Rabu, 13 April 2011

bab 11 bu yani (ini finish)

BAB 11
MOTIVASI KOGNITIF: PENDEKATAN-PENDEKATAN ATRIBUSI

Pada Juli 1985 seorang pria yang baru dipecat dari pekerjaannya menyerbu sebuah restoran McDonald di surburb San Diego dan mulai menembaki orang-orang yang makan disana. Seluruh keluarga meningal dalam serangan tersebut – pria, wanita dan anak-anak. Yang paling muda meninggal berusia 8 bulan; yang tertua berusia tuju belas tahun. Seorang polisi mengakhiri tragedi ini dengan membunuh pria ini. Par apenyelama yang memasuki zona pertempuran ini menemukan 22 orang meninggal dan 19 orang luka, salah satu tragedi terparah dalam sejarah.
Setelah tragedi tersebut dikenal, pertanyaan pertama yang terucap adalah mengapa? Apa yang mendorong pria ini membunuh orang-orang yang bahkan tidak dia kenal? Penjelasan apa yang membantu kita memahmi bagaimana peristiwa ini terjadi? Kita mungkin tidak benar-benar paham mengapa pria ini merasa terpaksa untuk bertindak demikian, tapi inti dari bab ini adalah kit asemua berusaha memahami dan mengerti peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita, bukan hanya tragedi-tragedi seperti di atas tapi juga peristiwa-peristwia sehari-hari seperti mengapa koran terlambat datang pagi ini atau mengapa John berkata itu kepadaku.
Studi tentang bagaimana kita membuat keputusan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang kita alami disebut teori atribusi. Para psikolog sosial sudah menguji bagamana kit amembuat atribusi-atribusi tentang peristiwa; bagian-bagian berikut ini menjelaskan apa yang sudah mereka temukan.

Teori Atribusi
Satu aspek perilaku yang dimotivasi seara sosial yang mendapkan perhatian besar adalah teori atribusi yang erutama memperhatikan faktor-faktor yan goleh publik umum dianagp menyebabkan perilaku orang-orang. Orang-orang mengatributkan perilaku orng lain ke faktor-faktor tertentu – biasanya karakteristik kepribadian konsisten atau pad aspek-aspek situasi sosial orang yang terliba.
Teori atribusi menguji penjelasan-p;enjelasan yang kita dapatkan keitka kita mengamati perilaku seseorang dan menghubungkan pnejlasan-penjelasan tersebut dengan karaktersitik-karakteristik yang bisa diamati dari indiidu dan situasi.
Meski dperdebatkan apakah atrbusi yang kita buat besifat motivasional, nampak jelas bahwa atribusi berfungsi menguabh perilaku di masa mendatang, seperti variabel-variabel motivasional. Mari perhatikan beberapa teori atribuisi utamayangdiusulkan peneliti/
Jones dan rekan (1972) menyebutkan bwh studi proses-oses atribusi berkaitan dengna aturan-aturan aygndigunakan orang rata-rata untuk menduga sebab dan akbat. Heider (1958) menyebut analisis atribusi in isebagai psikologi naïve untukmenekankanbahwa atribusi-atirbusi ayng dipeljajadri adalah atribusi yang dbuat oleh orang-orang normal, bukan pada apa ayng bisa disimpulkan oleh pengmat terlatih.
Teori atribusi terletak padatiga asumsi dasar (Jones et al 1972). Pertama, diasumsikan bahwa kita berusaha menentukan sebab-sebab perilaku kita sendiri dan perilaku orang lain. Sebagia bagian dari asumsi ini, sebagianbesar ahli teori percaya kita termotivasi untuk mencari informasi yang membantu kita mebuat atirbusi-atrbusi tentang sebab dan akibat. Catat bahwa asumsi ini tidak menuntut kita menunjuk seab-sebab pada semua perilaku kita atau pada semua perilaku orang lain. Kit anampka mengatributkan perilaku-perilaku yang penting bagi kita. Yang menarik, Pittman dan Pittman (1980) memberi bukti bahwa motivasi yang mendorong kita membuat atribusi adalah kebutuhan untuk mengontro llingkungan kita. Kita memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang motivasi kontrol pada bab 12, tap perlu dicatat bahwa membuat atribusi akurat tentang peritiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita harus memungkinkan kita mengontrol peirstiwa-perisitwa tersebut dengan lebih baik. Kecuali kita tahu sebab-seab peristiwa, kita tidak mungkin mampu secara signifikan mempngaruhi mereka. Sehingga proses-proses atribusional bisa dipandang sebagai adaptif; mereka membantu kita memahmai dan selanjutnya mengontrol lingkungan kita.
Kedua, teori atribusi terletak pada asumsi bawha penunjukkan sebab-sebab perilaku dilakukan secara acak; yaitu ada aturan-aturan yang bisa menjelaskanbagaimana kita menyimpulkan apa yang kita lakukan tentang sebab-sebab perilaku. Dalam hal ini Beck (1978) menyebutkan kemirpan konseptual di antara ekspektansi dan atirbusi. Sebuah ekspektansi, seperti dicatatnya, adalah keyakinan (kognisi) y bahwa suatu hal akan mengiktui hal lain. Sebuah atirbusi adalah sebuah keyakinan tapi merupakan kebalikan dari espektaksi; yaitu sebuah atribusi adalah keyakinan bahwa stu hal mengikuti akiab hal lain. Sehingga ekspektansi dan atirbusi pada umumnya adlah sama. Yang memebdakannya adala waktu kita menganggap peristiwa-peristiwa yang berhubungan itu. Sebelum sya menaruh uang ke dalam mesin, saya mngharapkan uang akan menyebabkan munculnya soda. Ketka saya memilki soda, saya mengatirbusikan ini sebagai akibat dari uang.s emua perbedaan tersbeut berada pada waktu yang saya anggap sabgai hubungan uang-soda; tidak ada hal lain yang berubah.
Tentu kita juga memiliki ekspektnasi yang tidak melibatkan sebab dan akibat. Misalnya, saya mengharapkan mobil saya ada di garasi ketika saya membuka pintu; tapi saya tidak percaya bahwa saya membuka pintu garasi menyebabkan mobil ada di sana. Sehingga tidak semau ekspektnasi sama dengan atribusi.
Bagaimanapun, analisis Beck menyatakan bahwa banyak riset yang dilaporkand alam bab 9, di mana ekspektansi ditekankan sebagai faktor penting dalam perilakus eperti prestasi, bisa dianalisa sama mudahnya dari sudut pandang atribusi. Inilah yang nampak terjadi dan dalam bab ini kami akan mempertimbangkan secara singkat analisis atribusional motivasi prestasi yang disarankan oleh Weiner.
Asumsi akhir di mana teori-teori atribusi berada adalah sebab-sebab yang ditujukan pada perilaku-perilaku tertentu akan mempengaruhi perilaku emosioal dannon emosional selanjutnya. Atribusi yang ktia buat bisa mengaktivasi motif-motif lain. Teori-teori atribusi menyatakan bwha ktia termotiasi untuk mencoba memahmai lingkungan di mana kita berkecimpung. Lingkungan ini meiputi orang-orang yang bernteraksi dengan kita dan situasi-situasi di mana interaksi tersebut terjadi. Kemudian dengan mendapatkan inforamsiyang cukup, kita scara kognitif memprosesnya menurut aturan-aturan standar (sebagian besar tidak diketahu) dan membuat keputusan-keputusan (atribusi) yang berkaitan dengan bagaimana sebuah perisitwa berkaitan dengan peristiwa lain.
Teori atribsi mulai dengna karya Friz Heider yang teorinya akan kami selidiki.

Psikologi Naif Heider
Asal dari teori atribusi adalah dari Frizt Heider yang juga bertanggungjawab atas teori keseimbangan. Heidr (1944) pertama kali menjelaskan beberapa pemikirannya pada atirbusi perilaku dalam sebuah makalah ulasan. Kemudian dia memformulasikan pemikirannya menjadi apa yang disebut sebagai psikologi naif (1958). Heider memilih istialh naif untuk menekankan intid ari mnat utamanya – bagaimana orang rata-rata memutuskan apa yang menjadi penyebab perilaku. Sehinga dia tidak tertarik pada bagiamana seorang pengamat yang teerlatih scara obyektif bisa mengatribusikan perilaku tapi bagaimana anda dan saya dalam urusan sehari-hari mengatributkan kausalitas.
Heider menyebutkan bahwa seseorang bisa mngatributkan perilaku pad akekuatan-kekuatan di dalam indiidu (disposisi) atau kekuatan-ekkuatan kesterna;l bagi individu (faktor-faktor situasional). Disposisi meliputi faktor-faktor seperti kebuthan,.harapan dan emosi dan juga kemapuan mamaksud dan keinginan seseorang untuk bekerja. Disposisi-disposisi baisanya dibagi menjadi kemampuan dan motivasi, dengan motivasi disub bagi lagi menjadi tujuan dan eksersi .
Atribusi-atribusi situasional meliputi keberuntungan dan kesultian tugas. Sehingga ketika kita menilai perilaku orang lain (atau perilaku kita), kita bisa mengatributkan perilaku yang diamati tersebut padakemampuan atautidak adanya tujuan, eksersi, keuslian tuga atau keberuntungan. Kita mungkin mengatributkan sbuah perilku pada setiap hal tersebut, tapi Heider menyarankan bahwa sebagai sebuah aturan kita cenderung mengatributkan perilakukepada sebab-sebab internal bukannya eksternal. Menurut Heider, aturan-aturan atirbusi dibiaskan ke arah sebab-sebab prsonal. Kecendeurngan untuk mengaributkan perilaku pada karakteirstik stabil dan intenral disebut eror atribusi fundamental karena atrbusi-atribusi kita cenderung dibiaskan kepada penjelasan-penjelasan situasional. Gamabr 11.1 menunjukkan model Heider. Poin pilihan atribusi merepresentaskan poin di mana seseorang mencoba memutuskan bagaimaan mengatributkan perilaku.
Panah berat yang menuju ke arah atribusi-atribusi disposisional mengindikasikan bias yang terjadi ke arah memilih alternatif tesebut
Satu saran (deCharms 1968) adalah bias rata-rata kita ke arah atribusi dipsosisional bisa beasal dari usaha kita untuk mempengaruhi perubahan; yaitu kita secara sadar berusaha mengontrol situasi-situasi pribadi kita dan masuk akal bagi kita untuk mengasumsikan bahwa perilaku orang lain disebabkan oleh hal yang sama. Perlu disebutkan bahwa usaha kita untuk mengontrol lingkungan tidak bearti sebagian besar perilaku kita disebabkan secara disposisional; sebenarny ini serngkali situasional meski demikian usaha kita untuk mengonrol masih cenderung membaiskan kita ke arah penjelasan-p;enjelasan disposisional untuk diri kita dan orang lain
Bias ke arah atribusi-atribusi disposisional ini berarti kita cenderung menyalahatributkan perilaku-perilaku yang ditentukan secara situasinal. Misatribusi tersebut bisa menimbulkn dampak-dampak di masa mendatang karena akan membentuk cara kita bertindak dalam situasi-situasi yang sama nanti. Misalnya, mahasiswa yang menyebutkan kegagalan di uniersitas sebagai tidak adanya kemampuan bisa berakhir dalam situasi kerja yang membosankan – ketika nilai jelek bisa timbul dari beban kuliah ayngburuk atau leh mononukleosis. Ketika para mahasswa berperilaku di sektiar kita, kita harus hati-hatiuntuk tidak membaut atribusi-atribusi disposisioanl tentang diri kita atau orang lain dengna bkti yang sedikit – khususnya karena atribusi-atribusi yang dibuat sangat sulit untuk brubah.
Pendekatan Heider merupakan awal dari penelitian tentang teori atribusi. Problem utama dengan pendekatannya adalah pendekatan ini tidak menghasilkanhipotasis khusus yang bisa diuji dengan mudah di lboratorium. Pendekatannya adalah kerangka umum yangmeningalkan determinan-determinan spesifik dari atribusi-atribusi yang tidak ditetapkan.

Teori Korespondnsi Jones dan Davis
Jones dan Davis (1965) memperluas pendekatan Heider untuk membuat komponen-komponenatirbusi disposisional menjadi lebih spesifik. Mereka menyatakan bawha orang-orang yang membuat atribusi kausal melihat perilaku dalam kaitannya dengan perilaku-perilaku lain oleh individu tersebut; yaitu orang-orang mengamati sebuah perilaku, membuat dugaan tentang tujuan dari perilakut ersebut lalu membandinkan tujuan terhadap perilaku lain yang dibuat oleh individu saat diamati dimasa lalu. Dalammembuat sebuah atribusi, Jones dan Davis percaya bhwa kita mencari korespondensi antara perilaku yang diamati dan tujuan yang diduga dari perilaku tersebut. Misalnya, orang yang bertengkar dengan marha dengan seorang klerk toko dan yang bertindak sama dengan orang lain di masa lalu kemungkinan memiliki perilaku permusuhan yang ditujukan pada karakteristik disposisioal – akren inferensinya adalah perilkau orang tersebut berasal dari karakteristik internal. Dengan kata lain, jika korespondensi di antara perilaku yang diamati sebelumnya tinggi, Jones dan Davis percaya kita cenderung menduga atribusi-atribusi disposisional.di sisi lain ketika korespondensinya rendah, kita cenderung membuat atirbusi-atribusi situasional.
Beberapa faktor bisa mempengaruhi interpretasi kita tentang korespondensi di antara beberapa perilaku. Misalnya, perilkau yang diharpakan secara sosial diberi bobot yang lebih rendah ketika kita membuat atribusi-atribusi disposisional. Desirabilitas sosial (bertindak dengan cara=cara yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat dari anda) ketiak diduga oleh seorang pengamat, mengurangi peluang perilaku tersebut akan diatributkan pad disposisi. Satu cara berpikir tentang desirabilitas sosial adalah pengamat memiliki penjelasan yang bergantian untuk perilaku tersebut.
Di ekstrim lain dari peirlkau yang diharapkan secar asosial adalah perilaku non normatif. Perilaku eksentrik atau tidak konfromis lebih cenderung diatributkan pada karakteristik disposisional daripada pada pengaruh-pengaruh situasional. Jikaperilkau ini bertentang dengan apa yangdiharapkan secara sosial. Pengamat biasanya mengatributkan perilaku tersbeut dengan karakteristik konsisten individu (pad adisposisi).
Analisis Jones dan Davis tentang proses-proses atribusi yang disarankan kepada mereka bahwa satu cara bagi kita membuat keputusan tentang sebab-sebab perilaku adalah dengan mengamati apa yang disebut efek-efek tidak lazim/. Beberapa bagian dari sebagian besar perilaku yang kita amati umum bagi beberapa atribusi alterantif. Bagian-bagian lain dari perilaku yang diamati akan unik dan aspek-aspek unik inilah yang membuat kita membuat atribusi. Dalam istilah Jones dan Davis, korespondensi tak lazim memberikan informasi kepada kita tentang sebab-sebab perilaku. Misalkan sejenak anda berdiri di sebuah bank dan anda melihat seorang pria masuk. Dia berjalan pada lini teller terpenek dan menunggu dengan gugup. Pad poin ini, peirlaku pria tersbeut umum bagi beberapa atribusi alternatif; dia terlambat untuk mendaftar, dia memiliki parkir dobel, dia memiliki cek dan seterusnya. Ketiak dia mnarik senjata dan meminta uang dari teller, atribusi untuk perilaku ini menjadi cukp jelas. Perilaku tak lazim memungkinkan kita mengatributkan kausalitas (seprti kita mundur dengan gugup). Faktor lain aygn dilibatkan JEOns dan Davis dalam atribisi adalah keterlibatan pribadi kita dengan perilkau yang diamati. Kita biasanya bukanlah pengamat pasif dari duna di sekitar kita; ktia mengamati dan berinteraksi secara bersamaan. Keterlibatan kita dalam perilaku yang kita buat atribusinya akan cenderung meningkatkan korespondensi yang kita amati dan juga atribusi disposisional yang meningkat. Jones dan Davis mengidentifikasi dua kategori keterliabtan pribadi yang mereka percaya penting; relevansi hedonik danpersonalisme.
Relevansi hedonik mengacu pada tingkat efek hukuman atau penghargaan terhadap kita dari perilkau orang yang diamati. Misalnya setelah kelas anda berjalan ke lot parkir dan mendapati ban mobil anda kemmpes. Satpam universitas menawarkan untuk mengganti ban. Karena ini sitausi yang memberi reward bagi anda, anda akan mengatributkan perilaku stpam tersebut pada suatu karakteristik disposisiona seperi “dia orang yang baik.”
Personalisme melibatkan fakta bawha perilaku ktia mempengaruhi perilkau orang yang kita amati. Cara orang bereskai terhadap kita menyebabkan tingkat korespondensid an atribusi disposisioanl tinggi. Ketika saya memberi kuliah, misalnya, saya mengamati wajah-wajah mahasiswa saya. Beberapa tersenyum dan mengangguk atas apa yang saya ucapkan, sementara beberapa lagi memandang ke jendela atau nampak bosan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman saya sebelumnya, saya biasanya mengatributkan perilaku mahasiswa yang perhatian dan mengangguk pada minat intelektual dan pemahaman sementara mengatributkan ekspresi melihat jendela atau bosan sebagai ktidaktertarikan pada hal-hal akademi. Atribusi-atribusi disposisional saya seringkali didiskonfirmasikans etelah ujian pertama. Bukannya tak lazim menemukan bahwa mahasiswa yang bosan merusak kruva dan mahasiswa yang perhatian nampak mengkonformasi ekspektasi saya dan tidak memahami kata yang saya ucapkan. Intinya adalah cara-cara orang bereaksi terhadap peirlaku kita mempengaruhi aribusi-atribusi yang kita buat dan reaksi-reaksi emreka cdnderugn diafsirkan sebagai karakteristik konsisten mereka.
Jones dan Davis berusaha menentuakn beberapa faktor yang erlbat dalam membuat atribusi-atirbusi disposisional. Kelemahan utama dari teori merka dalah teori ini tidak menentukan bagaimanakita membuat atribusi-atribusi tentang perilaku kita sendiri.

Teori Kelley
Kelley megnembangkan sebuah teoiratrinusional yang bisa mencakup atribusi yang kita buat berkaitan dengan perilaku ktia dan perilaku orang lain. Dia percaya kita punya kebutuhan untuk mengontrollingkungan di mana kita berinteraksi. Untuk mendapatkan kontrol, pertama-tama kita harus mengumpulkan informasi dan menentukan apa yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tertentu. Dengan kata lain, atribusi-atribusi adalah usaha-usaha untuk menentukan bagaimana peirsitwa-peristiwa saling berkaitan.
Atribusi-atribusikausla dianggap sebgai akiabt dari itneraksi kompleks diantara beberapa agen kausal. Kelley berpendapat ketika kita membaut atribusi tentang peristiwa, kita memilih penjelasan yang paling cocok dengna observasi. Benar apakah kita membuat atribusi tentang perilaku kita sendiri atau perilaku orang lain. Bagi Kelley, membuat atribusi bisa dihubugnkand engan menciptakan serangkaian hipotesis yang berkaitan dengan sebab-sebab perisitwa tertentu, kemudian, melalui osbervasi dan proses logis kita, menghilangkan alterantif-alternatif hingga kita mencapai penjelasan terlogis atas perisiwa tersebut. Kelley membandingkan proses atribusi dengan cara seorang ilmuwan menguji sebuahpertanyaan eksprimental. Baik atribusi dan hipotesis ilmiah didasarkan pada eliminasi logis dari beberapa alternatif.
Kelley berpendapat bawha beberapa prinsip memandu keputusan-keputusan atirbusi kita. Prinsip utama yang dipakai dalam proses atribusi adalah kovariasi. Kovariasi lintas waktu adlah cara penting kita mampu membuat penilaian tentang kausalitas. Kita mengetahui sebab-sebab dikaitkand engan hasil-hasil tertentu atas perioe waktu tertentu. Karena ada beberapa sebab yang mungkin untuk suatu hasil, hanya perisitwa-peristiwa yang secara konsisten berkaitan dengan hasil tertentu yang bersifat kausal. Misalnya anda mendapatkan A untuk sebuah test. Nilai yang bagus mungkin hasil dari keberuntungan, test yangmudah atau fakta bahwa anda belajar. Jika anda mengambil test lain stelah tidak belajar keras dan mendapatkan C, atribusi kausal “nilai bagus berasal dari belajar” akan menguat karena belajar dan nilai baik dihubungkan. Menurut Kelley, kita sensitif terhadap kovariasi hasil dan sebab ini. Sepanjang waktu hipotesis alternatif (keberuntungan) akan dihilangkan karena tidak berhubungan secar akonssiten dengan hasil. Dalam banyak sitausi kita hanya satu kasus yang dinilai. Di bawha kondisi-kondisi tersebut Kelley (1972) berpendapat bahwa ktia mengandalkan pada skemata kausal untuk membantu kita mengatributkan peirstiwa-peristiwa. Sebuah skema adalah srangkaian keyakiann atau ide-ide yang dimiliki indviidu tentang seberapa pasti sebab-sebab menyebabkan jenis-jenis hasil tertentu. Skemata berkembangakiabt kita menglami hubugnan sebab dan akibat di masa lalu.
Skemata kausal memiliki lima karakteistik dasar. Pertama skemata kausal mencerminkan ide-ide dasar kita tentang realitas. Misalnya jika kita tidak percaya pada hantu, retakan dirumah tua akan lebih ditujukan pada stres=strs pada rumah terebut oleh angin atau pohon daripada oleh roh halus.
Kedua, skema memberikan kerangka yang didalamnya operasi-operasi tertentu pada informasi bsia dilakukan. Misalnya, jika skema kita mengatakan bahwa mesin gas tidak berjalan denganbaik akiabt filter udara kotor ktia bisa menganti filter udara pada mobil kita dan melihat apakah ini akan berjalan dengan baik. Tanpa kerangkayangdiberikan oleh skema itu, atribusi kita tentagn mengapa sebuah mobil berjalan buruk, akan sangat berbeda.
Ketiga, skemata memberi stributur bagi inforamsiminimal atau ambigu. Sehingga ketika dihadapkan pada informasi yang membingungkan, kita berusaha mencocokkannyad engan skema apapun yang membuat kita memahaminya dengna cara terbaik. Imnilah mungkin mengapa melihat UFO dijadikanbukti bagi mahluk ekstraterstrial atau ditulak sebagai fenomena alam. Dalam kasus pertama indivdiu memiliki skema yangmemberikan krangka bagi cahaya-cahaya ambigu di langut sebagia pengunjung dari dunia lain, sementara dalam kasus berikutnya individu memiliki skema untuk menjelaskan cahaya ambigu sebagai peristiwa-peristiwa alam.
Yang berkaitan dengan karakteristik skemata ketiga adalah yang keempat, yaitu skemata mengandung asumsi-asumsi tentang bagaimana dnia diatur. Bagi beberapa orang UFO tidak diiznkan dalam organisasi dunia yang dia asumsikan, sementara bagi oran lain UFO bisa dimasukkan dnegan mudah.
Yang terakhir Kelley percaya bahwa skemata memungkinkan kita mengisi data hlang. Osbervasi kita tentang sebuah peristiwa seringkali tidak lengkap. Skemata membantu kita menggambarkan apa yang mungkin terjadi yang tidak diamati, sehingga memungkinkan kita membuat atirbusi-atribusi berdasrakan pada inforamsi yang tidak lengkap. Akan menguntungkan bila kita bis alemakukannya; jika tidak kita mungkin kkesulitan mengatributkan sebab-sebab dari beragam perilaku.
Dalam sitausi di mana hanya satu observasi yang mungkin danbeberapa penjelasan muncul sebagia atribusi yang mungkin, Kelley mengidentifikasi dua prinsip skematik yang membantu kita memutuskan di antara kemungkinan-kemungkinan tersebt. Yan gpertama disebut prinsip discounting, yang mengatakan bahwahs ebuah penyebabakan didiskon sebagia penghasil efek jika sebab-sebab masuk akal lainnyamuncul. Misalkan lampu di rumah anda padam. Kemungkinan anda meniup asap, tapi anda juga mendengar petir dari sebuah badai. Atirbusi asap akan cendeurng didiskon karena adanya alternatif yang lebih mungkin – badai yang mndekat menyambar stasiun daya dan rumah anda.
Prinsip discounting nampak penting dalam keputusan-keputusan yang melibatkan atirbusi disposisional versus situasional.. misalnya, jika perilakus eseorang bisa diatributkan ke desirabilitas sosial, hipotesis eksternal masuk akal ini akan berhasil mengurangi kemungkinan perilaku tersebut dianggap disposisional. Ini tentu saja apa yang disarankan oleh Jons dan Davis, tapi teori Kelley memprediksikan efek desirabilitas sosial sebagai salah satu aspek dari prinsip discounting. Prinsip discounting bisa juga bekerja menciptakan atribusi-atribusi disposisional. Jika hipotesis disposisional yang masuk akal muncul sebagai sebuah alternatif, penjelasan-penjelasan situasioal akan kurang diperhitungkan.
Prinsip kedua yang diidentifikasi oleh Kelley disebut prinsip augmentasi. Augmentasi terjadi ketiak perilaku terjadi meski d kondisi-kondisi eksternal yang ada menghambat perilakut ersebut. Ini bisa terjadi ketika idnividu menyatakan sebuah keputusan kelompok, meski orang tersbut tahu bahwa melakuakn hal itu akan menyebabkan kelompok pecah. Adanya kondisi penghamabt memperbesar 9meningkatkan)kemungkinan perilkau tersebut akan diatributkan ke karakteristik disposisional. Dalam contoh tersebut, kita cenderung beasumsi bahwa orang-orang bersedia berbicara tentang keputusan kelompok akan merasakan isu tersebut dengan kuat.
Teori-teori atirbusi Heider, Jones, Davis dan Kelley menekankan aspek-aspek pemrosesan ifnoramsi perilaku manusia.kkita mengakumulasi inforamsi dan berdasarkan informasi tersebut, mengaributkan sebab-sebab perilkau dalam beagam cara. Penting untuk disadari bahwa kita mendsarkan atribusi-atribusi kita pada apa yang kita anggap sebagia sebab-sebab perilaku daripada pada sebab-sebab obyektif perilakut ersebut. Keduanya tidak selalu sama. Dalam mencoba memahami proses atribusi, kita harus hati-hatiuntuk memahami bagiamana individu memahami siuasi.

Riset tentang atribusi
Banyak riset yang sudah dilakukan tentang teori atribusi dan kami tidak akan membahasnya semua. kami akan menguji bebeapa riset yang menyatakan bahwa atribusi disposisional dan situasinal bergantung pad asudut pandang kita. Lalu kami akan menguji secara singkat teori atribusi yang berkaitan dengan motivasi prestasi.
Aktor-aktor dan pengamat
Banyak bukti menunjukkan bahwa aktor cenderung mengatributkan peirlaku mrek pada tuntutan-tuntutan situasi, sementara para pengamat perilaku yang sama lebih cenderung mengatributkannya ke karaktersitik disposisional aktor (JOnes & Nisbett, 1972). Dalam satu studi Jones dan Harris (1967) memitna para mahasiwa menilai opini-opini real mahasiswa lain yang sudah diminta untuk membaca pidato tentang topik-topik tertent (misalnya pidato positif Castro). Subyek dimitna menyatakan bahwa para pembaca tidak punya pilihan dengan pidato yang mereka baca. bagaimanapun, subyek masih menilai para pembaca pidato menyukai posisi bahwa mereka telah dimitna untuk tampil.
Para mahasiswa yang mengamati nampak mengambil perilaku yang mreka lihat di nilai permuakan mengindikasikan disposisi-disposisi konsisten dari pembaca, meski fktanya para pengamat periaku cenerung membaut atribusi disposisional. par aktor mungkin diharapkan menilai perilkau mereka secara situasional. mengapa aktor dan pengamat menilai perilaku yang sama secara berbeda? Jones dan Nisbett menyebutkan bahwa meski perilaku slalu dinili dalam kaitannya dengan konteks situasional, konsep ini berbeda untuk aktor dan pengamat. perbedaan utamanya terletak pada fakta bahwa para aktor sadar akan latar belakang dan pengalaman masa lalunya sementara pengmat harus menilai perilkau hanya dari apa aygn diamati. Dalam aksus para pembaca pidato, para aktor tahu sedikit tentang apa yang mereka rasakant entan Vastro dan mereka juga tidak memilih membaca pidato ini. Ara pengamat tahu bahwa orang-orang biasanya berbda pendapat mengenai posisi yang mereka yakini; oleh karena itu pngamat membuat atribusi-atribusi disposisioanl meski diberitahu bahw para aktor tidak memilh pidato.
Jones danNisbett mencatat bahwa bagian dai perbedaan antara atribusi-atribsi dari aktor dapn pengamat beasal dari perbedaan dari apa yang dibahas oleh masing-masing. Aktor memfokuskan perhatian pada petunjuk-petunjuk lingkungankarena itu harus diketahui untuk berintarksi dengan suskes. Pada saat yang sama aktor akan relatif tidak menyadari responnya sendiri karena dia tidak bisa secara langsung mengmati mereka. Pengamat memfokuskan perhatian pada aktor karena aktor merkana tiitk focal peirlkau yangdiamati. Sehinga pengamat mugnkin cukup tidak sadar akan petunjuk-petunjuk yang diperhatikan aktor.
Perhatikans eorang pemain tenis dan seorang pengamat. Pemain ini mengonsentrasikan perhatiannya pada pemain lain, bola, garis lapangan dan sterusnya karena ini menentukan apa respon selanjutnya,. Pada saat yang sama pemain biasanya tidak menyadari jaraknya, gerakannya dan penampilannya. Pengmat lapangan tenis melihat pemain bergerak maju mundur, dan nampak selalu tahu di mana bola berada dan menympulkan bahwa para pemain adalah ‘atilit alami” (yaitupengamat membuat atribusi disposisional). Pemain sebenarny harus mempelajrai semua gerakan dan me belajar memfokuskan perhatian pada mata, kakai dan raket lawan untuk mengantisipasi gerakan berikutnya. Para pemain akan cenderung melihat perilaku mereka sendiri berasal dari petunjuk-petunjukt ersebut daripada dari karaktersitik disposisional.
Analisis Jones dan Nisbett menyatakan bahwa para aktor dan pengamat mengatributkan perilkau secar aberbeda karenamereka merasakan perilaku dari sudut pandang yang berbeda. dalam serangkaian studi oleh Nisbett dan rekan (1973) mereka menemukan bahwa par amahasiswa berasumsi subyek yang sukarela membantu dalam satu sitausi kemungkinan akan melakukannya lagi di masa mendatang. Para relawan, di sisi lain, tidak menilai diri mreka sendiri sebagai cenderung membantu di masa mendatang. Nisbet dan rekan jug amenemukan bahwa para mahasisw amenjelaskan pilihan teman mereka dair mata kuliah dan teman mereka menurut karakteristik disposisioanl teman, sementara itu menjelaskan pilihan utama mata kuliah dan pacar mereka menurut situasi. Sehnga bahkan seorang yang mengamati perilkau orang lain nampak beralih dari penjelasna disposisional ke situasional bergantungpad asiapa yangdiamati. Sekali lagi perbedaan ini berasal dari perbedaan perspektif dan jumlah informasi yang tersedia. Kita lebih cenderung mengatributkan peirlkau kita pada petunjuk-petunjuk situasi karna kita mengatahui perilkau kita di masa lalu.
Storms (1973) secara langsung menguji pertanyaan perspetual dalam eksperimen ingenious. Subyek diminta terlibat dalam serangkain percakapan pendek tak terstruktur atau menonton orang lain melakukannya. Subyek yang berpartisipasi dalam percakapan mengatributkan perilaku merekal ebih pada situasi dairpada pada pengamat yang mengawasi mereka. Storm juga mencatat percakapan tersebut dari sudut pandang berbeda. satu sudut pandang adalah aktor melihat selamat perakapan, sementara yang kedua adalah apa yang dilihat pengamat. Dalam bagian kedua eksperimen, sekelompok aktor melinat diri mereka sneiri dari sudut pandang pengamat, dan sekelompok pengamat melihat perackapan dari sudutpandang aktor. Di bawah kondisi-kondisi tersebut aktor mengatributkan lebih pada perilaku mereka pada karakteristik disposisional. Sudut pandang aktor dan pengamat penting dalam atribusi yang kita buat.

Prestasi. Teori atribusi juga muncul dalam literatur tentang motivasi berprestasi. Seperti yang kita lihat pada bab 9, banyak riset dilakukan untuk memahami motivasi beprestasi. Teori atribusi diterapkan terutama pada motivasi berprestasi oleh Bernard Weiner dan rekannya. Weiner berpendapat bahwa setidaknya empat unsur utama penting dalam interprtasi kita tentan perisiwa yang berkaitan dengna prestasi. Unsur-unsur tersebut adlaah kemapuan, usaha, kesulitan tuas dan keberuntungan. Keitka kita terlibat dalam perilaku yang berkaitan dengan prestasi, kita menyebut sukses atau gagal kita pada tuas disebabkan oleh satu atau beberapa kombinasi dari empat unsur tersebut.
Pendekatan Weine rberasumsi bawha inferensi ang kita buat tentang kemampuan-kemampuan kita terutama berasal dari pengalaman-;engalaman sebelumnya. Sukses-sukses di masa lalu menodorng kita menyimpulkanbahwa kita memiliki kemampuan-kemampuant ertentu di bidagn-bidang tertentu, semetnara kegagalan di masa lalu mengurangi keyakiann kita terhadap kemampuan kita. Inferensi-infernesi kita tentang keampuan kita tidak dinilai dalam vakum tapi dalam kaitannya dengna kinrja orang lain. Jika kita sukses pada tugas yang gagla dilakukan oleh orang lain, kita cenderung menganggap diri kita sebagai orang yang cakap.
Kita menilai usaha yang kita lakukan berasal dari faktor-faktor speti waktu yang dihabiskan, usaha oot dan sterusnya. Yang menarik, kita cenderung mengangap diri kita menghabiskan usaha lebih besar ketika kita sukses pada suatu tugas. Ini menunjukkan kita menghubungkan usaha dengan hasil yang suskes karena cenderung bersamaan dalam pengalaman kita. Kemampuan dan usaha bisa dianggap sebagai karaktersitik internal. Sehingga kita cenderung mengngap kemampuan ktia dan usaha yang kita habiskan dalam bekerja pada suatu tujuan sebagai karakter disposisional.
Kita menilai kslitan tugas terutama dari norma-norma sosial, meski karakteristik obektif tugas juga beperan. Kita menduga kesulitan sebuah tugas dengan mengamati persnetase orang-orang lain yang sukses. Keika banyak orang lain yang sukses, kita menilai tugas tersebut mudah; mengamati orang lain gagal mendorong kita mendugabahwa tugas tersebut sulit.
Keberuntungan dianagp terlibat dalam tugas ketiak kita tidak punya kontol aas hasil tugas. Misalnya kita cenderung menyebutkan pencapaian tujaun tertentu pada keberuntngan ketika kita bisa mndeteksi tidak adanya hubungan di antara perilaku kita dan pencapaian sukses dari tujuan tersebut. Demikian juga kalau kita gagal pada suatu tugas tapi kegagalan tersebut tidak berhubungan dengan apa yangkita lakukan, kita cenderung menyebutnya sebagai kesialan.
Kesulitan tugas dan kberuntungan bisa dianggap sebagai faktor situasional (eksternal bagi individu). Sehingga atribusi-atribusi yang berkaitan dengan perilaku kita yang melibatkan kesulitan tguas atau keberuntungan akan cenderung situasional ketimbang disposisional.
Weiner juga berpendapat bahwa kita cenderung menganalisa perilaku kita berkaitan dengan dimensi yang disebutnya stabil-tidak stabil. Kemampuand an kesulitant ugas bisa dianggap sebagai relatif stabil. Kemampuan tidak berayun secara drastis dari mkomen ke momen, demikian pula kesulitan tugas. Usaha dan keberuntungan adalah tidak stabil. Kita mungkin bekeja denganrajinpada suatu proyek tapi kurang berusaha pada proyek lain. Keberuntungan berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Empat askripsi kausal dan dua dimensinya bisa divisualisasi sebagai persegi pangkat empat seperti pada gambar 11.2. dimensi internal-eksternal berbeda-beda di sepanjang atas persegi, sementara dimesni stabil-tak stabil berbeda-beda di sepanjagn sisi ini. Sehinga kemampuan dianggap sebagai internal dan stabil, sementara keberuntungan dianggap eksternal dan tidak stabil. Analisis Weine tentang kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntungan meruipakan faktor-faktor penting dalam atribusi kausal perilaku yang menyatakan bahwa pergesran dalam ekspektansi sukses (atau gagal) harus bergantung pada sumber yang diatributkan pada suskes atau gagal. Misalnya, sukses yang diatributkan pada kemampuan harus mendorong pada menimngkatnya ekspektansi sukses di masa mendatang, semetnara sukses yang ditujukan pad akeberuntungan harus mendorong pada sedikit perubahan. Juga mengatributkan sebuah hasil pada karakteristik stabil (kemampuan dan kesulitan tugas) mendorong pada pergeseranekspektansi yang lebih bsar daripada ketiak diaributkanpada faktor-faktor tak tabil seperti usaha atau kberuntungan (Weiner, 1974).
Frieze (1976) menyelidiki kemungkinan bahwa kategori-kategori lain di samping empat yang diusulkan oleh Weiner relevanbagi atribusi perilaku berprestasi. Frieze menemupakn empat dukunga utnuk kemampuan, usaha, kesulitan tugas, dan keberuntungan sebagai atribusi kausal bagi suskes dan gagal; meski demikian dia juga menemukan bukti untuk faktor-faktor mood, efek orang lain, dan isnentif. Data Frieze menyatakan bahwa suskes atau gagal pada sebuah tugas bisa diatributkan pada faktor-faktor selain yang disarankan oleh Weiner dan membuat proses atirbusi menjadi lebih kompleks.
Sebagian karena hasil dari studi Frieze, Weiner memodifikasi model atribusinya. Satu perubahan utama adlaah inklusi dimensi ketiga dalammodel ini yang dia sebut sebagai intensinalitas. Dimensi intensionalitas memperhitungkan bahwa beberapa penyebabperilaku bisa intensioal (bias guru), sementara beberapa lannya (mood) bersifat non intensional. Seprti dicatat weiner, intensionalitas diusulkn sbagai sebuah faktor dalam proses atribusi oleh Heider pada 1958 tapi tidak dimasukkan ke dalam model atribusi-prestasi hingga 1972 oleh Rosenbaum. Sehingga Weiner memperluas model atribusi-presasinya untuk menunjukkan faktor-faktor selain kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntungan. Beberapa askripsi kausal tambahan untuk sukses dan gagal dalam sitausi-situasi prestasi bisa meliputi kelelahan, mood, penyakit danbias orang lain (Weiner Russel (Lerman, 1978).
Mungkin petunjuk yang paling menarik dari riset atribsi Weineer adalah nvestigasi label-label emosional tertentu yang berkaitan dengan suskes atau gagal dari faktor-faktors eperti keammpuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntunga
Dalma satu studi, Weiner, Russel dan Leman (1978) memberi subyek sebuah kisah tentang suskes atau gaga yang juga menyebutkan alasan-alasan sukses atau agagl tersebut. Berikut ini adalah salah satu dari kisah sukses yang dipakai Weiner: “Francis belajar keras untuk sebuah ujian yang dia ambil. Sangat penting bagi Francis untuk mendapatkan skor tinggi pada ujian ini. Francis mendapatkan skor yang sangat tinggi pada test tersebut. Francis merasa dia mendapatkan skor tinggi ini karena belajar keras. Bagaimana menurutmu perasaan Francis setelah mendapatkan skor ini?” (WEIner Russell & Lerman 1978, hal 70).
Subyek diminta menyebutkan reaksi emosioanl individu dalam kisah ini dengan meiolih kata-kata yang bernada emosioal dari dafatr yang dibaut oleh Weiner. Dia menampilkan sepuluh kisah berbeda dengan sepuluh alasan berbeda atas suskes tersebut. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa beberapa kata muncul kembali pada sebagian besar dari sepuluh atirbusi kausal sukses. Contoh-contoh seperti senang dan bahagia muncul pada kesepuluhnya, semntara puas menunjukkan pada delapan dan tidak puas muncul pada tujuh. Enam atribusi nampak menciptakn emosi khusus, seperti dibuktikan oleh kata-kata deskriptif yang dipilih. Misalnya, sukses yang ditujukan pada usaha tak stabil (kuat) mendorong pada pilihan kata-kata seperti uproarious, delirious, delighted, ecstatic, dan leated sementara sukses yang ditujukan pada keberuntungan mendorong pada pilihan-pilihan seperit terkejut, heran, kagum.
Dengan cara yang sama, 11 kisah tersebut ditujukan pada kegagalan atau ebragam penyebab seperti keammpuan, mood, keberuntungan kelelahan dan seterusnya. Beberapa kata muncul pada beberapa dafatar, tapi sekali lagi dimungkinkan mendiskriminasi di antara atribut-atirbut oleh kat-kata yang dipilih. Misalnya, kegagalan be karena tidak adanya kemampuan menyebabkan subyek memilih kata-kata seperti tidak kompeten, tidak adekuat, dan panik, sementara kegagalan yang ditujukan pada keberuntungan mendorong pada pemilihan kata-kata seperit terkejut, kagum dan heran.
Hasil-hasil studi Weiner nampak mengindikasikan bahwa beberap aemosi yang berbeda dikaitkand engan atribusi yang berbeda untuk sukses dan juga untuk gagal. Sehingga pandangan bahwa sukses pada aktivias yang berkaitan dengan prestasi mendorng pada rasa bangga dan kegagalan mendorong pada rasa malu nampak telalu sederhana. Seseorang mungkin p merasa percaya diri dan senang ketika sukses ditujukan pada kemampuan sementara rasa terkejut dan kagum keitka sukses ditujukan pada keberuntungan. Demikian juga kegagalan tidak selalu menimbulkan rasa malu. Gagal yang berasal dari tidak adanya usah akuat (usaha tak stabil) menibulkan rasa malu dan rasa bersalah sebagia asosiasi yang bernada emosional, tapi gagal sebagai akiabt dari usaha-usaha lain mendorong pada sikap agresif, seperti dibuktikan oleh kata-kata seperit freocious, revengul dan furious.
Pada 1985 Weigner mengusulkan teori atribusional yang dimodifikasi dari motivasi prestasi yang memperluas karya sebelumnya. Dalam model ini dia mngusulkan bawha penilaian yang dibuat orang-orang tentang sebab bisa dipahami termasuik dalam tiga dimensi utama: lokus, stabilitas, dan kontrolabilitas.
Setelah menguji beberapa studi, Weine rmenyimpulkan bahw akontrolabilitas diperlukan untuk mnejelaskan cara orang-orang menyebutkan kausalitas pada suskes dan gagal meerka, karena sebab-sebab yang masuk dalam dimensi lokus dan stabilitas bisa juga dikategorikan di bawha kontrol volisional. Sehingga usaha-usaha yang sebelumnya digolongkan sebagai intenral dan tidak stabil bisa juga dikontrol semtnara mood dan kelelahan yang juga bersifat internal dan tidak stabil, tidak bisa dikontrol secara biasa.
Model weiner berusaha menghubungkan askripsi kausal yang dibuat orang-roagn tentang ekspektansi sukses atau gagal di masa mendatang. Prinsip ekspektansi Weiner menyatakan ”perubahan-perubahan pada ekspektansi sukses yang mengikuti sebuah hasil dipengaruhi oleh stabilitas yang dirasaan dari sebab peristiwa (Weiner 1985, hal 559). Menurut Weiner, hal tersebut berasal dari prinsip ekspektansi.
Corollary I. Jika hasil sebuah peirsitwa ditujukan pada sbeab stabil, maka hasilnya akan diantisipasi dengan meningkatnya kepastian, atau dengan meningkatnya ekspektansi di masa mendatang.
Corollary 2. Jika sebuah hasil ditujukan pad asebba yang tidak stabil, maka kepastian atau ekspektansi hasil tersebut mugnkint idak berubah atatau masa depan bisa diantisipasi berbeda dari masa lalu.
Corollary 3. Hasil-hasil yang ditujukan pad asebab-sebab stabil akan diantisipasi berulang pada masa mendatang dengan tingkat kepastian yang lebih besar daripada hasil-hasil yang ditujukan pada sebab-sebab tak stabil (Weiner 1985, hal 559).

Mari ambil contoh askripsi kausal dan lihat bagaimana prinsip ekspeknansi Weiner bekerja. Misalkan anda baru saja menerima A pada lalpoan laboratorium pertama anda untuk sebuah kelas dalam psikolgoi eksperimental. Anda hanya mengira mendapatkan ”C+” sehinga anda senang dan terkejut dengan hasil ini. Prinsip ekspektansi mngatakan bawha bagaimana anda mengatributkan ”A” anda akan membuat perbedaan bagi ekspektasi anda di masa mendatang. Jika anda mengatributkan nilai pada sebuah sebab stabil seperti kemapuan anda, maka anda lebih cenderung mengharapkan nilai lab yang bagus pada laporan selanjutnya. Di sisi lain jika anda mengatributkan nilai yang anda peroleh pad sebab tak stabil seperti keberuntungan,. Corollary 2 mengatakan anda tidak akan menguabh ekspektasi masa mendatang anda tentang nilai lab anda (anda masih menduga mendapatkan C untuk lab berikutnya) atau anda mungkin mendugamasa mendatang akan berbeda dari masa lalu (anda tidak akan mengira mendapatkan A lagi). Sehingga menurut Weiner, askripsi kausal bisa menyebabkan perubahan-perubahan ekspektansi yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku di masa menadtang.
Beberapa studi tlah dilakukan berdasarkan model Weiner 1985. misalnya, Weiner, Perry dan Magnusson menguji reaksi-reaksi subyek terhadap sepuluh stigma. Stigma ini biasanya diartikan sebagai nilai atau tanda yang menunjukkan penyimpangan dari norma. Sepuluh stigma tersebut adalah: AIDS, penyakit Alzheimer, kebutaan, kanker, kekerasan pada anak, kecanduan obat, penyakit jantung, kegemukan, paraplegia, dan sindorm Perang Vietnam. Dalam dua studi pertama mereka menemuakn bahwa stigma-stigma yang berbasis fisik dianggap sebagai onset-tak terkontrol, dan meniublkan penilaian yang membantu. Stigma yang bisa dianggap sebagai perilaku dianggap sebagia onset-terkontrol dan menimbulkan kemarahan dan penilaian tak terbantu.
Para peneliti tersebut juga tertarik menentukan bagaimana reaksi orang-orang dan ekspektasi dengan bantuan akan merubah jika informasi diberikan seh9ingga mengubah dimensi kontrolablitas stigma. Dalam yang kedua dari dua eksperimen tersebut mereka memberi alasan-alasan utnuks tigma seperti separuh waktu dari stigm adipandang bisa dikontrol dan separuh waktu dari stigma yang sama tersebut dianggap tidak bisa dikontrol.
Studi ini konsisten dalam menunjukkan bahwa kontrolabilitas merupakan dimensi penting dari atribusi-atribusi yang kita buat dan atribusi-atribusi tersebut beerdampak pada peirlaku di masa mendatang seperti menolong.
Atribusi-atribusi yang kita buat tentang sebab-sebab suskes atau gagal kita sangat mempengaruhi ekspektasi suskes kita di masa menadtang; mereka juga nampak mempengaruhi emosi yang kita alami akiabt dari suskes dan gagal. Dweck dan rekan mempelajari atribusi-atribusi yang dibuat oleh orang-orang setlah pengalamnasukses dan gagal. Studi-studi Diener dan Dewck cukup menarik.
Dalam studi pada 1978, anak-anak diuji untuk orientasi penguasaan dan ketidakberdayaan dan diminta menjelaskan apa yang mereka pikirkan. Sebelum mengerjakan sebuah tugas, tidak ada perbedaan atanra atribusi-atribusi yang ditawarkan oleh dua tipe anak. Dengan mengikuti pengalaman gagal, atribusi-atribusi yang dibuat oleh duakleompok ini hampir sepenuhnya berbeda. Anak-anak yang digolongkan sebagai tak berdaya menyebut kegagalan mereka pada faktor-faktor aygn tidak bisa dikontrol; anak yang berorientasi pada penguasaan tidak nampak mengarrtikan diri mereka gagal sama sekali, tapi dari verbalisasi mereka, mereka nampak mencari solusi atas kegagalan mereka.
Emosionalitas yang dihasilkan oleh tugas yang gagal jug abebreda untuk kedua kleompok ini. Anak-anak yang berorientasi penguasaan memeliahra sikap positif tentang tuas dan terus percay abahwa mereka bisa bekerja dengan baik di masa mendatan.g anak-anak aygn putus asa, di sisi lain, mengembangkan sikap-sikap negatif tentang tugas dan berusaha keluar dari situasi ini.
Dalam studi mereka pada 1980, Diener dan Dewck menguji atribusi-atribusi anak aygn berorientasi penguasaan dan putus asa terhadap pengalaman-pengalaman sukses dan sekali lagi menemukan perbedaan-perbedaan di antara atribusi-atribuisi yang dibuat oleh dua kelompok ini. Perbedaan-perbedaan dasar ini beraitan dengan bagaimana sukses ditafsirkan. Anak-anak yang putus asa nampak kurang mengingat sukses mereka daripada anak-anak yang berorientasi pada penguasaan karena mereka secara konsisten mengabaikan jumlah maslaah yang sudah mereka pecahkan dengan baik. Selain itu, anak-anak yang putus asa itu menilai sukses mereka lebih rendah daripada apa yang mereka harapkan dari anak-anak lai, sementara anak-anak yang berorientasi pada penguasaan menilai sukses mereka leih tinggi daripada sebagian besar anak lainnya. Temuan terakhi rini menyatakan bahwa anak-anak yang putus asa megnatributkan suskes mereka bahwa hal tersebut bukanlah even yang patut dihargai. Diener dan Dewck mengusulkanbahwa anak-anak yang putus asa bisa membandingkan diri mereka bukan pada anak rata-rata dari kelompok rekan meerka tapi pada anak-anak terbaik. Jika ini terjadi, maka untk menjadi benar-benar sukses anak-anak tersebut harus bekerja lebih baik daripada anak-anak terbaik dalam kelompok referensi mereka, sebuah tugas yang sangat sulit.
Mungkin perbedaan yang paling menarik di antara anak-anak ayng putus asa dan yang berorientasi pada penguasaan adalah anak-anak yang putus asa tidak menganggap sukses mereka saat ini memprediksikan sukses di masa mendatang. Diener dan Dewck menyatakan bahwa perbedaan ini bisa berasal dari atribusi-atribusi yang berbeda tentang sebab-sebab sukses. Sementara anak-anak yang berorientasi penguasan cenderugn mengatributkan sukses mereka pada kemapuan, anak-anak yang putus asa tidak. Lebih lanjut, ketika anak-anak aygn putus asa mengaami suskes yang diikuti oleh kegagalan, mereka mendiskon sukses lebih besar daripad aanak-anak yang berorientasi penguasaan. Anak-anak ayng putus asa dalam studi lebih cenderung mengatributkan sukses awal mereka pad akemudahan tugas keitka ditanya tentang sukses-sukses tersebut setelah kegagalan. Selain itu, anak-anak ayng utus asa menurunakn ekspektansi sukses di masa mendatang mereka setelah gagal, semetnara anak-anak yang berorientasi tetap berestimasi tinggi. Anak-anak yang putus asa dan yang berorientasi penguasaan nampak memandang sukses dan gagal secara cukup berbeda. Anak-anak yang putus asa nampak lebih menitik beratkan pada kegagalan dalam membuat atribusi, semetnara anak-anak yang berorientasi penguasaan lebih memperhatikan pengalaman-pengalaman sukse.s
Riset selanjutnya oleh Dweck dan kolga mendorogn pada hipotesis bawha anak yang putus asa dan berorientasi penguasaan berbeda dalam hal tujuan yang mereka usahakan. Menurut Dweck dan Leggett (1988), anak-anak yan gputus asa mencari tujuan-tujaun performa (diartikan sebagia mendapatkanpenilaian yang bagus atas performa mereka) sementar aindividu yang berorientasi penguasaan mencari tujuan-tujaun pembelajaran (diartikan sebagai meningkatkan kemampuans eseorang). Riset mereka menyatakan tujuan-tujuan yang berbeda tersebut mendorong pada pola-pola respon agn berbeda, dengan kegaglaan pada usaha tujuan-tujaun performa meningkatkan kerentanan seseorang pada keputusasaaan, dan kegagalan pada tujuan-tujuan pembeljaaran mendukung startegi-startegi perilaku untuk mengubah kegaglaan menjadi sukses.
Dweck menyarankanbahwa usaha dua tipe tujuan tersbeut berasal dari membedakan teori-teori implisit tentang intelegensi seseorang. Beberapa orang percaya bahwa kemampuan intelektual mereka tetap, semetnara beberapa lagi melihat kemampuan intelektual mereka mampu tumbuh. Riset Dewck mengindikasikanbahwa subyek yang memandang intelegensi mereka etap cenderung menggunakan tujuan-tujuan performa untuk membuktikan kemampuan mereka. Individu yang memandang intelegnsi mereka bisa ditempa cenderung menggunakan tujuan-tujuan pembelajaran seabagia cara untk mengembangkan intelegensi tersebut lebih lanjut.
Dalam pengertian model atribusi Weiner yang menekankan usaha sebagai satu kompoenn atribusi yang kita buat, juga menarik untuk dicatat bawha Leggett dan Dweck menemukan bahwa anak yang putus asa dan berorientasi penguasaan memandang usaha secara berbeda. Anak-anak yang putus asa megnanggap usaha sebagia mengindikasikan tidak adanya kemampuan (jika saya harus bekerja keras saya pasti tidak terlalu pintar), sementara anak-anak yang berorientasi pada penguasaan memandagn usaha sebagai satu startegi untuk menunjukkan kompetensi mereka.
Riset Dweckd anr ekan nampak menunjukkan bahwa perilkau berorientasi penguasaan dan putus asa bisa dilacak pada pandnagna mereka yang berbeda tentang kemampuan yang pada akhirnya mendorong pada fokus tentang tujuan-tujuan yang berbeda. Ketika tujuan-tujuan tersebut tidak dipenuhi persepsi individu akan sangat berbeda, menyebabkan rasa putus asa pada beberapa orang atau problem solving yang lebih aktif pada orang lain.
Dweck, Hong, dan Chiu (1933) memperluas ide tersebut lebih lanjut dengan menyatakan bahwa orang-orang tertentu memandang diri mereka dan orang lain bertindak berdasarkan sifat-sifat tetap (orang-orang terebut disebut para ahli teori entitas oleh Dweck et al 1993) sementara orang-orang lainnya memandang diri mereka sendiri dan orang lain sebagau bertindak berdasarkan sifat-sifat yang bisa ditempa (disebut ahli teori inceremetal oleH Dweck et al 1993). Dua tipe individu tersebut memandang dunia secara berbeda. Misalnya, para ahli teori nentitas cenderung mebaut ifnerensi-infernesi yang lebih global, dan cenderung lebih mengandalkan pada bukti disposisional ketika membuat penilaian. Para ahli teori incremental di sisi lain membaut inferensi-inferensi yang leih spesifik konteks. Analisis Dewck et al (1993) menyatakan bahwa orang-orang yang berbeda memandang perilaku dengan cara yang berbeda dan perbedaan ini bisa mempengaurhi perilaku di mas amendatang. Orang-orang yang percaya bahwa sifat-sifat itu tetap akan menganalisa peirlaku mereka snediri dan perilaku orang lain bebreda dari orang-orang yang percaya bahwa sifat-sifat tersebut bisa diubah. Perbedaan-perbedaan atribusi ini akan mempengaruhi perilkau di masa mendatang.
Riset Dewck dan rekannya menyebutkan pentingnya proses atribsui dalam mengevaluasi sukses dan agal – orang-orang yang berbeda bisa megnatributkan peirsitwa-peristiwa yang sama dengan cara-cara yang sangat berbeda. Lebih lanjut, atribusi-atribusi tersebut akan mempengaruhi ekspetkasi sukses dan gagal di masa mendatang dan kemungkinan akan mengubah motivasi id ma samendatang. Riset Dweck juga memilki implikasi penting bagi pendidikan. Dia menunjukkan bahwa melatih kembali atribusi-atribusi kegagalan diri anak-anak yang putus asa menyebabkan membaiknya kinerja (Dweck, 1975). Demikian juga Diener dan Dewck menyatakan bahwa melatih kembali anak-anak yang putus asa untuk mengatributkan sukses pada karakteirstik stabil (seperti kemampuan) juga berguna.

Ketakutan akan sukses. Seperti kita liaht pada bab 9, riset tentang ketaktuan akan suske smengindikasikan orientasi peran-seks sebagai calon yang bagus bagi perbedaan-perbedan dari citra sukses yang dianggap beasal dari sebuah motif untk menghindari sukses (Horner, 1968, 1972).
Orientasi peran seks dan ketaktuan sukses bisa diuji dari kerangka atribusional. Dalams atu studi Erkut menemukan bawha pria universitas lebih cenderung mengatributkan rata-rata poin mereka pada kemampuan, sementara wanita kuliah lebih cenderung mengatributkan dari nilai rata-ratra mereka pada usaha. Dalam studi kedua, di mana atirbusi-atribusi yang berkaitan dengan hasil ujian midterm disleidiki, baik pria dan wanita mengatributkan nilai ujian mereka pada usaha. Pentingnya usaha dalam atribusi wanita menunjukan bahwa ekspektansi sukses mereka lebih ditentukan secar asituasional daripada untuk pria. Erkut menyatakan bahwa ketiak wanita dan pria memasuki sebuah situasi prestasi, mereka biasanya berharap sukses – pria berdasarkan kemampuand an wanita berdasarkan usaha. Akibatnya wanita merasa paling percaya diri ketiak mereka percay amereka punya kemampuan untuk bekerja baik dan bersiap diri dengan baik.
Yang lebih penitng, Erut menemukan bahwa orientasi peran seks seperti dukur oleh Bem Sex Role Inventory, dikaitkan dengan nilai aktual yang diterima pada ujian midterm, dengan skor femnitas tinggi berhubungan negatif dengan nilai (yaitu nilai rendah dikaitkand engan skor femnias tinggi adnnilai tigngi dikaitkand engan skor feminintias rendah) bagi pria dan wanita. Atribusi-atirbusi juga dikaitkan dengan orientasi peran-seks. Wanita feminin diperkirakan mendapatkan nilai lebih rendah, mengkalim merek atidak empunyai kemampuan untuk bekerja dengan baik dan mengira ujuan tersebut sulit. Atribusi pria feminin juga meliputi kesulitan tes sebagai alasan untuk nilai yang diterima; meski demikian, seperti dicatat oleh Erkut, ria feminin tida nampak menginternalisasi informasi kegagalan pada tingkat yang sama dengan wanita (seperti ditunjukkan oleh fakta bahwa atribusi pria tentagn kemampuan tidak berubah).
Satu alasan bahwa skor-skor feminitas tinggi pad aBem Sex Role Inventory bisa dikaitkand engan nilai rendah dan atirbuso-atribusi yang melemahkan merupakan sifat dari inventaris ini. Adjektif-adjektif inventaris yang mengindikasikan feminitas tidak memasukkan item-item yan g dikatikand engan orietnasi prestasi. Sehingga Erkut menyebutkan kemungkinan lebih baik mempertimbangkan skala feminiitas, daam konteks studinya sebagai hal yang mengindikasikan orientasi non prestasi.
Hasil-hasil Erkut menarik dan menyatakan bahwa perilaku prestasi dan atribusi yang berhubugnan dengan prestasi dihubungkan dengan orientasi peran seks bagi pria dan wanita. Orientasi feminin dibandingkan dengan maskuli, setidaknya seperti yang diukur oleh Bern, dikaitkan dengan nilai yang lebih rendah dan ekspektasi-ekspektasi yang berbeda. Riset lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan hubungan-hubungan yang disarankan oleh Erkut. Secara khusus, akan berguna utnuk menggunakan klasifikasi kelipatan-empat yang disarankan oleh bern (1977), yang membagi skor-skor inventaris menajdi emapt kelompok – maskulin, feminin, androgini dan tak terdiferensiasi. seseorang bisa menguji perilaku prestasi dan respon-respon atribusional seperti Erkut untuk masing-masing dari empat kelompok tersebut.
Zuckerman dan rekan (1980) menguji hubungan dia ntar aketaktuan sukses, motivasi intrinsik dan atribusi. Subyek dibagi menjadi kelmpok takut suskes tinggi dan rendah dengan menggunakan Far of Success Scale (FOSS) yang dikembangkan oleh Zuckerman dan Allison (1976). Subyekd iberi sernagkaian teka-teki bewaktu untuk dipecahkand an diberitahu bahwa mereka bisa sukses atau tidak menurut norma-norma yang sudah ditetapkan. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa subyek yang diberitahu mereka sudah sukses dan yang mendapatkan nilai rendah untuk FOSS menunjukkan motivasi intrinsik yang lebih besar untuk tugas dan membaut atribusi-atribusi yang lebih internal untuk sukses dairpada subyek yang mendapatkan skor tinggi apda ketakutana akn sukses. Bagi subyek yang dibertahu bahwa mereka telah gagal, tidak ada perbedaan muncul antara subyek FOSS rendah dan tinggi. Pola hasil-hasil dalam studi ini menyarankan kepad Zuckerman dan rekan (1980) bahwa orang yang memiliki skor FOSS tinggi menggunakan strategi mengalahkan-diri dalam menangani situasi-situasi prestasi. Orang-orang dengan skor FOSS tinggi lebih kecil kemungkinannya daripada orang lain untuk berjuang bagi sukses dan ketika sukses, lebih kecil kemungkinannya mengatributkan sukses tersbeut pada faktor-faktor internal. Sehingga sukses nampak memiliki efek yang berbeda terhadap individu yang memiliki skor FOSS tinggi. Berbeda dengan karya Dweck, Zuckerman dan rekan tidak menemukan perbedaan antara subyek dengan ketakutan sukses rendah dan tinggi ketika subyek-subyek tersebut yakin mereka sudah gagal. Zuckerman melihat tidak adanya perbedaan setelah kegagalan ini sebagi bukti yang melawan ide tersebut, yang kadang diusulkan bahwa ketakutana kan sukses dan ketakutan akan gagal adalah hal yang sama. Yang menarik, Zuckerman dan rekan tidak menemukan perbedaan seks pada studi mereka, menyatakan bahwa ketakutan akan sukses tidak lagi menjadi fenomena feminin saja, seperti yang pada awalnya disarankan Homer.

Atribusi dan Ketidakberdayaan yang dipelajari
Dalam bab 6 kami menguji konsep ketidakberdayaan yang dipelajari, yang oleh Seligman dan rekannya diyakini beranalog dengan depresi pada manusia. Seligman memodifikasi teorinya (yang berkaitan dengan depresi) untuk memperhitungkan pentingnya atribusi yang dibuat olehs eseorang tentang mengapa perilaku seseorang tidak efektif (Abramson et al 1978).
Model lama dari ketidakberdayaan yang dipelajari berpendapat bahwa ketidakberdayaan dan depresi beasal dari non kontingensi yang dirasakan dia ntara tindakan-tindakan pribadi dan lingkungan; yaitu orang-orang menjadi putus asa ketika mereka peray amereka tidak bisa mengotnrol atas apa yang terjadi pada diri mereka. Model awal ketidakberdayaan memiliki sejumlah probem. Slah satunya ini tidak bisa harga rdiri yang rendah dari individu yang terdepresi; problem kedua adalah orang yang depresi umumnya menyalahkan diri mereka sendiri atas tidak adanya kontrol ini. Teori depresi dari ketidakberdayaan yang dipelajari juga tidak bisa menjelaskan mengapa bebeapa deprsi berumur pednek dan beberapa lagi berlanjut, juga bukan mengapa pada beberapa kasus ketidakberdayaan yang diamati besifat spesifik sementara pada beberapa saat lain ini cukup umum
Model ketidakberdayaan yang dipelajari mengandalkan pada tipe atribusi yang dibuat oleh orang untuk mngatasi problem tersebut. Mislanya, Abramson dan rekan berpendapat bahwa individu bisa mengatributkan tidak adanya kontrol dirinya pada peristiwa-peirsitwa eksternal atau itnernal. Beberapa stiausi yang tidak bisa kita kontrol bersifat universa; yaitu tidak ada hal lain yang bisa mengontrolnya. Sebuah tornado yang mursak rumah kita adaah di luar kontrol kita dan kontrol orang lain, semntara mengerjakan tes dengan buruk bisa berasal dari karakteristik internal kita (tidak adanya intelegensi) yang bisa dikontrol oleh orang lain. Dalam situasi terakhir ini kita menganggap diri kita tak berdaya (orang lain OK mengerjaan tes), sementara dalam kasus tornado kita tak berdaya. Seligman dan rekan berpendapat bawha tipe atribusi yang kita buat tentang tidak adanya kontrol dari diri kita mempengaruhi harga diri kita (Abramson et al 1978). Jiak kita percaya bahwa kita tidak memiliki karakteristik yang dimiliki oleh roang lain ayng memungkinakn mreka mengotnrol situasi, atribusi ketidakberdayaan pribadi ini akan menyebabkan harga diri lebih rendah.
Dalam atribusi-atribusi ketidakberdayaan personald an univesal, terdapat defisit motivasional, tapi hanya ketiak atribusi-atribusi ketidakberdayaan personal dibaut maka harga diri akan terpengaruhi. Menurut Abramsond an rekan, individu yang depresi cenderung menyebtu tidak adanya kontrol karakteristik pribadi merka, dan atribusi ini menyebabkan rasa harga diri yang rendah. Harga diri yang rendah dan sifat menyalahkan diri sendiri oleh individu yang depresi bisa dipahami. Seligman berpendapat bahwa ini dsiebabkan oleh atribusi ketidakberdayaan pribadi.
Dengan cara yang sama genralitas depresi putus asa bisa dipahami disebabkan oleh tipe atribusi yang dibuat oleh seseorang. Ketika orang-orang menemukan bawha perilaku mereka tidak menimbulkan efek berarti trhadap hasil-hasil yang inginmereka capai, mereka mungkin mengatributkannya pada kondiis-kondisi khusus atua pada situasi yang lebih global. Jika atribusinya adalah pada kondisi kusus (saya tidak bekerja baik di sekolah) individu cenderugn menunjukkan ketidakberdayaan hanya pada situasi-situasi spesifik tersebut. Meski demikian jika penemuan ketidakterkotnrolan menyebabkan sebuah atribusi global, banyak perilakud i masa menadtang akand ipengaruhi oleh atribusi global ini.
Konsep atribusi spesifik vesus global yang berkaitand engan tidak adanya kotnrol terhadap peristiwa bisa membantu menjelaskan mengapa beberapa depresi ditandai oleh upaya kecil dari individu untuk mengubah perilaku mereka; orang yang terdepresi cenderugn membuat atribusi global dan percaya bahwa tidak ada yang mereka lakukan akan berdampak pada lingkungan mereka.
Terjadinya depresi bisa dipahami, menurut Seligman, dengan merujuk pada dimensi stabil-tak stabil dari atribusi, yang dicatat sebelumnya dalam analisis prestasi atribusional Weiner. Seseorang, ketiak mrasa tidak bisa mengontrol periitwa, bisa menyebut tidak adanya kontrol ini pada faktor-faktor stabil (intelegensi) atau pada faktor-faktor tak satbil (saya sudah mengalami kesialan). Keptusasaan yang dirasakan akibat faktor-faktor stabil akan memperluas jalannya waktu ketidakberdayaan, sementara atribusi sebab-sebab tak stabil akan lebih transient. Menurut Seligman, atribusi individu yang terdepresi cenderugn stabil dan kronis.
Seligman adalah oarng pertama yang menyatakan ada sebab-sebab laind ari depresi selain ketidakberdayaan. Menurutnya depresi ketidakberdayaan adalahs atu tipe depresi yang terjadi ketika orang-orang merasa perilaku mereka bebas dari hasil-hasil yang mereka cari. Dia menyatakan bahwa atribusi-atribusi yang dibaut oleh tipe orang depresi ini akan menentukan apakah depresi berumur panjang atau pendek, spesifik pada situasi tertentu atau lebih umum, dan apakah dia mengekpresikanr asa harga diri dan menyalahkan diri sendiri atau tidak emiliki karakteristik-karkatersitik tersebut. Seligman menyatakan bahwa individu yang terdepresi cenderung membuat atribusi pribadi (internal), global dan stabil berkaitan dengan tidak adanya kontrol terhadap peristiwa. Atribusi tipe ini akan menyebabkan penyalahan diri sendiri, ahrga diri yang rendah dan depresi umum dan kronis.
Model atribusi dari ketidakberdayaan yang dipelajari menghasilkan banyak kontroversi. Meski lingkup teks ini tidak menguji semau riset saat ini tentang ketidakberdayaan yang dipelajari, melihat sedikit dari beberapa studi tersebut akan berguna.
Wortman dan Brehm (1975) mengusulkan bahwa reaksi awal terhadap hilangnya kontrol bukanlah ketidakberdayaan tapi reaktansi (resistensi terhadap hilangnya kontrol dengan meningkatnya usaha). Jika kontrol tidak bisa didapatkan lagi akibat reaktansi, maka ketidakberdayaan yang dipelajari akan terjadi. Raps dan rekan menguji proposal ini dengan memberikan kepad aorang-orang sejumlah tugas kognitif. Rasional yang mendasari prosedur ini adalah hispotalisasi menandakan sebuah sitausi di mana sesoerang memilki sedikit kontrol. Jika hipotesis Wortman dan Brehm benar, makap eruabahn pada performa pada tugas-tugas kognitif akan terjadi. Pasien yang dirawat inap untuk jangka waktu pendek akan menunjukkan reaktansi dan meningkatkan performa, sementara pasien yang dirawat inap lebih lama akan menunjukkan peningkatan jumlah ketidakberdayaan yang dipelajari, seperti dibuktikan oleh pnenurunan performa pada tugas-tugas kognitif. Hasil dari studi ini menunjukkan penurunan kaut pada performa pada tugas-tugas kognitif sebagai lama masa tingal di rumah sakit meningkmat tapi tidak ada bukti reaktansi. Hasil-hasil tersebut mendukung hubungan yang diusulkan antara hilangnya kontrol dan ketidakberdayaan yangdipelajari tapi bukan antara hilangnya kontrol dan reaktansi. Meski Raps dan rekan menyatakan bahwa populasi pasien yang mereka pelajari mungkin sensitif terhadap manipulasi ketidakberdayaan yang dipelajari, mereka berpendapat hilangnya kontrol merupakan faktor operatif pada perubahan-perubahan yang diamati.
Meski Raps dan rekan tidak menemuakn dukungan bagi model reaktansi, Mululincer (1988) mendapatkan bukti reaktansi dan ketidakberdayaan yang dipelajari. Dalam studi ini beberapa studi dipaparkan pada suatu problem yang tak terpecahkan sementara beberapa lagi dipaparkan pada empat probelm yang tak terpecahkan. Bagi subyek-subyek yang memiliki sebuah gaya atribusional internal, pemparn pada problem tak terpecahkan tunggal mendorong pada reaktansi dan performa yang lebih baik pad atugas selanjutnya jika dibandingkan dengan subyek ayng memiliki gaya atribusioal eksternal. Subyek gaya internal yang dipaparkan pada empat problem tak terpecahkan menunjukkan perasaan tak kompeten yang lebih kuat danmenunjukkan penurunan performa pada tugas berikutnya. Sehingag studi Mikulincer nampak mendukugn model reaktansi Wortman dan Brehm.
Dalam studi lain, Mikulincer dan Nizan (1988) menemukan bahwa atribusi-atribusi kegalanglobal mendorong pada penignkatan kognisi off-task. Pemikiran-pemikrian kecemasan tersebut mengganggu performa selanjutnya. Ketika instursi diberikan yang menghambat kognisi off-task, efek menurunnya perofrma dari atribusi global dihilangkan. Para peneliti tersebut menyatakan bahwa defisit performa yang ditemukan pada atribusi global bisa berasal dari kecemasan daripada dari perubahan kondisi motivasional sebagaimana diusulkan oleh model ketidakberdayaan yang dipelajari.,
Baltes dan Skinner (1983) mengambil pengecualian kuat pad astudi oleh Raps dan rekan. Para peneliti trebut menyebutkan bawha sementara studi Raps tidak mendukung model Wortman-Brehm tentang ketidakberdayaan yang dipelajari, ini juga tidak mendukugn model yang sama dari Seligman dan kolega. Baltes dan Skinner menyatakan bahwa setidaknya dua model lain bis amenjelaskan defisit yang diamati pada pasien awat inap – pembelajarna operan dan teori peran.
Dari perspektif operan, rawat nap menampilkan sutasi di mana kontingensi-kontingensi adalah perilaku megnambil kontrol, kaktidf dan independen tidak didorong semetnar aperilakud emenden didorong. Jika reward secara konsisten diikatkan pada sifat pasif dan hukuman terhadap pengambilan kontrol aktif, maka tidak mengejutkan bila lama tinggal di rumah sakit menjadi lebih besar, peirlkau putus asa meningkat.
Teori peran mengusulkan ekspektasi dalam bentuk aturan yang berkaitan dengan perilaku yang tepat bisa mendorong pada peirlaku yang tepat untuk peran yang dimainkan. Akibatnya, keitak orang-rang memainkan pasien, ekspektasi merka tentang perilaku pasien yang tepat mendorong mereka bertindak secar apasif dan dependne. Sehingga subyek dalam studi Raps bisa bertindak secar apasif karena inilah yang mereka anggap diharapkan dari mereka.
Pada 1989 Abramson, Metalsky dan Alloy merevisi model ketidakberdayaan yang dipelajari pada 1978 dan menyebtu model barui mereka sebagai teori keputusasaan dari depresi. Model terbaru ini mengusulkan menjelaskan subtipe depresi yang mereka sebut depresi keputusasaan. Model yang lebih baru ini jgua memainkan peran atribusi dalam memahami subtipe depresi ini. Depresi keputusasaan ditandai oleh dua ekspektasi dasar: 1)hasil-hasil yang dinilai tinggi tidak bisa didapatkan atau hasil-hasi yang sangat aversif tidak bisa dihindari, dan 2) individu tidak berdaya mengubah situasi tersebut. Sheinga ketidakbeddayaan menajdi komponen keputusasaan dalam model baru ini.
Karena model ini tidak menekankan peran dasar atribusi dalam mendukung depresi, kami tidak akan membahas lebih lanjtu di sini. Riset lebih lanjut akan menentukan kegunaan model ini.
Seperti yang bisa anda lihat, model atirbusi dari ketidakberdayaan yang dipelajari bersifat provokatif dan kontroversial. Saat ini riset yang lebih definiti fdiperlukan sebelum kita bisa menentukan kegunaan teori ini. Pendekatan-pendekatan atribusional secara umum sangat populer. Seperti kita lihat, pendekatan ini sudah diterapkan pad abanyak fenomena psikolgois, di mana prestasi dan ketidakberdayaan yang dipelajari adalah dua contohnya. Pendekatan-pendekaatan atribusional menyebutkan kita harus memahmai bagiamana orang-orang memahami sebab dan akibat jika kita inginmemahami mengapa orang bertindak dengan cara tertentu. Ini problem yang sulit dipecahkan, tapi ini meurpakan problem yang banyak diteliti.

Ringkasan
Salah satu hal terpenting yang kita lakukan adalah membuat penilaian tentang sebab-sebab perilaku. Teori atribusi, yang berasal dari Heider untuk menjelaskan penilaian tersebut, diperluas dan disaring oleh Kones, Kelley dan lain-lain temua utamanya adlaah kita mengabaikan pentingya karakteirsitk disposisional dan mengabaikan faktor-faktor situasional ketika membuat penilaian kausal, khususnya ketika kita menilai perilaku orang lain. Eror atribusi fundamental ini bisa berasal dari perbedaan pada apa yang kita temukan ketika mengamati perilaku orang lain, yang berbeda dari mengamati perilaku kita sendiri.
Teori atribusi dikaitkan dengan prestasi. Weiner, misalnya, menyelidiki beragam askripsi emosional yang diberikan pad asuskes dan gagal dalam sitausi-situasi prestasi. Dweck menunjukkan bawha atribusi-atribusi anak aygn berorientasi penguasan dan ketidakberdayaan berbeda, dan Seligman dan rekan merumuskan kembali teori ketakberdayaan yang dipelajari mereka dengan memasukakn jenis-jenis aribusi yang dibuat oleh orang-orang ketika menemukan bawha perilaku tidak berkaitan dengan hasil. Atirbusi tersebut bisa mempegnaruhi genrlaitas, jalannya waktu, dan penyalahan diri yang sering diamati pada depreis.
Teori atirbusi menekankan pemrosesan informasi kogntif sebagai hal penting untuk pemahaman peirlaku. Meski dalam pengertian non motivasional, pendekatan-pendekatan atribusi umumnya mengakui pentingnya motif-motif dalam menciptakan atribusi dan yang lebih penting peran atirbusi dalam arah perilaku di masa mendatang. Sehingga atribusi sukses di masa lalu terhadap kemampuan tinggi mungkin berfungsi memotivasi perilaku prestasi di masa mendatang.
Jika kita ingin memahami mengapa orang-orang bertindak dengan cara tertentu, kita harus memahami proses-proses di mana orang-orang mengatributkan sebab-sebab kejadian, baik did alam diri mereka sendiri dan di dalam diri orang lain. Teori atribusi berusaha membantu kita mendapatkan manfaat dari pemahaman tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar