Rabu, 13 April 2011

bab 13 bu Yani

Bab 13
Emosi sebagai motivator
Tinjauan bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana konsep emosi dijelaskan oleh para ahli teori psikologi?
2. apa peran faktor-faktor biologi dalam ekspresi emosi?
3. apa peran kognisi dalam emosi?
4. adakah emosi-emosi universal?

Sebagai atlit amaitr, saya telah menyaksikan beragam peristiwa olimpiade dengan aktusiasme yang besar dan mengalami beberapa dmapak emosional dari gagal dan sukses para partisipan. Saya meliht apra atlit menerima medali emas dnegna air mata berderai. Apakah mereka sedih? Emosional? Tentu saja.
Bab ini tentang emosi. Bagiamana kita bisa mnejelaskan emosionalitas atlit yang sukses dan reaksi-reaksi emosional kita sendiri? Apakah emosi berasal dari perubahan-peurbahan visceral intenral, seprti disarankan oleh james dan Lange (lihat bab 3), atau apakah bersal dari penghargaan kognitif atas peristiwa-peristiwa yang berlangsung? Apakah emosi bersifat bawaan dan jumlahnya terbatas, atau apakah emosi dipelajari dan berlipat-lipat jumlahnay? Ada sedikti pertanyaan riset tentang emosi yang harus dijawab. Seperti yang akan kita temukan, jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut sulit didapatkan dan opini-opini sangat berbeda.
Pada awalnya kata emosi berarti bergerak, seprti dalam beprindah dari satu tempat ke tempat lain; meski demikain istilah ini kemudian bearrrti sebuah gerakan atau agitasi dalam pengertian fisik. Penggunaan ini diperluas hingga meliputi agitasi politik dan sosial. Yang terakhir istilah ini berati sebuah kondisi teragitasi atau terbangkitkan pada seseorang (Young 1975). Sehingga ide emosi nampak mengimplikasikan seseorang itu digerakkan – yaitu diubah – dari satu kondisi ke kondisi lain, seperti berubah dari senang ke sedih atau dari non emosional ke emosional.
Para peneliti yang tertraik pada konsep ini telah memberikan banyak definisi emosi, tapis eperti dicatat oleh Mandler (1984), tidak ada definis iyagn diterima secara umum. Ketika kami menguji beberapa model emosi yang ada dalam bab ini,akan menjadi jelas bahwa emosi bisa dikonseptualisasikan dalam beberapa cara yang berbeda, dari perubahan-perubahan fisiologis hinga penilaian kognitif hingag ke ekspresi fasial fundamental. Setiap pendekatan menawarkan sesuatu, dan tidak adanya definisi yang diteima secara umumt entang emosi mungkin berasal dari fakta bawha emosi itu multifast.
Selama beberapa tahun tadisi berkembang dalam tudi emosi. Satu tradisi adalah bioplogis. Dimulai oleh Darwin (1872), pendekatna biologis dikemabngkan lebih lanjut oleh James, Lange dan Cannon dan lebih baru oleh para ahli ethologi (dan juga oleh banyak peneliti lain). Dalam bagian pertama bnab ini kami akanmenguji emosi dari perspektif biologis ini.
Tradisi kedua menekankan peran proses-proses pembelajaran dalam emosi. Kaltias-kualitas emosi seperti dorongan sudah dicatat oleh Bandura. Dalam bagian kedua bab ini kami akan meninjau secara singkat beberapa cara di mana pembelajaran dilibatkan dengan emosi.
Pada bagian ketiga bab kami akan menguji pendekatan-pendekatan kognitif terhadap emosi. Para ahlit eori dalam tradisi ini menekankan penilaian kognitif penting bagi pengalaman emosi. Beberapa model kognitif akan diuji.
Dalam bagian terakhir bab ini kami menguji ide bahwa sejulah emosi bersifat iuniversal. Teori-teori biasanya mengusulkan seumlah keicl emosi bawaawn berkmebang karena nilai adaptifnya bagi individu. Lebih lanjut, perubahan-perubahan muskulatur fasial sering disarankan sebagai cara mengkomunikasikan emosi ke orang lain dan kepada diri kita sendiri. Emosi-emosi fundamnetal bisa dicampur menghasilkan rentangpengalaman emosional tak terbatas.
Seperti dibuktikan dari pendahuluans ingakt ini, riset tentang meosi tidak memberi jawaban mudah, dan perselisihan dia ntara para ahli teori kadang-kadang begitui parah. Sebenarnya, satu penjelasan yang cenderung menggantikan penjelasan lain terjadi sekitar setiap 20 tahun (Averill 1983). Dalam bab ini kami akan menguji banyak pendekatan yang disebut kan oelh Averill yang berpengaruh terhadap konsep-konsep kita tentang emosi. Mari mulai dari awal pendekatan modern tentangtopik ini, yaitu pada teori darwin.

Emosi dari perspektif biologis
Darwin
Jika anda membaca buku Darwin The Expresion of the Emotions in Man and Animlas (1872), anda akant erkejut pada betapa modernnya ini terdengar. Misalnya, dia sadar bahwa gerakan-gerakan tubuh dan ekspresi badah (saat ini disebut bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal) mengkomunikasikan mana di antara para agnggota sebuah speiss. Dia berpendapat bawha banak jkomunikasi non verbal ini menyampaikan informasi tentang kondisi emosional organisme.
Darwin percaya bahwa empis dan kespresinya bersifat bawaan, meski d kemungkinan bebrpara tipe ekspresi emosioal bisa dpelajari. Banyak dari analisis emosi berkembang dis ektiar cara emosi diekspreiskan. Dia mengusulkan tiga prinsip untuk memahami ekspresi emosi pada manusia dan binatang.

pRinsip-prinsip serviceable yagn berkaitan dengan kebiasaan, antitesis, dan kerja langsung sistem saraf. Pada prinsip kebiasaan serviceabel, Dariwn mengusulkan cara organisme menyatakan emosi memiliki nilai survival di masa lalu. Sehingga sekor anjing bisa memkerkan giginya ketika membela tuannya karena dalam masa lalu evolusiiner gigi taring anjing,. Perilaku ini meningkatkan nilai survival anjing jika bertindak demikian. Memamerkan gigi bernilai adaptif karena beberapa alasan; misalnya, ini menandakan kesiapan motivasional untuk menyerang, yang pada akhirnya bisa menyebabkan binatang pengancam pergi, dan kedua, perilkau ini merupakan persiapan bagi anjing untuk menggigit jika diperlukan.
Darwin percaya bahwa ekspresi-ekspresi emosional pada awalnya dipelajari tapi menjadi bawaan selama beberapa generasi; sehingga kebiasaan yagn berkaitan dengan serviceable merupakan perilaku ygn dipeljari yagn menjadi bawaan karena kegunaannya. Karena dia tidak tahu karya genetik Mendel, Darwin tidak tahu bagaimana karakteristik tersebut diawriskand aris atu generasi ke genrasi berikutnya sehngga dia mengusulkan bawha ekspresi emosi berkembang dari kebiasaan yagn dipelajari terhadap ciri-ciri turunan selama beberapa genrasi. Saat ini kita tahu evolusi gagal dengan cara tersebut. Meski demikian, untuk memasukkan prinsip Darwin ke dalam pengetahuan genetik modern, kita perlu mencatat bahwa gen-gen tertentu mengontrol perkembangan perilaku emosi tertentu dan ekspresi emosi tersebut (anjing yang memamerkan giginya) memiliki nilai survival bagi organisme yang memiliki gen-gen tersebut.
Dalam prinsip antitesis Darwin mengusulkan bahwa ekspresi emosi yang bertentangan (kemarhaan dan ketenangan) melibatkan jenis-jenis perilaku yang berbeda.Kucing yagn marah akan mengerang, meratakan telinganya dengan kepala, memperpanjang cakarnya dan membuka mulutnya untuk menggingit. Kucing yang ramah dan tenang menggosek-gesekkan punggungya pada kaki anda dan telinganya berdiri, mulut tertutup dan cakarnya teratrik. Ekspresi perilaku dari dua kondisi emosional tersebut angat berbeda dan bertentangan. Sehingga prinsip antitesis menyatakan bahwa perilaku yang berkaitan dengan jenis-jenis perasan seingkali dinaytakan pada jenis-jenis perilaku yang berbeda.
Darwin sadar dia tidak bisa mengkategorisasikan semau perilaku emosioal menurut dua prisnip tersebut karena beberapa perilaku emosioal nampak tidak berguna bagi organisme. Dia mengusulan prinsip kerja sistem saraf langsung, yang menaytakan bawha beberapa ekspresi emosional terjadi hany a karena peruabahn apda aktivitas sistem saraf.
Dua prinsip pertama Dawrin nampak lebih relevan hari ini daripada prinsip ketiga. Umumnya diyakini bahwa emosi dan ekspresinya bersifat adaptif dan munculk saat ini karena berfungsi mengkomunikasikan kondisi-konidis intenral dari satu individu ke individu lainnya. Misalnya, seberapa sering anda melirik sseorang, tanpa ata yerucap dan mengetahui ada sesuatu yang salah? Pengenalan anda terhadap sesuatu itu mungkin berasal dari sinyal-sinyal emosioal aygn anda amati pada ekspresi fasil orang tesbut. Banyak ahlit eori modern yanng mengikuti Darwin juga percaya emosi bisa dipahami terdrii atas beberapa kutup yang berlawanan sepreti seanng-sedih, marah-sabar, bergairah-bosan dn aseterusnya. Seperti yang akan kita lihat, terdapat banyak debat tentang dimensi unipolar versus bipolar dalam emosi. Prinsip ketiga Darwin saat ini tidak terlalu popular.

Pengenalan kondisi-kondisi emosional.
Satu cara bagi perilkau emosional untuk mmpertahankan nilai survival adalah jika perilaku ini memberi petunjuk tentang kondisi emosional individu pada anggota lain spesiesnya. Dawrwin percaya bahwa gerakan-gerakan ekspresif dikenali berkaitand engan kondisi emosional tertentu oleh para anggota sebuah spesies dan pengakuan ini bersifat bawaan. Dengan kata lain, kita mengenali perilaku-perilaku tertentu mengindikasikan bahwa seseorang berada dalam kondisi emosional tertentu dan kita bisa mengubah perilaku kita berdasarkan hal ini. Yang menarik Darwin mencatat bahwa gerakan-gerakan alis, dahi dan mulut merupakan sinyal penting dari kondisi emosional.

Ethologi
Dalam bab 2 kami menguji ujsulan bawha motivasi bisa dipahamis ebagia akumulasi energi yang berkaitan dengan pola-pola perilaku instingktif, yang dilepaskan oleh stimuli kunci yang tepat. Pendekatan ini dalam bentuk modernnya sudah disebutkan oleh para ahli etologi. Ketika para ahli etologi sudah menekankan sifat bawaan dari proses-proses motivasional, mereka juga menentang sifat bawaan dari emosi.
Dengan mengikuti Darwin, para ahli etologi berkonsentrasi terutama pada studi gerakan ekspresif organisme. Bagi par aahli etologi, motivasi dan emosi dianggap sebagia dua nama untuk konsep yang sama; sebuah bentuk energi spesifik tidnakan.

Gerakan-gerakan sengaja. Riset etologi berfokus pada informasi yang disampaikan oleh gerakan-gerakane kspresi yagn menyertai emosi. Misalnya, Eibl-Eibesfedlt memberikan definisi berikut: ”Pola-pola perilaku terdiferensiasi menjadi sinyal-sinyalaygn disebut gerakan-gerakan ekspresif. Menurtu analisis etologi, ekspresi bawaan dari sebuah kondisi emosional binatang berkembagn dari gerakan-gerkaan sengaja, yang bisa anda sebut sebagia indikator dari sebuah perilaku yang dibuat oleh organisme. Sehingga anjing yang memamerkan giginya merupakan gerakan eksresif yang mengindikasikan emosi dan persiapan untuk menggigit.perilaku eksresif ini seringkali terlihat ketika emosi-emosi yang bertentangan muncul dan cenderung menjadi perilaku-perilaku campuran yang terlibat dalam kondisi-kondisi ang bertentangan. Mislanya seekor kucing jantan yang membela wilayahnya terhadpa pejantan penyusup bisa menaikkan buunya dan segera setelah itu menjauh dari penyerang. Gerakan-gerakan ekspresif ini mungkin mengidikasikan permusuhan yang dicampur dengan ketakutan.
Gerakan-gerakan bertujuan ini akan informastif selama anggota-anggota individu lain emngenalinya sebagia sinyal perilaku yang bisa tejradi. Pengenalan kemarahan, misalnay akan membatnus eseorang menghindari perkelahian yang merusak; respon ketakutan seprti menangis bisa dengan cepat membuat orang dewasa membantu bayi; dan sensitiitas terhadap petunjuk-petunjuk emosioal bisa membantu pria menghindari buang-buang energi dalam melakukan rayuan kepada wanita yang tidak tertarik. Gerakan-gerkaan sengaja memiliki tujuan adaptif mengkoordinasikan perilaku di antara individu sehingga bisa ada bedekatan dengan orang laind ari spesiesnya dan berinteraksi dengan efisien. Binatang yagnhidup dalam kelomok bisa mengembangkan cara-cara mengenali sinyal-sinyal emosional danbertindak dengan tepat. Karena manusia dan primata lainnya hidup dalam kelompok kecil, tidak mengejutkan jika kita dan monyet terbukti sensitif terhadap sinyal-sinyal emosional. Analisis petunjuk-petunjuk nonverbal ini akan dibahas lebih lanjut.

Petunjuk-petunjuk non verbal
Di atnara primata, ekspresi wajah vestur dan panggilan sering menyertai peirlkau emosional (Buck 1976). Apakah ekspresi, panggilan dan gesture berfungsi sebagai petunjuk bagi kondisi emosional binatang? Robert Miller dan kolega menguij ide ini dalam serangkaian eksperimen. Kita kaan melihatnya secara singkat.
Miller menempatkan monyet resus pada sebuah sitausi ekpserimen di mna mereka harus menghindari guncangan dengan menekan sebuah kunci ketika lampu menyala. Ini meurpakan situasi pembelajaran menghindar khusus dan monyet tidak bermaslah dalam belajar mengihndari guncangan. Setlah dia menunjukkan mereka bisa belajar menghidnari guncangan, Miller mengubah sitausi sehinga satu monye tbisa melihat stimuluscahaya tapi tidak bisa menghindari guncangan scara langsung karena tidak ada kunci yang bisa ditekan. Monyet kedua punay kunci tpai tidak melihat stimulus tersbeut. Monyet kedua ini bisa melihat monyet pertama lewat sebuah monitor TV bersirkuit tertutup yang menunjukkan wajah monyet pertama. Pertanayannya adalah: Akankah monyet pertama mengubah ekspresi fasialnya ketika lampu menyala? Dan bisakah monyet kedua memahami perubahan tersbeut, menekan kunci dan dengan demikian menghindari guncangan bagi keduanay?
Jawabannya adalah iya. Ekspresi wajah monyet pertama berubah ketika cahaya menyala, dan monyet kedua mengamati perubahan tersbeut dan belajar menekan kunci untuk menghindari guncangan. Sehingga monyet-monyet tersebut bisamenirim ekspresi fasial yang tepat dan menerima ekspresi tersbeut dan mengubah perilaku mereka.
Harus dicaat bahwa mengirim monyet bukanlah usaha sadar untuk mengirimkan informasi ke monyet pengamat. Monyet pengirim hanya bereaksi pada cahaya dengan perubahan ekspresi wajah karena cahay amengindikasikan guncangan akant erjadi. Monyet yang mengamati mampu menggunakan komunikasi ini untuk menekan kunci untuk menghindari guncangan. Demikian juga, monyet kedua tidak altruistik dengan menekan kunci sehinga keduanya bisa menghindari guncangan; hanya dengan menekan kunci keduanya tidak akant erguncang. Eksperimen ini menunjukkan bawha monyet-monyet resus sensitif terhadap gerakan-gerakan wajah yang bisa berupa ekspresi emosi dan bisa mengubah perilkau mereka. Jika mereka bisa menggunaan komunikasi emosional ini dalam lingkungan laboratoriums teril, mereka bisa juga menggunakan ekspresi wajah dalam lingkungan alami.
Dalam bagian lain eksperimen ini Miller, Caul dan Mirsky memasangkan monyet yang dibesarkan secara terpisah dengan monyet yang dipelihara secara normal dan melakukan semu akombinasi pengirim dan penerima. Kita sudah lama tahu bawha monyet yagndiisolasi dari anggota spesise mereka mengembangkan abnormalitas perilkau, termasuk memeluk diri sendiri, bergoyang, dan menghindari interaksi sosial. Miller menemukan bawha isolat tidak mampu bertindak sebagai pengirim dan pengamat yan gbaik. Satu efek dari isolasi aldaah gangguan kemampuan untuk menggunakan petunjuk yang dihasilkan emosi dan nverbal. Gangguan ini bisa dikaitkand engan perilaku aneh yang ditunjukkan oleh monyet yang terioslasi.
Kemampan mengirim dan menerima petunjuk-petunjuk emosional bisa melibatkan inreraksi antara pola perilkau b awaan dan yang didapatkan. Mason (1961) meyebtukan banyak perilkau yang digunakan oleh monyet dalam komuniaksi spesifik spesies (dan oleh akrena itu bawaan) tapi perkembangan aygn tepat dai perilakup-perilaku tersebut bergantung pad apenglaman yang adekuat. Monyet-monyet yang terisolasi mungkin tidak memiliki komunikasi emosional karena kemampuan bawaan mereka tidak memiliki atmosver sosial yang tepat untuk berkembang. Jika monyet bisa mengkomuniaksikan kondisi emosionalnya dengan gerakan wajah, gestur dan panggilan, bagaimana dengan manusia? Apakah mengkomuniaskikan perasaan mereka melali petunjuk-petunjuk non verbal juga?
Ross Buck berusaha menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan metode sender-observer Miller untuk diterapkan pada manusia. Dalam eksperimen Buck subyek meliaht serangkain slide yang masuk ke beragam kateogri yang berubungan dengan respon emosional ayng mungkin diraskan subyek saat melinhatnya. Kategori-ktgori ini bisa mleiputi slide skeusl, skenik, maternal, memalukan dan ambigu. Subyek lain mengamati reaksi-reaksi vasial orang yang melihat slide dan berusaha memprediksikan tipe slide apa yang dilihat oleh orang pertama dan apakah emosi yang dialami menyenagkan atau tidak menyenangkan. Jika manusia menyatakn emosi lewat gerakan-gerakan fasial, pengamat harus mampu memprediksikan dengan suatu akurasi tpe splide apa yang dilihat orang pertama dan apakah orang ini merasa senang atau tidak senang.
Dalam satu studi Buck menemukanbahwa seorang pengamat bisa meprediksikan pada level-level yang lebih besar daripada peluang kategori slide yang dilihat pengirim. Meski akurasi prediksi ini signifikan secara statistik, ini tidka banyak, mungkin karena orang-orang yagn berbeda bereaski secar aberbeda terhadap stimuli yang sama. Misalnya sesoerang mungkin measa senang melihat foto-foto telanjang, sementara beberapa orang lainnya mungkin tidak tertarik. Akurasi memprediksikan kategori-kategori emosi bersifat marginal. Dalam hal menyenangkan dan tidak menyenangkan, prediksi jauh lebih baik. Kita sangat baik saat mengirim dan menerima sinyal yang merefleksikan mood umum kita tapi tidak terlalu bagis mengindikasikan secara verbal mengapa kita meras demikian (alasan-alasan untuk senang atau tidak senang).
Dalam semua studinya Buck menemukan wanita mengkomunikasikan emosinya secar anonverbal lebih baik daripada pria – mereka pengirim yan glebih baik – karena mereka lebih ekspresif secara fasioal (mereka membuat gerakan-gerakan fasial lebih banyak_. Buck menyatakan bahwa dalam masyarakat kita anak gadis diajari untuk menyatakan emosinya secar terbuka, sementara anak laki-laki diajari mereka harus menghambat eskpresi eprasasan mereka. Sehingga wanita bisa lebih baik dalam menyatakan emosinya secara nonverbal karena mereka diizinkan mengeksternalisasi perasaan mereka, sementara anak laki-laki diajari menginternalisasi perasaan mereka. Dengan cara yang sama seperti data monyet. Riset B uck mengimpliasikan ekspresi emosional bersifat bawaan tapi bisa diubah oleh pengalaman.
Bagaimana ekspresi emosi awal ini terjadi? Buck (1975) menemukan bahwa anak pada usia 4 bulan bisa mengkomunikasikan emosinya dengna bagus lewat ekspresi wajah. Pada usia ini tidak ada perbedaan-perbedaan reliabel yan gmuncul di antar kedua jenis kelamin ini dala hal kemampuannya mengirim informasi, meski anak perempuan masih sedikit lebih bagus. Buck juga menemukan bahwa ibu dari anak-anak tersebut paling akurat saat menilai ktegori-kategori dan juga kondisi menyenangkanemosi, meski pengamat ahli juga berhasil menginterpretasikan ekspresi fasial anak.
Dalam semua studi tersebut pengamat lebih baik sat menilai menyenangkan atau tidak menyenngkan dari emosi yagn dinyatakan daripada saat menilai kategori emosi tertentu. Ekspresi emosional melalui gerakan wajah mengindikasikan mood emosional tapi tidak menyebabkan mood tersebut. Dalam bagian terakhir bab kami akan menguji bukti tambahan bahwa ekspresi-ekspresi wajah yagn berbeda bisa denganakurat mengindikasikan emosi tertentu.
Robert Rosenthal jug atertarik memahami kopmunikasi non verbal. Roesental dan rekan di Harvadr mengembangkans ebuah alat yagn mereka percaya memungkinkan mereka mengukur sensitiitas seseorang terhadap petunjul-petunjuk non verbal (Irosenthal et al 1974) merek amengukur reaksi pad petunjuk-petunjuk nonverrbal sebagai gerakan fasial, egrakan tubuh, nada suara dan seterusnya dengna meminta orang-orang memilih dari serangkaian jawaban yan gmereka anggap menyampaikan emosi. Riset ini mengidentifikasi beragam kondisi emosi bahkan ketika hanay dipaparkan secara singkat ke petunjuk-petunjuk non verbal (1.5 detik).
Sesuai dengan riset Buck, Rosenthal dan rekan menemukan bahwa wanita lebih sensitif darpada pria terhadap petunjuk-petunjuk non verbal, terutama petunjuk-petunjuk tubuh. Menurut temuan-temuan Buck dan Rosenthal, wanita lebih baik daripada pria pada saat mengirimkan informasi non verbal dan mendeteksinya pada yang lain. Meski para peneliti tersebut itdak menghilangkan pembelajaran, mereka menyatakan beberapa aspek kemapuan untuk mengirim dan mendeteksi –petunjuk non verbal emosional bisa berarti bawaan.
Sebuah studi terhadap b ayi juga menimbulkanpertanyaan apakah ekspresi emosional bersifat bawaan lahir (Halth Bergman, & More,977). Dalam eksperimen Halth fiksasi visual wajah oleh bayi duuji. Bayi usia 2 hingga 4 minggu memfiksasi wajah orang dewasa hanya 22% dari waktu selama pengujian, sementara bayi usia 7 minggu memfiksasi wajah lebih dari 87% dari waktu. Para peneliti juga menguji ciri-ciri fasial mana yang difiskasi dan menemukan bahwa mata menarik perhatian terbesar dari usia 7 tahun ke depan. Ini benar ketika orang dewasa berbicara (mungkin seperti diprediksikan bahwa bayi akan memfiksasidaerah muylut). Haith dan rekan menyatakan bahwa mata menjadi titik fiksai penting karena mereka berfungsi sebagai sumber sinyal atau petunjuk dalam situasi-situasi sosial. Meski studi ini tidak menunjukkan bahwa melirik wajah merupakan respon bawaan, ini menyatakan bahwa memifksasi wajah, khsusnya mata, dimulai pada usia yang sangat dini dan bisa memiliki beberapa komponen bawaan.
Studi-studi Haith, Rosenthal dan Buck mengindikasikan bahwa manusia sensitif terhadap ekspresi emosi non verbal dan sementara pembelajaran ti dilibatkan dlam kemampuan ini, beberapa komponen ekspresi dan pengenalan emosional yang sama kemungikinan bersifat bawaan. Seperti primata lain, manusia emngkomuikasikan afeks secara non verbal dan mmebaca sinyal-sinyal emosional non verbal ornag lain.

Mekanisme Otak untuk Emosi
Banyak perubahan tubuh berkaitan dengan emosionalitas (lihat bab 3 untuk tinjauan teori-teori awal emosionalitas oleh James, Lange,Cannon dan lain-lain). Anda juga bisa lihat dair bab 4, tentang mekanisme regulasi, di mana James Papez (1937) mengusulkan sebuah sistem struktur di dalam otak yang berkaitan dengan ekspresi emosional. Papez menyatakan bahwa hipotalamus, anterior thalamic nuclei, cingulate gyrus dan hippocampus terlibat pad emosi. Riset selanjutnya mengonfirmasikan banyak ide Papez dan menambahkan pentingnya sebuah struktur tambahan, amygdala. Struktur-sturktur yang saling berhubungan terebut dikenal sebagai sistem limbik dan nampak memungkinkan integrasi komponen-komponen perilaku (Carlson 1994)yang menarik adalah apengujian struktur-struktur tersebut dan peran-perannya dalam produksi dan pengaturan ekspresi emosi. Tinjauan berikut didasrakan pada ringkasan riset terhadap struktur-struktru tersebut oleh Carlson (1994), LeDoux (1994), Kalat (1995) dan Plutchik (1994).
Menurut Carlson (1994), perilaku emosional terdiri atas tiga komponen: perilaku emosional, perubahan otonom, dan perubahan hormonal. Perilaku-perilaku emosional terdiri atas perubahan-perubahan muskular yagn tepat bagi konteks lingkungan di mana perilkau terjadi. Misalnya seseorang yang sangat marah akan sering mengepalkan tinju. Perilkau ini bis adiangap sebagia persiapan untuk berkelahi jika situasinya meningkat. Perubahan-peurbahan otonom menyediakan energi dengan cepat dan mempersiapkan individu untuk perilkau yang lebih kuat seperti gerakan cepat atau repson yagn lebih kuat. Respon-repon hormonal seperti produksi epineprin dan norepineprine oleh adrenal medulla membantu menopang perubahan-perubahan otonom. Carlson meyatakan bawha itnegrasi perubaahn muskular, otono dan hormonal dilakukan oleh amygdala.

Amygdala
Saat ini nampkak ada dukungan yang besar untuk peran amygdala dalam integrasi kompone-komponen emosi (Carlson, 1994; LEdeoux, 1994). Input-input bagi amygdala berasal dari thalamus, memberikan inforamsi visual dan audiotris langsung ke amygdala yang mungkin relevan secara esmional. Input-input ini scara langsung masuk ke amygdala. Dan memberi jalan di mana inforasmi sensoris bisa menstimulasi respon emosional tanpa pemrosesan kortikal. Input-input tambahan ke amygdala dari kortteks tempoiral memberi trute di mana asosiasi-asosiasi kortikal bisa juga mempengaruhi daya respon emosional. Sehingga circuitry muncul untuk ekspresi emosi langsung terhadpa perisitwa-peristiwa sensoris dan juga ekspresi emosi akibat asoisasi. Yagn terakhir, input-input dari orbital frontal cortex (daerah otak yang berdekatna dengan soket mata – sehingag disebut orbital) memberi informasi ke amygdala yang bisa penting bagi emosionalitas yagn dihasilkan oleh situasi-situasi sosial.
Pentingnya daerah-daerah orbital frontal sudah dikethaui untuk beberapa waktu. Mugnkin kasus terkenal dari sebuah perubahan dalam emosionalitas setelah kerusakan lobus frontal adalah Phineas Gage. Gage menderita kerusakan pad aotaknya ketika muatan bubuk yang dimsukkan ke sebuah lubang dalam sebuah batu meledak, menumpahkan besi tersbeut ke pipi kirinya, mengenai otaknya dan keluar dari bagian atas kepalanya. Gage bertahan hidup dari kecelakan tersebut dan pu;lih. Meski kemampuan intelektula dan motornya tetap utuh, dia menderita perubahan kepribadian yang signifikan. Sebelum kecelakaan dia adalah orang yagn sangat bertanggungjawab dan baik secara sosial. Setelah kecelakaan dia tidak bertanggungjawab dan tidak memperhatikan lagi aturan-aturan sosial. Analisis modern terhadap tengkorak Gage (yang meninggal pada 1861) oleh Damasio dan lain-lain (1994) mengonfirmasikan bawha daerah orbital frontal otaknya dirusak oleh batang besi itu. Perubahan kepribadian yagn dimaati pada Gage juga konsisten dengan perubahan-perubahan perilkau yagn dilaporkan oleh Damasio dan rekan (1994 lihat catatan 12) dalam sekelompok pasien modern dengan kerusakan orbital frontal. Para pasien tersebutbermasalah dalam membuat keputusan-keptusan rasional tentang persoalan person al dan sosial dan menunjukkan perubahan-perubahan dalam pemrosesan emosi mereka.
LeDoux (1994) meringkas sebuah badan penelitian yagn cukup besar yang menunjukkan amygdala sebagai hal penting dalam pembelajaran respon-respon emosional yang berkaitan dengan rasa takut.
Amygdala juga nampak menimpulkan kotnrol terhadap banyak perubahan yagn ditimbulkan ketika emosi muncul. Misalnya amygdala memiliki hubungan ke hipotalamus yang bisa memberi jalur yagn diperlukan bagi perubahan-perubahan otonom akibat situasi emosional (Kalat 1995). Selain itu Amygdala berhubungna dengna otak belakang pada level pons atau medula (atau mungkin keduanay – Kalat 1995); koneksi-koneksi ini bisa memberi jalan di mana amygdala mempengaruhi respon skeletal yang berkaitan dengan emosionalitas.
Sebagai ringkasan, butki riset yang ada saat ini konsisten dalam menunjukkan bahwa amygdala penting bagi perubahan perilaku, otonom dan hormonal yang terjadi dalam sitausi-situasi emosional.

Emosi dari perspektif pembelajaran
Dalam bagian ini kami akan melihat secara singkat beberapac ara di mana pembelajaran bisa berkontribusi terhadap emosionalitas. Seperti dicata dalam ba 6, situasi-situasi pengkondisian klasik bisa menyebabkan berkembangnya emosionlaitas pada stimuli yagn sbelumnya netral. Juga jelas bahwa emosi-emosi seperti ketaktuan bis amenyebabkan perilaku-perilaku instrumental baru yang mengurangi atau melepaskan organisme dari situasi yang menyebabkan emosi. Karena dalam bab 5 kami menguji ss ecara detail teori perilaku umum Hull, kami mulai lagi diskusi dengan melihat bagiamana para ahli teori dorongan ini menangani emosi.

Emosi sebagai dorongan
Clark Hull tidak tertarik pada emosi. Istilah emosi tidak muncul dalam indeks bukunya tahun 1943 dan 1951. Pada 1952, Hull scara singkat menyebutkan emosi terlibat dalam perubahan-perubahan perilaku yang mengikuti pergeseran dari reward besar k erward kecil (dan sebaliknya). Karena perubahan-perubahan perilkau tersebut beasal dari pengkontrasan perubahan-perubahan dalam nilai nisentif tujuan, Hull menganggap emosionalitas bertanggungjawab sebagian untuk efek-efek insentif terhadap perilaku.
Kenneth Spence mengembangkan sebuah pendekatan yang lebih sistematis pada studi emosi. Spence (1956, 1960) membagi peristiwa-peristiwa motoivasional menjadi dua kategori – apetiitf dan aversif. Kondisi apetitif (lapar, haus dan seks) melibatkan situasi-situasi yagn mendorong pada perilkau mendekat. Kondisi aversif adalah sitausi di mana organimse berusaha menarik diri atau lari. Rasa sakit merupakan kondisi aversif yang paling jelas dan juga yang paling sering dipelajari.
Berkatian dengan kondisi-kondisi aversif, Spence berpendapat bawha dorongan yang mengaktivasi perilaku berasal dari perkembangan respon emosional internal dalam organisme. Sehingga motivasi yang mengaktivasi perilaku dalam sitausi aversif dianggap didasrakan pada perkembagnan emosionalitas. Spence juga berpendapat bawha emosionlalitas ini dibangkitkan oleh sebuah stimulus aversif (setrum listirk, cubitan pada ekor).
Spence juga meprediksikan individu memiliki perbedaan kekuatan respon emosi yagn meerka timbulkan dalam adanya sbeuah stimulus aversif. Ini menunjukkan bahw subyek-subyek yang sangat emosional harus bekerja lebih baik daripada subyek-subyek yang memiliki emosionalitas lebih rendah dalam sebuah sitausi aversif, dengan syarat respon yang benar ini memiliki peluang terjadi tinggi, karena emosionalitas tingi akan menyebabkan doronga yang lebih tinggi dan perilaku yang lebih bagus. Janet Taylor Spence, murid dari Kenneth Spence, mengembangkan inventaris-diri untuk mengukru daya respon emosioanl individu. Dia memilih kecemasan sebagai proses dasar untuk studi dan mengembangkan Skala KEcemasan Manifest Taylor untuk mengukurnya (Taylor 1951m 1953).
Untuk menentukan efek kecemasan terhadap perilaku, Spence memilih mempelajari efek-efeknya tehradp pengkondsian klasik repson kelopak mata manusia terhadap hembusan udara. Seperti yang mungkin anda tahu, jika sebuah hembusan udara menerpa mata anda (ketika anda mengitari sebuah gedung dan kembali kearah sebelumnya dengna melawan angin kencang), anda secara otoamtis menutup mata. Ketika stimulus netral (mungkin nada0 dipasangkan dengan hembusan udar apad amata, orang akan mulai mengedip terhadap stimulus meski jika tiupan udara itu sudah dihilangkan pada beberapa percobaan. Spence ingon menguji ide bahwa subyek memiliki kecemasan tinggi, seperti diukur oleh Skala MEcemasan Manifest, akan menunjukkan persentase respon terkondisikan yang lebihbesar daripada subyek yang memiliki kecemasan rendah. Dia memprediksikan perhbedaan antar asubyek dengan kecdemasan tinggi dan rendah ini berdasarkan pada fakta bawha respon emosional kecemasan akan menghasilkan dorongan yang lebih pada subyek yagn sangat cemas daripada subyek ayng ukurang cemas. Karena teori dorongan berasumsi dorongan memperkuat kekuatan kebiasaan, subyek dengan kecdemasan tinggi menunjukkan persentase menutup mata yang lebih tinggi sebagai respon terhadap stimulus yang terkondisikan.
Taylor (1951) yang pertama menguji ide ini. Dia memilih suby

Tidak ada komentar:

Posting Komentar