidak kita kontrol secara sengaja, seperti denyut jantung, kontstriksi pembuluh darah atau dilatasi pembuluh darah, sekresi glandular dan seterusnya. ANS terdiri atas dua subsistem, sistem saraf simpatetik dan parasmpatetik, yang cenderung memiliki efek bertentangan terhadap tubuh. Sistem saraf simpatetik (SNS) paling aktif ketika cadangan-cadangan energi tubuh diperluas. Ketika diaktivasi, SNS menyebabkan meningkatnya aliran darah ke otot, sekresi adrenalin (saat ini istilah epineprin lebih sering dipakai) dari kelenjar-kelenjar adrenalin, meningkatnya denyut jantung, dan pelepasan gula darah tambahan oleh liver. SNS secara umummempersiapkan organisme untuk menangani situasi-situasi darurat seperti serangan atau melarikan diri.
Sistem saraf parasimpatetik (PNS) paling aktif ketiak tubuh berada dalam proses menyimpan energi untuk dipakai nanti. Ini menruunakn denyut jantung, melebarkan pembuluh darah dan menyebabkan aliran saliva ke mulut ketika seseorang makan. Ini juga meningkatkan aktivitas intestinal dan perut dan megn arahkan aliran darah menjauh dari otot-otot ke sistem pencernaan. Sistem ini paling katif ketika kita diam dan berelaksasi setelah makan besar.
ANS juga mengontrol sistem endocrine, yang terdiri atas kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah (kelenjar pituitary, tiroid dan adrenal). Sistem ini akan dibicarakan nanti ketika kami menguji hubungannya dengan stres.
SNS dan PNS tidak bekerja secara bertentangan satu sama lain, karena organ-organ yang mereka masuki seringkali berbeda. Karena itu sangat bermanfaat untuk memandangnya berbeda satu sama lain dari sudut pandangn motivasional – yang tidak bisa dilakukan oleh Cannon.
Cannon percaya emosi dikaitkan dengan aktivasi SNS. Dia berpendapat bawha kontrol emosi didasrakan pada struktur otak yang disebut thalamus, yang menerima inforamsi dari beragam idnera di seluruh tubuh dan lokasinya seperti pada gambar 3.2. meskis aat ini kita yakin thalamus hanya satu dari beberapa struktur yang terlibat dalam perilaku emosional,. Sebuah struktur yang terletak sangat dekat dengannya, yang disebut hipotalamus (gb 3.2) juga penting. Kami akan menguji peran motivasional dan emosional dari hipotalamus secara lebih detail pada bab 4.
Cannon mengusulkan bahwa beragam pola respon emosional (misalnya kemarahan dan ketakutan0 diaktivasi oleh thalamus ketiak informasi sensoris eksternal yang diterimanya disebarkan ke korteks. Dia berpendapat perilaku-perilaku emosionla yang diaktivasi oleh thaamus terus diperiksa oleh korteks (lihat gambar 3.2). ketiak korteks menerima inforamsi sensoris yang seusai, korteks melepaskan thalamus untuk memicu respon-respon emosional. Canon beranggapan thalamus juga bertanggungjawab untuk aktivasi SNS yang menyebabkan perubahan-perubahan tubuh yang dianggap sangat penting dalam teori James-Lange. Sehingga Cannon melihat ekspresi emosi bertepatan dengan aktivagsi tubuh, bukan hasil dari aktivasi tubuh (gb. 3.1).

Teroi Emosi Kognitif-Fisiologis Schachter
Stanley Scachter mengusulkan sebuah teori emosii yang melibatkan kegairahan fisiolgosi dan atribusi-atribusi kognitif (Schachter, 1964; Schachter & Singer 1962). Pada dasarnya teori ini berasumsi kegairah fisiologis dan label kognitif perlu untuk pengalaman emosi penuh. Jika keduanya tidak ada, kondisi subyektif yang dialami akan tidak lengkap. Seprti disebutkan oleh Cornelius (1991), model Scahcter sangat mirip dengan model emosi yang diusulkan oleh Maranon pada 1924 yang sebagian besar diabaikan oleh para psikolog pada eranya.
Schachter dan Singer mencurahkan pengalaman baru untuk menguji ide bahwa kegirahan dan pelabelan kognitif penting bagi pengalaman emosi. Dalam sebagaian besar kondisi-kondisis ehar-hari kegairahan fisiologis yang terjadi dijelaskan oleh situasi, sehignga kita tidak memahami label kognitif dan kegairahan sebagai dua hal yang berbeda. Apa yang akan terjadi jika subyek dibangitkan secara artifisial melalui injeksi sebuah zat yang biasanya ada ketika seseorang dalam kondisi terbangkitkan? Mereka menduga bahwa subyek yang mengalami kegairahan fisiologis di mana tidak ada penjelasan yang cukup akan mencari lingkungan mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang bisa membantu mereka menyebutkan kegairahan yang mereka rasakan.
Para subyek pria yang berpartisipasi dalam ekspeirmen ini diberitahu bawha eksperimen ini melibatkan efek-efek suplemen tivitamin abru terhadap penglihatan. Suplemen ini diberikan dengan cara disuntikkan, setlah itu subyek akan menunggu 20 menit agar suplemen ini bekerja lalu memberikan sebuah uji penglihatan. Sebenarnya injeksiini adalah epinephrine (zat kimia yang dilepaskan oleh tubuh selama kondisi bergairah yang menyebabkan perubahan denyut jantung, pernapasan, kemerhaan dan tremor pada tangan) atau larutan garam yang tidak berbahaya (larutan placebo). Bebeapa subyek diberitahu apa yang diharapkan dari injeksi epinephrine, sementara kelompok lain tidak diberitahu bawha kaki mereka akan terasa mati dan mereka mungkin meraskaan gatal dan sedikit sakit kepala. Kelompok subyek ketiga tidak diberi informasi tentang apa yang diharapkan dari injeksi epinephrine. Subyek dalam kondisi placebo juga tidak diberi informasi tentang injeksi ini.
Untuk memb erikan label kognitif yang diinduksi secara eksperimental. Separuh subyek dari setiap kelompok menunggu untuk menjalani tes mata di sbeuah ruangan bersama subyek lain yang bertindak sebagai euforik (memainkan pesawat kertas, melempar kertas, menggunakan hula hoop) atau marah (saat akan disuntik, saat mengisi kuesioner, dan saatnya mengisi kuesioner dan keluar dari uangan). Tujuh kelompok dan kondisi yang dijalankan adalah sebagai berikut:
Euforia, diberitahu tentang epineprin, tidak mempedulikan epineprin, tidak tahu tentang epineprin, placebo
Marah, diberitahu epineprin, tidak peduli epineprin, placebo.

Schacthter dan Singer menduga bahwa kondisi diberitahu tentang epineprin tidak menimbulkan pengalaman emosi euforia atau kemarahan karena subyek-subyek tersebut mestinya mampu menyebutkan perubahan-perubahan tubuh yang mereka alami pada injeksi epineprin. Demikian juga kondisi placebo tidak boleh mendorong banyak pengalaman emosional karena seharusnya tidak ada kegairahan fisiologis. Baik mereka yang mengabaikan epinephrine dan mereka yang tidak tahu tentang epineprin bisa diperkirakan mencari petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan reaksi-reaksi tubuh yang mereka rasakan. Adanya peserta yang euforik atau marah seharusnya menyebabkan subyek menyebutkan pengalaman-pengalamannya sebagai euforia atau kemarahan. Dengan kata lain, in subyek diperbolehkan menyebut perasaan yang dia alami sebagai euforik atau marah.
Hasil-hasil eksperimen mendukung hipotesis Schachter dan Singer. Euforia atu kemarahan yang dialami oleh kelompok yang mengabaikan epineprin lebih besar daripada kelompok yang diberitahju epineprin. Demikian juga kelompok yang tidak diberitahu tentang epineprin menunjukkan euforia yang lebih beasr daripada kelompok yang diberitahu tentang epinperin. Satu problem pada hasil ini adalah subyek kondisi placebo mengalami emosi sedang tehradap kondisi yang diberitahu epineprin dan yang mengabaikan epineprin dan tidak berbeda dari kondisi yang mengabaikan epineprine. Schachter dan Singer percaya tidak adanya perbedaan antara kondisi yang mengabaikan epinephrine dan kondisi placebo berasal dari fakta bahwa beberapa subyek dalam kondisi mengabiakan epineprhine menyebutkan perasaan mereka terhadap injeksi, meski mereka belum diberitahu secara khusus bahwa injeksi tersebut akan menimbulkan efek. Subyek yang mengetahui dengan sendirinya mestinya kurang dipengaruhi oleh moidel euforik atau marah, dan efek dari konfederasi terhadap emosi mereka cenderung berkurang. Schachter dan Singer mampu menentukan subyek mana yang tahu sendiri lewat jawaban mereka terhadap sebuah pertanyaan terbuka. Ketika subyek tersebut dihilangkan dari analisis, kelompok yang mengabaikan epinephrine dan kelompok placebo sangat berbeda dalam hal emosionalitasnya.
Data Schachter dan Singer mendukung gagasan bahwa perasaan emosi subyektif memerlukan kegairahan fisiologis dan label kognitif yang menyebutkan kondisi yang dibangkitkan tersebut pada sebab-sebab tertebtu. Petunjuk-petunjuk untuk melabelkan kondisi fisiologis dibangkitkan dan kita belum punya penyelasan untuknya, kami kemudian menelusuri lingkungan kita untuk petunjuk-petunjuk yang akan emmbantu kami mengatributkan (melabelkan) kegairah yang kita alami.
Analisis Schachter tentang emosi menunjukkan bawha jika label kognitif muncul tanpa adanya kegairahan fisioologis, pengalaman emosi mestinya tidak lngkap. Pengalaman ini mungkin mirip dngan kemarahan dingin atau kondisi “sebagaimana jika; aitu oran merasa “sebagaiman jika” dia marah atau sedih tapi kondisi subyektif ini tidak menunjkkan perasaan meledak-ledak atas emosi ygn sebenarnya.
Salah satu cara untuk menguji kontribusi kegairahan fisiologis terhadap emosionalitas adalah mewawancari para psien dengan kerusakan spinal cord. Semakin dekat kerusakan spinal cord dengan otak, semakin kecil informasi yang tersedia untuk menilai kondiis kegairahan seseorang. Schachter (1964) menyebutkan sebuah studi yang dilkaukan oleh Hohmann (1962) yang menunjukkan bahwa semakin dekat kersaukan spinal dengan otak, semakin besar penurunan emosi. Penurunan emosionaltias ini berlaku juga pada kegirahan seksual, ketakutan, kemarahan dan rasa duka tapi tidak pada sentimentalitas. Beberapa korban kecelakaan juga measakan emosionalitas mereka lebih kognitif dan bersifat mental daripada sebelumnya. Meski demikain sebuah studi oleh Chwazllisz, Diener, dan Gallagher (1988) mendapatkan hasil-hasil dengan para pasien spinal cord yang mengkontradiksikan hasil Hohmann. Chwalisz et al menemukan bahwa para partisipan yang mengalami cidera spinal cord dalam studi mereka melaporkan eprasaan emosional yang lebih kuat, khususnya emosi ketakutan. Seperti mereka catat (Chwalisz et al 1988 hal 825) “hasil-hasil kami tidak mendukung bentuk-bentuk yang lebih kuat dari teori-teori bebrasis kegairahan otonom tentang emosi. Teori-teori tesebut menyatakan bahwa perspesi kegaiahan otonom merupaka omponen esnesial emosi dan pengalaman emosi tidak bisa tejradi tanpanya.
Dalam banyak hal model emosi Scachter merupakan okmbinasi dan omdifikasi dari teori James-Lange dan teori emergensi emosi Cannon. Teori Schachter, seperi teori James-Lange, mengusuilkan bahw aperubahan-perubahan tubuh terlibat dalam pengalaman emosi. Dengan cara sperti Cannon, Schachter jug amengusulkan bahwa itnerperasi sebuah persitiwa penting bagi pengalaman emosi penuh. Tapi Scahchter melampaui teri-teori sebelumnya dalam mengusulkan peurbahan fisilogis danpelabelan kogntif perlu untuk pengalaman emosi penuh. Model Schachter terbukti populer sejak diperkenalkan pada 1964. selain tujuan awalnya sebagai penjelasan emosi, teori ini jgua memperlaus badan liteartur tentang misatirbusi kegairahan, khsusnya sebagai misatribusi yang berkaitan dnegan reduksi ketaktuan dan kcemasan. Kami akan menguji beberapa aspek riset misatribtsi dalam bab 11.
Meski teori Scahcter memiliki beberapa lini baru riset, dukungan abgi teori inis endiri kurang begitu besar. Cotton (1981) meninjau riste tentang model ini dan mencaat bahwa studi asli yang menajdi dasar model ini pada atas dasar empiris dan metodologisnya. Selain itu beberapa usaha untuk meniru studi Scahcter dan Singer tidak berhasil, meski Edmann dan Janke (1978) memberi dukungan tas model ini dari riset mereka. Riset oleh Lazarus (1968) dan Weiner, Russell dan Leman (1978) menyatakan bahwa komponen okgnitif saja mungkin penting dan cukup bagi kegairahan emosi. Seperti dibuktikan dalam poin ini, terdapat debat yang besar dia ntara para psikolog tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk memantik emosi. Selama bebearpa dekade yang lalu, analisis emosi semakin menekankan komponen kognitif. Apakah kognitif saja akan memberikan penjelasan emosi yang memadai masih perlu dibuktikan lagi, namun banyak yang diketahuis aat ini tentang kegairahan menumbuhkan riset tenatng fisiologi emosi.

Teori kegairahan
Pendekatan kegairahan cenderung menekankan organisme secara kesleuruhan dan berpenapat bahwa kita bisa memahami perilaku dengan cara paling baik dengan memahami bagiamana organisme teraktivasi.
Ide dasa ryang mendasari teori kegairahan adalah kita memahami emosi dan motivasi dengan memandangnya pada sbeuah kontinum aktivasi perilaku. Kontinum iniberskisar dari level-level kegairahan rendah (koma atau tidur) hbignga level-level yang sangat tinggi (kemarahan). Teori kegairahan mengangap emosi sebagai akibat dari level kegairahan individu.
Teori kegairahan berasumsi bawha perilaku akan berubah ketika kita lebih terbgairahkan. Beberap a perubahan dalam kegairahan, seperti dari tidur menjadi bangun penuh, akan menyebabkan menignkatnya efisiensi performa, tapi perubahan-eperubahan kegairahan lain dari bangun sadar hingga emosi kegairahan emosi ekstrim, akan menganggu respon efisien. Pemikiran ini menunjukkan bawha l evle kegairaan optimal mucnul di mana perikau akan menjadi paling efiisen, seperti digambarkan pada gambar 3.3.
Kurva dalam gambar 3.3 disebut sebuah fungsi Uterbalik dan mengindikasikan meningkatnya kegairahan akan memperbaiki performa hanya hinga pada suatu poin, setelah itu akan terus menurun hinga mengganggu respon. Hubungan kegairahan-performa ini, kadang-kadang disebuthukum yerkes-Dodson, bisa dilihat dengan mudah. Untuk belajar secara obektif bagi sebuah ujian, kita harus cukup tergairahkan; di sisi lain, jika kita menajdi terlalu emosional dengan ujian tesebut, kecemasan kita bsiamenggangu proses belajar kita hingga kita tidak bisa mempelajari materi tersebtu.
Hokanson (1969) mencatat bahwa hubungan yang diusulkan dia ntara perforam dan kegairahan bisa berlaku bagi suatu tipe tugas tertentu saja. Misalnya Freeman (1940) mendapatkan fungsi U terbalik dia tara kegairahan (seperti diukur oleh konduktansi kulit) dan waktu reaksi, tapi Hokanson tidak mendapatkan fungsi U terbalik untk tugas-tugas seperti pencpcpkan simbol dan pembentukan konsep. Sehingga hubungan antara kegirahan dan perilaku nampak lebih kompleks dan spesifik tugas daripada yang diindikasikan oleh teori kegairahan.
Jika emosi dan motivasi berasal dari aktivitasi sistem saraf, seperti disarnakan teori ekgariahan, kemungkinan terdapat struktur-struktur dalam sistem saraf yang memicu aktivasi ini. Bremer (1937) menunjukkan jika kita memotong melalui batang otak seekor binatang di antara meulla dan spinal cord (gambar 3.4), binatang terus menjalanis iklus tidur-bangun normalnya meski tubuhnya kekurangan semua jaringan otak kortikal tinggi (bremer menyebut preparsi in iencephale isole). Di sisi lain, jika kita memotong lebih tinggi batang otak pada level colliculi, siklus tidur-bangun dihilangkan dan binatang tidur secara konstan, tidak menunjukkan bangun spontan (disbut cerveau isole).
Secara bersamaan, hasil-hasil dua potongan Bremer ini menyatakan bawha beberapa sturktur otak (struktur-struktur oz) yang terletak di antara dua potongan ini bisa mengontor perubahan-perubahan pada level kegairahan yang terlibat dalam gerakan-gerakan dari tidur ke bangun. Lebih lanjut, sebuah struktur mungkint ereltak berdekatna dengan pons (gambar 3.4).

Sistem Aktivasi Retikular
Teori kegairahan mendapatkan dukungan besar dengan penemuan Moruzzi dan Magoun (1949) tentang peran sistem atkivasi retikular dalam kegairahan. Sistem aktivasi retikular (RAS) adalah sekelompok neuron (sel-sel saraf) yang terlaetak pada inti sentral batang otak, yang berjalan dari level medulla hingga thalamus, seperti ditunjukkan pada gamba 3.4 (Carlson 1977). MORuzzi dan Magoun menemukan bahwa stimulsi listrik RAS menyebabkan perubahan aktivitas listrik korteks (dicatat oleh elektroencepahogram atau EEG) yang tidak bisa dibedakan dari perubahan-perubahan yang terlihat keitka stimuli eksternal (misalnya kebisingan keras) muncul. Untuk memahami peran RS dalam kegairahan, kita harus menguji secar singkat apa yang ditunjukkan oleh EEG.
Seseorang yang tidur tenang menunjukkan pola regular aktivitas listrikortikal yangibsa diukur dengan EEG. Aktivitas listirk sel-sel dalam kodnisi rileks ini terjadi pad waktu yang sama (yaitu besifat sinkronis dan menyebbakan pola aktivtias listirk yang dikenal sebagai gelombang alaf. Jikakita akan membuat suara keras, indivdiu akan membuka mat adan melihat sekelilingse cara waspada, dan pola EG selama perilaku waspada ini sangat berbeda. Sel-sel korteks cenderung bisa diaktivasi secar indpeneden satu sama laiN (mereka didisinronisasi) yangmenyebabkan pola-pola EEG baru yang disbeut gelombagn-gelombang beta. Gelombang0gelombang beta dikaitkan dengan kodnisi sadar, atentif dan tergairahkan sheingag individu siap menangani perubahan-perubahan dalam lingkugan.
Moruzzi dan Magoun (1949) menemukan bahwa stimulasi RAS menyebabkan atkvitas gelombagn beta seperti halnya stimuli lingkunga. Oleh karena itu cuup masuk akal bila RAS juga bertanggungjawab untuk aktiviasiorganisme. Dukungan bagi ide ini diberikan dalam beragam cara. Pertama, RAS mendapatkan input sensoris dari sistem-sistem sesori eksterndan dari otot-otot organ intenral da (Hokanson 1969); sehingga ini memerlukan input yang diperlukan untuk memicu kegairahan. Kedua, Lindsley (1951) memotong semua struktur otak di sekliling RAS pada binang eksperimetnal dan menemuaknbiatang ini masih menunjukkan siklus tidur-bangunnormal. Tapi ketika dia emotong RAS, yang menyebabkans emua hal utuh, hasilnya adalah binatang tidur secara permanen, seperti pada preparasi isole cervau primer. Yang terakhir, RAS terbukti mengirimkan serat-serats ecara menyebar ke seluruh korteks. Oleh karenaitu RAS merupakans truktur otak yang berfungsi membangkitkan organisme dari tidur ke kodnisi bangun dan meurpakan mekanisme yang menentukan di mana pad kontinum kegairahan kita menemukan diri kita.
Penemuan peran RAS pada kegairahan mendorong para ahli teori aktivasi berpendapat bawha emosi dan motivasi sama dengan kegirahan kortikal. Mungkin salah satu teori pemikirant erbaik dikedepankan oleh Donald Hebb(1955).

Teori Hebb
Hebb percaybahwa informasi sensoris memilki dua tujuan: memberikan informasi, atau apa yang dia sebut sebagai fungi petunjuk dari sebuah stimulus dan membangitkan inividu (fungsi kegairahan). Jika korteks individu tidak dibangkitkan, fungsi petunjuk dari sebuah stimlus tidak akan erdampak (ktia tidak bereaski terhadap sura mobil yang lewat ketika kita tidur karena korteks tidak dibangkitkan oelh RAS).
Stimuli sensoris yang dibawa oleh seseorang dikirm ke RAS dan korteks lewat thalamus. Hebbpercay abahwa efek stimulis terhadap level RAS adalah mengaktivasi atua membangkitkan korteks sehignga informasi stimulus yang berasal dari thalamus bisa diproses oleh korteks. Motivasi bagi Behh adlah aktivasi korteks oleh RAS.
Juga diketahui bahwa korteks mengirimkan sreat-serat ke bawha ke RAS (Magoun 1963). Sehingga korteks bisajuga mengaktivasi RAS dan menjaga kegairahan tetap tinggi bahkan ketika stimulasi eksternal atau internal rendah. Koneksi downsteream dari korteks ke RAS inibisamemberikan penjelasan yangmungkin untuk bagamana pemikiran bsia memotivasi perilaku. Misanya, berbaring di rancjang dan berpikir tentang ujianbesok akan mengaktivasi RAS seseorang yang pada gilirannya akan menaga koreteks tetap bangun, dan tidur menjadi sulit. Seingga piemikiran dan stiuli seksternal bisa menyebabkan kegirahan seseorang. Lebih banyhakr iset tentang aspek kegairan ini basi mebantu pemahaman kita tentang car pkikiran kita mempengaruhi perilaku.

Ukuran-ukuran psikofisiologis
Teori kegairahan didasrakan pada asumsi bawha seseorang bisa mengukrukegairahan dengan memantau aktivitas otak atau perubahan-perubahan pada sistem saraf otonom dan mengkorelasikannya dengna peurbahan-perubahan pada perilaku. Para peneliti menemukan korelasi tersebut bersifat minimal (meski biasanya positif). Tidak adanya korelasi substansisl l dia ntara indeks=indeks kegairahan yangberbeda menimbulkan problem bagi teori kegairahand an mendorogn Lacey (1967) mengusulkan ada lebih dari satu tipe kegairahan. Shingga kitabisa melihat kegirahan perilaku seperti yang diindikasikan oleh organisme yang merespon, kegairahan otonom yang ditunjukkan oleh peurbahan-perubahan pada fungsi tubuh, atau kegairahan kortikal yang dibuktikan oleh gelombang otak yang cepat dan tidak sinkrun. Lacey mengusulkan bahwa meski tiga kegairahan ini bseringkali muncul bersamaan, kegiairahan ini tidak harus independen. Dia mencatat, bahwa zat-zat kimai tertentu menghasilkan aktiitas EG yang berkaitand engan tidur pada kucing dan anjing, yang bagaimanapun merepson secar normal. Zat-zat kimia lain (misalnya physostigmine) menghasilkan aktivitas EEG seperti pada binatang yang bangun tapi binatang bertindak seakan mengantuk. Para pasien commatose kadang-kadan gmenunjukkan EEG normal dan respon normal kadang ditemukan pada orang-orang dengan EEG seperti tidur. Lacey juga melaporkan beberapa studi yang menunjukkan kadang-kadang terdapat sedikit hubngan atnara aktivitas sistem saraf pusat dan perubahan-perubahan otonom. Akibat dari problem ini dia mengusulkan situasi-situasi yang berbeda menghasulkan pola-pola respon somatis yang berbeda (denyut jantung misalnya).
Feedback dari perifreral tubuh juga penting pada model kegairahan Lacey. Misalnya, dia melaporkan riset yang menunjukkan distensi sinus karotid (mekanisme di mana arteri karotid) menyebabkan aktivitas EEG berubah dari aktivitas sadar, frekuensi tinggi hingga aktivtiasf rekuensi rendah biasanya berhubungan dengan tidur. Perubahan ini mengindikasikan bawha feedback adri beragam sistem tubuh bisa scara langsung mempengaruhi sistem kegairahan dan menyarankan bawha sistem tubuh juga berperan dalam durasi episode kegairahan.
Seabgai ringkasan, riset RAS mengindikasikan mekanisme fisiologis yang dilibatkan dalam kegairahan organisme. Siklus tidur-bangun dan perhatian sadar bagi lingkugan. Kesimpulan ini sangat cocok dengan konsep teori kegairahan motvasi dan emosi sebagai hal yang sama dengan kegairahan.

Problem-problem pada teori kegairahan
Sayangnya, beberapa rpblem pada teori kegairahant etap ada. Satu problem utama adalah tidak adanya hubungan yang kuat antara ukran-ukuran periaku, kortikal dan kegirahan otonom. Problem kedua yang khusus dengan teori Lacey adalah ini mengasumsikan pola-pola respn tubuh yang berbeda, tapi ada perbedan-perbedaan yang eprlu ditunjukkan. Beberapa studi mengindikasikan bawha norepinephrine hormon adrenal bisa dikaitkan dengna kemahran atau agresi dan epineprin dengna ketakutan atau kecemasan (Schildkraut &* Kety, 1967).
Meski demikian karya lebih lanjut diperlukan utuk menentukan apakah teori Lacey bisamencakup emosi-emosi yang berbeda dalam hal pola-pola respon tubuh yang berbeda. Ayng menarik dalam hal ini adalah studi Ekman, Levenson dan Friesen (1983) yang mengndikasikan bahwa perubahan-perubahan pada aktivias otonom bisadipahami untuk emosi kelicikan, keamrahan ketakutan dan kesedihan ketika prosdur-prosedur kontrol cermat dipakai. Ekman dan rekan menyatakan bahwa perubahan-perumabahn otonom bisa dibangkitkan oleh kotnaksi otot-otot fasiel ke dalam sinyal-sinyaluniversal bagi emosi-emosi tersebut. pola-opla muskualr fasial bisa memberi pola respon tubuh yang berbeda serpti diduga teori kegairahan dan bisa mempertahnakan teori emosi James-Lange.
Problem lain dengan teori kegairahan adalah asumsi umum dari kegairahan kortikal, seprti dibuktikan oleh EEG yang mengindikasikans uatu kondisi emosional atau termotiasi. Seprti disebutkan Lacey, hubungan ini tidak selalu ditemukan. Jelas bahwa kegairahan kortikal sama dengan perilaku termotivasi; tapi meski jika kita mebuat asumsi ini, juga tidak jelas bagaimana kegarihanini mengarahkan perilaku. Satu problem akhir adalah asumsi bahwa pemahaman kegairahan hanya memerlukan pemahaman mekanisme fisiologis dasar. Ini mungkin tdiak benar. Pemahaman penuh tentang kegairahan juga memerlukan pegnetahuan faktor-faktor lingkungan dan sejarah organisme.
Riset yang berubungan dnegan teori ekgairahan menambah pemahaman kita tentang perilkau. Kegirahan muncul selama episode emosionald an orang-orang yang tergairahkan secara emosional termotivasi. Tapi problem-problem utama pada teori kegarihan emosi dan motivasi tetap perlu dipecahkan. Riset saat ini menyatakan bawha okndiisi fisiologis yangberbeda atau kesiemabgnan kimia yang berbeda bisa menyertai beragam emosi. Agar teori kegairahan tetap hidup, kita harus mampu memahami tipe-tipe emosi berbeda yang diaktivasi.

Tidur
Sebagian besar teorikegairahan menganggap tidur sebagai tidak adanya kegairahan, atau kodnisi kegairahan rendah. Tapi tidur ius endiri terdiria tas lebih dari atu ondisi dan dalam beberapa hal menyerupaki aktivitas bangun. Setiap orang yang mengalami masa terjaga panjang menyadari bahwa tidur bisa menjadi motif yang kuat, yang mengesampingkan motif-motif seperti rasa lapar dan seks. Observasi ini didukung oleh riset yang mengindikasikan bahwa tidur menunjukkan karakteristik kondisi kebutuhan yang termotivasi (Dement, 1972).
Riset tidur bisa dilacak kembali sejak akhir 1800an, tapi riset sistmatik hanya dimulai sejak studi-studi Nathaniel Kleitman pada awal 1920an (Kleitman, 1963). Banyak yang diketahui tentang proses tidur, naun alasan tidur masih tetap kabur. Diketahui bahwa efek kurang tidur sangat spesifik pada tipe tugas yang diperlukan dari individu yang kurang tidur. Webb (1986) menemukan bahwa tidak tidur selama 48 jam menyebabkan prblem memelihar performa pad tugas panjagn dan kompleks yang emerlukan perhatian tinggi dan proses kognitif yang tinggi. Tidak ada indikasi yang jelas bahwa akurasi performa menurun. Dalam bagian berikutnya kami akan menyelidiki apa yang diketahui tentang tidur, struktur-struktur fisiologis apa yang nampak dilibatkan dan beberapa fungsi tidur apa yang diajarkan.

Ciri-ciri tidur secara umum
Kita menghabiskan sepertiga hidup kita dalam kondisi tidur. Tidur harus dianggap sebagai perilaku penting untuk dipahami. Meski sebagian besar waktu kita dihabiskan untuk tidu, terdapat variasi-variasi besar di antara individu dalam hal jumlah tidur yang diperlukan. Sementara sebagian besar orang tidur 7-8 jam per malam, beberapa lagi mampu tidur lebih lama atau lebih sedikit. Dement (1972) melaporkan studinya terhadap dua orang yang tidur scara teratur kuragn dari 3 jam per malam tanpa mengalami efek sakit.
Anggapan umum menunjukkan bawha kita tidur ktika kita lelah. Ini tidak bisa membeirkan penjelasan yang lengkap, karena orang-orang dibatasi pad 24 jam per hari akan tidur sama dengan yang dihabiskan jika mereka aktif. Dement menyatakan bahwa kita mungkin tidur karena kita merasa paling tidak efisien pada waktu-waktu tertentu. Tubuh kita mengalami perubahan siklik yang seringkali berkisar pada 24 jam; sikuls ini disetbu ritme circadian. Banyak ritme circadian beroperai pada bagian terendah siklus mereka selama tidur, dan Dement mengusulkan bawha tidur bisa melindungi kita dari terlibat dalam perilaku pada saat kita paling tidak efisien. Webb dan Agnew (1973) menyatakan bahwa tidur itu bersifat adaptif karena menjaga organisme dari merespon waktu yang berbahaya taut idak perlu. Meddis (1975) mengusulkan hal yang sama berdasarkan pada perspektif evolusioner. Beberapa lini riset menyatakan bawha ritme circadian dan tidur berhubugnan erat. Pemahaman yang lebih kompleit tentang peran ritme circadian dalam posestidur bisa terbukti berguna dalam mengobati gangguan tidur dan jet lag.
Binatang-binatang yang berbeda menghabiskan waktu tidur yang berbeda. Variasi ini nampak cocok dengan ide daya adaptif tidur Webb dan Agnew, karena binatang yang berbeda diperkriakan memilki durasi waktu yang berbeda.
Pada manusia waktu yang dihabiskan untuk tidur menurun seiring usia. Bayi berusia 3 hari tidur sekitar 14 hingga 16 jam sehari, sementara anak usia 5 tahun tidur 11 jam. Pad usia 20 tahun rata-rata orang tidur sekitar 6,5 hingga 7 jam per malam. Lebih lanjut, tidur orang-orang tua berbeda dari orang muda. Ancoli-Isreal dan Kripke (1991) mencatat bahwa orang-roagn lansia melaporkan bangun lebih lama selama malam dan lebih sering mengalami insomnia. Demikian juga Buysse dan kolega (1992) menemukan bwha subyek lansia sehat tidur siang lebih lama dan tidur malam lebih pendek dibandingkan orang dewasa muda. Slielman dan Herrera (1991) mel;aporkan bahwa orang lansia masih tidur sekitar 7 jam per hari tapi tidur ini lebih sering dilakukan di siang hari. Mereka juga melaporkan ada penurunan pada tidur tahap 3 dan tahap 4 (lihat bagian berikutnya) dengan usia dan penurunan ini nampak lebih parah pada pria daripada wanita.
Pertimbangkanbagaimana kita tertidur. Tertidur nampak terjadi secara bertahap; yaitu ktia nampak perlahan-lahan tertidur. EEG recording otak selama tidur menunjukkan perspesi kita tidak benar – kita tidur secara mendadak (Dement, 1972).
EEG merupakan alat yang kuat untuk membantu peneliti mepelajari tidur. Alat ini dipakai untuk mengidentifikasi tahap-tahap atau level-level tidur yang berbeda.

Tahap-tahap tidur
Seperti ditentukan oleh aktivitas listirk otak tidur berlangsugn lewat lima tahap selam malam. Aktivitas gelombagn alfa yang menandai kondisi terjaga rieks digantikan oleh gelobang cepat dan tak teratur dengan amplitudo rendah pada tahap 1 tidur, yang berlangsugn selama 10 hingga 15 menit setelah jatuh tidur. Kemudian pola EEG mulai menunjukkan periode singkat tidur (gelombang 14 Hz/detik) dan subyek sekarangbeada pada tahap 2 tidur. Ketika tahap 2 berlanjut (sekitar 15 menit), amplitudo gelombang menjadi lebih beasr dan lebih lamban (1/2 hingga 3 ½ Hz/.detik). ketiak gelombang lamban ini menjadi cukup sering, orang disebut berada pada tahap 3 (15 menit). Tahap 4, di mana gelombang amplitudo tinggi dan lamban menjadi dominan, akan dicapai sektiar 30 hingga 45 menit setelah tertidur. Setelah beberapa saat pada tahap 5, pola EEG mulai berubah lagi ke tahap 3, lalu ke tahap 2 dan akhirnya ke tahap 5. pada tahap 5 mata individu biasnaya mulai bergerak dengan cepat di bawha kelopak mata, dan denyut otot, seprti diukur olehott rahang, sangat rendah. Tahap 5 umumnya disebut tidur REM (rapid eye movement) dan ini merupkaan waktu di mana mimpi terjadi (Webb & Agney 1973; Carlson 1977). Contoh-contoh dari beragam pola EEG tahap-tahap tidur ditunjukkan pada gambar 3.5.

Tidur REM dan NREM
Tidur tahap 1 hingga 4 umumnya disebut tidur NREM (non REM) karena gerakan-gerakan mata tidak terjadi pada tahap ini. Tidur NON-REM jgua kadang disebut tidur gelombang lamban untuk menyebutkan domiansi ampitudo tinggi, gelombang lamban (disebtu gelombang delta) dilihat pad tahap 3 dan 4.
Beberapa peneliti percaya bahwa tidur NREM melakuakn fugnsi retroatif, memberi peluang bagi tubuh untuk membangun kembali smberdaya. Kita tahu, tidur tahap 4 menurun seiring usia, menunjukkan penurunan tajam setelah usia 30 dan pada beberapa individu hilang bersamaan pada usia 50. hayashid an Endo (1982) juga menemuakn penurunan beassar pada tahap 3 dan 4 pada orang sehat. Hasil-hasil mereka menunjukkan pergesran kedepan REM ke arah bagian-bagian malam sebelumnya, mugking karena reduksi pada tahap 3 dan 4.
Mendengkur juga tejadi selama tidur NREM, dan orang yang terbangun pada tidur NREM biasanya tidak melaporkan mimpi. Dia melaporkan pemikrian random, biasanya non emosional, seperti pikiran-pikiran saat terjaga.
Waktu tidur tidak dibagi secara sama pada lima tahap tersbeut, juga tahap-tahap terebut tidak terjadi secara merata selama malam, seperti yang terjadi ari diskusi tahap-tahap tidur sebelumnya. Periode tidur total hanya sekitar 5% dari tidur total dihabiskan pada tahap 1, sementara hampir 50% dihabiskan pada tahap 2. tahap 3 hanay menempati sekitar 6% dari waktu tidu total dan tahap 5 mencakup sekitar 14%. Tidur REM mencakup sekitar 25% dari waktu tidur.
Dari beragam tahap tersebut, tahap 4 dan REM paling banyak dipelajari. Bagian yang lebih besar dari tidur tahap 4 terjadi lebih dini di malam hari sementara tidur REM sebagian besar terjadi kemudian. Gambar 3.6 menunjukkan bagimana tahap-tahap tersebut berbah selama tidur di maalm hari.
Tidur REM ditemukan oleh Aserinsky dan Kleitman pada 1955 (lihat juga Aserinsky, 1987). Segera jelas bagi para penliti bahwa tidur REM berkorlasi dengan laporan-laporan mimpi. Misalnya, Dement (1972) mencatat bahwa laporan-laporan mimpi dari individu yang terjaga selama tidur REM adalah sekitar 80% sementara laporan bermimpi dari orang-orang yang bangund ari tahap 4 hanya sekitar 7%. Ada kontroversi tentang persentase mimpi agn dilaporkan dalam tidur REM dan REM. Goodenough (1991), yang mencatat tinjauan Foulkes (1966), Rechtschaffen (1967), dan Styva dan Kamiya (1968) menyimpulkan bahwa bermimpi bisa terjadi selama NREM dan di bawha kondisi-kondisi tertentu tidur REM terjadi ketika mimpi tidak terjadi. Sehignga penggunaan gerakan mata cepat sebagai satu-satunya indeks bermimpi tidak akurat seluruhnay. Kemungkinan terdapat perbedaan antara mimpi yang dilaporkan dalam tidur REM dan NREM. Mimpi-mimpiREM lebih cendrurng aneh, emosional atau seperti nyata, sementara mimpi-mimpi selama tidur NREM lebih cenderung non emosional dan merupakan pemikiran random. Lebih lnajut, seperti dilaporkan oleh Goodenough (1991), karya beberapa kelompok peneliti menemukan bahwa frekuensi gerakan mata selama REM dikaitkand engan aktivitas yang dilaporkan dalam mimpi-mimpi REM. Frekuensi gerakan mata juga nampak dikaitkan dengan keanehan mimpi dan intensitas dan emosionalitas mimpi-mimpi REM
Selama tidur REM aktivitas EEG korteks nampak sanga tmirip dengan aktivitas EEG yang ditemukan pada orang yang terjaga dan sadar. Sebenarna aktivitas EEG yang terjadi selaam tidur REM pada tikus tidak bisa dibedakan dari aktivvitas EEG saat mereka bangun (Jouvet 1976). Tapi meski aktivitas listrik korteks nampak dekat dengan perilkau bangun, mebangkitkan seseorang dari tidur REM sangat sulit. Karena itu tidur Rem kadang disbeut tidur paradoksial (paradoks di mana EEG nampak bangun, tapi stimulasi kuat diperlukan untuk membangunkan individu).
Selain gerakan mata cepat adlamt idur REM, jgua terjadi kehilangan nada otot skeletal. Ini disebabkan oleh hambatan neuron-neuron motor pada otak dan jumlah parlaisis temorer. Hilangnya nada otot merpakan indikator terbaikd ari REM atau tidur bermimpi. Tidur bREM biasanya terjadi sekitar sekali setiap 90 menit selama malam. Periode REM menajdi lebih lama selama malam sehingga pad pagi hari seseorang mungkinberada pada periode Rem selama 1 jam (Demen,t 1972).
Tidur REM, seperti tidur tahap 4, cenderung menurun seiring usia p; meski dmeikain tidu Rem menjadi stabil pad usia 20 dan tetap relatif konstan setelahnya. Bayi yang baru lahir menghabiskan sektiar 50% dari waktu tidur mereka dalam tidur REM, sementar adiketahui bayi prematur menghabiskan lebih dari 75% dari tidur mereka dalam kondisi REM. Tidurnya anak kucing, anak anjing dan anak tikus adalah 100% dari REM (Dement (1972) pada saat lahir. Semau temuant ersbeut mendorong Dement berspekulasi bahwa tidur REM bisa mengatur hubungan-hubugnand engan otak. Dalam mendukugn hipotesisnya, Dement mencatat bawha marmut yang lebih dewasa daripada anak kucing saat lahir menunjukkan tidur REM sangat sedikit.
Fakta bahwa binatang menunjukkan tidur REM dengan cara yang sama pad amanusia menimbulkan pertanyaan apakah binatang bermimpi. Meski ktia tahu bahwa tidur REM dan bermimpi berkorelasi pada manusia, tidak bisa diyakini ini juga terjadi pada speises lain. Sementara pertanyaan ini cukup rumit, saat ini belum ada jawaban yang benar. Pengetahuan kita ttnang prsoes-proses evolusioner mungkin mendukugn kemungkinan bawa beberapa binatang seperti primata dan mungkin juga anjing dan kucing bisa bermimpi.
Aspek yang paling menarik dari riset tidur REM adalah temuan bawha ini biasanya bertepatan dengan bermimpi. Untuk pertama kalinya, para ilmuwan mimpi bisa mulai mempelajari secara obyektif kondis imimpi yang sangat subyektif.

Mimpi
Meski beberapa orang tidak percaya mereka bermimpi, riset menunjukan setiap orang bermimpi. Ini bisa ditunjukkan dengan meminta tidur ”non-dreamer” selam beberapa malam sambil menghubungkannya ke aparatus EEG dan pada peralatn yang mengukue gerakan-gerakan mata dan nada otot. Nondreamer tertidurd an kadang memasuki periode aktivitas REM. Jika dibangunkan selama periode REM ini nondreamer meenmukan bahwa dia bermimpi seolah nyata.
Individu rata-rata menghabiskan sektiar 100 menit per malam dalam bermimpi. Sebaigan besar mimpi tidak diingat kecuali sesorang dibangunkan segera setelah mimpi itu muncul (Goodenough 1991). Ini mungkin mengapa kita cenderung menginga tmimpi yangkita alami sebelum alarm mati tapi tidak ingat mimpi yang terjadi sebelumnya.
Riset menunjukkan meski sebagian beasr mimpi berlangsung singkat, tapi beberapa bisa berlangsugn selama satu jam (Dement, 1972). Sebagian besar mimpi terjadi dalam seting ehar-hari dan kadang-kadang tidak emosional sangat. Ketika emosi muncul dalam mimpi ini cenderung negatif; sekitar 65% mimpi emosional besifat negatif. Dement juga menvatat bahwa mimpi lebih awal di malam hari cenderugn menggambanrkanpeiristwa-perisitwa hari sebelumnya sementara mimpi yang lebih lambat lebih menggambarkan ingatan-ingatan yang tersimpan.
Suatu riset juga menyatakan bahwa mimpi berubah seiring usia (Herman & Showks 1984; Waterman 1991). Hermand an Shows menemukan dalam sebuah sampel 295 mahasiswa lulusan bahwa orang-orang yang lebih muda lebih sering mengingat mimpi daripada orang yag leih tua. Setelah mennjau beberapa studi survei dan laboratorium Waterman menyimpulkan bawha ”ingatan mimpi berkurang ketika orang menjadi dewasa.” lebih lnajut, Waterman menemukan terjadinya perubahan-perubahan isi mimpi di antar orang yang lebih muda dan lebih tua. Orang yang leih tua menunjukkan kurangnya keagresifan, keramahan dan emosi dalam mimpi mereka. Megnapa peruabhan ini terjadi seiring usia masih belum jelas – namun demikian tidur REM beurbah seiring dengan usia – waktu yang dihabiskand alam REM berkurang seiring usia dan Rem kurang stabil (Woodruff 1985) – dan peurbahan-perubahan pada REM ini bisa dikaitkand engan peurbahan-perubahan pada ingatan dan isi dari mimpi.

Kurang Tidur
Seperti dicatat seelumnay efek kuragn tidur berbeda-beda untuks etiap tipe tuas. Tugas-tugas pendek yang dilakukan di bahw amotivais yang cukp seringkali hanya menunjukkan efek-efek kecil dari kurang tidur. Tugas-tugas yang panjagn dan membosankan yang memerlukan motivasi tinggi menunjukkan defiist dalam m,enjaga perhatian (Webb 1986).
Meski anggapan umum menunjukkan bahwa eefk-efek kekurangan tidur adalah negatif, riset menunjukkan kurang tidur bsia memiliki efek terapeutik bagi beberapa individu yang depresif. Setidaknya semalam tanpa tidur bisa memiliki efek antidepresan bagi sepertiga hingga setengah pasien yang depresi |(Roy| Byrne, |Uhde, 1986).

Deprivasi Mimpi
William Dement merintis riset tentnag deprivasi mimpi. Prosedurnay adalah mengamati rekaman-rekaman mimpi orang-orang utnuk gerakan-gerakan mata cepat dan ketiak terjadi, segera membangunkan orang tersebut. Dement menemukan bahwa untuk mendeprivasi pemimpi tidur REM, mereka perlu dibangunkan lebih sering. Di amencatat jika sebuah tekanan terbentuk yang bisa diekspresikan lewat mimpi REM. Ketika Dement membiarkan subyeknya tidur dngan normal, dia menemukan sebuah fenomena yang sekarang dikenal sebagai REM rebound. Dia menemuakn abwha subyek yang mimpinya terdeprivasi diizinkan tidur, mereka bermimpi lebih sering ketimbang normal, seperti jika periode REM melambung dari level rendah sebelumn ya. Overshoting jumlah mimpi normal ini berlangsung selama beberapa hari setleah periode deprivasi. Deprivasi Rem pada binang menimbulkan beberapa efek ganjil yangbelum dipahami. Misalnya, deprivasi REM pada binatang menyebabkan pergeseran pola makan dibandingkan dengan siklus terang-gelap tapi tidak nampak mengubah julah makanan yang dimakan secara keseluruhan. Deprivasi REM juga bisa meningkatkan perilaku seksual dan agresif pada binatang dan deprivasi REM rebound efeknya dikurangi oleh stimulasi diri intracranial (lihat Ellman, Spielman, Luck, Steiner, & Halperin, 1991; Ellman, Spielman, & Lipschytz-Brach, 1991, untuk tinjauan studi tadi). Ellman dan rekan mengusulkan bahwa ada sebuah link antara struktur-struktur netral yang mendasari proses-proses tidur REM dan struktur-struktur negral lainnya yang mensubversi proses-proses motivasional. Mereka percaya kemungkinan link ini melibatkan struktur-struktur neural yang bertanggungjawab untuk efek-efek stimulasi diri intracranial.
Dement mencatat bahwa subyek yang terdeprivasi REMnya (manusia) nampak rentan dan cemas dan kurang bsia berkonsentrasi. Ini menunjukkan bahwa tidur REM dipelrukan bagi kesbaikan psikologis. Sayangnya, oapara peneliti lain tidak menemukan kecemasan dan iritabilitas pada subyek yang tereprivasi REMnya; ada sedikit yang bsia disimpulkan tentang perlunay bermpimpi bagi kesehatna psikologis.
Deprivasi Rem bisa terjadi dari pemakaian obat. Banyak obat (khussnya barbitura, jika dipakai melebihi level yang direkomendasikan) bisa menekan tidur REM. Jika obat ini dihentikan seara m endadak, REM rebound terjadi, dan orang tersebt mengalami peningkatan mimpi dengan mmpi buruk nyata. Ampfetamin yang bekerja pada pembentukan retikjular untuk memelihara kebangkitan adn keterjagaan, juga menekan REM ketika tidur akhirnya terjadi. Webb dan Agnew (1973) mencatat bahwa penghentian amfetamin menyebabkan REM rebound lebih lama, kadang-kadang berlangsung hingga 2 minggu, disertai oleh mimpi buruk nyata. Bahkan alkohol, jika dipakai pada dosis yang cukup bisa menyebabkan supresi REM. Kemungkinan halusinasi nyata dialami saat pemakaian alkohol dihentikan (disebut delirium tremens atau DT) bisa bersal dari REM rebound yang menyerang pada perilkau bangun (Dement 1982; Webb & Agnew 1973). Nampak jelas bahwa beberapa ”obat” untuk keterpulasan, seperti pemakaian barbiturate bisa menjadi lebih parah daripada kuarng tidur (Palca 1989).
Banyak rsiet sudah dilakuakn pada tidur REM dan NREM. Meski kita tahu banyak tentang karakteristik tidur, kita masih pemula untuk memahami sistem otak yang terlibat dalam proses tidur. Riset ini kopleks dan kadang-kadnag bertentangan; bagaimanapu, beberapa struktur otak depan dan batang otak sudah diidentifikasi sebagai pengatur fungsi tidur.

Fisiologi tidur
Sistem saraf otomatis mengubah aktivitasnya selama tidur. Selam tidur NREM, tekanan darah, dneyut jantung dan respirasi menurun dan vena serta arteri melebar (vasodilasi). Selama tidur REM, tekanan darah, denyut jantung dan repsirasi biasanya meningkat dan menadi jauh lebih bervariasi. Terjadi peningkatan aliran darah ke otak dan ereksi penil terjadi pada pria; adanya sebuah erksi Nampak tidak berhubungan dengan isi mimpi!dalam tidur REM aktivitas listrik korteks, seperti yang anda ingat, berubah dari gelombang delta ampitudo tinggi, lamban menjadi gelombang amplitude rendah yang mirip seperti yang terjadi saat bangun.
Sebagian besar rsiet ditujukan untuk menjelaskan bagiamaan struktur-strutkur dalam batang otak bias dikaitkan dengan perubahan-perubahan dalam aktivitas kortikal. Ada banak riset yang menyarankan areaotak tengah juga menogntrol proses tidur.

MEkanisme batang otak. Dalam membicarkaan pembentukan reticular kita menguji karya Bremer. Anda akan ingat bahwa ketika Bremer memotong otak pada level colliculi, tikusnya tidak lagi menunjukkan siklus tidur-bangun normal. Keitka potongan ini lebih rendah, antara medulla dan spinal cord, siklus tidur-bangun normal diamati. Transeksi ini ditunjukkan pada gambar 3.7. jika potongan dibuat pada pertengahan antara dua potongan Bremer (melalui bagian tengah pons) binatang menunjukkan insomnia. Ini menunjukan bahwa area di antar apotongan collicular dan potonganmidpontine dilibatkan dalam keterjagaan. Jika area ini diputuskan dari sisa otak, seperti pada potongan ccollicular Bremer, binatang ini tidur; jika area ini tetap tersambung, sepreti pada potongan midpon tine, keterjagaan dipertahanakn dan tidur terganggu. Di bawha pusat kebangkitan ini (RAS), dalam area umum pons, terdapat struktur yang menekan RAS sheingga tidur bias terjadi . tapi RAS tidak bias lagi ditekan jika struktur ini diputus dari RS (oleh potongan midpointine) dan binatang tidak bias tidur. Jika potongan ini dibuat lebih rendah, atnara medulla dan spinal cord seperti yang dilakukan oleh Bremer, kedua system ini dibuarkan utuh dan tersambung ke korteks sehingag siklus tidur-bangun normal terjadi (gambar 3.7).
Temuan-temuan ini mendorong dilakukannay studi intens terhadap area pons untuk menemukan struktur-struktur yang mengontrola ktivtias RAS otak tengah dan mengontorl kegairahan. Setidaknay tiga struktur dalam area ini sudah diimplikasikan dalam produksi tidur (Carlson 1977). Tiga struktur adalah rhape nucleus, locus corerulus, dan giganto-cellular tegmental field (gambar 3,7).
Jouvet (1976) merusak sel-sel di dalam raphe nucleus pons dan medulla dan menemukan timbulnya insomnia, seperti pada potongan midpontine yang disebutkan sbeelumnya. Sheingga Nampak bagi Jouve t bahwa system raphe bertanggungjawba menekan aktivitas system retiklar otak tengah (yang bertanggungjawba untuk kegairahan dan keterjagaan). Setelah terminology Jouvet, kita bias beprikirraphe nucleus sebagia rem untuk keterjagaan.
Riset lain menyatakan bawha locus coeruslus (selanjutnya disebut LC dan terletak di pons) dan gigantocellular tegmental field (disebut FTG juga terlaetak di pons) bekerja secara resiprokal untuk menentukan periode-periode tidur REM dan NREM.
Struktur-sturktur tambahan di dalam batang otak juga terbukti mempengaurhi kegairhaan dan tidur. Misalnya, nucleus saluran soliter (tereletak di medulla) menekan aktiitas RAs di bawah kondisi-kondisi tertentu (Carlson, 1977). Yang menarik nucleus ini menerima input dari lidah dan beragam organ internal; seperti disebutkan Carlson, kehadirannya mungkin menejlaskan mengapa makan besar membuat kita mengantuk. Sehinga mekanisme fisiologis yangm mengotnrol perilaku bangund an tidur cukup kompleks. Untuk menambah kompleksitas ini, terdatp bukti yang cukp bahwa struktur otak depan seperti korteks frontal, thalamus, hipotalamus dan area-area preoptik juga berperan dalam tidur (Williams et al 1973).

Kimia tidur. Jika anda pernah tidak tidur dalm waktu lama, anda tahu bahwa keinginan untuk tidur menjadi semakin kuat. Sekarang terdapat bukti bahwa tubuh menghasilkan satu zat kimia atau lebih yang mendukung tidur akibat terjag. Bukti untuk suatu tipe kimia tidurdiberikan oleh Henri Pieron pada awal 1900an (Pappenheimer, 1976). Pieron menemukan bahwa ketika dia menyuntik anjing normal dengan cairanserebrospinal anjing yang terdeprivasi tidur selama 10 hari atau lebih, respipien tidur sleama beberapa jam setelah inejksi. Ini menunjukkan bahwa beberap ajenis zat kimi ayang mendukung tifdur bias berpkembang selama peirode terjaga lama. Teknik-teknik PIeron jauh lebih disukai, dan mekski riset awalnya menarik, sedikit kemajuan aygn dibuat hingga saat ini.
Pada 1976 John Pappenheimer di Hardward Medical Shchool mengembangkan teknik-teknik di mana cairan cerebrospinal bias didapatkan atau dipakai dengan mudah dengan menaruh kanula (tabung) dengan baik. Pappenhemier mendeprivasi domba tidur selama 48 jam dan mengambil beberapa cairancerebrospinal. Cairan ini kemudian disuntikkan ke cairan cerebrospinal kucing laboratorium. Pappenheier menemukan kucing itu menajdi mengantuk. Dalma sernagkaian eksperimen, Pappenhemier menyarign tekniknya dan mampu menunjukkan bahwa tikus yang disuntik dengan cairan serebrospinla yang diambil dari doba yang terdeprivasi-tidurnya jug amenjadi kurang aktif. Pencatatan aktivitas listirk otak pada tikus ini menunjukkan penignkatan pola gelombang lamban yang terlihat selama tidur normal.
Karya Pappenheimer menyatakan bahwa suatu zat kimia yang mednukung tidur dihasilkans elama terjaga. Dalam sebuah pengertian kita mungkin mendorong diri untuk tidur dengan tetap terbangun. Pappenheimer dan koleganya mencoba memisahkan zat kimai pendorong tidur. Meski kemajuan sudah didapatkan, jumlah zat kimia yang diahsilkan oleh keterjagaan sangat sedikit, mungkin hanay sepert juta gram. Krueger, Papenheimer, dan Karnovsky (1982) juga mengisolasi zat kimia pada urin manusia yang Nampak mendukung tidur.
Riset lain menyebutkan zat-zat kimia lain dalam rposes tidur seperti cytokine interleukin-1, dan prostaglandin D2 dan juga neurotransmitter acetylcholine (untuk tidur REM) (Palca, 1989). Juga ditunjukkan bahwa neurotransmitter adenosine, yang dihasilkan oleh metabolism otak selama terjaga, memiilki efek inhibitoris terhadap neur pada pons yang menghasilkan kegairahan EEG. Kerja pada adenosine menarik karena memberi mekanisme dimana keterjagaan seblumnya bias berkontribusi terhadpa produksi tidur. Adenosine meurpakan produk samping dari aktivitas otak yang lebih tinggi sleama terjaga daripada salaam tidur. Adenosine memiliki efek inhibitoris terhadap neuron-neuron yang menjaga kegairahan seprti diukur oleh EEG sehingga kadang-kadang menurunkan kegairahan dan tidur. Dukungan lebih lanjut untuk mekanisme ini berasal dari fakta bawha kafein (yang ditemukan dalam kopi) dan theophylline (yang ditemuakn dalam teh) memblok tempat-tempat reseptor untuk adenosine, sheingga mencakup cirri-ciri kegairahan kopi dan teh. Riset tentang asar kia tidur cukup emnarik karena member pemahamanyang lebih tentang bagaiaman tidur bias tejradi dan harapan akan penyembuhan insomnia secara lebih alami.

Fungsi-fungsi tidur yang mungkin
Meski par apenliti mulai membagi-bagi pemahaman struktru otak aygn terlibat dalam proses tidur, pemahaman kita tentang fugnsi tidur masih misteri. Beberap ahipotesis sudah ditawarkan dan beberapa riset sudah dilakukan. Ide-idenya cukup menantang.
fungsi-fungsi apa yang bisa diatributkan ke tidur? Dari banyak proposal mungkin yang palin gumum adalah yang memberikan fugnsi restorative. Hartman (1973) meyakini tahap 3 dan 4 bersifat restorative dan bisa mendukung sintesis senyawa kimia yang dipakai selama tidur REM – misalnya, protein dan asam ribo nukleat (RNA). Hartman selanjutnya menyarankan bahwa tidur REM bisa memiliki fungsi restorative berkaitan dengan perhatian dan emosi. Dia menyebutkanbawha tidur REM yang lebih cukup mnampak terjadi setleah seharian mengalami kekhawatiran, stress atau belajar keras. Dari sudut pandang Hartman, Ftidur REM bsa membantu kita menangai situasi stress dengan memungkinkan kit amemperhatikan lingkungan lebih efisien saat kita terjaga. Seperti dicatat sebelumnya beberapa studi mengindikasikan sifat restorative dari tidur NREM (Shapiro et al 1981; BUnnel, Bevier, & Hoirvath 1983, Shapiro 1982). LEbih lanjut Greenberg dan rekan (1983) mel;aporkan bahwa deprivasi REM mengurangi akses ke ingatan-ingatan penting tapi tidak pada ingatan-ingatan non personal. Berdasarkan hasil-hasil mereka, Greenberg dan rekan menyatakan bawha tidur REM bisa dilibatkan dalam membuat hubungan antara pengalman penting saat ini dan pengalaman emosional yang berkaitand engan pengalaman-pengalaman sekarang. Sehinga Nampak bawha tidur REM bisa penting berkaitan dengan emosionalitas. Bukti lebih lanjut untuk pentinngya tidur REM dalam emsionalitas berasal dari riset yang menunjukan bahwa depresi dan osnet REM awal berkorelasi positif.
Problem dengan teori yang menyatkan fungsi restorative untuk tidur, adalah bahwa tidur REM dan tahap 3 menurun seiriing usia. Banyak ahli teori menyarankan bahwa tahap 3 merupakan proses tidur restorative, beberapa indidiu masih belum menunjukkan tidur tahap 4 pada usia 50. Setiap teori fungsi retoratif harus mampu menangani perbedan ini.
Dement (1972) mengusulkan bahwa tidur, khususnya tidur REM, bisa dilibatkan dalam organisasi otak. Dement mendasarkan ide ini pada fakta bahwa mamalia muda enunjukan REM yang lebih kut daripada mamalia dewasa. Selain itu, pad amanusia, periode-peridoe REM bisa dideteksi pada 3 bulan sebelum lahir. Bayai yang kahir hingag 3 minggu secar premature menghabiskan sebanyak 75% waktu tidurnya dalam REM sementara bayi full term menghabiskan sekitar 50% tidur mereka dalam REM. Pad usia 3 bulan, periode tidur REM menurun sekitar 30% dari waktu tidur (LEwin & Singer, 1991). Oleh karena itu tidur REM bisa berfungsi sebagai sumber internal stimulasi yang membantu menyusun otak muda dengan benar. Tidur REM pada orang dewasa mungkin tidak lebihdari sekaadr sisetm vestigial yang tidak punya tujuan nyata.
Meski mungkin tidur REM dan bermimpi tidak penting bagi orang deawasa, studi-studi deprivasi REM menyatakan sebaliknya. Mengapa tekaan REM meningkat dengan eprivasi jika system ini tidak penting bagi orang dewasa? Organisasi otak muda mungkin merupakan abgian dari fungsi tidur, tapi mungkin harus ada penjelasan lebih bagi fungsi terbeut daripada pemrograman awal otak.
Beberapa ahli teori (BErtini 1973l Dewan, 1970) mengusulkan bawha tidur REm berfungsi sebagai alat pemrogram. Materi baru yang dipelajari selama terbangun dianggap dimasukkan dan mengubah organisasi otak yang ada selama tidur REM. Dewan menyerupakan proses ini dengan program computer. Selama tidur REM program-program diubah dan diatur ulang berdasarkan informasi-informasi baru yang diterima. Bagian dari pemrogrmaan ulang ini memerlukan penyimpanan informasi baru di lokasi yang tepat.
Broughton dan Gastaut (1973), Greeberg (1970), dan Pearlman (1970) menekankan ide bahwa tidur REM dilibatkan dalam konsolidasi memori. Greebnerg, misalnya, percaya bahwa bermimpimemungkinkan materi ditransformasikan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Bertini, Dewan, Greeberg dan Pearlman percaya bawh proses penyimpananbisa didasarkan pad aaspek-aspek emosional infomrasi, sheingga menjelaskan mengapa emosioanlitas terjadi dalam mimpi. Emolsi tertentu yang diraskaan selama proses pembelajaran bisa berfungsi sebagai “tag” atau lebel yang menentukan di mana dan dengan meoori apa bagian infomrasi disimpan. Riset Greenberg dan rekan (1983) juga mendukung gagasan ini.
Stern (1970) membicarakan rsit yang menayatakan bahwa deprivasi REM mengganggu pembelajaran reposn dan juga denan retensi tugas-tugas yang dipelajari sebelum deprivasi. Selain itu, Pearlman menebutkan bukti interferensi dalam adaptasi terhadpa peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kecemasan pleh deprivasi REM. Film yang mendukung kecemasan dihadirkan pad apara subyek yang kemudian mendeprivasi tidur REM selama satu malam. Kemduain emreka menonton film tersebut untuk kedua kalinya. Subyek normal menunjukkenan kecemasan yang lebih kecil pada sat menonton kedua kali seemtnara subyek yang terdeprivasi REm menjadi cemas selama menonton kedua seperti pada saat menonton pertama kali. Hasil-hasil PEralman menyatkaan bahwa bermimpi memungkinkan kita memasukkan situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan dan membiasakan diri dengan mereka.
TIdur REM juga berperan sebagian dalam penyimpanan informasi asosiastif kompleks. SCrima (1982) misalnay menemukan ingata material asoasiatif kompleks secara signifikan lebih baik setelah peirode REM terpisah daripada setelah periode NREM terpisah atau keterjagaan pada sekelompok sepuluh narcoleptic. Narcolesy adalah gangguan tidur di aman indivdu sering tidurdengan cepat selama siang dan REM sering terjadi pad onset tidur dariapda setelhah periode NREM normal.
Para pasien alkoholik kronis akdang-akdang menunjukkan serangkaian gejala yang disebut sindrom Korsakof, sebagian emlibatkan gangguan memori. Greenberg (1970) mempelajari para pasien yang menderita sindrom KOrsakoff dan menemuakn bahwa mereka yuagn sudah megnalami sindorm ini mengalami peningkatan kondisi REM, yang cnederung bersifat fragmenter. Greenberg percaya lesi otak yang terinduksi alcohol menggangu ingatan dan proses impipi dan meningkatnya REm adalah usaha oleh otak untuk mengimbanginya.
Salah satu baian paling menarik dari riset tentang hubungan yang mungkin nantara memori dan ingatan dilakukan oleh ZOrnetzer, Gold dan Boast (1977). Dalam seri-seri eksperimen mereka, konsolidasi (waktu penyimpnanan) dari memori diuibah oleh destruksi lcus coerulus (LC). Seperti yang anda ingat, LC merupakan bagian mekanisme yang terlibat dalam aktivasi dan inhibisi REM dan tidur NREM. Para peneliti menemukan bahwa kerusakan pada LC memperlama jumlah waktu I mana informasi baru rentan bagi gangguan memori. Nampak bahwa LC berperan emmbatasi lama waktu di mana memori bisa diganggu. Zornetzer dan rekan juga mencatat beberapa hubungan anatomis yang menyatakan bahwa LC dilibatkan dalam proses memori. Meski data ini kurang jelas, kesimpulan yang muncul adalah salah satu fungsi penting dari tidur dan bermimpi adalah untuk menyimpan inforamsi. Dua studi terbaru member bukti lebih lanjut bagi peran tidur dalam proses memori. Karni dan kolega menunjukkan bahwa tidur REM (tapi bukan NREM) penting bagi pengmbangan tugas diskriminasi visual, sementara Wilson dan McNaughton menemukan bahwa sel-sel di dalam hipokamus yang berhenti bersamaan ketika binatang berada dalam lokasi tertentu jgua berhenti bersmaaan selama periode tidur berikutnya. Seperti mereka catat “informasi yang didapatkan selama peirlaku aktif dinyatakan lagi dalam sirkuit hipocampal selama tidur, seperti dipostulatkan oleh beberapa teori konsolidasi memori (Wilson & McNaughton, 1995, hal 676).
Tidur umumnya dianggap terletak di ujung bawah kontinum kegairahan. Sepreti kita lihat, ini mungkin merupakan sudut pandang yan terlalu sederhana karena aktiitas kortikal berbeda dari tahap ke tahap,. Seperti aktivitas oda n control otot otomtatis. Argumen Lacey (1967) untuk beberapa tipe kegrairahan Nampak tepat dalam pandangan data tentang perilaku bangun dan tidur yang kami uji, tpai banyak yang harus dilakukan untuk emahami kegairahan perilaku.
Kami sekarang akan menguji riset yang berkaitan dengan apa yang biasanya dianggap sebagai ujung itnggi dari kontinum kegairahan – yang kita sebut stress.

Stres
ketika level kegairahan kita tinggi, ktia menjadi stress. Seringkali istilah stress disamakan dengan distress (arlond 1967). Nampak jelas kita jgua st res ketika hal-hal baik terjadi kepada kita, seperti promosi atau pernikahan.
Cara yang lebih umum untuk memikirkan stress terjadi ketika tubuh dipaksa mengatasi atau beradpatsi dengan sitausi yang berubah, yang bisa baik atau tidak. Sehignga sitausi yang menyebabkan deivasi berarti dari kondisi normal kita akan dianggap menimbulkan stress.
Stress adalah bagian intregal dari hidup; kita tidak bisa lepas dari stress, seprti dikatkaan Selye “bebas sepenuhnay dari stress adalah kematian” (1973, hal 693). Untuk memahami perilkautermotivasi, perlu dikethaui bagaimana stress mempengaruhi tubuh dan perilaku kita. Dalam bagian ini kami akan menguji riset tentang stress yang berkaitan dengan motivasi dan inovasi, dan kami akan menguji juga cara-cara menangani stress.

Definisi stes
Konsep stress terbukti sulit diartikan. Mungkin karena banyaknya situasi yan gbis amemicu stress pada seseorang. Bagaimanapun kami akan mencoba merumuskan definisi kasar tentang stress.
Selye (1973) mengartikan stress sebagai respon tubuh non sepsifik terhadap setiap permintaan yang muncul. Pada dasarnya Selye berasumsi bawha suatu level optimal fungsi tubuh muncul dan stressor 9stimulu atai situasi yang menciptakan stress pada diri seseorang) menyebabkan gerakan menjauh dari level optimal ini. Respon stress dipandang sebagia perilaku adaptif untuk mengembalikan tubuh ke kondiis normal. Stress adalah mekanisme homeostatis. Stress sistemik atau psiklogis bisa dipandang sebagai respon adaptaif yang dirancang untuk mengembalikan individu ke kondisi yang mendekati optimal.

Stres Psikologis dan Sistemik
Strs sistemik melibatkan suatu tantangan bagi integritas tubuh fisik. Tubuh bereaksi terhadap invasi (bakteri, virus, panas, dingin dan sterusnya) oleh respon umum yang membantu menyerang tanntagan tesebut. Kami akan segra menguji respon ini secara detail.
Tapi stress tidak memerlukant antangan fisik ke tubuh agar terjadi; ini bisa terjadi untuk alas an-alasan psikolgis murni. Kekhawtairan terhadap ibu yang sakati atau kecemasan tentang kehilangan pekerjaan bisa menimbulkan stress. Misalnya antisipasi lompat parasut lebih menimbulkan stress bagi pelompat berpengalaman dari pada lompatan actual. Adanya emolsi biasanya dianggap sebagia tanda gangguan terjadinay perilaku (Appley & Trumbull 1967).
Efek-efek stress tidak slalu buruk, meski kami biasanya cenderung mempelajari efek negative stress. Jumlah stress tertentu Nampak perlu untuk kreativitas dan performa. Jumlah stress yang sedang memperbaiki performa (Tanner 1976). Kita semua tahu individu tidak mampu menyelesaikan segala hal kecuali ditekan oleh sebuah deadline. Bagi para individu tersebtu, stress sedang bisa membantu. Kita harus ingat bahwa ada perbedaan dalam kemampuan untuk mentoleransi stress, dan kadang-kadang berguna untuk menanyakan kepada diri kit asendiri di bawha kodnisi apa perilaku kita bisa paling efisien.

Aktivitas Sistem Endocrine dan Stres
Untuk memahami beberapa efek stress, kita harus tahu sesutau tentang kera-kerja tubuh ketika menghadpa istresor. Salah satu efek utama stressor adalah pada system endocrine.
System endocrine adlaah serangkaian kelenjar yang terletak di seluruh tubuh yang mensekresi zat-zat mereka secara langsung ke dalam aliran darah. Zat-zat ini disebut hormone dan bisa diangagp sebagai sinayl-sinyal kimi ayang mengatur atau mengkoordinasikan aktivitas organ-organ jauh (Seyle, 1956). Kelenjar utama dalam system ini adalah pituitary, yang disebut sebagai kelenjar master karena berperan mengontrol kelenjar-kelenjar lain. Pituitary terletak di dasar otak dan dikontrol oleh struktur otak yang dikenal sebagai hipotalamus. Hipotalamus aktif dalam banyak aktivitas yang termotivasi seperti yang akan dilihat dlaam bab berikutnya. Ini meproduksi hormone-hormon yang bisa menyebabkan pituitary melepaskan zat-zatnya (Guillemin & Burgus, 1976; Levine, 1971).
Disamping pituitary, kelenjar utama lainnya yangmenarik bagi kita dalam studi stress adalah kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal (yang terletak di atas setiap ginjal) terdiri atas dua bagian yang memiliki fungsi berbeda. Tutup luar kelenjar adrenal (disebut korteks adrenal) mesnekresi hormone yang disebut 17-hydroxycorticoid. Sementara beberapa kortikoid terdapat pada mansuia, sebagain besar sekresi korteks adrenal adalah hydrocortisone (juga disebut kortisol). Adrenal cortex jug amensekresi sedikit hormone lain yang disebut aldosteron, yang efek utamanya adalah pada keseimbangan air dan elektrolit (Oken, 1967). Bagian utama (adrenal medulla) mensekresi dua zat, epinephrine dan norepinpehrine. Sekarang kita coba memahami apa yang terjadi ketika mnengalami stress.
Informasi tentang kondisi tubuh secara konstan dikumpulkan oleh system sensori eksternal )(mata, telinga hidung) dan oleh system sensori internal (kondisi organ internal, perubahan darah dan seterusnya). Informasi ini dipantau oleh otak, dan ketika stressor terdeteksi system-sistem di dalam hipotalamus diaktivasi. Bagian posterior hipotalamus mengaktivasi aktivitas system saraf simpatetik yang menstimulasi adrenal medulla mensekresi epinephrine dan norepinephrine. Apada saat yang sama, system-sistem lain di dalam hipotalamus mensekresi sebuah zat yang disebut CRH, yang menyebabkan kelenjar pituitary mensekresi zat ke aliran darah yang disbeut ACTH. ACTH penting karena melintasi aliran darah ke kelenjar adrenal, sementara ini menyebabkan korteks adrenal mensekresi hydrocortisone dan jgua sedikit aldosterone ke dalam aliran darah (Oken, 1967).
PElepasan epinephrine dan hydrocortisone ke dalam aliran darah memilki efek memombilisasi tubuh utnuk krja (dengan meningkatkangula darah, denyut jantung dan tekanan darah) sehingga kita bisa menangani stressor dengan lebih baik.suatu jenis mekanisme feedback harus ada karena ketiak level darah hidrokortisone meningkat, otak menghentikan produksi ACTH dan juga hydrocortisone.
Ketika stresor diatasi atau hilang, aktivitas system pituitary adrenal berkurang dan kita kembali ke keadaan yang lebih rikels. Bagian anterior (depan) hipotalamus Nampak penting dalam hal ini dan bisa bekerja menghambat bagian posterior (belakang) yang aktif ketika kita mengalami stress (bovard 1967).
Orang yang paling bertanggungjawab atas studi stress adalah Hans SElye yang system tiga bagian respon terhadap stress.

SIndrom adaptasi umum
Pada 1925 seorang mahasiswa kedokteran usia 18 tahun bernama Hans Selye memperhatikan gejala-gejala penyakit menular. Saat itu dia melihat gejala-gejala umum yang dimiliki pasien, bukan gejala-gejala yang dia harapkan (Seyle, 1956).
Masih tak dibiaskan oleh pemikiran medis saat itu, Selye mencatat bahwa sebagian besar penyakit memilki serangkaian gejala umum. Pasien kelihatan dan merasa sakit, lidahnya kaku, mengelhkan sakit dan nyeri pad asendi dan kehilangan selera makan serta mengalami demam. dengan kondisi ini dia menyebutkan ada serangkaian gejala umum yang membuat sesorang menentukan suatu penyakit. Meski para praktisi medis saat ini tertarik pada gejala-gejala khusus, Selye dihadapkan oleh tingkat overlap yang besar dalam gejala-gejala umum dari satu penyakit ke penyakit lainnya.
Hingga 10 tahun kemudian Selye mulai mencocokkan observasi awalnya ini dan sampai pada konsep stress. Dia melakukan riset pad hormone seks dan menemukan bahwa menyuntik binatang dengan hormone placenta ataui overaian menyebabkan serangkaian perubahan, termasuk pembesaran korteks adrenal. Penyusutan kelenjar thymus dan lymph node dan ulcerasi pada saluran gastrointestinal. Dia segera menemuakn abhaw injeksi setiap zat asing atau beracun bisa menyebabkan efek yang sama. Dengan kata lain, respon-respon tubuh yang dia amati tidak spesifik, seperti gejala-gejala yang dia amati sebelumnya.
Hasil-hasil ini mendorong Selye mempelajari reaksi-raksi tubuh ketiak dihadpakan pada stressor. Dia sgera menemuakn bahwa perubahan yang dia temukan pada kelnejar adrenal, system lymph dan saluran gastrointestinal merupakan respon awal tubuh terhadap sebuah stressor. Dia menyebut respon ini reaksai pengingat.
Selama reaksi pengingat kekuatan tubuh dimobilisasi sehinga hidup bisa dpertahankan sehingga respon adaptif local (misalya inflamasi pada suatu titik infeksi) disekresi ke aliran darah untuk embantu tumbuh mempersiapkan diri dari serangan stressor. Epinephrine disekresi oleh adrenal medulla dan melintasi semua bagian tubuh, meningkatkan efisiensi sinapsis otot, mempercepat napas, meningkatkan denyut jantung dan seterusnya. Selama fase awal reaksi pengingat ini, resistensi kita tehradap stress di bawah normal tapi ini segra naik di atas normal.
Sekali respon adaptif local sudah dibangun, tahap kedua berkembang – Selye menyebutnya tahap resistensi. Selama peirode ini proses-proses menjadi lebih cepat penuranr eaksi pengingat hamper ke level normal. Daripada memobilisasi seluruh tubuh untuk mengambil suatu tindakan, dalam reaksi alarm, tahap resistensi membilisasi hanya sebagian tubuh yang diserang. Keammpuan beradaptasi dengan stressor lebih besar daripada normal selama tahap resistensi.
Jika pertahanan local tidak adekuat atau gagal mebatasi efek-efek stressor, resistensi akhirnya member jalan bagi tahap ketiga, yang selye sebut sebagai tahap pemnghabisan. Dalam tahap ini reaksi stressor menjadi umum lagi. Level kortikoid naik seperti kenaikan selama reakasi alarm. Hidup pad atahap ini bisa dilanjukans elama pertahanan ekstra yang dibawa oleh aktivasi seluruh system bis aberlangsung. Jika stressor tidak dihilangkan pertahanan tubuh akan dihabiskan dan kematian akan terjadi (Gambar 3.9). tiga tahap ini menyusun reaksi tubuh total terhadap stress, dan reaksi ini disebut sebagai sidnrom adaptasi umum (GAS).
GAS adalah serangkaian respon yang dipicu oleh stressor dan dirancang untuk menghilangkan atau mengandung unsure stress sehingga tubuh bisa mempertahankan hidup. Peruabhan fisiologis yang bekaitan dengan GAS inilah yang kita alami sebagai stress (Selye 1956m, 1973).
GAS diaktivasi tidak hanayh olehs t res-stes fisik seperti infeksi tapi juga ole sters-tres psikologi seperti kecemasna, suar abising, atau kerumunan. Tubuh bereaksi dengan cara yang sama terhadap semua stressor. Karena stressor seperri kecemasan tidak bisa dihilangkan dengan mudah, stressor bisa menyebabkan kerusakan apda diri kit adnenga membaut GAS tetap aktif. Dalam hal ini problem-problem seprti ulcer, tekanan darah tinggi, dan bahkan tipe-tipe penyakit ginjal terstentu mungkin disebabkan oleh stress psikologis. Sehingga respon GAS tidak selalu adaptif; karena suatu alas an, respon ini mungkin tidak tepat untuk problem. Ketika terjadi, kita menderita, menurut Selye, penyakit adaptasi.

Penyakit-penyakit adaptasi
Kadang-kadang respon tubuh bisa tidak adekuat atautidak tepat terhadap stressor. Misalnya salah satu proses paling dasra dalam control stresoor fisik adalah inflamasi. Inflamasi memberikan hambatan yang membatasi persebaran stressor (infeksi misalnya). Jika tubuh bereaksi terhadap partikel asing, inflamasi bisa menimbulkan bahaya lebih besar ketimbang partikel tersebut. Ini lah yang terjadi pad areaksi-reaksi alergik terhadap serbuk bunga. Selye percaya banyak penyakit merupakan penyakit adpatasi di mana tubuh bereaksi secara tidak tepat terhadap stressor.
Satu aspek baru dari teori Selye adlaah ide bahwa setiap kita hanya memilki sejumlah tertentu energy adptif. Energy adaptif adlaah zat hipotetis yang dipakai ketika kita stress. Selye percay abahwa penuaan dan kematian disebabkan oleh habisnya energy adaptif ini; kita bisa menggunakannya degna epat dengan hidup sangat stress, hidup singkat; atau kita bisa membagi-baginya dengan hidup lebih lama dan stress leih kecil. Saat ini terdapat sedikit bukti yang mendukung adanya energy adaptif.
Satu problem dari teori Selye berkatian dngan pemicuan reaksi kewaspadaan. Sesuatu memicu reaksi kewaspadaan tapi proses-proses aktualnay tidak jelas. Oken (1967) percaya bawha pemicu GAS bisaberupa emosi, karena hamper setiap emosi yang membangkitkan stimbulus menyebabkan aktivasi komponen pituitary-adrenal dari GAS. Riset yang diarahkan pada sinyal atau beberapa sinyal yang bisa mengaktivasi respon stress adalah sebuah tugas kompleks
Rioset Selye menghasilkan ribuan studi tambahan tentang stress. Pemahamanmenyeluruh tentang bagaimana stgres fisik atau psikologis mempengaruhi perilaku sangat penting. Stress, di satu sis ibis amemotivasi kreativitas; di sisi lain ini bisa menciptakan tekanan darah tinggi dan ulcer. Satu bidang di mana stress sudah dipelajari adlah hubungan stress dengan perubahan-perubahan hidup signifikan di satu sisi dan terhadap penyakit di sisi lain.

Perubahan hidup, stress dan penyakit
Satu area riset sudah bersuaha membahwa jarring-jaring hubungan antar stress dan penyakit – topic tentang perubahan hidup. Riset perubahan hidup, seperti sebagian besar ilteratur tentang stress, bisa dilacak balik hinngga Walter Cannon (Dohrenwend & DOhrenwend, 1974). “peta hidup” yang dibuat oleh Adolph Meyer pada 1930an juga merupakan salah astu usaha terawal untuk menghubungkan perubahan-perubahan dalam kehidupan pasien dengan penyakit. Riset Meyer merintis studi-studi modern hubungan anara stress dan penyakit.
Ide dasar yang mendasari riset perubaahn hidup adlah peristiwa-perisitwa di kehidupan kita mempengaruhi kerentanan kita terhadap penyakit mental dan fisik. Riset berfokus terutama pada usaha-usaha untuk membaut skala beragam perubahan hidup dalam hal jumlah penyesuaian yang diperlukan dari perubahan-eprubhaan tersbeut dan kemudian mengkorelasikan perubahan-peurbahan hidup tersebut dengan terjadinya penyakit atau pencarian bantuan professional.
Studi-studi jangkma panjang dilakukan oleh Hinkle (1974) yan gmenguji kesehatan dan catatan para pekerja perusahaan telpon selama 20 tahun. Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa beberapa orang lebih mudah sakit ketimbang yang lain. Orang-orang yang mengalami hari libur lebih lama mengalami lebih sering penyakit baik minor atau mayor. Penyakt-penyakit ini juga cenderung berkelompok di sektiar peirode kehidupan tertentu individu. Pengelmopomkan ini terjadi selama waktu-waktu di dalam kehidupan orang-orang ketika lingkugnan social atau hubungan interpersonal meerka menimbulkan tuntutan besar. Hubungan stress-penyakit bukannya tidak bervariasi, meski demikian, karena Hinkle mencatat banyak orang mengalami stress yang luar biasa tapi tidak menjadi sakit. Dia menyatakan bahwa individu yang sehat Nampak secara emosional mampu melindungi diri mereka dari perubahan hidup drastic yang terjadi pada mereka. Insulasi emosional Nampak melibatkan kemampuan utuik emlangkah balik dari peristiwa-peristiwa emosional dan menjaga perspektif mereka.
Thomas Holmes dan rekan mengembangkan sebuah skala perubahan hidup utama yang mereka ketakhui berhubungan dengan penyakit. 43 item skala (disebut SRRS) dirating oleh orang-orang menurut jumlah penyesuauan yang diperlukan oleh even-even tersebut. Tidak semua item negative: beberapa positif seperti perkawinan atau perayaan Natal. Meski dmeikain semuanya memerlukan suatu coping atau adaptasi pada orang yang mengalami perubahan.
Scaling 43 item mendorong penentuan item mana yang memerlukan cping atau penyesuaian paling bagus. Seperti bisa dilihat dalam table 3.1,. (Holmes & Rahe, 1967), kematian pasangan memerlukan adaptasi terbesar, diikuti oleh perceraian, perpisahan perkawinan dan seterusnya. SRRS diberikan pada segala kelompok (Dewasa, mahasiswa, remja) dan perjanjian pad jumlah peneysuaian yang dilperlukan oleh beragam pengalaman hidup sangat konsisten, bahkan secara lintas budaya. Sejak pengemb anagn SRRS awal beberapa modifikasi telah dibuat dan beberapa alat pengukruan stress hidup lainnya sudah dikembangkan.
Para peneliti menemukan bawha perubahan-perubahan hidup cenderung mengelompk secara signifikan dalam 2 tahun sebelum onset penyakit. Studi-studi menunjukkan bahwa dengan p eningkatan jumlah unit perubahan hidup (disebtu LCU ukuran jumlah perubahan hidup dalam suatu unit waktu seperti 6 bulan atau setahun) membuat peluang sakit juga meningkat/
Banyak ivnestigasi sebelumnya tentang peurbahan hidup dan penyakit merupakan studi-studi retrospektif, di mana individu dimitna menyebutkan kapan penyakit dan perubahan hidup terjadi. Para peneliti kemudian mencari hubungan antara penyakit dan perubahan hidu yang mungkin mengawali penyakit. Skor-skor LCU mulai dari 150 hingga 1999 dalam satu tahun diangagp sebagai krisis pertengahan hidup dan ditemukan bahwa 37% dari individu yang member skor did alam rentang ini melaporkan mengalami perubahan kesehatan utama. Skor-skor LCU di antara 200 dan 299 diartikan sebagia krisis hidup sedang, dan persnetase orang-orang yang melaporkan perubahan kesehatna utama naik menjadi 79% (Homes dan Masuda 1974). Holmes percaya bahwa onset penyakit setelah perubahan utama hidup terjadi dalam satu tahun.
Studi-studi prospektif, di man aindividu member inforamsi tentang perubahan hidup terbaru dan ditanya kemudian tentang perubahan-peurbahan pada keshatan mereka jgua telah dilakukan. Inti dari studi ini adalah untk melihat apkah perubahan dalam peristiwa-peristiwa hidup bisa memprediksikan perubahan-perubahan kesehatan di masa mendatang. Holmes dan masuda menyebutkan beberapa studi yang mengindikasikan bawha peurbahan hidup juga memprediksikan penyakit di masa mendatang. Dalam satu studi, 86% dari individu yang mendapat skor di atas 300 LCU mengalami perubahan kesehatan utama kadang-kadang sleama dua tahun berikutnya (48% yang member skor antara 200 dan 299 dan 33% yang member skor antara 150 dan 199 mengalami perubahan kesehatan utama).
Salah satu studi prospektif paling menarik melibatkan prediksi performa berdasarkan pada skor-skor perubahan hidup terbaru, dalam sebuah situasi stress kopetitif lama. Even pkompetitif adalah sebuah lomba balap anjing yang mencakup 1.049 mil antara Anchorage dan Nome, Alaska. Para menemukan adanya korelasi negative signifikan antara skor perubahan hidup dan urutan finis dalam lomba; semakin besar jumlah perubahan hidup yang terjadi pada diri seseorang, semakin buruk orang tersebut menang dalam lomba. Meski jumlah subyeknya sedikit, tapi hasilnya cukup berguna.
Roskies, LIda-Miranda dan STrobel (1975) mempelajari perubahan hidup dan penyakit pad sekleomok imgiran POrtugis di Kanada. Temuan-temuan mereka menarik karena dua hal. Pertama, 68% dari subyek tersebut masuk eke dalam kategori krisis hidup sdang atau utama, namun sampel portigis tidak menunjukkan isniden penyakit yang besar ketimabg populasi kanada scara keseluruhan. Menderita peurbahan penyakit utama imgirasi tidak menempatkans esoerang pada sebuah kategori resiko tinggi penyakit, meski para peneliti tersebut menemukan korelasi signifikan antara perubahan hidup dan penyakit.
Kedua, temuan yang lebih menarik adalah terdapat perbedaan jenis kelamin signifikan berkaitan dengna perubahan hidup dan penyakit di antara kelompok inigram ini. Wanita imigran lebih mudah sakit ketimbang pria imigran, dan korelasi antar aperubahan hidup dan penyakit untuk wanita jauh lebih kuat. Tidak ada hubungan signifikan di antara peurbahan hidup dan penyakit untuk pria. Dan untuk sub kelompk pria (muda atau berpendidikan tinggi atua keduanya) hubungan ini negative, menunjukkan bawha bagi mereka perubahan hidup dikaitkan dengan kesehatan. Kemungkinan adanya perbedaan jenis kelamin dalam hubungan antara perubahan hidup dan perubahan kesehatan memerlukan studi sistematik
BNedell dan rekan (1977) mempelajari perubahan-perubahan hidup aank yang mengikuti camp 3 minggu untuk penyakit kronis. Anak-anak ini diberi barterei uji kepribadian dan versi SRRS anak-anak. Anak-anak ini digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan pada skor-skor perubahanhidup mereka; kelompk stress rendah yang member skor anak-anak tersbeut normal, dan kelompok stress tinggi yang skornya jauh di bawah normal. Hasil-hasil dari kuesiner menunjukkan bahwa kelompk sres tinggi, dibandingkan kelompk stress rendah memiliki konsep diri yang lebih buruk, menganggap diri mereka bertidnak buruk, mengatakan mereka kurang menarik dan kurang popular, dan mesa mereka kurang sukses di sekolah. Anak yang sangat stress cenderung membuat evaluasi diri negative.
Studi juga menemukan bahwa kelompk strs tinggi lebih sering mengalami problem kesehatan daripada kelompok stress rendah. Selama peirode kamp 3 minggu, 69 episode penyakit terjadi pada kelompok sres tinggi, dibandingkanhanya 19 pada kelompok stress rendah. Karena dua kelompok ini dibandingkan untuk tipe dan tingkat keparahan penyakit, kelompok stress tinggi lebih rentan teerhadap episode penyakit akut. Seseorang menduga apakah anak-anak berpenyakit kronis kurang mampu beradpatasi dengan stress-stres tambahand ari perubahan hidup dan lebih rentan terhadp penyakit akut. Seperti mereka catat, bukti paling kuat untuk penyakti kardiovaskular, penyakit menular dan komplikasi kehamilan.

Problem-problem riset perubahan hidup
Beberapa studi mempertanyakan SRRS dalammemprediksikan penyakit. Ada sedikit keraguan bahwa sebauhubungan antara perubahan hidup dan perubahan kesehatan ada, tapi korelsi ini, meski signifikan,s eringkali sangat kecil dan mencakup sedikit variasi total di dalameksperimen. Artinya adalah SRS bisa memprediksikan perubahan-peurbahan umum pad akesehatan yang berasal dari peurbahan-perubahan di antar akelompok-kelompok besar. Tapi memprediksikan sangat sedikit tenatng peluang-leuang penyakit untuuk individu tertentu yang disebabkan oleh peurbahan-peurbahan hidup.
Perbedaan-perbedaan individu selau menjadi probem terbesar dalam usaha untuk memahami bagaimana peristiwa-peirsitwa hidp berhubugnand engan penyakit. Perisiwa yang sama Nampak tidak mempengaruhi orang secara sama. Rahe (1974) menyebutkan kita perlu memahami lebih tentang bagaimana orang-orang menangani perubahanhidup baik scara psikologi danfisiolgoi sebelum kita berharap memahami pengapa perubahan-perubaan hidup bisa mempengaurhio seseorang tapi tidak orang lain.

MEnetralkan Efegk-efek PEurbaahn hidup dan stress
Bahwa beberapa orang mengalami banyak peurbaanhidup dan tidak menyadi sakit menunjukkan bahwa orang-orang tersebtu mungkin mampu mengurangi efek-efek stress dari peurbahan-perubahan hidup. Riset yang menguji efek-efek penetral variable-ariabel kepribadian dan strategi yang emngurangi stress mendukung ide ini. Sejumlah studi mengidentifikasi beberapa variable yang Nampak berperan. Beberapa variable itu antara lain kekersan, latihan, duungan social, orientasi peran seks, kompleksitas diri, humor danoptimisme.
Misalnya KObasa dan rekan (1982) menguji efek dari dua variable terhadpa hubungan penyakit-stres. Variabel pertama adalah gaya kepribadian yang mereka sebut kekerasan (Kobasa 1979). Kekerasan dianggap sebagai kombinasi dari tiga karakteristik kepribadian – komitmen, control dan tantangan – yang berfungsi menetralkan efek-efek stress karena mereka dikaitkan dengna keingintahiuan dan minat dalam pengalaman-pengalmaan hidup. Lebih lanjut, individu yangkras percaya mdirinya bisa mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka danperubahan ini bersifat alami. Sikap-sikap ini membantu ment\etralkan efek-efek stress karena membantu individu menangani peristiwa-peirsitwa hidup yang berubah dalam suatu perspektif (Kobasa et al 1982). Studi varibel kedua oleh KObasa dan rekan adalah latihan. Kmeski latihan sering diuji berkaitan dengna system kardiovaskular para peneliti ini tertarik pada efek latihan sebagai penetra stress yang diakibatkan perubahanhidp.
Dalam studi cermat inim para peneliti menemukanbahwa kekerasan dan latihan mengurangi kemungkian penyakit akibat perubahan hidup yang menimulkan stress dalam sampel 137 personel manaemen tingkat menengah dan atas serta berjenis kelamin pria. Selain itu, efek penetral dari keerasan dan latihan bersifat independen dan adititif. Efek buffering terbesar ditemukan pada subyek yang memiliki skor kekerasan dan latihan tinggi. Apra peneliti mengusulkan bawha efek penetral dari dua variable ini adalah pada spek-aspek aygn berbeda dari hubugnjan stress-penyakit. Mereka peraya bahwa kekerasan mentrnansformasikan peristiwa-peirsitwa yang menimbukan stress dan mengurangi stingkat stress, sementara latihan mengurangi tegangan fisiol;ogis dan psikologis pada individu dari perisitwa ptersebut. Sehingga efek penetral dari dua variable ini cukup berbeeda; satu mengurangi stress itu sendiri, sementar yang lain mengurangi efek merugikand ari stress terhadap orang itu. Akibatnya titik-titk kerja yang berbedaini, kekerasan dan latihan bersifat aditif dalam engurangi efek perubahan hidup terhadap penyakit.
Hasil-hasil studi Kobasa dan rekan (1982). Konsiten dengna badan riset umum yang menunjukkan bahwa dimesni keterkontrolan-ketidakterkontrolan dari peirsitwa yang menyebabkan stress penting dalam menentukan efek-efek perubahan hidup terhadap penyakit. Misalnya Johnson dan Sarason (1978) menunjukkan subyek yang mengindikasikan suatu keyuakinan lokus control internal menunjukkan korelasi yang lebih rendah antara peurbahan-perubahan hidup dan penyakit selanjutnya daripada subyek yang menyatakan keyakiann dalam sbeuah lokus control eksternal. Demikian juga Stern, McCants dan PEttine (1982) menemukan item-itempad SRS yang dinilai tidak terkontrol oleh subyek lebih berkaitan dengan penyakit daripada item-item yang dinilai sebagai hal terkontrol. Selain itu merkea menemukan bawha item-itemaygn dianggap tak bisa dikontrol juga dinilai lebih menimbulkan stress. Harus dicaat bahwa kesepakatan subyek tentang bagaimana peristiwa-peristiwa yang bisa dikotnrol yang berbeda adalah sangat divergen; apa yang dianggap oleh satu subyek bisa dikontrol sering dianggap tak terkontrol oleh orang lain. Selain itu merek amenemukan bawh item-item yang dianggap tak bisa dikontrol juga dinilai lebih menimbulkan stres. Hasil-hasil yang sama dilaporkan oleh SUls dan Mullen (1981) yang menemukan bahwa ketidakinginan dan ketidakterkontrolan berkaitand engna insiden gejala-gejala stress psikologis. Mungkin korelasi rendah antara peurbahanhidup dan penyakit sebagian disebabkan oleh persepsi-persepsi keterkontrolan yang berbeda. Seprti dicatat oleh Stern dan rekan, ketidakterkontrolan peristiwa terbukti menjadi indeks stress yang lebihbaik daripada perubahan-perubahan hidup. Riste di atas menyatakan bahwa keaykiann bahwa seseorang bisa mengontrol perisitwa hidupnya merupakan mekanisme adaptif penting untuk mengatasi stress.

Kritik terhadap Konsep Ketangguhan
Baru-baru ini beberapa riset mulai mempertanyakan peran ketangguhan dalam menetralkan efek stress. Mungkin kritik yang paling kuat adalah ukuran-ukran ketangguhan dicrancukan dengan ukuran-ukuran neurotisisme. Skala-skala yang dipakai untuk mengukur ketangguhan umumnya demikian dengan mengukur cirri-ciri selerti alienasi dan ketidakberdayaan. Ketangguhan kemudian diindiaksikan oleh skor-skor yang rendah pad askala-skala tersebut. Karena tidak adanya cirri-ciri negative dibuktikan sebagai ketangguhan, kemugninan yang diukur adlaha tidak adanya neurotisisme daripada ketangughan itu sendiri. Funk (1992) menyatakanbawha skala-skala ketangguhan perlu dimodifikasi untuk memasukkan item-item yang lebih positif dan item-item yang menyaring neurotisisme harus dihilangkan.
Hubungan-hubungan social kita bisa mempengaruhi kesehatna kita (House et al 1988). Diketahui bahwa tingkat kematian dari semau sebab lebih tinggi di antara orang yang tidak menikah ketimbang orang yang menikah. Orang yang tidak menikah dan terasing secara social mengalami angka tuberculosis, kecelakaan dan gangguan psikiatrik yang lebih tinggi.
KOrelasi antara hubungan social dan kesehatan mendorong beberapa peneliti mengusulkan bahwa hubungan social bisa mendukung kesehatan dengna menetralkan efek stress. Satu aspek penetral dari ineraksi social yang sudah dipelajari adlah sifat suportifnya. Teori dukungan social mengusulkan bahwa hubungan menetralkan efek stress melalui dorongan seseorang atau beberapa oragn terhadpa orang yang mengalami stress. Dukungan social bisa mendukung kesehatan yang lebih baik melalui bantuan praktis, kenyamanan emosional, penetapan rasa bermakna dan koherensi apda hidup, membantu peirlkau kesheatan yang bagus (tidur yang benar, diet, latihan dan sterusnya), promosi afek positif, pengembangan rasa berarti, atau kombinasi dari antaranya.
Yang menarik, dukungan social bisa lebih efektif sebagai penetral bagi pria atau untuk orang-ornag yang menunjukkan orientasi peran seks maskulin. Karakteristik-karakteristik lain selain dukungan social yang bisa member efek penetral terhadap hubungan penyakit-strs. Peterson dan rekan (1988) melaporkan bahwa gaya eksplanatoris 9cara kit amenjelaskan perisitwa) memprediksikans atus kesheatan 20 hingga 30 tahun kemudian. Mereka menemukan bawha gaya penjelasna pesimistik (mengatributkan peristiwa-perisitwa buruk pada factor-faktor stabil, global dan inernal) pada usia 25 memprediksikan kesehatan yan gburuk pada usia 45 hingga 60. Para subyek dalam studi ini yang mencatat peristiwa peristiwa buruk dalam hidup mereka dengan gaya penjelasan yang lebih eksplanatoris (menyebut perisitwa buruk tersebut pada sebab yang tak stabil, spesifik, dna eksternal) lebih sehat daripada kleompok pesimistik. Satu implkasi dari studi ini adalah bahwa menginterpreasikan sebuah peirsitwa buruk secara optimistic bisa meredakan efek-efek stress dari peristwia tersebut. Kita harus hati-hatid alam mengambil kesimpulan hingga bukti lebih lanjut tersedia. Kemungkinan ada variable lain yang mempengaruhi gaya peksplanatoris dan kesehatan dalam hidup.
Satu penetral potensial dari hubungan stress-penyakit yang sudah diselidiki adalah gaya ekspresif. Para peneliti menemukan bahwa penggunaan humor sebagai cara menangai peristiwa stress. Sebenanrya, studi mereka melaporkan subyek yang sering menangis menunjukkan meningkatnya level gangguan mood ketika peristiwa-peristiwa negative sering muncul.
Mungkin gaya penjelasan (pesimistik-optimistik) dan gaya ekspresif (menaing-humor) berinerkasi dalam efek-efek buffering. Sesoearng mungkin memprediksikan penetral paling kecil ketika gaya penjelasan pesimisme dihubungand ngan gaya penjelasan ekspresif berupa sering menangis. Logika ini menyatakanbahwa buffering terbesar akanberasal dari komnbiansi gaya eksplanatoris optimistik dan gaya ekspresif humoris. Rist dimasa mendatang mungkin emmberikan penejlasan atas efek-efk penetral interaktif tersebut.
Beberapa teknik untuk mengatasi stress dengan sadar juga diusulkan. Kami akan menutup bagian ini dengan menyeb utkan sedikti di antaranya.
Selye (1956) percaya bahwa pengetahuan itu bersifat menyembuhkan. Jika kita menghilangkan suatu misteri dari sebuah proses ini menjadi lebih menakutkan. Ini menyatakan bahwa mengetahi sesuatu tenatenag reaksi-raksi terhadap sres akan emmbantu kita menangani stress. Menyadari kita kuat seringkali membantu kita mengurangi ketegangan.

Studi-studi HIkle selama bertahun-tahun menunjukkan beberapa orang mentoleransi stress lebih baik daripada yang lain. Dia mencatat mereka yang mentolernasi stress dengan baik dan tetap sehat Nampak mampu uintuk melindungi diri secara emosional dari perisitwa-peristiwa di sekitar mereka. Mungkin kemapuan untuk menjadi obyektif dan menerima situasi yang tidak bisa diubah membantu orang-oarng ini mentoleransi stress.
George Ruff dan Sheldon Korchin (1967) mempelajari bagaimana para astronot MErkuri menangani stress. Para astronot ini memiliki dorongan kuat untuk menguasai dan berprestasi, yang sering difrustasikan oleh penundaan program yang tak terhindarkan dan problem peralatan. Bagaimanapun para astronot ini mampu mentoleransi stress dengan baik, terutama dengan mengalihkan frustasi-frustasi yang terjadi sementara ini ke masa depan. Selain itu par astronot cenderung menggambarkan dirinya positif secara emosional, dan kecemasan antisipatoris Nampak membantu perforam emreka. Misalnya, ketika mereka cemas tentang suatu kondisi tidak beres, mereka segera beralih ke rencana kontingensi untukkondisi darurat tersebut. Mandler (1967) mencatat bahwa salah satu dari respon yang paling adaptif terhadap stressor adalah memiliki rencana pengganti untuk kesempatan iut. Mungkin yang kita pelajari dari para astronoot ini dan menangnai situasi-situsi stress kita dengan merumuskan rencana kontingensi.
Banyak orang tertarik pada meditasi sebagai cara mngurangi stress dalam hidup mereka. Herbert Benson menulis sebuah buku yang sangat menarik, The Relaxation Response (1975) yang menganalisa banyak tipe teknik meditative dan menyaringnya menjadi empat langkah umum. Menurut Benson semua tipe meditasi mendukung relaksasi. Dia percaya bahwa meditasi mengurangi stress karena melawan overaktivitas system saraf simpatetik pada level hipotalamus (Benson 1975; Benson et al 1977; Hoffman et al 1982). Sehingga teknik meditasi menyebabkan berkurangnya stress dengan mengaktivasi mekanisme-mekanisme neural yang melawan atau menghamabt system saraf simatetik dan respon-respon stress tubuh. Meski demikain, lebih banyak karya tentang efek-efek fisiolgosi meditasi terhadap stress yang diperlukan sebelum kita mengambil kesimpulan.

Ringkasan
Dalam bab ini kami sudah menguji teori-teori dan riset yang menyarankan bahwa motivasi dan emosi bisa dipahami menurut teori kegairahan. Teori kegairahan diperkuat oleh penemuan mekanisme-mekanisme otak yang berfugnsi mengaktivasi korteks (system aktivasi reticular otak tengah) dan ini mendorong pada pengembangan teori-teori yang mengusulkan bawha kegairahan adalah motivasi. Segera menjadi jelas bahwa kegairahan bukan sebuah proses unitary tapi terdiri atas beberapa tipe kegairahan (kortikal, otonom, behavioral). Teori kegairahan sudah melangkah lebih jauh dalam hal motivasi. Jika kita menyebutkan bahwa organism yang tergairahkan itu termotivasi, apa yang menentuka apakah organism ini makan, minum, berhubungan seks atau tertidur? Teori kegairahan sedikit menyebutkan tentang aktivasi motif-motif tertentu atau arah yang diambil oleh perilaku tersebut.
Tidur pada awalnya diangagp melibatkan sedikit kegairahan. Kita sekarang tahu bahwa ini juga terlalu disederhanakan. Pencatatan aktivitas listrik otak menunjukkan perubahan-perubahan tertentu pada level-level tidkru yang berbeda dan juga menunjukkankemiripan-kemiripan dia ntara aktivitas kortikal selama tidur REM dan sleama terjaga. Studi-studi fisiologis mulai mencata system-sistem yang terlibat dalam tidur dan menunjukkan mekanisme batang otak berperan utama dalam proses tidur dan bermimpi. Meski peran struktur-struktur otak lainya masih belum jelas, mereka juga Nampak terlibat aktif dalam proses tidur.
Penyimpangan-penyimpangan besar dari level fungsi normal kit abis amenyebabkan kondisi kegairahan yang disebut stress. Stress dianggap sebagai usaha tubuh untuk mengasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Stress bisaterjadi dari sebab-sebab fisik dan psikologis dan menyebabkan pada reaksi umum yang disebut sidrom adaptasi umum. Banyak reaksi stress melibatkan kelenjar pituitary dan adrenal dari system endocrine. Aktivasi sumbu pituitary-adrenal dipicu oleh persepsi sebuah stressor, menyebabkan mobilisasi tubuh untuk mengatasi stress.
Banyak riset yang dilakukan pada hubungan perubahanhidup dan penyakit mengindikasikan hubungan di antara keduanya. Problem utama pada riset perubahan-hdup adlaah idnvidiu memiliki keammpuan yang berbeda dalam me nahan stress. Perbedaan-perbedaan individu tersebut pada efek perubahan hidup dan penyakit saat ini bersaal dari agen-agen penetral yang mengurangi efek stress. Gaya kepribadian ketangguhan, latiahn fisik dan kontrolabilitas disebut-sebut sebagai factor-faktor yang mengurangi hjubungan antara perubahan hidup dan stress.
Sebagian besar orang kemungkinan mampu mengurangi jumlah stres yang mereka alami. Riset menunjukkan bahwa pengetahuan reaksi-raksi tubuh terhadap stress dan persiapan rencana altenratif untuk mengatasi frustasi yang menyebabkan stress adalah cara-cara efektif mengurangi strs. Beberapa orang juga lebih kebal terhadap stress karena mereka bis amelindungi diri secar aemosioal dari perubahan-perubahan hidup yang mereka alami. Teknik-teknik meditative bisa efektif mengurangi stress karena pengalaman meditative memicu mekanisme di dalam hipotalamus yang menghambat overaktivitas pada system saraf simpatetik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar