Minggu, 24 April 2011

motivation

Bab 1
Pendahuluan
Tinjauan bab
Bab ini membahas pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apa motivasi itu?
2. Apa akar filsafat dan fisiologi motivasi?
3. bagaimana motivasi dipelajari?
4. apa tujuan buku ini?

Pendahuluan
Teresa memiliki problem. Ketika bayi dia sangat gemuk dan saat ini pada usia 14 dia dihantui oleh problem berat badannya. Kehidupan Teresa penuh dengan stres. Ibunya selalu mengeluhkan Tersa tentang berat badanya dan dua adik laki-lakinya selalu mengejeknya. Teresa juga menjadi korban olok-olok di sekolah. Di sekolah dasar anak-anak lain selalu mengejekan; sekarnag ketika remaja, dia diabaikan atau dihina oleh teman-temannya lain. Semua faktor dalam kehidupan Teresa membuatnya menjadi anak yang malang, dan ketika Teresa bersedih, dia makan. Sehingga siklus kejam ini dimulai dari makan dan berlanjut dengan makan. Kisah teresa ini menjelaskan beberapa kompleksitas motivasi. Sekarang kami perlu menguji konsep motivasi.

Konsep Motivasi
Motivasi adalah konsep yang kami pakai ketika menjelaskan kekuatan-kekuatan yangbekerja pada atau berada dalam sebuah organisme untuk memulai dan mengarahkan perilaku. Kami juga menggunakan konsep motivasi untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan intensitas perilaku. Perilaku-perilaku yang lebih kuat dianggap disebbakan oleh tingkat motivasi yang lebih tinggi. Selain itu kami sering menggunakan konsep motivasi untuk menyebutkan arah perilaku. Ketika kita lapar, kita mengarhakan perilaku kita pada cara-cara mendapatkan makanan.
Mengapa studi perilaku memerlukan konsep motivasi? Satu alasan yang sering idsarankan oleh observasi biasa dan ilmiah adalah bahwa ada sesuatu yang memicu perilaku. Kadang-kadng kita bertindak engan cara tertentu dan kadang-kadang tidak. Apa yang berbeda dari waktu ke waktu ini? Mungkin motivasi muncul ketika kita bertidnak tapi tidak muncul ketika kita tidak bertindak. Konsep motivasi membantu menjelaskan mengapa perilaku terjadi dalam satu situasi tapi tidak pada situasi yang lain. Selama konsep tersebut meningkatkan pemahaman kita untuk memahami dan mempredisikan perilaku, konsep ini berguna. Ketika pembaca akan menemukan buku ini, banyak psikolog menemukan konsep motivasi itu berguna.

Pengukuran motivasi
Sebagai ilmuwan kita hampir tidak pernah mengukur motivasi secara lnagsung. Kita memanipulasi suatu kondisi stimulus (S) dan kemduian mengukur suatu perilaku dalam bentuk respon (R). Misalkankita menjauhkan makanan dari tikus selama 48 jam (sebuah bentuk kekurangan) ketika stimulus kita mengubah (S) dan mengamati seberapa cepat tikus tersebut berlari dalam maze (R) untuk mendapatkan makanan pada kotak tujuan (lihat gambar 1.1). selanjutnya, misalkan kita mengamati bawha tikus kita berlari lebih cepat setelah 48 jam mengalami kelaparan daripada ketika tidak kelaparan. Dalam eksperimen hipotesis ini kita memanipulasi jam-jam tanpa makanan dan mengukur keepatan berlari – kedua hal ini bukanlah motivasi. Motivasi bisa diduga dari perubahan perilaku yang terjadi, dan sebuah indiaksi kekuatannya bisa diamati pada kecepatan tikus merespon dalam maze. Sehingga konsep motivasi membantu kita memahami perubahan dalam perilaku binatang (berasumsi bahwa beberapa alterantif lain tidak bisa menjelaskan perubahan dengan lebihbaik) dan kita mungkin menyebut kondisi motivasional yang diduga ini sebagai rasa lapar. Konsep motivai dalam contoh ini berfungsi sebagai variabel pengganggu. Variabel pengganggu muncul di antara stimulus dan respon dan berfungsi menghubungkan keduanya. Sehingga motivasi berfungsi menghubungkan perubahan stimulus (kelaparan) ke perubahan perilaku (meningkatnya kcepatan berlari) dan memberikan penjelasan yang mungkin untuk hubungan antara stimulus dan respon, seperti ditunjukkan pada gambar 1.2.
Sifat pengganggu dari proses-proses motivasional adalah salah satu alasan mengapa motivasi sulit dipelajari. Kesulitan kedua berasal dari sifat motivasi yang temporer. Para psikolog biasanya menjelaskan sifat temporer motvasi dengan menyebutkan bahwa motivasi kita adalah variabel performa. Ketika terdapat cukup motivasi, perilaku dijalankan; ketika motivasi tidak ada, perilaku juga tidak ada. Motivasi sebagai variabel performa sering dilawankan dengan pembelajarana, ketika lebih banyak perubahan permanen pada perilaku terjadi (meski pembelajaran juga mempengaruhi performa). Kita mempelajari banyak hal yang tidak segera m ditunjukkan dalam perilaku, tapi peragaan perilaku yang dipelajari bergantung setidaknya pada motivasi yang cukup. Sebenarnya setiap area khusus did alam psikologi menganalisa situasi-situasi yang melibatkan kombinasi antara proses-proses spesifik dan performa dari proses-proses tersebut dalam perilaku.

Karakteristik Motivasi
Kita sudah membicarakan motivasi seolah kita tahu apa artinya. Tentu saja setiap dari kita memiliki perasan intuitif tentang apa yang disebut sebagai motivasi, namun masih sulit kita mendefinisikannya. Kleiningna dan Kleinginna (1981), misalnya, mengumpulkan 102 pernyataan penentu atau pengkritik yang berkaitan denganmotivasi. Di buku-buku tentang topik ini terdapat beberapa definisi yang berbeda, satu karakteristik motivasi yang sering disebutkan adalah sifat mengaktivasinya.

Aktivasi
Sifat mengaktivasi dari motivasi atau aktivasi, sering dilihat pada produksi perilaku. Apakah organisme yang diamati bertindak dengan cara tertentu? Jika demikian, setidaknya ada sedikit motivasi yang muncul. Jika tidak ada perilaku overt yang ditgemukan, maka level motivasional organisme bisa tidak mencukupi untuk memicu perilaku. Sementara terjadinya perilaku overt biasanya dijadikan sebagai bukti untuk motivasi, ketiadaannya tidak selalu berarti motivasi tidak ada. Misalnya, pertimbangkan seekor kelinci yang menjadi kaku ketika predator mendekat. Apakah kelinci tidak termotivasi oleh kehadiran ancaman ini? Mungkin tidak. Sebenarnya, sementara perilaku overt bisa absen dalm situasi ini, indeks-indeks perilakus eperti denyut jantung, output adrenalin dan setrusnya mungkin tinggi. Moralnya jelas – meski motiavsi dianggap sebagai mengaktivtasi perilaku, perilaku yang diaktivasi mungkin tidak selalu overt. Kita harus hati-hati dalam mengasumsikan tidak adanya motivasi ketika tidak mucnuk respon yang overt; mungkin kita tidak mengukur respon atau beberapa respon sedang diaktiviasi. Sayangnya, bagi banyak kondisi motivasional, perubana-perubahan pada motivasi menyebabkan perubahan-perubahan pad perilaku overt.
Karakterisitk kedua yang sering disebtukan berkaitan dngan cir-ciri pengaktif motivasi adalah persistensi. Biantang yang lapar berusaha keras untuk mendapatkan makanan. Demikian juga manusia seringkali berusaha keras bertindak dalam cara-cara tertentu ketika peluang sukses sangat kecil. Osbervasi dari persistensi lanjutan ini mendorong banyhak psikolog untuk menganggapnya sebagi sebuah indeks motivasi. Indeks ini juga tidak bebas masalah. Seberapa keras sebuah perilaku bergantung setidaknya pada perilaku-perilaku alternatif apa yang tersedia. Misalkan seekor kera yang lapar diajari menekan tuas untuk mendapatkan makana. Selama beberapa jam setiap hari, kera ini ditaruh di sebuah bilik eksperimental yang hanya berisi sebuah tuas. Tentu saja monyet ini tidak harus menekan tuas, tapi ada sedikit hal lain untuk dilakukan, dan jika menekan tuas dipelajari, ini akan tersu tejradi. Di sisi lain, misalkan monyet ditaruh di sebuah kamar di mana beberapa rspon yang berbeda selain menekan tuas tersedia. Jika respon-respon alteernatif tersebut menimbulkan asil yang berbead, menekan tuas mungkin kurang persisten. Dalam situasi-situasi respon ganda (seperti yang sering terjadi dalam situasi-situasi natualistik) persistensi kontinyu mungkin mencerminkan ekuatan moitasional tapi seperti disebutkan Bek (1983), riset motivasional tidak hanya menguij persistensi dalam situasi-situasi di mana lebih dari satu respon dimungkinkan. Sehingga meski persistensi nampak menjai satu indeks motivasi perlu disadari bahwa faktor-faktor lain bisa juga berkontribusi terhadap persistensi perilaku.
Observasi biasa dan laboratorium emnyatakan bahwa perilaku energetik lebih termotivasi daripada perilaku enggan. Seekor tikus yang belari lebih cepat daripada tikus lain pada sebuah maze bisa juga lebih termotivasi. Sebuah hipotesis kemugnkiann benar jika kita mengetahui juga bahwa dua tikus tersebut berbeda dalam hal tingkat laparnya tapi tidak berbeda pada seberapa baik mereka beljar lari di maze. Kekuatan meerspon adalah karakteristik lain yang dikaitkan dengan adanya motivasi. Tapi seperi karakteristik lain yang kami pelajari, respon-respon kuat tidak selalu berarti motivasi tinggi.dimungkinkan untuk mengajari tikus bahwa respon yang benar untuk mendapatkan makanan adalah dengan menekan ke bawah tuas dengan menggunakan tenaga tertentu. Misalkan kita merancang sebuah eksperimen di maan tikus yang lapar harus menekan tuas respon dengan kekuatan yang besar agar pelet makanan bisa didapatkan tikus. Jika kita secara tidak sadar mengamati tikus yang “kuat” tersebut kita mungkin menyimpulkan bahwa mereka sangat termotivasi untuk menekan tuas. Meski demikiand alam kasus ini kami bisa jadi salah karena respon yang kuat tidak akan menunjukkanmotiavsi saja; faktor-faktor seperti belajar merespon dengan kuat juga dilibatkan.
Respon kuat, persistensi dan ketangguhan adalah karakteristik ciri-ciri aktivais motivasi, dengan berasumsi bahwa faktor-faktor lain bisa dihilangkan dan di bawah kondisi yang tepat, indeks-indeks yang masuk akal dari adanya motivasi. Aktivasi biasanya dianggap sebagai salah satu dari dua komponen utama motivasi; meski demikian Birch Atkinson dan Bongort (1974) menyarankan bahwa aktiviasi perilaku tidak boleh menjadi perhatian utama dari analisis motvaisonal karena organisme terus-menerus aktif. Apra peneliti tesebut mengusulkan bahwa analisis motivasional harus menguji kondisi-kondisi yang menyebabkan organisme berubah dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Dalam kata lain, direksionalitas perilaku adalah apa yang penting.


Petunjuk
Ketika kita lapar kita melangkah ke kulkas, dan ketika haus kita mencari wadah air. Bagaimana kita memutuskan untuk mengarhakan perilaku kiat? Pertanyaan-pertanyaan ini melibatkan pertimbangan mekanisme mana yang megnarahkan perilaku. Meski cara khusus di mana direksioalitas dicapai diperdebatkan oleh para ahli teori, banyak psikolog berpendapat bahwa motivasi terlibat. Direksionalitas sering diangap sebagai indeks kondisi moitasional, petunjuk bahwa perilaku tertentu akan terjadi biasanya jelas, seperti mendatangi kulkas ketika lapar; meski demikian ketika ada beberapa pilihan, direksionalitas kadang-kadang tidak bgitu jelas. Misalkan kita memiliki dua botol, masing-masing diisi dengan larutan air dan sukrosa (gula meja) tapi dengan konsentrasi yang berbeda. Akankah tikus menjadi lebih termotivasi oleh slah satu dari dua konsentrasi ini? Untuk menentukan mana yan glebih memotivasi, kita akan menjalankan sebuah uji preferensi. Tikus diberi peluang untuk menyesap cairand ari botol, dan kita mengukur jumlah yang dikonsumsi. Jikakita melakukan uji tersebut, kita akan menemukan abwah tikus memilih larutan gula yang lebih pekat dan kita akan meiliki bukti bahwa larutan sukrosa yang lebih pekat lebih meotivasi. Dalam beberapa situasi pengujian preferensi menjadi cara terbaik untuk menentukan yang mana dari beberapa alternatif yang paling memotivasi karena indeks-indeks seperti persistensi dan ketangguhan mungkin tidak menunjukkan perbedana. Sebenarnya Beck (1983) menganggap referensi sebagai indeks motivasional yang paling dasar.

Studi motivasi: kategori-kategori analisis
Ketika anda melangkah ke bab-bab berikutnya anda akan menemukan bahwa motivasi sudah dipelajari dri beragam sudut pandang yang berbeda. Scara umum kita bisa mengurukan pandangan-pandangan tersebut setidaknya pada empat dimensi, masing-masing mengandung poin-poin yang menunjukkan pandagan yang bertentangan seperti ditunjukkan pada gambar 1.3. meski dimensi-dimensi tersebut saling tumpang tindih dalam beberap aal, analisis berukut berusaha memberikan sebuah kerangka yang di dalamnya siswa bisa memahami sudut-sudut pandangan yang berbeda tersebut. Tentu saja kerangka-kerangka lain juga mungkin.

Nomothetiv versus ideografik
Riset mungkin berada pada kontinum dari pendekatan-pendekatan nomotetik ke pendekatan idiografik. Pendekatan nomotetik meliputi pengembangan hukum-hukum umum atau universal. Jenis riset ini mempelajari kelompok-kelompok orang atau binatang dan menentukan bagaimana mereka bisa mirip. Misalnya mengidentifikasi struktur otak seperti hipotalamus di dalam motivasi bersifat nomotetik karena riset menunjukkan bahwa hipotalamus terlibat dalam proses motivasi tidak hanya terjadi pada satu tikus tapi juga pada beberapa tikus secara umum. Sering diasumsikan bahwa aturan-aturan umum yang dipakai untuk mempelajari satu spesies juga akan berlaku pada spesies lain. Meski asumsi ini kadang-kadang salah dan selalu menimbukan kritik, pendekatan nomothetic berusaha menemukan hukum umum yang bisa diterapkan pada situasi sebanyak mungkin. Dalam studi motivasi, pendekatan nomotetik mendominasi. Berbeda dengan analisis nomotetik adalah pendekatan ideografis yang mengusulkan bahwa kita bisa memahami perilaku dengan melihat bagaimana orang-orang berbeda satu sama lain – yaitu dengan menguji ciri-ciri yang membuat setiap orang unik. Dalam motivasi pendekatan idografis paling sering dipakai oleh ahli teori aktualisasi dan humanis (lihat bab 12).

Bawaan versus dipelajari
Para psikolog sudah berdebat hampir 100 tahun tentang kontrbusi yang diberikan oleh kecenderungan bawaan versus dipelajari terhadap perilaku, dan motivasi sebagai area khusus dalam psikologi masih belum lepas dari pernyataan ini. Par aahli teori awal seperti McDougal dan James (1890) melihat motivasi dikontrol terutama oleh motif-motif bawaan yang mereka sebut insting. Meski pendekatan-pendekatan awal tersebut tidak berlangsung lama, riset modern tentang komponen bawaanmotivasi diusahkan oleh kelompok behavioris dan ethologist. Selama pertengahan abad 20 psikologi didominasi oleh riset tentang faktor-faktor yang terlibat dalam pembelajaran. Para ahli teori dan peneliti sudah mempelajari bagaimana perilaku dipelajari dan banyak temuan sudah bisa diterapkan untuk menguasai kondisi-kondisi motif. Mungkin gagasan motivasional terpenting yang berkembang dari karya ini adalah konsep motivasi insentif. Kami akan menjelaskan motivasi insentif dalam bab 6.

Internal versus eksternal
Dimensi lain dimana motivasi bisa dipelajari adalah berkaitan dengan sumber moitasi – yaitu sumber motivasi internal versu eksternal. Satu pendekatn utama terhadap studi motivasi melibatkan die bahwa kondisi-kondisi motifi yang berbeda bisa dikonseptualisaiskan sebagai kebutuhan yang ketika aktif mendorong perilakuuntuk mengurangi kebutuhan tersebut. Kebutuhan biasanya dipandang sebagi sumber itnernal motivasi yang mengaktivasi dan mengaahkan perilaku pada item-item dalam lingkungan yang meredakan suatu kondisi deprivasi. Alam konteks ini kebutuhan seringkali dimasukkan sebagai istilah fisiologi meski beberapa ahli teori juga memasukkan kebuthuan sosial dan psikologi di dalam kerangka mereka. Berbeda dengan para ahli teori kebutuhan, beberapa orang menekankan sumber-sumber motivasi eksternal. Para ahli teori tersebut umumnya menguji efek-efek yang memotivasi sejumlah obyek tujuan atau hubungan sosial. Menurut sudut pandang ini motivasi bisa diaktivasi oleh perubahan-perubahan dalam lingkungan eksternal. Misalnya, perilaku membantu seringkali bergantung pada jumlah orang yang ada. Riset menunjukkan bahwa adanya orang lain sering menghambat respon-respon membantu.

Mekanistik versus kognitif
Bagaimana proses-proses yang mengontrol moitvasi bekerja? Apakah prsoes-proses tersebut buta dan mekanis, dipicu secara otomatis oleh perubahan-perubahan pada kondisi internal dan eksternal atau apakah mereka dikontrol oleh pemikiran sengaja dan rasional? Seperti yang bisa anda duga, para ahli teori membela kedu apihak. Beberapa ahli teori berpendapat bahwa motif-motif seperti lapar, haus dan seks dipicu scara otomatis oleh perubahan-perubahan pada faktor-faktor seperti kadar gula darah, keseimbangan cairan dan kosnentrasi hormonal. Para peneliti lain menyatakan bahwa motif-motif yang dipelajari bisa juga menciptakan perilaku di luar kesadaran. Pendekatan mekanistik ini berasumsi bahwa perubahan pada fkator-faktor tertentu mengaktifkan sirkuit yang pada gilirannya memotivasi organisme untuk terlibat dalam perilaku yang tepat. Kesadaran yang sadar atu maksud sadar di pihak oragnsime tidak dipelajari. Para peneliti yang mendukung pandangan mekanistik sering teratrik pada kondisi kebutuhan internal dan pola-pola perilaku bawaan. Sebaliknya para peneliti lain yang lebih sering teratirk pad kondisi termotivasi secara eksternal dan motif-motif yang dipelajari, percaya bahwa proses-proses motivasional bersifat kognitif. Pendekatan kognitif berasumsi bahwa cara di mana informasi ditafsirkan mempengaruhi kondisi-kondisi motif. Misalnya, menyebutkan kegagaln pada tugas pada kesulitannya kemun gkinan menimbulkan pengaruh yang berbeda terhadap motivasi di masa mendatang daripada menyebutkan kegagalan terhadap tidak adanya kemampuan. Kompleksitas moitasvasi adalah bahwa cukup aman untuk berasusmi bahwa semua pendekatan yang disebutkan memiliki suatu validitas. dalam situasi-situasi tertentu perilaku nampak dpahami terbaik sebagai dimotivasi oleh kondisi internal yang mengaktivasi organisme untuk merespon secara genetik. Perilaku-perilaku lain disebabkan oleh informasi eksernal yang ditrapkan atas pengalaman yang didapatkan. Beragam kombinasi pendekatan cocok dengan pengamatan kita terhadap perilaku-perilaku lain. Singkatnya, saat ini tidak ada pendekatan yang lebihbaik daripada pendekatan lain dalam menjelaskan motivasi secara keseluruhan. Beberapa pendekatan menjelaskan kondisi-kondisi motif tertentu lebihbaik daripada yang lain; meski demikian dengan bergantung pada motif yang dipelajari, penekasan terbaik bisaberupa nomotetik atau idiografik, bawaan atau dipeljari, internal atau eksternal, mekanistik atau kognitif atau kombinasi keduanya.

Level-level analisis
Sebelum menutup diskusi tentang analisa motivasi, kami akan menyebutkan beberapa level berbeda yang bisa dipelajari. Karena motivasi memotong banyak area khusus di dalam psikologi, jumlah level (dan beberapa sublevel di dalam level) ini sangat besar. Kami akan mengelompokkan beragam level tersebut menjadi empat kategori utama yaitu analisis fisiologi, analisis individu, analisis ssial dan analisis filosofis.

Analisis fisologis
Meski analisis fisiologi motivasi telah dilakukan dengan menggunakan manusia dan biantang, riset terhadap binatang adalah yang paling banyak dijumpai. Level analisis ini berkaitan dengan kontrol otak terhadap kondisi-kondisi yang dimotivasi. Para peneliti tertarik pada beragam struktur otak yang memicu motivasi, di mana infromasi penting diproses oleh sekelompok sel hingga bagaimana zat-zat kimia dalam otak mengubah kondisi-kondisi motivasional. Sehingga kami bisa menentukanbanyak sublevel di dalam analisis fisiologis motivasi.
Studi-studi tetnagn peran sistem saraf dalam motivasi seringkali memerlukan manipulasi listrik, kimia atau bedah terhadap area-area otak yang dipetakan. Misalnya pad 1954 James Olds dan Peter Milner melakukan studi terhadap tikus dengan memasang kawat-kawat tipis yang disebut elektroda ke beragam bagian otak. Elektroda tersebut dirancang sedemikian hingga bagian-bagian otak bisa distimulasi secara elektrik oleh pengeksperien.
Situasi eksperimental disusun sedemikian rupa sehingga jika tikus menekan sebuah tuas arus akan masuk ke elektroda. Bagi setiap ujuan, tikus yang sudah dipasang elektroda pada daerah septal akan menekan tuas beberapa ratus kali per jam untuk mendapatkan arus listrik lemah ini. Dengan standar-standar pengkondsian konvensional, stimulasi listrik harus dinilai sebagai reward yang kuat. Satu tikus menekan tuas lebih dari 700 kali dalam periode 12 jam sementara tikus lainnya merespon 1920 kali dalam satu jam. Ketika arus listrik dimatikan, menekan batang segera berhenti; ketika dinyalakan lagi, menekan batang kebali dilakukan. Tikus nampak sangat termotivasi untuk mendapatkan stimulasi listrik danbekerja lama untuk mendapatkannya. Impresi ubyektif yang didapatkan seseorang dari mengamati tikus stimulasi-diri tesebut adalah bahwa stimulasi listrik cukup menyenangkan.
Sejak penemuan tempat-tempat stimlasi dir dalam otak oleh Olds dan Milner, ratusan studi lainnya telah dilakukan. Efek-efek tersebut terbukti jauh lebih kompleks daripada yang diduga sebelumnya; dalam bab ini riset menunjukkans atu metode mendapatkan pengetahuan tentang motivasi. Manipulasi langsung otak oleh stimulasi listrik menunjukkan adanya sirkuit otak yang bisa aktif ketika terjadi rewad. Sirkuit-sirkuit yang nampak menimbulkan efek hukuman terhadap perilaku juga dicatat (misalnya Delgado, Roberts & Milner, 1954).
Stimulasi listrik terhadap otak hanyalah satu dari beberap teknik yang dipakai dalam studi motivasi pada level fisiologis. Para peneliti juga bisa mempelajari motivasi dengan menstimulasi otak secara kimia setlah memasukkan tabung kecil (disebut kanula) ke bagian otak tertentu, menyuntikkan cairan, dan mencatat bagaimana motivasi berubah. Selain itu, para peneliti kadang menciptakan elsi dalam otak dengan mengeluarkan beberap abagiannya dan mengamati bagaiman amotivasi diubah. Teknik-teknik ini menunjukkan bahwa beragam motivator, termasuk makan, minum dan gairah seksual, ketkuatand an agresi bisa diubah dengan memanipulasi area-area otak tertentu. Yang terakhir kita harus mnecatat adanya kemungkinan mencatat aktivitas listrik alami otak selama beragam kondisi termotivasi. Aktivitas umum dari kelompok-kelompok sel otak besar (disebut neuron) bisa dicatat oleh EEG, sementara kelompok-kelompok sel kecil bahkan satu neuron bisa direkam menggunakan depth-electrode. Meski seorang peneliti sering menggunakans atu atau dua teknik fisiologis, data yang dikumpulkan oleh semua teknik tersebut harus konsisten. Jika teknik-teknik lesi menunjukkan area otak terlibat padaproses makan, maka stimulasi kimia atau listrik terhadap area ini dalam subyek eksperimental lain mestinya membangkitkan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan makanan. Demikian pula, pencatatan dari area otak ini selama perilaku makan harus menunjukkan perubahan aktivitas di dalam sel-sel tersebut. Sayangnya, konvergensi informasi dari beberapa teknik eksperimental yang berbeda tidak selalu konsisten. Alasan tidak adanya konsistensi ini sangat komples dan tetap menjadi maslaah untuk memahami motivasi pada level analisis fisiologis.

Analisis individu
Studi motivasi pada level individu meliputi riset yang dimaksudkan untuk memahami perubahan-perubahan motivasional yang terjadi pada seseorang akibat kondisi intenral atau eksternal. Analisis pada level ini terjadi sama seringnya pada riset binatang dan manusia. Pada riset binatang kekurangan sering dipakai untuk mngubah kondisi motivasional organisme; misalnya peneliti menstimulasi kebutuhan akan prestasi dengan emmbeiritahu subeyk bahwa mereka gagal pada tugas penting. Yang lebih sederhana, subyek manusia kadang dianya dengan menggunakan teknik survei eperti kuesioner untuk menyebutkan motfi-motif mereka sendiri. Satu teknik yang diemangkan oleh Rotter (1966) memberi wawasanyang besar bagi para ahli teori tentang bagaimana orang-orang memandang diri mereka sendiri.
Meski riset pada level ini dilakukan untuk meberi wawasan tentang faktor-faktor moitasional penting yang mempengaruhi periaku individu, sebagian riset tipe ini dilakukan dengan kelompok-kelompok individu. Pengujianbeberapa individu meningkatkan kemungkinan menemukan sebuah efek dan mengambil pendekatan nomothetic; cukup tepat untuk berasumsi bahwa perubahan-perubahan perilaku yang terdeteksi dalam beberap aorang juga muncul pada orang-orang secara umum. Contoh dari pendekatanini adalah riset Bandura dan rekan yang berkaitan dengan bagaimaan agresi bisa dipelajari pada anak-anak (Bandura 1973).
Dalam satu studi Bandura menampilkan kepada anak sekolah sebuah film di mana seorang dewasa menyerang boneka Bobo seukuran manusia dengan cara-cara yang tidak lazim. Misalnya, orang dewasa ini memukul boneka Bobo dengan pukulan besar dengan mengatakan hal-hal seperti ”Socko!” dan ”Pow!”. Kelompok anak kedua melihat perilaku yang sama dilakukan oleh sebuah tokoh kartun (seorang dewasa yang memakai kostum kucing). Kelompok ketiga mengamati perilaku-perilaku agresif yang dilakukan oleh model dewasa nyata, sementara kelompok keempat melihat model hidup bertindak lembut dan tidak agresif terhadap boneka Bobo.
Segera setelah itu, anak-anak dibawa ke sebuah ruangan yang berisi beberapa mainan berbeda, termasuk boneka Bobo. Perilaku anak-anak baik dari bentuk agresi baru yang digambarkan oleh oang dewasa dan untuk agresi kesleuruhan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa perilaku model nyata lebih sering ditiru daripada perilaku model kartun atau perilaku model dalam film. Meski demikian, imitasi signifikan terhadp perilakua gresif dari model yang difilmkan dan tokoh kartunjuga terjadi. Yang menarik adalah temuan bahwa anak-anak tidak hanya meniru perilaku agresif yang mereka lihat tapi juga mereka melaukan banyak perilaku agresif dengan aranya sendiri. Riset Bandura penting untuk memahami motivasi pada level individu karena ini sangat menunjukkan bahwa eberapa perilaku termotivasi itu dipelajari melalui observasi. Sehingga jika orang tua atau rekan kit abertindak agresif, kita akan belajar untuk bertindak demikian pula. Jika model-model yangkita amati menunjukkan dirinya termotivasi untuk bekerja keras, mengejar kesempurnaan dn menjadi sukses kita cenderung termotivasi untuk menirunya.

Analisis sosial
Perenungan sejenak akan mengungkapkan bahwa perilaku kita seringkali berbeda ketika kita beada dalam kelomopk orang lain. Perilaku dalam di ruang kelas umumnya bisa diprediksikan; par siswa membuat catatan, mengajukan pertanyaan dan kadang-kadang tertidur; profesor memberi kuliah, menjawab pertanyaan dan cenderung menulis di papan tulis. Orang-orang yang sama tersebut bertindak scara berbeda pada kelompok-kelompok yang berbeda. Para siswa dan profesor mungkin minum minuman beralkohol, menari, berdebat politik dan memainkan game-game bodoh yang bahkan tidak mereka perhatikan dalam kondisi-kondisi lain. Motivasi kita untuk ikut dalam serangkaian perilaku berbeda tersebut seringkali dipelajari oleh para psikolog sosial; para psikolog tersebut memberitahu kita bahwa perilaku kita sagnatg dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional dan oleh kehairan orang lain. Sebagai contoh, studi-studi konformitas yang dilakukan oleh Solomon Asch menunjukkan sekiar 80% subyek yang dia uji menyesuaikan diri dengan keputusan kelompok setidaknya sekali meski keputusan tersebut jelas-jelas salah. Ketika diwawancarai setelah eksperimen, banyak subyek menyebutkan mereka tidak memeprtanyakan keputusan kelompok tapi lebih lebhih beprikir mengapa mereka berbeda dari kelompok. Subyek-subyek tersebut juga menunjukkan keinginan kuat untuk menyesuaikan diri. Motivasi bisa dianalisa tidak hanya pada level fisiologis atau individu tapi juga pada level kelompok. Kelompok-kelompok bisa memengaruhi motif-motif kita dan bersama dengan variabel-variabel situasional, mengubah cara kita bertindak.

Analisis filosofis
Satu level analisis akhir harus disebutkan. Teori motivasional dimasukkan dengan asumsi-asumsi filosofis yang seringkali subtil. Par aali teori kadang-kadang memandang motivasi secara neagtif; yaitu mereka melihat adanya motivasi sebagi kondisi aversif yang ingin diatasi oleh perilaku. Freud mungkin merepsentasikan contoh yang bagus dari filsafat motivasi ini. Menurut Freud, kondisi motivasional menciptakan kondisi ketegangan dan individu ingin menguranginya. Lebih lanjut Freud berpikir bahwa individu memiliki sdikit kontrol terhadap kondisi bawaan yang menimbulkan ketegangan motivasional ini dan akibatnya ego harus berulangkali mengontrol prilaku agar tensi-tensinya tetap rendah di dalam id.
Par psikolog humanis menunjukkan perbedaan tajam dengan pandangan negatif motivasi yang ditunjukkan oleh Freud. Tidak seperti Freud, yang menganggap perilaku kita disebabkan oleh kekuatan dari dalam yang cukup kuat yang sebagian besar tidak kita sadari, para ahli teori seperti Rogers dan Maslow mengsuulkan bahwa perilaku kita diarahkan pada aktualisasi diri. Motivasi dari sduut pandang ini adalah sebuah kekuatan positif yang menekan individu untuk menjadi semua yang bisa dia lakukan. Saya anggap pendekatan Freud dan humanis sebagai contoh analisis filosofis kaerna 1) deskripsi motivasi dan efek-efeknya bergantung pada filsafat a para ahli teori (manusia pada dasarnya jahat versus manusia pada dasarnya baik) dan 20 teori-teori yang disesuaikan sehingga sulit untuk mengujinya secara eksperimental. Akibatnya, sesoerang harus menerima atau menolak proposis-porosisi mereka berdasarkan pada argumen-argumen filosofi yang mereka berikan daripada terhadap data empiris. Saya tidak ingin menunjukkan bahwa pendekatan-pendekatan tersebut harusd ihilangkan karena data empiris kurang tersedia.

Analisis Problem Teresa
Sekarang kita kembali pada ksiah di awal bab. Teresa mengalami problem berat badan. Mengapa? Kita bisa menganalisa problem Tersa pada empat level yang sudah kita bicarakan. Pad alevel fisiologis Teresa mungkin memiliki predisposisi genetik untuk menjadi gemuk. Ini bisa disebabkan kelebihan sel-sel lemak atau gangguan metabolik yang mencegahnya untuk menggunakan energi dengan tingakt yang sama speerti oragn lain. Mungkin juga dia mengalami kerusakan pada struktur-sturktru otak yang berfungsi mengontrol selera makan sehingga dia bisa sangat lapar atau tidak memiliki mekanisme untuk menghambat asupan makanan. Pada level analisis fisiologis, kita akan mencari dasar problem Teresa dalam perubahan-perubahan fisiologis yang merusak proses-proses yang menjaga kstabilan berat badan.
Pada level analisis individu, kita mungkin menyelidiki kemungkinan Teresa belajar makan berlebihan ketika dia cemas. Mungkin ketika bayi dia diberi botol ketika nangis, apakah dia lapar atau tidak. Jika Teresa menghubungkan makan dengan kcemsan yang memicu tangisan dan makan mengurangi kecemasan tersebut; maka dia akan mengulangi perilaku makan tersebut ketika cemas. Ketika umurnya bertambah dan dicela oleh adik laki-laki dan teman bermainnya dan juga dicemooh oleh ibunya, kecemasan tentang berat badannya bisa memicu siklus yang lebih buruk yang kemudian menyebabkan makan, yang pada akhirnya meningkatkan berat badan dan akhirnya cemas. Untuk memahami problem Teresa pada level individu kami akan berusaha menemukan kondisi-kondisi apa yang memotivasi perilaku makannya. Apakah dia makan dalam suatu kondisi tapi tidak pada kondisi lain? Apakah dia makan karena cemas? Apakah pengalaman di masa lalu berperan dalam problem makannya? Jawaban bagi pertanyaan tersebut mungkin bisa menjealskan alasan problem Teresa.
Pada level sosial, kita bisa menguji kehidupan keluarag Teresa lebih cermat. Mungkin ibu teresa selalu memberi makanan berporsi besar dan meminta setiap orang untuk tidak menyisakan makanan di piring. Teresa mungkin belajar makan meski dia tidak lapar karena dia tidak diizinkan meninggalkan meja hingga piringnya bersih. Karena dia ingin didukung oleh sang ibu, Teresa menurut dan makan bahkan ketika dia tidak lapar. Sekarang dia kelebihan makan karena tidak lagi memperhatikan kondisi internal rasa laparnya. Selain itu, karena Tereesa tidak punya citra diri yang terlalu bagus, dia mungkin perlu melakukan konformasi. Jika dia keluar bersama teman-temannya dan mereka makan makanan berlemak, akan sulit baginya untuk menolak. Situasi-situasi konformitas lain bisa muncul di dalam keluarganya. Adik-adiknya, yang secara fisik aktif, bisa makan es krim dan kue dan manisan lain tanpa mengalami kegemukan. Akan sangat sulit bagi Tereesa untuk menghidnari makanan itu orang lain di keluarganya memakannya. Analisis kelopok terhadap problem teresa akan merujuk pada interaksi-interaksi yang dia alami bersama orang tua, saudara kandung danr ekan. Apakah pemenuhan dan konformitas berperan dalam problem makannya? Jika demikian konseling keluarga mungkin bisa berguna.
Dari sudut pandang filosofi seperti Freud, problem Teresa bisa dipandang sebagai akibat dari kecemasan seksual. Jika setiap tipe seksualitas ditolak dalam keluarganya, maka dorongan-dorongan seksual normalnya mungkin terperangkap dalam id dan hanya bisa lepas sdikit (oleh ego) dengan pelampiasan pada kebiasaan makan. Atau mungkin Teresa tidak mendapatkan kepuasan oral yang cukup selama setahun pertama dan akiat nya dia terus melakukan kompensasi dengan kebiasaan makan berlebih. Par apsikolog humanis mungkin melihat problem makan Teresa disebabkan oleh kurangnya penghargaan positif. Jika orang tua Teresa membiarkannya percaya bahwa dirinya hanya dicintai jika bertindak benar (penghargaan positif kondisional) maka kecenderungannya untuk tumbuh dan berfungsi penuh akan terhambat. Teresa akan menyalurkan energi yuang biasanya dipakai untuk pertumbuhan ini ke dalam pertahannya untuk melindungi citra dirinya dari kecemasan yang berasal dari penghargaan positif kondisional. Kelebihan makan bisa dianalisa sebagai akibat dari distorsi kecenderungan pertumbuhan oleh kecemasan.
Seperti yang bisa anda lihat, alasan yang bisa disarankan untuk problem Teresa bergantung pada level analisis yang dipilih. Dalam kenyataannya, problem makan Wteresa kemungkinan disebabkan oleh serangkaian faktor fisiologi, idnvidiual, sosial dan filosofi kompleks. Perlu dicatat bahwa meski perilaku sederhana seperti makan bisa disebabkan oleh serangkaian faktor motivasional yang kompleks.

Gagasan-gagasan utama dalam motivasi
Sejumalhg agasan tuama seringkali dipakai dalamteori motivasional. Pemahaman terhadap beberapa gagasan itu bisa membantu membandingkan beberapa teori.

Energi
Banyak teori yang dibahas dalam buku ini mengasumsikan keberadaan suatu sumber energi yang mendorong perilaku. Beberapa ahli teori mengusulkan adanya satu sumber energi untuk semua perilaku, energi di balik perilaku ini bersifat umum. Asumsi-asumsi sumber energi umum memerlukan adanya suatu mekanisme tambahan yang bisa mengarhakan energi ini scara berbeda pada waktu yang berbeda. Para peneliti lain menyatakan kekuatan di balik perilaku tertentu bersifat spesifik. Bagi mereka perilaku pengaktivasi energi bisa juga berfungsi mengarahkan karena setiap perilaku memiliki sumber energinya sendiri. Di saat lapar misalnya, perilaku mencari makan bisa diaktivasi dan diarahkan, sementara perilaku yang diarahkan oleh air akan terjadi saat kita haus.
Sementara beberapa teori motivasional tidak secara eksplisit menyatakan sumbe renergi bagi perilaku, sumbe rini diimplikasikan oleh banyak teori. Beberapa ahli menyatkan konsep energi tidak perlu dan kitabisa memahami motivasi perilaku tanpa mengasumsikan adanya energi di balik perilaku. Konsep energi ini lebih penting bagi beberapa teori tapi tidak bagi teori-teori yang lain.



Keturunan/Hereditas
Beberapa mekanisme berbeda sudah diusulkan untuk membantu menjelaskan konsep motivasi. Satu pendekatan umum adalah mengasumsikanmekniasme motivasi itu terprogram secara genetik atau ”melekat” pada organisme. Pendekatan biologi ini biasanya ada dua.
Pendekatan insting mengusulkan bahwa energi berakumualsid i dalam organisme dan menimbulkan kondisi termotivasi.

Pembelajaran
Peran pembelajaran dalam perilaku termotivasi juga penting. Clarfk Hull mengembangkan suatu teori pada 1940an yang megnuraikan interelasi pembelajaran dan motivasi dalam menciptakan perilaku. Para ahli teori kemudian menekankan peran isnentif dlama mengontrol perilaku yang diarahkan tujuan. Riset juga menguji bagaimana pengkondisin klasik dan operan bisa dilibatkan dalam pengembagnan kondisi-kondisi motif. Beberapa motif Nampak dipelajari melalui observasi; proses ini, disebut modeling, bisa menjadid asar untuk perilaku motivasi manusia.

Interaksi social
Interaksi kita dengan orang lain bisa juga memotivasi. Riset dalam psikologi social menyebutkan kekuasaan kelompok dalam memotivasi kita untuk menyesuaikan diri dan pada kekuaasaan tokoh-tokoh otgoritas dalam memoitvasi kita untuk patuh. Juga, adanya orang lain sering mengurangi kemungkinan seseorang akan memberikan bantuan dalam situasi darurat. Situasi-situasi social berpengaruh besar terhadp perilaku kita karena adanya orang lain akan mengubah motivasi kita.

Proses-proses kognitif
Peran proses-proses kognitif dalam motivasi semakin diakui. Jenis-jenis informasi yang kita ambil dan cara-cara informasi diproses memiliki pengaruh penting terhadap perilaku kita. Teori-teori seperti teori keseimbangan HEideger, teori disonasnsi kognitif Festinger, dan teori persepsi diri Berm menekankan peran pemrosesan ifnoramsi aktif (yaitu pemikiran) dalam mengontrol perilaku.
Teori atribusi juga menekankan peran kognitif dalam interpreasi perilaku orang lain (dan perilaku kita) dan mengindikasikan bahwa perilaku kita akan didasarkan pada interpretasi-interpretasi tersebut.

Aktivasi Motivasi
Gagasan utama teori motivasional berkaitan dengan memicu motivasi. Riset dalam bidang ini menyelidiki mekanisme yang memantau kondisi oprganisme dan yang memicu motivasi ketika tubuh di luar keseimbangan. Teori-teori awal menekankan peran reseptor peripheral (disebut juga local) dalam memantau kondisi-kondisi fisik. Sehingga perut yang kosong dan kejang atau mulut kering dianggap sebagi petunjuk bahwa seseorang itu lapar atau haus.
Ketika bukti tentang teori-teori local berkembang, penekanan bergeser ke reseptor-reseptor sentral dalam otak yang memantau kondisi-kondisi seperti glukosa darah atau osmolaritas darah, yang mungkin memciu kondisi-kondisi motivasional yang tepat. Bagi beberapa ahli teori penekanan ini bergeser lagi ke peripheral dengan penemuan respetor perut, usus dan lvier yang Nampak memantau kondisi-kondisi tertentu,
Meskid ebat tentang lokasi respetor yang memantau kondisi-kondisi tubuh masih belum terpecahkan, ada beberapa system pemantaua, beerapa terlatak pada organ-organ internal tubuh beberapa lagi terdapat di otak.

Homoeostasis
Para ahli teori sering menampilkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang tujuan motivasi. Mungkin tujuan yang paling sering diterima adalah memelihara homeostasis (yaitu ide bahwa ada level optimal untuk beragam kondisi tubuh). Ketika tubuh menyimpang terlalu jauh dari level optimal ini, sirkuit-sirkuit motivasional dipicu oleh reseptor-reseptor yang memantau kondisi-kondisi tersebut dan perilaku-perilaku yang akan emmbawa tubuh pada level optimalnya dimuali. Beberapa kondisi motif nampak homeostasis. Beberapa lagi tidak bisa dijelaskan dengan mudah dengan konsep homeostasis.

Hedonisme
Mungkin penjelasan tertua untuk tujuan perilaku termotivasi adalah die hedonisme yang berasumsi kita termotivasi oleh rasa senang dansakit. Kita belajar mendekati situasi-situasi yang menyenangkan dan belajar menghindari situasi-situasi yang menyakitkan. Penjelasan hedonistik modern mengusulkan adanya kesenangan dan rasa sakit di sepanjang kontinum dan yang menyenangkan (atau menyakitkan) akan berubah ketika kondisi berubah. Misalnya, penawaran makan malam segera setelah sesoerang makan besa tidaklah menyenangkan.
Meski hedonisme bisa mnjelaskan beberapa kondisi motifi, teori ini tidak memberi penjelasan yang memuaskan untuk motivasi-motivasi yang menyebabkan perilaku merusak diri sendiri atau menyakiti diri sendiri.

Motivasi pertumbuhan
Pendekatan utama ketiga untuk memahami tujuan motivasi adalah konsep motivasi pertumbuhan. Motivasi pertumbuhan menekankan ide bahwa manusia termotivasi untuk mencapai potensi penuhnya, secar afisik, psikologis dan emosional. Rogers membicarkaan motivasi pertumbuhan ini dalam kaitannya dengan individu yang berfungsi penuh, sementara Maslow menggunakan istilah aktualisasi diri untuk menjelaskan motivasi untuk berjuang bagi pemenuhan diri personal.
Satu aspek motivasi pertumbuhan adalah perlnya mengontrol atau menimbulkan efek terhadap lingkungan kita. Ini disebut motivasi efektansi oleh suatu seseorang dan disebuat kausatif personal ole peneliti lain. Apapun namanya, semua teori motivasi pertumbuhanmenyarankan manusia sangat termotivasi untuk menguji dan memperbaiki kapasitas mereka.

Akar-akar filosofis dan fisiologis dari teori Motivasi
Psikologi modern adalah produk pemikiran filosofis yang bisa dilacak lagi hingga para filsuf Yunani seperti Aristoteles dan pada perkembangan-perkembangan dalam studi psikologi, banyak di antaranya terjadi antara 1800 dan 1850. Dua pendekatan ini sangat berpengaruh terhadap pemikiran psikologi dan terus mempengaruhi pemahaman kita tentang proses-proses psikologi saat ini. Seperti akan menjadi lebih jelas, studi motivasi merupakan campuran kompleks dari konspe filosofis dan fisiologis. Sementara beberapa teori brusah amemhamai motivasi hampir secara khusus dari sudut pandang fisiologi, bberapa lagi mendekatiny dari arah yang lebih filosofis (lihat bab 12). Baik filsafat dan fisiologi menawarkan psikologi yang ingin membongkar motif-motif komplks yang mengaktivasi dan mengarahkan perilaku manusia. Perlu ditinjau scara singkat beberapa ide di dalam filsfat dan fisiologi yang mempengaruhi pemikiran psikologi modern.

Anteseden-anteseden filosofis
Aristoteles. Filsuf Yunani Aristoteles mengsulkan duaide penting yang samapi saat ini berpengaruh did alam studi motivasi. Aristoteles berpendapat bahwa jiwa itu bebas dan pikiran saat lahir itu merupakan sebuah lembaran kosong (Boring 1950). Ide pertama Aristtels sering dilawankan dengan ide determinisme yang mengusulkan bahwa semua perilaku mrupakan akibat dari kondisi-kondisi yang mendahului perilaku. (dlaam psikologi kondisi-kondisi awal ini disebut sebagai variabel-variabel antesden).
Masing-masing dari kita punya pendapat tentang kontroversi kehendak bebas versus determinisme, tapi piskologi memilih tidak sepakat dengan Aristoteles dan mendukung determinisme. Determinisme yang berlaku dalam psikolgoi berasumsi bahwa seitap perilaku memiliki sebab. Jika perilaku Y terjai, suatu kondisi antesden X harus menyebabkannya. Sehingga jika sayamengamati sesoerang makan, saya mungkin berasumsi bahwa sebuah kondisi antesden yang disebut lapar bisa menyebbakan perilaku makan. Meski kondisi-kondisi antesden yang menentukan perilaku seringkali tidak bisa diamati, psikologi berasumsi bahwa suatu kondisi sebelumnya menyebabkan respon-respon tersebut terjadi. Konsep motivasi sering diusulkan sebagai kondisi anteseden yang menyebabkan timbulnya respon.
Meski psikologi modern lebih memilih determinism dibandingkan kehendak bebas, ide Aristoteles bahwa pikira merupakan sebuah kondis kosong (di mana pengalaman ditulis) memiliki pengaruh besar terhadap teori psikologi. Kosep Aristoteles ini mendorong pada pemikiran bahwa semua perilaku bisa dipelajari. Penguasan perilaku melalu pengalaman adalah satu sisi argumen yang panjang dalam psikologi yang dikenal sebagai kontroversi naure-nurture. Par apikoog agn menerima premis Aristoteles percaya bahwa pengalaman (nurture) adalah kekuatan utama dalam penembangan perilaku. Berbeda dengan para psikolog nruture, peneliti lain menguslkan bahwa banyak dari perilaku kita terprogram oleh keturunan (nature). Kelompok terakhir ini berpendapat bahwa nature memberikan perilaku yang sudah siap pakai, yang dilakukan ketika kondisi-kondisinya tepat. Pemikiran psikologi tentang problm nature-nurture mengayun ke belakang dan k depan beberapa kali dan kontroersi ini belum pernah diatasi secara mmuaskan. Sebagian beasr psiklog saat ini mngakui bahwa kedua sisi ini benar; perilaku adalah kombinasi antara nature dan n\urture.
Kontroversi nature-nurture penting bagi studi motivasi karena baik nature dan nurture berperan penting dalam aktivasi kondisi-kondisi motif.

Descartes. Aristoteles adalah salah satu dari banyak filsaat yang mempengaruhipemikiran psikologis. Rene Descartes juga sama berpengaruhnya. Descartes dikenal atas argumennye mengenai sifat dualistik manusia. Dualisme mengusulkan bahwa perilaku manusia sbagiaan adalah asil dari pemikiran bebas, rasionald an sebagian berasal dari proses-proses otomaias non rasional tubuh. Menurut Descarters, manusia terotivasi oleh jiwa (motif-motif tipe inis eringdisebut kehendak) dan tubuh (motif-motif jenis ini sering disebut insting). Binatang tidak punya jiwa dan oleh karena itu pada dasanya merupakan otomaton (makhluk mekanik). Pendekatan mekanistik ini dan usulan Descartes tentang ide bawaan (mirip dengan pandangan plato) menjadi satu dasar untuk psikologi insting yang populer di akhir abad dua puluh. Dalam banyak hal kontroversi nature-nurture bisa dilihat sebagai pertumbuhan keluar dari filsafat Aristoteles dan Descartes.

Locke. Sebelum kita meninggalkan eksposisi singkat aka filosofis motivasi, kita perlu menguji beberapa kontirbusi aliran filsafat Inggris. Dua ide yang diusulkan oleh filsuf Inggris menjadi sangat penting bagi psikologi. Dua ide iniberkaitan dengan pentingnya pengalaman sensoris dan asosiasi ide. Kami akan mempertimabngkan filsafat John Locke sebagai represtnatif dari pendekatan Igngris, meski terdapat beberapa filsuf lain dalam kerangka yang sama ini. Locke mengusulkan ide merupakan unit-unit dasar dari pikiran (Boring 1950). Lebih lanjut dia berpikir bahwa ide-ide tersebut berasal dari pengalmaan (nruture lagi) dalam satu dari dua hal. Satu sumber ide adalah konersi sensai dari pada cahaya 521 nanometer menimbulkan perspesi warna hnijau. Ide hijau lalu beasal dari pengalaman dengan panjang gelombagn cahaya tertentu yaitu yang mendekati 521 nanoneter. Sumbe ride kedua menurut Locke adalah refleksi yang terjadi ketika pikiran mendapatkan pengetahuan dari kerjanya edniri. Sehingga seosenrag bisa mendapatkan ide dari informasi sensoris atau dari pemahaman bagaimana seseorang memanipulasi danbekerja dengan ide. Sumbe rkeda mencakup “ide tentang ide dan bagaimana ide itu terjadi.” (Boring 1950, hal 172).
Ide-ide, menurut Locke bisa sedehrana atau kompleks. Karena sebuah die sederhana meurpakan uni dasar dari pikiran, ini tidak bisa dianalisa lebih lanjut, apis ebuah die kmpleks bisa direduksi menjadi ide-ide sederhana. Konsep ide-ide komple steridri ata side-ide senderhana menimbulkan konsep asosiasi. Ide-ide kompleks tidak lebihd ari asosiasi-asosiasi dai ide-ide sdehana satu sama lain. Konsep asosiasi adalah satu aksioma paling dasar di dalam psikologi. Misalna, asosiasi stimulsu terhadap stimulus, stimulus terhadap respon, respon tehadap respon dan respon terhadap reward semuanya ditawarkan sbagai dasar pembelajaran. Asosiationisme sama pentingnya bagi motivasi karena banyak motif, khususnya yang aneh bagi manusia, nampak dipelajari melalui asosiasi. Motif-motif yang lebih tngi ini seringkali cukup kompleks tapidianggap mendapatkan sifat motivasnya melalui asosaisi sebelumnya dengan motif-motif yang lebih dasar. Melalui hubungan-hubugnan brulang motif-motif tersebutbisa menjadi sangat kuat sehingga motif-motif yang lebih dasar di mana merek abisa dipasangkan tidak lagi prlu. Indpenednesi dari motif-motif yang lebih tinggi tersebut mirip dengan konsep Allport (1937) tentang otonomi fungsional.
Pendekatan-pendekatan filosofis lain berkontirbusi terhadap pemahamant entangmotivasi, banyak yang kita pelajari di sini.

Anteseden-anteseden fisiologi
Saraf motor dan sensoris. Konseppsi modern tentang peran mekanisme otak dalam motivasi sebagian besar berasal dari temuan-temuan tentang bagaimana sistem saraf mendapatkan ifnoramsid anmengontrol perilaku. Di satu waktu dianggap bahwa saraf membiarkan aliran semangat binatang dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Konsep refleks dan konsep sejenis, insting, adalah hasil dari ide bahwa sprit binatang yang beasal dari organ-oagn pengindera di satu jalur khsuus dikirm balik ke otot-otot melalui jalur khusus yang lain. Galen menduga harus ada saraf sensoris dan motor secara terpisah, tapi lebih dari 600 tahun sebelum Charles Bell mampu menunjukkan serat-serat sensoris dari saraff campuran memasuki spinal cord pad sisi posterior, sementara serat-serat motor keluar dari cord pad asisi anterior, pada 1822 Magendie membuat penemuan secara terpisah dari Bell (Borin, 1950). Penemuan serat-serat sensoris dan motor secara terpisah ini menimbulkan studi sensasi di satu sisi dan respon disi lain. Seseorang mungkin berpendapat bahwa analisis stimulus-respon pada perilaku mungkin tidak muncul sebelum fakta fundamental psikologi ini dikenal.

Energi-enerig saraf spesifik. Sekali serat-serat sensoris dan motor terbukti ada, ini merupakan lagnakh intelektual singkat untuk meralisasikan bahw seat-serat yang berbeda haru membawa jenis-jenis informasi yang berbeda, ide ini, biasanya dikaitkan dengn Muller kadang dikenal sebagai doktrin energi saraf khusus dan penting 1) karena mengimplikasikanabwha saraf dan pesanpesan berkode kusus memungknkan aliran spirit binatang dan 2) kode-kode tersebut menentukan isi ifnoramsi. Sehingga sistem saraf menjadi mekanisme penafsir aktif bukannya konduit pasif.

Sifat listrik dari impuls saraf. Pada 1780 Galvani menemukan kaki kodok bisa terpelintir ketika otot kaki tersambung pada apa yang disebu sebagai baterei primitif (Boring 1950). Eksperimen Galvani menyatakanbahwa enerig yang melalui sebuah sraf mungkin bersifat listrik dan DuBoosi Reymon menggunakan galvanometer untuk menunjukkan bahwa energi yang melewati saraf memang merupakan energi listrik. Helmhotz mengukur kecepatan gelombagn listirk ini menuruni saraf dan menemukannya kurang dari 100 mil per jam. Seperti dicata toleh Boring (1950), penemuan Helmholtz menunjukkan kemungkinan dipelajarinya fungsi sistem sraf melalui prosedur-prosedur eksperimental.

Lokalisasi Fungsi
Kadang-kadang teori-teori penting bagi pengembangan sebuah sains meski pada akhirnya terbukti salah. Satu kasusnya aldaha frenologi Gall pada awal 1800an. Gall mengusulkan die bahwa kemampuan-kemampuan mental tertentu terltak di area-area otak khusus. Kelebihan kmampuan tertentu akan emnyebabkan prbesaran abgian tersebut pada otak, dan akibatnya, benjolan akan terjadi pada tengkorak. Menurut Glal, seseorang bisa menetnukan ekmampuan khusus seseorang dengan measakan benjolan pada kepalanya (lihat gambar 1.4). Meski ide Gall tentang membaca kemampuasn esoerang dari tonjolapada kepalanya sangat dikritik, idenya ini mendukung padapengujian lebih lanjut lokalisasi fungsi did alam beragam area otak. Saat ini kita mengenal banyak tentang fungsi area-area tertentu pada otak dan teori motivasi diperkuat oleh penemuan bahwa aktivitas di dalam hipotalamus (daerah di dalam otak) dikaitkan dengan perubahan-perubahan pada kondisi motivasional. Meski frenologi gal tidak lagi beerguna, penekanannya terhadap lokalisais fungsi did alam otak sangat penting.
Studi motivasi berakar pada filsfat dan fisiologi. Lebih lanjut motivasi sudah dianalisa baik sebagai kerja dari kehendak dan akibat dari aktivitas pada pusat-pusat otak tertentu. Dalam bagian II buki ini kami menguji teori-teori yang menekankan aspek-aspek biologi dan figiologi dari motivasi. Dalam bagian III kami menguji teori-teori yang menekankan peran pengalaman sementara dalam bagian IV kami menguji motivasi sosial dan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat filosofi. Rogers danMaslog misalnya mengusuilkan teori-teori motivasi yang lebih bersifat filosofis daripada eksperimental. Sfiat kompleks motivasi menyebabkan pengembanganteori-teori dari banyak sudut pandang yang berbeda. seperti kita lihat, terdapat ruang di dalam teori motivasi bagi pendekatan fisiologi, eksperiensial dan filosofis.

Aliran Ide tentang Motivasi
Untuk memahami dengan lebih baik bberapa topik dalam buku ini, perlu dipangdang sejenak bagaimana konsep tentang motvasi berubah.
Seperti yang sudah kita lihat, teori-teori motivasi modern beakar pada ide-ide filsfat sebelumnya dan penemuan-penemuan fisologi. Satu catatan ihstoris akhir tentang perubaha pespektif para peneliti selama 100 tahun terakhir sangat penting bagi pemeriksaan kami. Pada 1800an cukup umum untuk membedakan antara perilaku bintang dan manusia dengan menggunakan perbedaan dualistik Descartes. Binatang, ygn tidak memilki rasionalitas, secara naluriah termotivasi untuk bertindak dengan cara-cara tertentu sementara manusia yng memiliki mtif rasionlaitas dan instingitif mungkin bertindak sebagai akibat dari mekanisme-mekanisme tersebut.
Pada akhir 1800an para ahli teori seperti William James (1890) dan William McDougal (1970) menyatakan bahwa banyak perilaku manusia bisadianggap instingktif sehingga memainkan konsep mentalistik jiwa rasional atau kehendak. Kaum behavioris yang dimulai dari John Watson (1914) sementara sebagian besar menolak gagasan insting dengan mendukung analisis pembelajaran, juga menentang apa yang mereka anggap sebagai pendekatan mentalistik yang umum dalam psikologi pada masa itu. Akibatan pada awla 1900an posisi behaviosi yang kuat berkembang yang menekankan ide bahwa perilaku sebagian bsar merupakan reaksi terhadap lingkungan dan psikologi S-R (stmulus-respon) lahir. Studi-studi Torndk (1913) tentang pentiongnya kosnekwensis ebuahr espon terhadap perilaku di masa mdnaang meupakan argumen kuat yang mendukung tipe analisis S-R.
Motivasi perilaku bisa disebut berasal dari konsekwensi-konsekwensi perilaku sebelumnya; konsekwensi-konsekwensi yang menyenagnkana kan diupayakan lagi, sementara konsekwensi-konsekwensi aversif akan dihindari jika bisa. Behaviorisme pada awal 1900an adalah kembaliknya ke konsep hedonisme yang dipaparkan oleh beberapa filsuf Yunani lebihd ari 200 thaun sebelumnya. Kaum behavioris memiliki data eksperimental untuk menunjukkan bahw prilaku berubah akibat dari konsekwensi-konsekwensi tersebut.
Pada akhir 1920an teori-teori insting James dan lain-lain dikritik dan ditolak.
Behaviorisme merpakan tema domiann dalam psikologi dan sebuah konsep motivasi baru, yang dikenal sebagai toeri dorongan dianggap sebagaikonsep motivasi utama. Konsep dorongan yang pertama kalid ierkenalkan oleh Woodworth (1918) mengusulkan bahwa perilaku yang termotivasi merupakan respon tehadap berubahnya keutuhan-kebuthuan tubuh yang bekerja dengan menemukan item-item dalam lingkungan yang bisa mengurangi dorngan tersebut.
Teori dorongan mencapai puncak popularitasnya dengan terbitan-terbitan Clark Hull. Hull mengusulkan teori kuasi-mateatis yang mengidniskasikan komponen-komponen kursail untuk akitasi perilaku dan bagaimana komponen-komponen tersebut berinteraksi untuk menghasilkan perilaku. Selain itu teori Hull memberikan dasar karya untuk mnganlisa kntribusi pembelajaran terhadap motivasi dan bertanggungjawab atas perkembangan eventual dari konsep motivasi insnetif.
Teori Hull tebkti tidak cukup tapi riset yang dilahirkan oleh pencarian dasar doronga ini meodorng pada pemahman yang lebih beasr bagaimana mekanisme otak mengontrol dan pembelajaran mempengaruhi perilaku. Sebenarnya banyak riset fisiolgoi awal tentang motivasi merupakan pencarian dasar fisiologi sdari beragam kondisi dorongan.
Meski behaviosime merupakant ema yang dominan dalam psikologi hingga 1960, beberap apsikolog mengambil pengecualian pada bias S-R yang besar selama era ini. Ara peneliti seperti Kohler (1925) dan Tolman (1932) berpendapat dan memberkan data eksperimental tentang analisis perilaku yang didasarkan pada emrosesan aktif informasi bkannya hubungan-hubungan S-R. para peplopor psikologi kognitif modern ini mmbri jalan untuk menguji bagamana peneliti selanjutnya menguji motivasi yang beasal dari sebuah kemampuan organisme untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa di masa mendatang, memilih di antara alternatif-alternatif yang ada dan bertindak secara sngaja.
Pandangan motivasi alternatif ini terbukti berhasil dalam beragam hal. Riset tentang konsekwensi-konsekwensi motivasional dari atirbusi-atirbusi sebab-akibat menimbulkan pemahaman prilaku yang lebih bsar yang berkaitand engan kebutuhan untuk berprestasi, ketkuatan akan suses, dan bahkan emosi. Demikian juga, riset tentang sifat purposif dan berorienasi tujuan dari perilaku mendorong pada pengembangan teori nilai-ekspektansi, sebuah konsep yan berguan untuk memahami prilaku prestasi, pembelajaran sosial dan motivasi di tempat kerja.
Seringkali bagus ketika memikirkan tentang bagaimaan hal-hal bekerja, menggunakan metafora sebagai car untuk menejalskan bagaimana seusatu nampkanya atau bertindak. Sehingga kadang-kadang pembicaraan sesoerang “bekeaj seperit kuda” atau “ dipaksa seperti itkus”. Weiner (1991) mengusulkan bahwa banyak die danr iset tentangmotivasi manusia bisa dipahami berkaitand engandua meafora dasar: metafora mesin dan meafora seperti Tuhan.
Dampak-dampak dari metafora mesin menyatakan bahwa motivasi sebagian besar bersifat sukarela dan seeperti refleks. Orang yang termotivasi tidak perlumemahami atau bahkan tidak perlu menyadari alasan-alasan mengapa dia bertindak, karena rekasi-reaksi sudah ditentukan sebelumnya. Seperti disebutkan Weiner “perilaku dilakukan tanpa kesadaran sadar.” Banyak riset motivasi yang dilakukan dari 1930 hingga 1960 seusai dengan metafora mesin. Riset yang dijelaskan pada bagian pertama buku ini menandakan pendekatan ini.
Meatfgora kedua, metafora seperti Tuhan, berasal dari kyakinanbahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan dalam gambaran Tuhan” (Weiner 1991 hal 921). Oleh karena itu perilaku kita ahrus didasarkan pada kualitas-kualitas yang berkaitan dengan Tuhan seperti maha tahu, maha penyayang danmaha pengampun dan maha berkuasa. Dampak-dampak dari metaofra kedua ini untuk memahami motivasi manusia menunjukkan bahwa manusia bertidnak rasional dan sengaja (kita bekerja untuk mednpatkan tujaunt ertentu). Selain itu kita sdaar akan alasan-aalsan kita bertidnak. Riset motivasional yang dilakukan antar 1960 dan 1980 seringkali menyederhanakan metafoa ini. Seperti dicatat oleh Weiner, pandangan motivasi ini mungkin terlalu optimistik. Orang-orang tidak selalu bertindak secara rasional, atau bahkan demi kepentingan mereka sendiri. Dia menyarankan bahwa atribut lain dari metafora seperti Tuhan mempengaruhi pemikiran kita tentang proses-proses motivasional sejak 1980an. Terjadi penurunan ide rasionalitas danpenekanan lebih besar terhadap peran bagaimana situasi-situasi sosial dievaluasi, dengan penekanan kuhsus diberikan pada peranemopsi dalam evalasi-evalusai tersebut. Banyak riset dalam separuh buku ini bisa dilihat sebagai ilustrasi dari metafora seperti Tuhan (dalam dua bentuk).
Pendekatan-pendekatan yang berubah tehadap motivasi yang terjadi selama 100 tahun terakhirtelah membentuk bagaimana motivasi dipelajari sat ini. Riset motivasional saat ini bisa dibagi menjadi tiga area utama; biologi, behavioral dan kognitif. Pendekatan biologis terus mencoba memahami dsar-dasar fisik dari prilaku termotivasi; ini merupakan warisan dari pendekatan-pndekantan isntign dan teori dorongan. Pendekatan behavioral mengujihubunganmotivasi dengan konsep-konsep lain seperti pembelajaran dalam aktivasi dari perilaku termotiivasi. Konsep diorngna, motivasi insentif dan motif-motif yang dipelajari merupakan persoalan sentral dari pendekatan perilaku. Pendekatan kognitif menekankan sekelompok konsep yang terhubung secara longgaryang secara umum menyatakan bahwa oganisme bisa bertindak sengaja untuk mencapai tujuan-tujaun tertentu. Area-area riset motivasional yang masuk dalam pendekatan kognitif ini adalah teori ekpektasi-nilai, teori konsistensi, teori perspesi-diri, teori pembeljaaransosail, teori aktualisasi, dan teori atribusi.
Sisa dari teks ini akan menguji tiga area motivasional utama. Kami pertama akan menguji teori dan riset tentang sifat biologis dari beberap amotif. Bagian ini akan diikuti oleh analissi teori dan riset tentang kontirbusi-kontribusi behavioris terhadap motivasi. Yang terakhir buku ini akan dikahiri dengan menguji teori kognitif dan riset tentang motivasi.

Bias penulis
Sejak awal pembaca perlu mengetahui sudut pandang saya sendiri, karen a seluruh buku ini akan mencerminkan bias pesonal saya. Dari sudut pandang saya, tak ada toeri yang bisa menjelaskan semua data tentang motivasi. Penjelasan-penjelasan rasa lapar kaan berbeda rai penjelasan-penjelasan tentang prestasi. Saya pikir sangat naif untuk meyakini bahwa ada satu teori komprehensif yang bisa menjelaskan semua kondisi motivasional. Alasan saya mempercaya ini adalah motivasi bisa ditentukan dengan beberapa cara. Proses-proses yang membentuk motif-motif penting secara psikologi berbeda dari proses-proses yang membentuk psikologi.
Motif juga ditentukan secara berlebihiam. Seperti pesawat ulang-alink, tubuh manusia memiliki sistem-sistem backup yang berperan jika mekanisme sesoerang gagal. Satu contohnya bisa dilihat pada tikus yang dilukai pada hipotalamus ventromedialnya. Setelah kerusakan bagian otak ini, tikus terus-terusan makan, kadang-kadang berat badannya bisa naik 100%. Tikus ini tidak makan hinggag meledak. Pada suatu titik, berat badan satbil baru (meski kegemukan) dicapai, dan berat badan ini diregulasi pada poin baru ini. Kesimpulan yang jelas adalah bahwa mekanisme kedua yang mengatur berat badan pada level baru yang lebih tinggi menjadi teraktivasi.
Yang terakhir perlu dicatat bahwa dalam era informasi yang berkembang cepat ini, yang kita ketahui bisa berubah secara drastis. Karena itu kita perlu untuk terus mendapatkan ifnormasi terbaru tentang bagaimana proses-proses yang mendasari motivasi bisa bekerja. Ketika informasi baru tersedia, konsep-konsep motivasi bisa berubah,.
Isi buku ini bersifat ekletik. Saya akan menampilkan beragam pendekatan yang menyebutkan penelitian suportif dan kemudian menyebutkan asumsi-asumsi dasar dan juga problem-problem dasar.
Karena terjadi banyak bahasan tentang motivasi pada berbagai sub bidang di dalam psikologi, studi ini seringkali tidak singkron, sementara beberapa teori jug asaling berhubungan. Meski persepsi ini dalam hal tertentu benar, kesatuan motivasi sebagai sebuah bidang studi berasal dari usaha untuk menentukan bagaiman faktor-faktor motivasi yang berbeda tersebut berinteraksi menghasilkan perilaku.
Untuk memberikan sebuah tema penyatu pada studi-studi dalam teks ini saya akan memasukkan dalam bab-bab yang tepat informasi tentang motivasi seksual dan agresif sebagaimana dipahami dari sudut pandang teori-teori dalam bab tersebut. Saya harap pembaca akan meahami bahwa seiap perilaku termotivasi bisa memiliki banyak komponen dan hanya ketika kita memahami komponen tersebut dan bagimana komponen tersebut berinteraksi kita bisa memahami mengapa orang-orang bertindak dengan cara tertentu.

BAB 2
KONTRIBUSI-KONTRIBUSI GENETIK TERHADAP PERILAKU TERMOTIVASI

Ketika saya berjalan ke aula menuju ke kantor, saya melihat sekelompok mahasiswa berbicara di dekat pintu keluar. Mendengar langkah kakiku mereka melirik. Tiga di antaranya yang tidak saya kenal mengalihkan perhatiannya ke teman-teman mereka. Yang keempat, siswa yang menghadiri salah satu kelas saya semester lalu, tersenyum, menaikkan alismatanya lalu kembali ngobrol dengan teman-teman mereka. Pertemuan singkat ini bisa digunakan untuk menjelaskan keyakinan abb ini bahwabeberapa perilaku termotivasi bersifat instingktif. Banyak riset tentang komponen-komponen instintgit perilaku sudah dilakukan oleh sekelompok ahli bipologi yang meyebut diri mereka ethologist. Meski sebagian besar riset ini menggunakan burung, ikan dan binatang lain sebagai subyek, belum satupun riset instingtif idlakukan terhadap manusia. Riset ini menunjukkan bahwa beberapa perilaku yang saya sebutkan tadpi bersifat instingtif/naluriah.
Misalnya, Eibl-Eibesfeldt (1972) menemukan bahwa ketika seseorang menemukan orang lain terjadilah satu pola perilaku. Orang yang mengenal orang lain tertawa dan meninggikan alisnya. Perilaku-perilaku ini memberi sinyal kepada orang lain bahwa orang yang dia lihat itu dikenalnya; biasanya orang merespon dengan juga tersenyum atau sejenak menaikkan alis matanya. Eibl-Elbesfedlt menemukan bahwa upacara penghormatan ini bersifat universal di semua kultur (baik primitif maupun maju) yang dia pelajari. Perilaku yang terprogram secara genetik inilah yang mengkomunikasikan pengakuan di antara manusia dan mungkin berfungsi mengurangi kemungkinan ancaman yang terjadi saat mendekati seseorang
Dalam bab ini kami akan menguji beragam penjelasan instingtif untuk perilaku termotivasi. Kami mulai dengan onsep evolusi seperti yang berlaku pada perilaku termotivasi dan kemudian beralih menguji pendekatan-pendekatan insting awal.

Evolusi
Evolusi bisa diartikans ebagia perubahan progresif organisme sepanjang waktu (Solbrig, 1966). Teori evolusi biasanya dikatikand engan Carhels Darwin (1899) meski Alfred Wallace secara terpisah mengembangkan ide yang sama. Kedua orang ini menampilkan makalah-makalah tentang topik ini pada pertemuan yangs ama pada 1858. Richard Dawkins (1976) mencatat bahwa teori evolusi benar-benar merupakanc ara lain menyatakan ide bahwa unsur-unsur yang paling stabillah yang akan terus bertahan. Beberapa anggota kelompok organisme akan kurang mampu menangani kerasnya lingkungan sehingga mereka mati. Anggota-anggota kelompok lain akan lebih baik beadaptasi dengan lingkungan sehngga bertahan dan mewariskan karakteristiknya ke generasi berikut.

Seleksi alam
Lingkungan penting dalam menentukan anggota-angogta kelompok mana yang akan bertahan. Melalui seleksi alam ini lingkungan mempengaruhi perkembangan perubahan genetik. Individu-individu yang mewariskan gen-gen yang memberi mereka keuntugnan dalam lingkungan akan hidup cukup lama untuk bereproduksi, sementara mereka yang mewarisi gen-gen yang merugikan akan meninggal, dan karakteristik gen-gen yang merugikan ini akan dihilangkan dari spesies.
Menurut ringkasna oleh Hoyenga dan Hoyenga seleksai alam berpengaruh terhadap tiga karakteristik gen. tiga karakteristik ini adalah viabilitas, fertilitas dan kesuburan.
Viabilitas berkaitan dengan apakah gen menunjukkan perilaku tertentu yang akan meningkatkan kemungkinan orang yang memilikinya akan hidup cukup lama untuk bereproduksi. Gen-gen yang meningkatkan viabilitas akan tetap dalam kelompok gen, sementara gen-gen yang mengurangi viabilitas kadang-kadang dieliminasi dari kelompok gen. contoh dari situasi ini adalah teriakan anak ayam. Ketika anak ayam dipishakan dari induknya mereka akan mengeluarkan suara.
Fertilitas, menurut Hoyenga dan Hoyengan berkaitand engan suskes kawin. Banyak speises yang mengembangkan ritual-ritual kawin yang menentukan siapa yang akan dipilih untuk kawin. Misalnya pada beberapa spesie sburung pejantan melakukan “tarian” untuk menarik pasangan betina, dan betina memilih pejantan berdasarkan seberapa bagus tariannya. Gen-gen yang mengontrol perbedaan-perbedaan kecil pada tarian akan dipertahankan jika gen-gen tersebut menyebabkan si pejantan menari dengan baik.
Kesuburan berkaitan dengan jumlah keturunan; semakin subur seekor biantang, semakin banyak keturunan yang dihasilkannya. Setiap gen yang meningkatkan kesuburan akan cenderung dipertahnakan, sementara gen yang mengurangi kesuburan kadang akan dihilangkan dari kelompok gen. meski sulit dibuktikan, kemungkinan motivasi seksual yang kuat pada pejantan dari banyak spesies akan meningkatkan kesubuan. Perilakus eksual jantan seringkali oportunistik, dan kesiapan pejantan untuk menikah pada hampir setiap waktu dikenal dalam banyak spesies. Perilaku pada pejantan tersebut mungkin dikontrol secara genetik dan tetap ada sampai sekarang karena pejantan yang memiliki sifat tersebut menghasilkan lebih banyak keturunan.


Teori-teori Insting Awal
Insting sebagai penjelasan atas perilakut ermotivasi pada manusia dan biantang mencapai puncak pop[ularitasnya pada akhir 1800an dan awal 1900an. Beach (1955) mencatat bahwa popularitas konsep ini sebagian dikarenakan konsep inid ipakai sebagai jembatan teoritis antara manusia dan binatang. Jembatan ini penting bagi pengembangan ide bahwa evolusi juga berlaku pada binatang dan manusia dan juga pada struktur fisik dan pikiran. Sehingga, bagi beberapa ahli teori, binatang diangagp mem iliki suatu rasionalitas selain perilaku naluriah mereka, dan manusia diangagp memiliki suatu perilaku yang terkontrol secara naluriah di samping pikiran rasionalnya.
Ketika konsep insting semakin populer, lebih mudah untuk mnejaslkans emau perilaku sebagai bersifat naluriah. Ini mendorong pada apa yang disebut sebagai kesalahan nominal.

William James
William James yang tulisannya meliputi bidang filsafat dan psikologi, perayabahwa insting mirip dengan refleks, dibangkitkan oleh stimuli sensori,s dan terjadi pertama kalinya (James, 1890). Bagi James “terjadi tanpa diketahui” berarti perilaku terjadi secara otokmatis di bawah kondisi-kondisi yang tepat dan tanpa mengetahui akhir atau tujuan yang diarahkan oleh perilaku tersebut. Sehingga bagi James naluri kesopanan bisa menyebabkan anda menuduk dan menjauh secara otomatis saat anda berjemur telanjang di pantai.
James menjelaskan variabilitas naluri dalam dua prinsip. Prinsip pertama menyatakan bahwa kebiasan (yaitu pembelajaran) bisa menghambat sebuah naluri. Prinsip kedua mengusulkan bahwa beberapa insting bersifat transitoris, berguan hanya pada waktu-waktu tertentu atau selama periode-peridoe perkembangan tertentu. James mengusulkan bahwa pembelajaran bisa menghambat insting dengan membatasi beragam obyek yang terlibat dalam aktivitas instinfgtif. Sehingga pembeljaran dianggap membatasi sejauh mana sebuah insting bisa berkembang atau dipakai. Misalnya, pemicu naluri takut oleh guru bisa menyebabkan prestasi akademik menurun karena insting lain seperti kemelitan, bisa dihambat (oleh pembelajaran) atau dibatasi pada situasi-situasi non akademik. Sifat transitoris isnting menunjukkan bahwa beberapa isnting hanya muncul pada saat-saat tertentu dalam pekremabngan kemudian menjadi tidak aktif. Sehingga anak ayam yang baru menetas mengikuti obyek bergerak pertama yang dilihatnya. Dua prinsip yang diusulkan oleh James merupakan awal penting bagi konsep-konsep etiologi periode kritis dan membekas.
James melihat perilaku naluriah sebagai perantara antara refleks dan pembelajaran. Tidak seperti beberapa rekannya,. James tidak mengusulkan untuk menjelaskan semua perilaku melalui proses-proses instingtif. Dalam pandangannya insting memberi dasar dasar bagi terbentuknya pengalaman lewat pengembangan kebiasaan. Konsep insting tidak digunakan untuk binatang. James percaya bahwa orang-orang memiliki semua insting yang tidak dimiliki binatang plus insting asli manusia. Dia mengusulkan sebuah klasifikasi insting-insting manusia yang meliputi:
Permusuhan, keingintahuan, kegarangan, keramahan, simpati, rasa malu, berburu, kerahasiaan, ketakutan, kebersihan, kemelitan, kesopanan, kecemburuan, cinta orang tua, bermain.

James berpendapat bahwa dengan menjelaskan bergam insting dan bagaiman isnting tersebut bisa adaptif selama evolusi manusia, dia menjelaskan bagaimana perilaku dimotivasi. Sayangnya, dia tidak menjelaskan dengan benar bagaimana seseorang bisa membedakan antara perilaku refleks, perilaku isnting dan perilaku yang dipelajari.

William MCDougal
William McDougall adalah ahli teori yang memandang insting berbeda dari pandangan james. James tidak menganggap insting benar-benar reflektif karena dia percaya semua perilaku itu pada dasarnya naluriah. Dia merasa tugas utama psikolog adalah menemukand an menggolongkan beragam isnting untuk memahami motivasi.
McDougall berpendapat isnting lebihd ari sekadar disposisi yang ingin dicapai dengan cara tertentu. Dia memandang setiap isnting terdiri atas tiga komponen: kognitif, afektif dan konatif (McDougall 1970). Aspek kognitif insting adalah mengetahui sebuah obyek yang bisa memauskan isnting. Komponen afektif aldaah perasaan (emosi) yang ditimbulkan obyek terhadap orgnaisme. Apsek konatif dari isnting adalah perjuangan menuju atau menjauh dari obyek. Oleh karena itu setiap perilaku terdiri atas 1) pemikirant entang tujuan yang akan memauskan motif; 2) emosi yang dibangkitkan oleh perilaku; dan 3) perjuangan positif untuk mencapai tujuan. Dengan menggunakan pendekatan McDOugall kami akan menduga bahwa tikus yang lapar akan memuaskan rasa laparnya yang menunjukkan gairah emosional ketika lapar dan akan berjuang untuk mendapatkan obyek yang akan meredakan rasa laparnya.
McDougall melihat perjuangan ke arah tujuan sebagai sebuah contoh dari kesengajaan perilaku isntingtif. Dia percaya seseorang bisa mengidentiifkasi insting yang diaktivasi dengan menentukan tujuan yang akan dihasilkan oleh perilaku. Misalnya, jika seseorang melihat seekor monyert secara aktif berusaha memisahkan teka-teki yang dibuat dari blok-blok yang saling mengunci, seseorang bisamenyimpulkan b awha perilaku yang dibangkitkan tersebut merupakan isnting keingintahuan. Analisis disebut teleologis. Teleologi adalah ide bahwa sebuah perilaku melayani tujaun tertinggi tertentu. Sementara tipe penjelasn ini tidak sepenuhnya tak masuk akal bagi manusia yangbisa meramalkan atau memprediksikan di mana perilaku mereka akan menuju, ini bukan penjelasan populer bagi perilaku biantang; dan banyak ahli teori, termasuk Freud berpendapat bahwa bahkan manusia seringkali tidak menyadari alasan-alasan atas perilaku mereka.
Seperti James, McDougall (1970) mengumpulkan daftar panjang perilakuisntingtif, beberapa diantaranya meliputi:
Perawatan parental, sipati, pertempuran, ketegasan diri, keingintahuan. Penyerahan, pencrian makan, perkawinan, repulsi, sifat membangun, melepaskan diri, mendekati, suka berteman.

Menurut McDougall, sebuah insting bisa diubah dengan empat cara. Pertama, sebuah isnting bisa diaktivasi tidak hanya oleh suatu obyek eksternal tertentu tapi juga oleh ide bahwa obyek tersebut atau oleh obyek eksternal lain tatau ide-ide mereka. Sehingga jenis-jenis obyek atau ide yang bisa menimbulkan insting bisa berubah. Misalnya, susu mungkin mengaktivais pencarian makan pada bayi. Ketika anak tumbuh, makanan lain juga akan mengaktivais insting ini, seperti pemikiran tentang makanan. Sebenarnya, sebuah iklan TV yang bagus bisa mendorng anda memikirkan apa yang berada dalam kulkas dan mengaktivasi perilaku mencari makanan pada diri anda.
Kedua, gerakan di mana perilakuisntingtif terjadi bisa dimodifikasi. Isnting keingintahuuan mungkin melibatkan penyelidikan lngkungan lokal, seperti ketika bayi merangkak di ruangan. Insting yang sama ini mungkin dipuaskan dengan membaca tentang sains. Meski naluri keingintahuan tetap ada, perilaku yang dilibatkan dalam ekspresinya berubah.
Ketiga, beberapa isnting bisa dipicu secara simultan, dan perilaku yang dihasilkan adalah percampuran antara insting-insting yang dibangkitkan. Sehingga McDougall bisaberpendapat bahwa perilakus eksual para remaja adalah campurand ari keingintahuan dan insting kawin, dan petting yang terjadi merupakan perilaku kompromi yang mencerminkan kedua insting tersebut. Para ahli teori kontemporer, berpendapat bahwa situasi ini bsi amenyebabkan perilaku ambivalen atau perilaku terasing (Tibbergen, 1951).
Yang terakhir, perilaku instingtif bis atdiatur di sekitar obyek-obeyk tetntu atau ide-ide tertentu dan menjadi kurang responseif terhadap situasi-situasi lain. Misalnya orang-orang kadang bertindak tegas dalam pekerjaan mereka tapi menjadi penurut di rumah, sehingga perilaku naluriah hnyaa terjadi pad asituasi-situasi tertentu. Dalam beberapa hal ini mirip dengan konsep fiksasi Freud.
Metode analisis McDougall adalah antropomorfik. Dia percaya dia bisa menduga perasaan organisme lain dengan bertanya pada diri sendiri bagaimana perasaannya dalam kondisi yang sama. Misalnya jika McDougall melihat seekor anjing menjilati luka anjing lai dia mungkin menyipulkan anjing pertama merasa simpati tehradap anjing kedua. Antromorfisme (atirbusi karakteritik manusia pada obyek atau benda) sering terjadi pada pemikiran sehari-ahri kita. Misalnya orang yang mengatakan ”kucing saya merasa bersalah karena membunuh robin” adalah antrofomorfik. Apakah kucig merasa bersalah dalam pengertian manusia masih meragukan. Rasa bersalah mungkin tidak dialami oleh biantang selain manusia. Antromorfisme umumnya diakui saat ini sebagai metode analisis yang tidak adekuat. Sebenarnya pengeksperimen terlalu ekstrim megnhindari ibas studi-studi mereka dengan pengalaman subyektif mereka.
Selai problem antropomorfisme, McDougall (seperti James) tidak dengan jelas membedakan antara insting dan pembelajaran. Dalam banyak kasus dua konsep ini saling melengkapi. Ini bukan malsaah bagi McDougall karena dia percaya semua perilaku itu naluriah.



Kritik terhadap teori-teori insting awal
Kuo (1921) berusaha menghancurkan konsep insting dalam artikel berjduul ”Giving Up Instincts in Psychology”. Dari beberapa kritik yang dia naikkan pada konsep insting, diantara yang paling penting adalah tiga beriktu. Pertama, di amenulis tidak ada kesepakatan tentn g apa tipe atua berap abanyak isnting itu ada. Dia menyatakan bahwa daftar insting itu arbitrr danbergantung pad minat steiap penulis. Kedua Kuo berpendpaat bahwa perilaku yang disebut instingktif tidak berssifat bawaan tapi dipelajari. Dia merasa perilaku dibangun dari respon-respon acak, kadang-kadang diperkuat dan dipertahankan, beberapa lagi tidak diperkuat dan dimusnahkan. Dia merasa para psikolog seperti McDougall bersalah karena mengabaikan respon-respon yang harus dipelajari untk mencapai tujuan di mana perilaku diarahkan. Yang terakhir, Kuo menyatakan bahwa insting bukan kekuatan-kekuatanmotif yang mendasari perilaku karena perilaku dibangkitkan oleh stimuli eksternal. Dengan penekananya pada kontrol eksternal perilaku, Kuo menolak asumsi-asumsi yang dibut oleh pendukung teori insting bahwa perilaku merupakan hasil dari program genetik. Kuo merasa bahwa konsep insting kurang berguna, dan dia berpendapat bahwa konsep ini harus dihilangkan.
Tolman (1923) juga dengan cermat meninjau konsep insting dan menyebutkan beberapa kritik. Tidak seperti Kuo Tolamn merasa konsep ini harus diselamatkan jika kritik yang dia buat bisa dipenuhi. Perrtama Tolman mencatat bahwa penunjukan perilaku secara arbitrer sebagai insting menghilangkan konsep penjelasn. Dengan kata lain, insting seperti keingintahuan,keasyikan, kegarangan, hanya label-label deksripitf yang tidak menjelaskan sebab-sebab perilaku. Kedua tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan perilaku mana yang tergolong instingtif dan mana yang tidak. Para ahli teori tidak menyebutkan dengan jelas bagaimana seseorang bisa mengidentifikasi perilaku instingtif. Ketiga, konsep ini terdengar sangat mirip dengan doktrin plato tentang ide-ide bawaan (bahwa semua pngetahuan ada dalamd iri setiap orang dan hanya menunggu waktu untuk ditemukan). Tolam mencatat bahwa ini bukan kritik valid karena perilaku instingtif mungkinberkembang selama itu nampak caerdas. Yang terakhir dia menyebutkan bahwa kebingungan di antara insting dan kebiasaan (pembelajaran) yang sudah kita lihat dalam teori-teori James dan McDougall.
Tolman percaya bahwa konsep insting bisa diselamatkan dengan merekonstruksinya dalam hal behavioral bukannya subykeitf. Penekananya adalaha pada ujung-ujugn behavioral di mana perilaku diarahkan; dia percay aakhir (tujuan) itu tetap atu instingtif tapi cara mendapatkanya bisa berbeda-beda dan bisa dimodifikasi melalui pembelaajran. Oleh akrena itu bertindak untuk mendapatkan makanan ketika lapar adalah instingtif, tapi perilaku yang diperlukan untuk em,dnaatpkanmakanan itu fleksibel dan dipelajari.
Sayangnya bagi onep insting awal, kritik Kuo, Tolmand an lain-laint erbukti terlalu merusak, dan istilah ini hilang dari teks psikologi selama bertahun-tahun. Sudah biasa bagi teks-teks psikologi pendahuluan dan teks-teks tentang motivasi, untuk mengabaikan topik perilaku instingtif. Mesi demikian, topik ini tetap hidup sebagai sebuah cabang biologi di Eropa yang dikenal sebagai etologi.

Ethologi
Etologi, sebuah cabang khusus biologi, berkaitan dengan evolusi, perkembangan dan fungsi perilaku,. Sementara pendekatan etologi tidak dibatasi pada studi perilaku isntingtif, banak riset etologi menekankan isnting. Para ahli etologi dengan hati-hati mengartikan konsep ini dan menganalisa beragam komponen perilaku ini. Kami akan menguji konsep-konsep seperti perilaku konsumatoris dan apetitif, polapola tindakan tetap, stmuli utama, aktivita svakum, gerakan sengaja, perilaku konflik, rantai reaksi dan imprinting. Banyak karya awal dalam etologi dilakukan oleh Konrad Lorenz dan Niko Tinbergen pada 1930an.
Lorenz berpendapat secara persuasif bahwa kita harus mengamati organsme dalam seting alami mereka jika kita ingin memahmai perilaku mereka. Etologi dilakukan seperti yang diasarnkan Lorenz, menekankan observasi cermat rentag perilakupenuh organisme sebelum berusaha mengartikan perilaku tersebut. Banyak waktu yang dihabiskean untuk menulis daftar perilaku yang diamati untuk setiap spesies yang dipelajari. Daftar ini disebut ethogram (Tinbergen, 1951.

Istilah-istilah ethologis
Pendekatan etologi didasarkan pada teori evolusi Darwin. Perilaku-perilaku instingktif terjadi karena perilaku ini memiliki nilai survival bagi spesies. Aspek penting lain dari pendekatan etologi terhadap perilaku termotivasi dilihat dalam konsep konsumatoris dan perilaku apeittif, yang diusulkan oleh Wallace Craig (1918). Craig mencatat bahwa perilaku bisa dibagi menjadi pola-pola tetap yang terkoordinasi denganbaik darimerespon terhadap stimuli tertentu yang dia sebuat perilau konsumatoris, dan perilaku penacrian tanpa kenal llelah yang fleksibel dan adaptif terhadp lingkungan ayng dia sebut sbeagai perilaku apetitif. Perilaku apetitif mengalmai modifikasi melalui pembelajaran (misalnya ketika tikus belajar di mana makanan bisa ditemukan dalam lingkungan). Perilaku konsumatoris bersifat bawaan dan disterotipkan (misalnya mengunyah dan menelan mkanan).
Pendekatan etologis juga bersumsi bahwa setiap perilaku memiliki sumber energinya sendiri yang disebut energi spesifik kerja (ASE). Setiap perilaku dihambat agar tidak terjadi meski demikian dengan mekanisme pelapas bawaan (IRM), yang bekerja seperti kunci yang bisa dibuka dengan kunci yang tepat. Kunci yang memungkikan terjadinya perilaku adalah stimulis yang penting secara biologis yang bisa bersifat lingkungan atau hasil dari perilaku anggota spesies. Stimuli lingkungan disebut stimuli kunci atau stimuli tanda, sementara stimuli yang mleibatkan perilaku anggota spesies lain disebut releaser aau social releaser. Social releaser adalah stimuli kunci yang berperan komunikatif di antara anggota spesies. Misalnya, postur, spicuous plumage, atau perubahan warna yang mengindikasikan eksiapan seksual seringkali menjadi social releaser.
Stimuli Kunci. Stimuli kunci adalah stimli sederhana atau hubungan konfigurasional sederhana di antara stimuli. Misalnya, jengger merah dari stickleback jantan melepaskan perilaku agresif pada stickleback jantan lain yang memasuki wilayahnya; pejantan yang sama akan mentoleransi betina dalam wilayahnya karena dia tidak mengalami perubahan warna menjadi kemerahan.
Kadang-kadang stimuluis kunci normal bukan stimylus optimal untukmelepaskan perilaku tertentu.. ringed plover, misalnya mengeluarkan telur yang berwarna coklat cerah dengan titik-titik coklat yang lebih gelap. Jika kita memberi plover pilihan antara telur mereka sendiri dan telur dengan bintik-bintik hitam, mereka memilih menginkubasi telur hitam dan putih (Tinbergen, 1951). Oystercatcher juga memilih telur-telur yang besar daripada telur-telur mereka yang kecil. Contoh-conoth ini menarik karena mereka menunjukkan bukkan hanya stimulus buatan yang bisa dipilih dibandignkan stimulus alami tapi stimlus ini mungkin bersifat konfigurasional (misalnya titik-titik gelap pada latar gterang)d aripada stimuli tunggal. Aktivasi perilaku yang dipicu oleh stimulus tak alam i juga mengindikasikan sifat perilaku yang kaku; perilaku terjadi ketika sebuah stimulus melepaskannya dan tidak bergantung pada pembelajaran organsasi tentang stimulus. Stimuli yang melepaskan perilaku lebih efektif daripad stimulus normal disebut stimuli supernormal atau stimuli superoptimal. Contoh stimulus supernormal ditunjukkanpadag ambar 2.1.
Rowland (1989c) memberi contoh menari prferensi stimuli supernormal.stickleback betina reseptif secara seksual dihadapkan pada dua stickleback jantan, satu berukurnan ormal (50 mm) dan lainnya 1,5 kali lebih besar (75 mm). Jantan dummy dihubungkan dengan carousel motoris yang menyebabkanya bergerak pada jalur sirkular, menstimulasi pgerakan menikah jantan. Rowland mengamati pilihan-pilihan jantan reseptif dan menemukan bahwa betinaa menunjukkan prefernsi signifikan untuk dummy yang lebih besar (supernormal) meski ukuran dummy ini melebihi ukuran jantan pada popuasi alami di mana betina berasal.
Rowland menyatakan bahwa prefrensi untuk stimulu supernormal bisa memberi beberap akeuntungan bagi sticklebak betina. Pertama, pejantan besar bersaing lebih ukses untuk wilayah-wilayah perkawinan (Rowland, 1989a) dan diperkirakan sukses lebih besar dalam membesarkan keturunanya (stickleback jantan mengeram dan mearwat yang muda. betina yang memilih pejantan yang lebih besar meningkatka peluang mempertahankan telurnya.
Ketiga, jantan yang lebih besar mungkin peluangnya lebih kecil dimangsa predator dan lebih cenderung bertahan untuk memberikan perawatan paternal bagi keturunan mereka hingga dewasa.
Dalam studi terkait, Rowland (1989b) menunjukan bawah stickleback jantan memilih betina dummy dengan ukuran badan berlebihan atau distensi abdominal berlebihan. Sheinga nampak bahwa ukuran pasnagan merupakan variabel penting pada peirkau stickleback riset Rowland menyatakan efek stimulus supernormal bisa terjadi lebihs ering di alam daripada yang diperkirakan sebelumnya dan prefernesi untuk stimuli supernormal memberikan keuntungan evolusioner.

Pola-pola tindakan tetap. Respon yang dilepaskan oleh stimulus uitama disebut pola tindakan tetap. Sehingga nampak bahwa ukuran pasangan menjadi variabel penting dalam perilaku kawin bebe ini. Riset Rowland menunjukan efek-efek stimulus supernormal bisa tejradi lebih sering di alam daripada yang diperkirakans eblumnya dan prefernsi untuk stimulu supernormal akan memberi keuntungan evolusioner.

Moltz (1965) mencatat empat ciri empiris pola tindakan tetap:
1. Pola tindakan tetap distereotipkan. Meski istilah ini menunjukkan bahwa perilaku ini tidak bervariasi, meski kelihatannya demikian beberapa variabilitas perfroma pola-pola tindkan tetap tidak terjadi (Burghardt, 1973).
2. Pola tindakan tetap tidak bergantung pada kontrol eksternal langsung. Sekali pola tindakan tetap diaktivasi, ini terus rampung tanpa mempedulikan perubahan-perubahan pada lingkungan eksternal. Perikau init erdriia tas dua komponen: sebua pola tindakant etap yang melibatkan penggambaran telur ke arah sarang dengan taghihan, dan gerakan lateral bill untuk menjaga telur non agar tidak menggelindung ke satu sisi (gambar 2.2). gerakan-gerakan lateral bergantung pada feedback sensoris dari telur ketika menggelinding secara tidak rata. Merka bersifat kompensatoris dan menjaga telur tetap di sarang. Gerakan bilateral ini merupkaan contoh sebuah kelas perilaku yang dikenal sebagai pajak. Pajak-pajak ini mirip dengan FAP di mana ini tidak dipelajari; meski demikian tidak seperti FAP ini responsif terhadap perubahan lingkungan. Komponen pola tindakan tetap dari perilaku terus hingga selesai. Tapi harus ada beberapa kelemahan-kelemahan dari indepedensi pola-pola tindakan tetap dari lingkungan – burung pipit, ketika diserang tikus, tidak terus memakani biji. Harus ada beberapa mekanisme yang bisa memotong seirkut atau menghentikan pola tindakan tetap ketika ada tuntutan kondisi-kondisi lingkungna.
3. Pola-pola tindakan tetap bersifat spontan. Selain sitmulasi eksternal, motivasi intenral dipelrukan agar pola tinakant etap terjadi. Semakin lama itnerval sejak keadian pertama pola tindakant eap, semakin siap tindakan ini terjadi. Spontanitas mengacu pada fakta bahwa ketika energi terbangun, perilaku bisa terjadi in cavuo (yaitu tanpa dilepaskan oleh stimulus kunci). Burghardt (1975) mencatat spontanitas pola tindakan tetap sreignkali disebut sebagai bukti adanya struktur sistem saraf pusat yanng mengontrol perilaku yang tidak dipengaruhi oleh pengalaman.
4. Pola-pola tindakan tetap tidak bergantung pada pembelajaran. Secara khusus, pola tindakan tetap nampak tidak bisa dimodifikasi melalui pembelajaran. Hailman (1969) menunjukkan bahwa ini tidak sepenuhnya benar. Kami akan menguji riet Hailman dalam bagign bab tentang petunjuk-petunjuk baru dalam etologi.

Model teoritis
Model-model motivasional yang dihasilkan oleh ahli etologi menekankan sumber-sumber nternal motivasi yang berbeda dengan sumber-sumber eksternal. Seperti yangakan kita lihat pada bab-bab berikutnya, kondisi-kondisi eksternal menadji mtoviatir perilaku yang kuat. Para ahli etologi biasanya memilki membatasi teorsasi mereka pada perilaku yang termotivasi secara itnernal dan terprogram scara genetik. Dasar dari pendekatan etologis ini merupakan konsep energi, yang terbangun did alam sistem saraf dan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melepaskannya.
Baik Lorenz (1950) dan Tinbergen (1951) mengusulkan model-model perilaku instinktif sementara kedua ahli teori ini mengajukan sifat tentaitf dari model-model mereka, model-model yang memberikan kerangka untuk berpikir tentang perilaku naluriah.

teori hidrolik Lorenz
dalam banyak hal, pandangan motivasi Lorenz mirip dengan Freud. keduanya menggunakan konsep pembentukan energi untuk menjelaskan prilaku yang mendasari motivasi. pembentukan energi sering diangap sebagai mirip dengan akumualsi air dalam sebuah wadah. ketika air berakumulasi, air ini memotivasi organisme bertindak dengan cara yang akan melepaskan energi. selain tiu ktika energi terbentuk, stimulus yang diperlukan untuk melepaskan sebuah perilaku akan menjadi lebih kecil, sehingga ambang yang harus dicapai agar perilaku tetentu terjadi bisa menjadi lebih rendah.
energi kadang-kadang berakumulasi pada titik di mana ambang untuk stimulasi mencapai nol dan perilaku terjadi secara sponan. Perilaku tersebut disebut aktivitas vakum (Tinbergen 1951). Lorenz membicarkaan tame flycatcher yang akan terbang pada ruangan seakan-akan ingin menangkap lalat. Prilaku tertentu ini dipicu oleh stimuli lalat, tapi dalam contoh ini ini terjadi tanpaadanya stimulus yangbenar. Sebuah perilaku tertentu dihambat (ditahan)hngga stimulus yang tepat melepaskannya.
Model Lorenz ditunjukkan dalam gamabr 2.3. Seperti bisa dilihat, energi spsifik kerja (ASE) dikonseptalisasikan berakumulasi dalam sbuah wadah. Akumuasi energi dalam wadah menstimulasi perilaku apetitif pada organisme, kadang-kadnag menyebabkan situasi sitmulus yang akan mengaktivasi mekaniosme pelepasan bawahn (IRM) yang digambarkan sebagai pemblias yang dimuati spring. Stimulus kunci direpresentasikan oelh berat pada bidang skala; bersma dengan tekanan dari energi yang berakumulasi, ini bekerja membuka katup sehingga energi bisa mengalir dalam bentuk pola-pola kerja tetap (FAP). Skala pada diagram ini menguku intensitas perilaku yangbeasal dari dua faktor: jumlah tekanan yang dikeluarkan ole ASE dan ketepatanstimulus kunci untuk membuka lebar katup. Energi jatuh ke panci menurun dengan pembukaan pada bagian bawah. panci yang miring merepresentasikan ie bahwa semakin uat motivasi (dan energi) semaki sempurna perilaku konsumatoris; setiap pembukaan pada bagian bawah panci merepresentasikan komponen perilaku tambahna. Sehinggag akumlai enegi kecil bisa menimbulkan respon parsial sementara akumulasi energi yang besar akan menimbulkan respon ledakan penuh. Misalnya, nergi spesifik krja agresif akan berakumulasi pada angksa jantan yang membangun wilayah perkembangbiakan. Kehadiran belly mrah dari pejantan lain di wilayahnya menjadi stimulus utama (speerti berat pada panci) untuk membuka katup (IRM); dan pola[pola serangan tetap terjadi.
Model ini bisa menjelaskan aktivitas vakum. Jika stimulus kunci yang tepat tidak ada untuk mengaktivasi IRM, energi bisa terus terbentuk hinag titik di mana energi ini menjadi gaya pegas yang menahan washer tetap tertutup, dan pola kerja tetap ini terjadi sama spontannya seperti pada flycatcher lorenz.
Yang terakhir kita harus catat bahwa setiap pola kerja tetap memiliki sistem hidroliknya sendiri dengan sebuah wadah yang tetap dan mekanisme pelpasan yang tetap. Lorenz juga mencatat bahwa ukuran wadah untuk bberapa perilaku bisa jadi lebih kecil daripada untuk perilaku-perilaku lain sehignga mereka akan “terisi” lebih cdepat dan mungkin akan menjadir eposn yang mungkin. Dmungkinkan untuk brasumsi bahwa tingkat aliran energi ke wadwah bisaberbeda-beda untuk motif-motif yang berbeda sehingga menimbulkan perbedaan probabilitas perilaku. Respon yang sangat mungkin seperti berbunyi bisa dianalisa sebagai akibat dari wadah kecil yang terisi dengan cepat atau tingkat aliran energi yang tinggi.

Model Hirarkis Tinbergen. Model tinbergen lebih rinci daripada Lorenz dan mengusulkan serangkaian center yang tersambng satu sama lain. Center tertinggi mengontrol enter di bawahnya, center berikutnya mengontrol center di bawahnya dan terus menurun demikian hingga center-center terendah, yang mengontrol gerakan-geakan yang terlibat dalam pola-pola tindakan tetap. Sebuah model stepwise disebut sebuah hirarki karena setiap level mengontrol level di bawahnya tapi pada gilirannya dikontrol oleh center di atasnya. Gambar 2.4 bisa membantu menjelaskan model ini.
Tinbergen mengusulkan adanya hirarki terpisah untuks etiap kelas perilaku isntingtif umum. Sehingga ada hirarki-hrarki terpisah untuk perilaku reproduktif, memberi makan, meawat tubuh dan sterusn Sehingga ada hirarki-hirarki terpisah untuk perilaku reproduktif, memberi makan, meawat tubuh dan seterusnya.
Pusat yang lebih tinggi dalam hirarki mengontrol aktivasi kelas perilaku umum (misalnya reproduksi). Pusat-puat terpisah pada level bawah sberikutnya akan mengontrol tipe-tipe perilaku yang lebih spesifik yang berkaitan dengan reporduksi (mengusir penyusup, bertengkar, membangun sarang, mengerami telur) satu sama lain mengontrol hanya satu tipe aktivitas.
Bahkan center-center yang lebih bawah mengontrol pelepasan pola-pola tindakan tetap. Sheignga, pad alevel ini, center-center mengontrol tipe-tipe perilaku spesifik (pola-pola agresif)) yang akan diaktivasi oleh center ang lebih tinggi ayng erlibat dengan menjauhkan pengganggu.
Energi di center atas ditahan atua dihambat agar tidak mengaktivasi center-center yang lebih bawah oleh sebuah IRM. Dalam kasus isnting reproduktif pada ikan, stimlus utama yang melepaskan hambatan mungkin berupa temperatur air atau lama siang. Energi kemudian mengalir ke level berikutnya yang kembali dihambat. Di sini adanya pejantan lain akan berfungsi sebagai pelepas mekanisme bawaan untuk perilaku agresif, memungkinkan energi mengalir ke bawah ke level berikutnya di mana beragam tipe periakuagresif diperiksa oleh IRM.
Perilaku-perilakus pesifi penyusup bisaberfunsi ebagia pelepas FAB agresi tertentu. Jika pejantan pngganggu menyerang, pemilih wilayah akan menerang balik; jika penyusup sekarang terbang, pemilik wilayah akan berhenti dan stetrusnya. Jika penyusup wilayah adalah betina, seri center berbeda akand iaktivasi. Ketika IRM mereka dipicu, energi mengalir ke FAP khusus yang berkaitan dengan perkawinan.
Setiap center dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dis amping center dia tasnya dan stimuli kunci, yang melepaskan energi ke level bawah berikutnya. Salah satu faktornya adalah perubahan-perubahan hormonal yang akan membuat center lebih atau kurang sensitif terhadap stimuli utama. Misalnya perilaku seksual mungkin tidak terjadi pada pejantan, meski stimulu skunci yang tepat ada, jika androgennya tidak ada.
Faktor kedua yang mempengaruhi sensitivitas center-center adalah informasis ensorisinternal. Pada dsarnya ini merupakan feedback dari tubuh yang menunjukkan kondisi organisme. Misalnya, sebuah tkus yang tergairahkan lebih cenderung menyerang atau lari (berganung pada kondisinya) daripada tikus yang rileks. Feedback yang menunjukkan kegairahan berfungsi mensenitisasi pusat-pusat yang terlibat dengan pertahanan dan mungkin menghambat pusat-pusatlain seperti membrimakan atau minum.
Ketiga, akiitas sistem saraf mempengaruhi pusat-pusat model Tinbergen. Sehingga aktivitas vakum, bisa dijelaskan sbagia aktivasi spontan dari center-center yang mengontrol pola-pola perilaku, meski stimulus kunci tidak ada.
Setiap center pada level tertentu dihubungkan dengan center-center lain pad level yang sama. Koneksi-koneksi tersebut berfungsi untuk menghambat cenetr-center lain ketika satu center diatkviasi. Meski demikian sirkuit-sirkuit terebut memungkinkan tejraidnya perilaku penggeseran ketika dua center scara simultan diaktivasi dan saling menghambat. Energi dari impuls yang dihambat menyebar ke pusat yang tidak berhubungan dan mengaktivasi pola kerja tetapnya. Contohnya terlihat pada angsa jantan di sisi-sisi sebuah batas umum di antara wilayah-wilayah kekuasaan.
dalam model Tinbergen, perilaku apetitif terjadi ketika sebuah center diaktivasi tapi stimulus kunciyang benar tidak muncul memicu IRM. Ketika ini terjadi, organisme mulai mencari aktivitas tanpa henti di lingkungannya. Pengalaman-pengalaman di masa lalu, pembelajaran, dan ingatan memandu perilaku fleksibel, adaptif dan apetitif ini. Ketika stimulus yang benar ditemukan, halangan ini dihilangkan dan pusat bawah selanjutnya akan diaktivasi. Jika stimulus yang tepat muncul untuk center bawah ini tidak ada, perilaku apetif dimulai lagi. Kadang-kadang stimulusyang benar ditemui dan perilaku konsumatoris mengurangi motivasi.
Model Lorensz dan Tinbergen merupakan kerangka-kerangka yang berguna untuk membantu kita memikirkan tentang perilaku instingtif. Kedua ilmuwan ini mendasarkan model-model mereka terutama pada sejumlah riset, dan keduanya menyatakan istilah-istilah yang mereka pakai tersebut bisa diuji. Model-model teoritis Lorenz dan Tinbergen menstimulasi banyak riset, beberapa di antaranya berfokus pada analisa bentuk-bentuk perilaku yanglebih kompleks sebagai kombinasid ari kompnn-kompnen yang lebih sederhana. Dalam bagian berikut kami akan menguji beberapa hasil studi.

Gerakan-gerakan sengaja dan pelepas sosial
Lorenz (1971b) menyebutkan sebelum pola tindakan tetap terjadi, seseorang bisa mngamati gerakan-gerakan sejganaj. Gerakan-gerakan ini intensitasnya rendah, meruapkan respon-respon tak sempurna yang mengindikasikan bahwa enrgi mulai berkumpul dalam sistem perilakuinstingtif. Gerakan-gerakan sengaja ini bisa juga menjadi pelepas pada sejarah evolusionr spsies. Pada awalnya gerakan-gerakan sengaja ini nonkomunikatif, tapi melalui sebuah proses yang disbut ritualisasi mereka mulai menjalankan fungsi komunikatifnya. Misalnya, banyak gestur ancaman nampak berkembang dari respon-respon serangan dan berfngsi mengindikasikan kesiapan motivasional organisme untuk perilaku menyrang (Mortenson 1975). Gerakan-gerakan sengaja yang menjadi pelepas sosial biasanya merupakan bentuk-bentuk yang memburuk dari respon awal. Gerakan ini selanjutnya berfungsi sebagai stimulus utamauntuk pelepasan pola-pola tindakan tetap dalam konspesifik (anggot speies yang sama) menuju arah di mana mereka dibimbing.
Apakah manusia membuat gerakan sengaja yang sama yang berfungsi sebagai sinyal-sinyal sosial? Lcokard, Allen Schielle dan Wiemer (1978) percaya bahwa mereka melakukannya,. Dalam eksperimen awal par penelti tersebut mencatat jarak postural subyek yang terlibat dalam percakapan dengan orang lain.
Eksperimen kedua menunjukkan bahwa frekuensi jarak-jarak bobot yang tidak sama meningkat sebelum keberangkatan, seperti pergeseran berat secar aumum. Selain itu pergeseran berat yang meningkatkan jarak di antara indiidu juga terjadi sebelum kedatangan. Bergeseran berat merupakan gerakan sengaja yang berfungsi sebagai sinyal individu akan prgi.
Para peneliti tersebut menghasilkan bukti tambahan untuk fungsi isinyal pergeseran bobto dari fakta bwah pergeseran bobto diperburuk pada situasi-situasi di mana orang-orang bearngkat sendiri, dibandingkan dnegna situasi-situasi di mana dua orang berangkat bersama-sama. Memburuknya pergesran bobot ini diprkirakan jika berfungsi sebagai sinyal keberangkatan, karena orang-orang yang berangkat bersamaan memiliki sedikit kebuuhan untk memberi sinyal keberangkatan mereka berikutnya satu sama lain.
Eberap abuku populer telah ditulis tentang bahas atubuh dalam beberapa tahun terakhir. Karya para etiolog tersebut menyatakan bahwa bahasa tubuh memiliki suatu validitas karena perubahan postur, posisi atau berat badan bisaberfungsi sebagai gerakan-gerakan sengaja yang menandai perilaku individu di masa mendatang.
Lorenz (1971b) menyatakan bahwa hubungan antara paraanggota spesies cenderung instingtif, dengan pembelajaran berperan kecil. Meski demikia, beberpaa perilakus eperti pengakuan idnviidu di dalam kelompok-kelompok tertutup dan tatanan dominasi nampak dipeljaari. Lorenz selanjutnya menyatakan bahwa pembelajaran terutama erguna dalam hubungan dengan lingkungan eksternal dan perbedaan-perbedaan ini juga dilihat dalam perilaku manusia. Komunikasi nonverbal bisa menyederhankan gerakan-gerakan sengaja manusia yang diritualkan menjadi social releaser.

Perilaku konflik
Ada pertanyaan menarik jika kita mempertimbangkan kemungkinan bahwa dua atau lebih stimuli tanda bisa muncul secara bersamaan. Pola tndakant etap mana yang akan terjadi? Situasi-situasi tersebut melibatkan sebuah konflik motivasional.
Perilaku konflik dibagi menjadi empat kategori: perilaku ambivalen suksesif, perilaku ambivalen simultan, perilaku yang diarahkan ulang,. Dan pergeseran (Hess, 1962).
Perilaku ambivalen suksesif melibatkan perubahan respnm-respon tak sempurna yang merepresentasikan dua kondisi motivasional,. Misalnya, angsa jantan bisa mengubah respon antara menyerang dan lari ketika bertemu pejantan pengganggu di batas wilayahnya.
Perilaku ambivalen smimultan terjadi pada situasi-situasi konflik di mana kondisi-kondisi motivasional bisa dinyatakan dalam perilaku pada saat yang sama. Misalnya, leyhausen (yang disebutkan dalam Burghard 1973) berpendapat bahwa kcuing yang menelungkup mundurmerupakan akibat dari ekspresi simultan motif-motif untuk m enyernag dan untuk lari.
Perilaku yang diarahkan ulang mirip dengan konsep Freudan pergeseran (burghad 1973). Dalam perilaku yang diarahkan lagi repsn-respon yang tepat terjadi, tapi bukan pada obyek yang tepat, krena motif yang bertneangan (misalnya ketakutan). Perilaku yang diarahkan lagi ini seringkali difokuskan pada organisme yang berdekatan atau obyek tak hidu. Anak yang direprimasi oleh ibunya dan dikembalikan pada kucing mungkin diangap menunjukkan perilaku yang diarahkan ulang.
Pergeseran terjadi ketika dua motif yang sama kuat bertentangan dan saling menghambat. Energi-energi yang berhubungan dnegna dua moif ini terus berkumpul tapi tidak bisa diekspresikan melalui outlet-outlet perilaku normal mereka. Perilaku pergeseran merupakan respon yang berbeda dari moif-motif yang bertentangan. Aktivitas pergeseran merupakan pola-pola tindakan tetap (Tinbergen, 1951). Misalnya, motif-motif serang dan lari salng menyeimbangkan pada angsa janta bisa menyebabkan pergeeran perilaku memabngun sarang. Pola tindakan tetap biasanya dilepaskan oleh kondisi-kondisi stimulus yang berbeda daripada konflik antara terbang dan serang. Menurut Tinbergen, energi yang berakumulasi dalam perilaku instingtif yang dihambat bisa menyebar ke pusat insting lain dan menemukan otletnya melalui pola-pola tindakan tetap pusat. Tinbergen juga mencatat bahwa perilaku pergesran bisa bernilai komunikatif, seperti gerakan-gerakan sengaja. Sehingga membangun sarang menjadi gestur ancaman ritual pada angsa jantan.

Rantai-rantai reaksi
Kita sekarang kembali dari analisis respon yang dilepaskan oleh pola-pola stimuli ke pengujian rangkaian-rangkaian perilaku. Kami akan menemukan bahwa pola-pola perilaku kompleks bisa dibangun dari timli kunci sederhana, hubungan pola-tindakan tetap.
Sebagian besar perilaku lebih kompleks daripada pola tindakan tetap tunggal ang dilepaskan oleh stimulus kunci tunggal. Perilaku sering melibatkan rangkaian respon di mana setiap respon dilepaskan oleh stimulus yang tepat. Situasi ini dikenal sebagai rantai reaksi. Rantai reaksi seringkali terdiri atas pola kerja tetap dan stimuli yang bergantian dalam rangkaian tertentu hingga perilaku sampai pada akhir, septi dalam kasus perilaku kawin stickleback pada gambar 2.5. pelepasan pola tindakan tetap seringkali menyebabkan stimulus kunci berikutnya muncul; sehingga bagian rangkaian berikutnya dilepaskan dan seterusnya. Dalam gambar 2.5, penampilan betina melepaskan tarian zigzag pada jantan yang menjadi social reelaser untuk perilaku bercumbu pada betina. Perilaku bercumbu melepaskan perilaku pada jantan, dan rantai relesear dan pola tindakan tetap terus berlanjut hingga pembuahan telur terjadi. Lorenz (1970) menyebutkan bawah kadang-akdang ad kesenjangan pada antai perilaku ini yang bisa diisi oleh perilaku-perilaku yang dipeljajri sepertiimprinting (lihat bagian berikutnya). Situasi-situasi ini menyebabkans erngkaian perilaku, kadang dipelajari dan kadang lagi bawaan. Rangkaian-rangkaian perilaku naluriah dan yang dipelajri ini disebut itnerkalkasi pengkondisian insting oleh Lorenz (1970).

Imprinting
Satu area di mana isnting dan pembelajaran dibuat rancu adalah pad aproses yang dikenal sebagai imprinting, pertama kali ditampilkan oleh Lorenz, meski prses ini diakui dan digambarkan oleh Spaulding pada 1873 dan seperti dicatat oleh Burghardt (1973) juga dijelaskan oleh More pada 1516. bagaimanapun, pemahaman kita tentang variabel-vairabel yang terlibat dalam imprinting saat ini berawal dari konsep Lorenz.
Imprinting umumnya dianggap sebagai proses sosialisasi di mana organisme muda membentuk kedekatan dengan induknya (Mortenson 1975). Proses imrpinting telah dipelajari paling ekstensif pada burung (Sluckin, 1973), meski imprinting terjadi pada spesies lain termasuk mamalia (Klopfer, 1971).
Proses imprinting itu sendiri meliputi komponen instingtif dan dipelajari. Misalnya ayam yang baru menetas akan mencoba mengikuti obyek bergerak pertama yang dia lihat. Biasanya ini adalah induk ayam tapi juga mengikuti manusia, mobil mainan atau bola karet merah yang bergerak. Anak ayam ini mengikuti dan membentuk kedekatan dengan obyek yang terpapar padanya. Sehingga obyek ekdeaktan dipelajari; meski dmikian proses menjadi dekat nampak bersifat bawaan.
Lorenz menjelaskan bahwa dia percaya ada beberapa karakterisitk utama imprinting. Pertama, dia mencatat bahwa prose kedekatan hanya terjadi dalam periode waktu yang sangat terbatas dan kritis dalam kehidupan organisme. Dalam mendukung pernyataannya Ramsay dan Hess (1954) menunjukkan bahwa kekuatan imprinting memuncak antara 13 dan 16 jam setlah menetas untuk bebek mallard. Ada periode sensitif di mana imprinting lebihs ering terjadi daripada sebelumnya atau setelahnya (Mortenson 1975).
Kedua, Lorenz merasa bahwa proses imprinting bersifat permanen dan tidak sbia balik,s etelah dibentuk tidak bisa hilang. Secara khusus Lorenz menyatakan bahwa kedekatan awal yang dibentuk oleh imprinting menyebabkan identifikasi intraspeifik dan prefernesi seksual dewasa berasal dari kedekatan ini.
Karakteristik ketiga impritning yang dicatat oleh Lorenz adalah kemandiannya dari reward. Proses imrpintign terjadi secara otomatis, bukannya secara trial dan eror dan menyatakan pross pembelajaran gradual untuk diikuti. Temuan ini didukung secara umum dan beberapa studi menunjukkan bahw sebuah respon tidak slealu menyebabkan terjadinya imprinting. Yang menarik di sini adalah temuan bawh meski penguatan tidak perlu bagi terjadinya proses imprinting, stimulus yang ditiru bisa digunakan untuk memperkuat perikau slains eperti melompat agar sejenak nampak seperti obyek yang ditiru.
Tidak semua obyek stimulus sama efektifnya dalam membentuk imprintng. Misalnya Figler, Mills dan Petri. Dalam sebuah studi tentang generalisasi stimulus pada imprinting, menyimpulkan bahwa warna men jadi aspek yang lebih dominan dari obyek imrinting dariapd abentuk. Para peneliti lain menunjukkan bhahwa panggilan mtaternal khas dari sebuah spesif lebih dipilih dibandingkan spesies lain sementara stimuli visual tertentu dari spesies tidak dipilih
Beberapa karya telah dilkaukan tentang efek imrpiting terhadap perilaku sosial mereka. Hoffman dan Boskoff (1972) mendapatkan hasil-hasil yang menyatakan bahwa imprinting bisa terlibat lapada perilaku mematuk agresif pada anak itik. Studis-tudi lain oleh Petri dan Mills (1977) dan Rajecki, Ivins, dan Rein (1976) menunjukkan bahwa mematuk agresif pada anak ayam muda mungkin dsiebabkan oleh isolasi bukan imprinting semata.

Kritik terhadap pendekatan etologi
Pandangan etologi motivasi dikritik dari dalam etologi dan dari luar. Berikut ini kami catat bebeapa kritik utaam.
Seperti halnya dengan teori insting awal, pebedaan antara perilaku naluriah dan perilaku yang dipelajari masih belum jelas. Ini semakin bergantung pada ikondisi lingkungan dan perkembangan. Pada dasarnya sebuah erilaku dianggap baaan jika tidak ad pembelajaran yang ditunjukkan dalam perkembangannya. Hinde berpendapat bahwa semua perilakubergantugn pad amekanisme bawaan dan lingkungan. Untuk mengatakan bahwa sebuah operilaku itu bwaan adalah terlalu menyderhanakan situasisebagai contoh interaksi bawaan dan yang didapatkan, Hailman (1969) menunjukkan bahwa pe respon pmematuk bawaan dari burung camar yang tertawa berubah secara developmental, menjasi emakin akurat dan efisienda dn ielaspkan oleh obyek-obyek yang lebih spesifik seperti aham dewasa. Haliman menyatakan bahwa mematuk nampak distereotipkan dan bersifat bawan karena memodifikasi perilaku dengan cara yang sama.
Kritik utama pandangan etologi melibatkan konsep energi. Para ahli etologi klasik berpendapat bahwa aktiitas vakum dan pergeseran mengndikasikan adanya sebuah energi yang terbangun di dalam orgnaisme. Para penentang konsep nenergi berpendapat bahwa aktivtas pergesran dan vakum bisa dijelaskan dengan mengasumsikan sebuah hirarki respo, dengan beberapa respon lebih mungkin. Sehingga jika sebuah perilaku bawaan dihambat agar tidak terjadi, respon paling mungkin berikutnya yang stimulinya muncul akan terjadi. Perilaku pergesran t mungkint idak terjadi karena energi ”meluas” tapi karena terjadinya respon yang paling mungkin berikutnya.
Model konseptual yang ditampikan oleh Lorenz dan Tinbergen juga dikrik karena tidak berhubungan dengan apa yang diketahui tentang fungsi sistem saraf. Argumen ini tidak seluruhnya benar, karena baik Lorenz dan Tinbergen tidak menyampaikan modelnya sebagai representasi akurat saktivitas saraf tapi sebagai kerangka, karena baik Lorenz dan Tibergen menyamapikan model-moel mereka sebagai represntasi akurat aktivitas saraf tapi sebagai kerangka untuk memandu pemikiran kita tentang perilaku termotivasi.

Petunjuk-petunjuk baru dalam etologi
Beberapa petunjuk yang lebihbaru dalam etologi mengindikasikan sensitivitas erhadapkriti yang ditawarkan dan luasnya lingkup perilaku yang dipelajari. Meski kita tidak bisa berharap berlaku adil terhadap banyak riset di sini, kami akan menyebutkan beberapa di antaranya. Dua area dasar dari riset ini berkaitan dengan 1) modifikasi terhadap model-model dasar perilaku isntingtual dan 2) etologi manusia;

Modifikasi-modifikasi terhadap ide-ide dasar ethologi
Pertama, riset mulai mereformasi gagasan kita tentang stimuli yang dilibatkan dalam melepaskan perilaku instingtif. Konishi (1971) memberikan analisis neurobilogis yangmenarik dari stimuli tanda dalam hal penyaringan stimyli – fakta bahwa sistem senosris kita disesuaikan untuk merespon jenis-jensi stimuli tertentu dan bukan jenis stimuli lainnya. Misalnya mata katak memiliki reseptor yang merespont erhadap benda kecil, bulat dan bergerak (misalnya serangga) dan melepaskan respon lidah yang menanggap calon mangsa (Maturana, Lettvin * Pitt 1960). Konishi mencatat bahwa konsep relesar cocok dengan data tentang ifltering pada level reseptor,t api dia berpendapat bahwa filtering stimulus juga terjadi dalam derah-daerah otak yang lebih sentral.
Adp model Lorensz dan Tinbergen, fungsi pemrosesan sitimylus, pelepasan dan motivasi dikontrol oleh sistem-sistem terpisah. Konishi percaya bahwa setidaknya ada beberapa tipe perilaku, sebuah jarignan pemrosesan sentral bisa menjalankan ketiga fungsi ini. Dia juga percaya bahwa sebuah pendkeatan sistem kontrol yang mleibatkan feedback dan tindakan korektif berguna untuk menganalisa perilaku isntingtif. Selain itu dia menyatakan bahwa beberapa perilaku lebih terbuka (terhadap modifikasi melalui pembelajaran) daripada yang lain;s ehingga sebuah sistem periakuakan membandingkan perilaku yang terjadi dengan suatu kriteria internal (baik bawaan atau dipelajari)d an memodifiaksi respon yang bergantung pada hubungan dengankriteria. Contoh dari proses feedback ini adalah pembelajaran lagu di banyak spesies burung. Burung pipit penyanyi mengembangkan lagu-lagu abnormal jika tulissejak, lahir tapi mereak mengembangkan lagu pipit yang normla jika dibesarkan dengan kenari! Sehingga lagu dari pipit penyanyi nampak bersifat bawaan tapi memerlukana feedback auditoris agar berkembang dengan baik.
Konshi bukan satu-satunya yang mengambil pendekatan sistem. Mayr (1974) memberikan analisis perilaku berdsarkan apa yangd ia ebut sebagai progarm tertutup dan terbuka. Menurut mayr programa adalah seri perilaku yang ditentukan ecra genetik. Perbedaan antara program terbuka dan tertutup adalah bahwa sebuah program terbuka bisa dimodifikasi oleh pengalamna, sementara program tertutup tidak (insting). Baik program terbuka dan tertutup ditentukans ecara enetik, tapihanya program terbuka yang bisa dimodifikasi melalui pegnalaman. Program terbuka tidak akan dianggap sebagai ”papan tulis kosong”, meskid emikian karena bebeapa tipe informasi bisa didapatkan dengan lebih mudah. Ksnep program terbka mirip dengan konsep kesiagaan yang diusulkan oleh Seligman (1970) dan Seligman dan Hager (1972). Perilaku yang disiapkan bersifat instingtif dan mudah dipelajari dengan cepat. Organisme yang memiliki gen-gen yang memungkinkannya bertindak dengan cara ini lebih disukai untuk bertahan. Perilaku-perilaku yang tidak dipersiapkan sangat sulit, atau mungkin mustahil, dipelajari karena perilaku ini ”dipersiapkan melawan” selama sejarah evolusioner organisme. Antara dau eksrim inilah perilaku tak dipersiapkan Seligman yang emlibatkan asosisi di antara eprsitiwa-peirsitwa lingkungan dan respon yang tepat; asosiasi yang terbentuk cenderugn arbitrer dan pembelajaran tidak akans ecepat respon-repon yang dipersiapkan. Se;ligman dan koleganya menyebutkan bahwa apa yang bisa dipelajari scara bioligis itu terbatas.
Mayr menyarankan bahwa orgnaisme dengan rentang usi asingkat harus cenderugn memilki program tertutup yang lebih banyak, sementara orgnaisme yang berumur lebih panjang cenderung memiliki progrma-program terbuka yang lebih banyak. Selain itu dia percaya dimungkinkan untuk mengkorelasikan perilaku terbuka atau tertutup dengan fungsi mereka bagi organisme. Dia mencatat bahwa perilaku yang berfungsi komunikatif, baik berad di dalam atau di antara spesies cenderugn merupakan ptrogram tertutup 9seperti disarankan oleh sLorean) sementara perilaku non komunikatif lebih cenderung sebagi pepgram terbuka. Sehingga akan adaptif bagi perilaku-perilaku seperti gesture ancaman dan sinyal-sinyalk ketundukan dihasilkan oleh program tertutup agar peluang ”menyalahartikan” sinyal bisa dihindari dis isi lain, akan adaptif bagi perilaku yang melibatkan itneraksi dengan lingkungan. Agar dikontrol oleh ptogram terbuka sehingga perilaku bisa beradaptasi dengan kondisi-kondis yang berubah.
Baerends (1976) memberikan versi modifiaksi kompleks dari model hirarki Tinbergen yang menekankan feedback negatif sebagai bagian dari sebuah sistem untuk mengontrol perilaku tertentu. Banyak riset yang disebutkan oleh Baerens memerlukan pnambahan sistem feedback yang memperbaiki perilaku atau menghambatnya jika kondisi berubah. Ini merupakand asar dari konsep sistem feback negatif. Demikian juga Hailman (1969) menunjukkan bagaimana kemajuan akurasi mematuk burung capar ketika masih anak merupakan hasil adri feedback negatif visual yang diberikan oleh patukan yang gagal sehingga ide awal bahwa sebuah perilaku setelah dirilis tidak dipengaruhi oleh kondisi eksternal nampak tidak benar.
Analisis Hailman menyatakan ineraksi erat dari pola bawaan dan yangd ipelajari dari perilaku. Misalnya dia percaya anak camar representasi bawaan yang sangat kasar dari induknya yang dipertajam melalui pengalaman. Anak camar yang baru menetas sensitif terhadap perbedaan-perbedaan kecil adap detail paruh dan kepala dan bisa dengan mudah memndiskriminasikan perbedaan-perbedaan antara model-model baru dan model-model di mana dia tumbuh. Dkskrimiansi ini berdasarkan pada tipe pembelajaran yang diekanl sebgai pengkodnisan klasik.
Meski model perilaku bawaan seperti Baerend terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini, perlu dicatat bahwa paraahli teori seperti Baerends, Mayer dan Hailman menekankan itnerkasi antara perilaku naluriah dan perilaku yangdipelajari dan juga modifikasi perilaku isntingtif melalui pengalamannya.

Etologi manusia
Mungkin jumlahr siet terbesar tentang pola-pola perilaku isntingtif dilakukan oleh Eibi-Eibesfeld, yang dirignaks dalam bukunya Cinda dan Benci; Riwayat alami Pola-pola perilaku (1972) yang menyebutkanbanyak pola perilaku manusia yang dia yakini bersifat bawaan. Kesimpulannya didasarkan pada studi tentang kutlur primitif an maju selain perilaku anak yang buta, tuli dan cacat mental.

Ekspresi fasial. Eibi-Eibesfeldt menyebutkan banyak eksprei fasial bersifat universal dan tidak dipelajari. Tersenyum, tertawa, mengernyitkan dahi atau cemberut seringkali diamati pada kondisi-kondisi tertentu dis emua kultur. Selain itu anak yang terlahir buta, tuli atau cacat mental juga tersenyum atau tertawa saat bahagia dan cemberut atau menangis saat tidak bahagia. Gambar 2.6 menunjukkanbeberapa perilaku pada anak tuli-buta.
Perilaku menarik lain yang dianggap bawaan oleh Eibi-Eibesfeld adalah mengangat alis, yaitu mengangkat alismata saat menyambu seseorang. Inrespon ini ditunjkkan dari tiga kultur yang berbeda dalam gambar 2.7. perilaku ini merupkans inyal sambutan pengenalan dan mungkin gestur yang tidak mengancam.
Josep Hager dan Paul Ekman (1979) menguji kemampuan orang-orang untuk mengenali sinyal-sinyal fasial tertentu pada beragam jarak. Mereka memilih enam ekspresi emosional (bahagia, sedih, takut, marah, terkejut dan berbohong) yang terbutki berhubungan dengan gerakan-gerakan fasial tertentu. Hager dan Ekman mengajari duaorang, seorang pria dan wanita, bagaimana membuaat gerakan fasial tersebut secara konsisten. Foto-foto diambilda risetiap individu yang membuat gerakan ffasial tertentu. Lalu subyek lain dalam eksperimen diminta mengamati foto satu ari dua idnviidu atau idnividu aktual dari jarak 30 dan 45 m. Para pengamat punya 3 detik untuk melihat ekspresi fasial sebelum memilih ekspresi emosioal tertentu yang mereka yakini ingin disamapikan.
Hasil-hasil emnunjukkan abwah setiap pengamat bekerja lebihbaik, bahkan pada jarka terjauh (45 m). Dari enam ekspresiini, baggia dan terkejut merupakan dua hal yang mudah dikenali, dan beberap ahasil pendauhluan yang dilaporkan oleh para peneliti ini menyatakanbahwa dup ekspresiini bisa dikenali secara akurtai pada jarak 100 m. Hasil-hasil juga menunjukkan bahwa secara umum penilaian pengamat lebih akurat untuk pria daripada untuk ekpsresi wanita, baik nyaa tau foto.
Hager dan Ekman percaya hasil-hasil ini menunjukkan abwha wajah merpakan penyampai eosi jarak jauh. Kemampuan kita untuk menilai epsresi seseorang dari sebuah arjak cukup bagus. Seperti dicatat oleh Hager dan Ekman, batas atas untuk jarak yang bisa dikeanli adalah 95 m. Jiak beberapa ekspresi fasial bisa dipahami pada jarak 100m, ekspresi vafasial bisa mberfungsi sebagai sinyal kondisi emosi di luar batas-batas serangan fisik primitif. Pengenalan jarak jauh ini memiliki nilai survival yangbesar

Rasa malu. Beberapa perilaku yang sering berasal dari pengalaman masa kanak-kanak memiliki dasarbiologis. Kagen, Reznick, dan Snidman (1988) memberikan bukti bahwa rasa malu ekstrim memiliki dasar gentik yangdinyatakand alam perbedaan-perbedaan kemampuan membangkitkannya. Anak-anak yangemwarisi ambang rendahkemampuan membangkitkan lebih cenderung terhamatb dalam situasi-situasi sosial. Lebih lanjut, perbedaan-perbedaan diantara anak-anak yang terhambat tersebut dan anakk-anak yang ineraktif secar sosial kosnisten pada usia 2 dan 7 tahun.
Kagend an rekan menyarankan abwha kecenderungan turunan ke arah rasa malu ini memerlukan sutau bentuk stres lingkungan kronis yang menyeabbkannya berkembang. Para peneliti menyatakan bahwa dilahirkan lebih akhir dan dipaparkan pada tekanan sudara tua yang mungkin mengambil mainan, bertengkar atua berteriak bisa menjadi tekanan untuk memicu penghambatan perilaku. Sebenarnya dua pertiga dari aak yang terhambat dalam sampel lahir lebih akhir, semtnara dua pertiga anak yang tidak terhambat lahir lebih awal.
Studi Kagen dan rekan penting karena meneybutkan predisposisi genetik untuk bertindak dnegan ara tertentu yang seringkali memerlukan kondisi lingkungan yang tepat untuk ekspresinya. Stephen Suomi (Adler 1989) mengungkapkan serangkaian ineraksi lingkungan-biologis yang sama pada monyet resus. Dia menemukan skeitar 20% dari koloni 200 monyet ini scara genetibreaksi terhadap perpisahand egan perilakud epresif dan level stres tinggi. Mirip dengan riset Kagen, Suomi menemukan stres akibat perpisahan bisa dipengaruhi oleh kondisi lingkungankehaidiran rekan yang bersahabat atau ibu yang penyayang bisa mengurangi stres yang disebabkan oleh perpisahan dari ibu biologis. Interaksi-interaksi lingkungan-genetik dalam perilaku-perilaku lain sudah ditunjukkan pada spesies-spesies lain, jadi tidak mengejutkan bahwa primata, manusia dan resus juga menjadi subyek interaksi ini. Studi lebih lanjut terhadap interaksi-interaksi ini memberikan wawasan yang bergunatetnagn mengapa perilaku-perilaku seperti reaksi stres ataur asa malu terjadi lebih sering pada individu tertentu.

Perilaku bawaan tambahan. Eibl-Eibesfeldt juga menyebutkan beberapa stimuli utama yang melepaskan perilaku instingtif manusia. Misalnya dia menyarankan bawah pipi imut bayi, mata besar, mulut kecil dan kepala besar melepaskan perilaku melucu pada orang dewasa. Para pemanufaktur maiann dan kartunis kadang menggunakan karakteristik terebut untuk mendekatkan kita pada produk mereka (lihat gamabr 2.8).
Eibl-Eibesfedlt juga menatakan bahwa berciuman merupakan bentuk ritualisasi perilaku memberi makan yang berasal dari memberi makan bayi. Karena sebagian besar riwayat evolusoner kita makanan bayi bukan berasal dari kemasan wadah botol kecil, menjadiumum bagi orang tua untuk mengunyah makaan lalu menekankannya ke mulut bayhi dengan lidah. Di spanajng lini yangsama Eibl-Eibesfeldt mencatat bahwa para kekasih sreingkali ”berbicara seperti bayi” satu sama lain. Dia percaya ini dilakukan untuk membangkitkan perilaku ceriaindividu, seperti dengan seorang anak dan emmperkuat ikatan diantar mereka.
Eibl-Eibesfeldt (1979) mencatat bahwa manusia menggunakan banyak pola perilaku dasar yang sama seperti yang digunakan oleh simpase ketika mengancam serngan atau emmbuat gerakan berkelahi. Misalnya baik simpanse dan manusia menghentakkan kakinya ketika marah, menampar wajah dengan telapak tangan dan mengancam dngan benda-benda seperti tongkat. Ketika terancam, kita juga cenderugn berdiri tegak dan menarik nafas dalam yang juga menignkatkan ukuran penampilan kita. Kita kadang menggunakan pakaian untuk mengintimidasi. Misalnya, seragam militer seringkali memperbesar bahu pemakianya, membuat merekanampak lebih besar. Contoh yangbagus tentang bagaimana perubahan bahu bisa megnubah perspesi kita terhadap seseorang erjadi ketika seorang pria memakai bantalan bahu kostum football. Dengan bantalanini pria anmpak lebih tegap.
Melirik bukan hanya kasar tapi juga merupakan gesture ancaman bawaan. Pada primata melirik seringkali dipakai untuk mngancam. Elslworth, Carl-smithd an Henson (1972) melaukan serngkaian eksperimen lapangan yang melibatkan idnvidiu pada motor scooter yang melirik pengemudi mobil yang berhenti di lampu merah. Mereka menemukan bawah pengemdui yang dilirik tersebut melaju lebih cepat saat lampu berubah hijau. Semenara eksperimeninit diak menunjukkan abwha meilrik merupakan gestur ancaman abwaan, eksperimenini cocok dngan obsrevasi terhadp primata lainnya. Secara kebetulan, juga dimungkikan kita mengangap kmelirik sebagai suatu tindakan aksar karean kita mengaui utjuannya – gerakan sengaja yang mengindikasikans erangan potensial.
Kotank mata adalah topik komplesk, melirik adalah salah satu dari bbrapa tipe kontak mata. Speerti diringkas oleh Kleinke (1986), kotnak mata berfungsi sebagai ancaman dan juga memberi informasi, mengidniaksikan rasa suka atau tertarik, mengidikasikan kopetensi, dan mengkomunikasikan perasaan. Kita harus hati-hati untuk tidak terlalu menggeneralisir danberasumsi bahwa semua kotank mata mengindikasikan ancaman.
Metode-metode etologi bisa juga diterapkan dalam studi autisme masa kanak-kanak awal oleh Tinbergen dan Tinbergen (1972)., mereka mencatat bahwa beberapa karakteirstik biasanya berkaian dengan autisme (misalnya aversi gaze) ditemukan pada anak normal dalam kondisi tertentu. Kondisi-kondisi ini melibatkan interaksi sosial anak normal dnegan orang asing. Tin bergens berpenapat bahwa pertemuan antara ank dan orang asing menciptakan konflik motivasional antara mendekati dan menghidnari orang asing ini. Pad anak autis, karena kondisi lingkugan masa lalu dan mungkin rpedisposisi genetik ke arah rasa malu, sitmuli utama orang asing menyebabkan perilaku meanrik diri, bahkan ketika stimuli normal dan menyebabkan pendekatan. Dalam hal ini bahkan oragn tua anak breaksi terhadap orang asing. sehignga anak autistik dianalisa sebagai analk yang lapar akan itenraksi sosial tapi terhambat oleh kecenderungan menarik diri yang kuaty yang disebabkan oleh semua pelepas sosialnya khussunya kotnak mata. Semntara analisis Tinbergens masih sangat tentatif ini merupakan teori provokatif yang harus diteliti seccara serius
Metode etologi jgau suskes digunakan untuk megnukur gangguan-gangguan depresif. Fossi, Faravelli dan Paoli (1984) mempelajari peirkau 29 pasien rawat inap dyang terdiagnosa mengalami gangguan depresif utama. Par apasien depresif ini memiliki beerapa perilaku yang berbeda sebelum dan sesudah pengobatan. Kotk mata, eksplorasi lingkungan, dan perilakus osial semuanya redah sebelum treatment daripada setelahnya,s emtnara menaig, eprilaku non sosial dan perilaku patolgois lebih tinggi sebelum pengobatan daripada steleahnya. Data mereka menunjukkan bahwa pola perilaku sepsifikt erhadap depreis tidak ada dan berhubugnane rat dengan perilaku yangdiidentifikasi oleh penilaian klinis. Fossi et al menyatakan bahwa emtode-metode etologi observasi bisa terbukti berguna mengukur perilaku-perilaku maladaptif seperti depresi. Observasi-observasi etologis juga memberikan metode altenratif obyektif untuk pengukuran yang berbeda dari wawancara klinis yang bisa terbukti berguna dalam menentukan efek-efek dari beragam treatment.

Ujaran. Para ahli etologi lain menyebutkan kemungkinanakrakter genetik ujaran. Tapi para ahli etologi bukanlah satu-satunya peneliti yang menyebutkan koponen biologis pada bahasa. Misalnya Lenneberg menyebutkan bahwa bahasa mestinya terbatas secar biologis. Marler juga menyebutkan beberapa paralel dia ntar perkembangan pada urung dan perkembangan ujaran pada manusia. Misalnya baik burung dan anak-anak menunjukkan periode kritis di mana kemampuan belajarnya maksimum, dan vokalisasi burung dan manusia dikontrol oleh satu sisi otak dominan. Kedua temuan ini menunjukkan adanya komponen genetik pada nyanyain burung dan ujaran karena periode kritis ditentukan scara gentik dan loaklaissi fungsi vokal di dalam otak juga dalam kontrol geneti. Marler juga mencaat bahwa bahasa terbatas secara biologis; nanak-anak tidak meniru semua bunyi yang mereka dengar – hanya bunyi yang terlibat dalam ujarna. Ini menunjukkanabwha anak-anak secara bawaan mengenali babwa bberapa suara itu spesifik speise dan mereka meniru suar-asuara tersebut.
Baru-baru ini Liberman dan Mattingly (1989) menyarankan bahwa speisalisasi untuk perspesi ujaran berkembang pada mnausia. menruut mereka sebuah modul fonetik berkembagn yang menganalisa informasi auditoris dan mengekstrak informasi yangdiperlukan untuk menentukan segmen-sgmen fonetik 8yang mereka sebut gestur fonetik).
Mattingly (1972) juga percay abahwa petunjuk-petunjuk ujaran terrtentu bersifat bawaan dan menadi stimuli kunci. Dia mencatat suara-suara ujaran sintetik diidentifiaksid engan ebanr meskisuar-asuara itu sendiri tidak alami. Kita menganggap suara-suara ujaran sintetifk menyatkan suatu pengenalan bawaan atas suara-suara itu. Mattingly percaya bahwa sebelum perkembangan bahasa, vokalisasi berfungsi sebagais timuli utama untuk pelepasan perilaku sosial pada manusia, seperti halnya pada kebanyakan binatang. Bahasa memungkinkan kita merepresntasikan dunai di sekitar kita secara semantik tapi sistem pelepas sosial lama tidak hilang. Mattingly berpendapat bahas amemiliki dua tujuan: memberikan represntasi pengalaman kita dan ini merupakan sistem pelepas fonetik. Mungkinsistem pelepas sosial ini memungkinkan kita membaca di antara garis ketika kita mendengar sesoerang berbicara, sehingga kita mendapatkan informasi tentang individu tersebut dari apa yang dia bicarakan.

BAB 3
MEKANISME FISIOLOGIS KEGAIRAHAN

Menjelang akhir setiap semester, terjadi sebuah fenomena menarik. Para mahasiswa jatuh sakit. Pada awalnya saya menyebut fenomena ini berkaitan dengan usaha-usaha oleh mahasiswa tertentu untuk menghindari ikut ujian yang mungkin mendapatkan nilai lebihr endah daripada yang mereka duga. Etelah mngamati fenomena penyakit semester akhir ini dan mengamati fenomena serupa pada diri saya dan kolga saya selama mengalami stres akut, sayamenyimpulkanbahwa ini bukan sebuah upaya untuk menunda dampak stres yang tak terhindarkan. Bagi mahasiswa, stres-stres meningkat menjelang akhir semester ketika ujian dijadwalkan, proyek mendekati rambung, dan laporan-laporan atau makalah harus dikumpulkan. Bagi fakulas, stresstres lebih sering melibatkan tenggat untuk mengajukan artikel untuk publikasi, mempersiapkan proposal-proposal beasiswa atau mempersipakan jadwal-jadwal kuliah baru.
Pengamatan saya sendiri adalah stres-stes ini berakumulasi hingga tubuh kita diserang flu atau penyakit lain.

Pendahuluan
Untungnya saya tidak sendiri dalam berpikir bahwa stres berkaitan dengan penyakit; banyak riset dilakukan yang menyatakan hubungan antara keduanya. Kami akan menguji beberapa riset pada akhir bab ini.
Stres sreing ditempatkan pada ujung ekstrim sebuah kontinum kegairahan. Jika level-level kegairahan terlalu rendah kita tidur – atau mungkin dalam kondisi koma. Level-lvel kegairahan sedang, kita sadar dan waspada, sementara pada ujung kontinum adalah kecemasan dan stres. Dalam bab ini kami menguji teori dan riset yang berusha menjelaskan perilau termotivasi oleh perubahan-perubahan kegairahan. Banyak riset berfokus pada mekanisme-mekanisme kegairahan otak.
Karena suatu alasan, bahasa-bahasa asing dan statis dan struktur-strutkur otak fisiologis memasukkan ketakutan ke dalam hati par asiswa. Yang paling umum dari ketiganya adalah struktur-struktur otak fisiologis dan bahasa-bahasa asing ini menuntut para siswa untuk berfikir (dan menggunakan istilah-istilah baru yang asing) yang berbeda dari pendekatan normal mereka terhadap pembelajaran. Oleh karena itu bahan dalam bab ini dan bab berikutnya ditampilkan senon-teknis mungkin, meski istilah-istilah baru pembelajaran dan kadang-kadang tentang bagaimana perubahan pada aktivitas otak menyebabkan perubahan dalam perilaku akan diperluikan, karena semua hal yang bisa kita lakukan, setiap perilaku dari menyikat gigi hingga memecahkan persamaan-persamaan diferensial, adalah hasil dari aktivitas sistem saraf kita.
Dalam bab ini kami akan menguji die-ide dan riset-riset yang dikedepankan untuk menjelaskan kegairahan atau aktivtasi perilaku. Kami akan mulai dengan menguji gagasan-gagsaan wal bagaimanaotak menyelesaikan aktivitas ini lalu berlanjut ke teori-teori dan riset yang menunjukkan proses-proses otomatis otak (sistem saraf otonom) terlibat secara intom. Kami kemudian akan menguji secara deteil teori aktvitasi Hebb sebagai wakil dari pemikiran tentang kegairahan yang masih baru pada 1950an. Ini mendorong kita ke pengujian mekanisme kegairahan otak secara lebih detail,. Khususnya pada struktur yang disebut sistem aktivasi retikular. Kami akan menguji teori dan riset yang menyebutkan keterlibatan struktur ini dalam kegairahan (dari tidur hingga perhatian aktif) dan kemudian menguji informasi tentang satu aspek kegairahan – tidur.
Keadaan-keadaan kegairan tinggi menyebabkan stres, dan kami akan melihat riset yang mengindikasikan bahwa kegairahan tinggi atau stres mepengaruhi kemampuan kita untuk beradaptasi dengan lingkungan. Secara khusus kami akan menguji sindrom adaptasi umum Selye dan riset terbaru tentang stres dan kerentanan terhadap penyakit.
Kami akan menemukan bahwa konsep gelombang-gelombang emosi itu sendiri dan di luar riset dan yang biasanya sulit memisahkan motivasi, emosi dan kegairahan.

Formulasi-formulas awal kegairahan emosional
Sebelum publikasi artikel William James tentang emosi pada 1884, dirasakan bahwa kegairahan perilaku adalah langakh terakhir dalam pross tiga langkah yang mulai dengan perspesi beberapa stimulus dan diwujudkan dalam perilaku. Gambar 3.1a menggambarkan rangkaian peristiwa-peritiwa yang berasal dari perspsi terhadap perilaku seperti dipahami sebelum 1884.

Teori James-Lange
James pada 1884 dan Lange pada 1885 secara terpisah mengusulkan bahwa perasaan-perasaan emosi tidak muncul segera setelah perspesi-persepsi beberapa peristiwa dalam lingkungan tapi akibat respon-respon tubuh kita terhadap obyek. Pendekatan mereka dikenal sebagai teori emosi James-Lange. Bagi James pengalaman emosi terjadi sebagai berikut: perspesi sebuah stimulus lingkungan menyebabkan perubahan-perubahan pada tubuh yang kemudian diumpankan ke otak, menunjukkan kondisi yang diubah. Perbahan kondisi fisik adalah pengalaman emosi. Dengan kata lain, persepsi kita tentang perubahan-perubahan tubuh menyebabkan pengalaman emosional. Rangkaian peristiwa-peristiwa yang menyebabkan persepsi terhadap perilaku ditunjukkan dalam gambar 3.1b.
Misalnya, jika sebuah mobil menyerempet kita ketika kita jogging di sepanajng sisi jalan, kita bereaksi dengan perubahan-perubahan pada tensi otot dan sekresi glandular, dan kita menjadi marah (mungkin dengan membuat gestur tertentu) – dalam urutan tersebut.
James berpikri bawah tanpa perubahan-perubahan tubuh, emosi tidak akan ada atau akan menjadi dingin atau terintelektualisasi (saya tahu saya semestinya marah, tapi saya tidak melakukannya).
Teori emosi James-lange sangat populer karena sesuai dengan anggapan umum dan secara umum disebut “kebenaran” hingga WB Cannon (1929, 1968) mulai mempertanyakannya secara eksperimental. Berdasarkan risetnya, dia mengkritik teori James-Lange pada lima hal.
Pertama, Cannon berpendapat bahwa perubahan-perubahan tubuh yang diangap memberi feedback bagi otak dan memberikan kualitas emosional bagi pengalaman bisa dihilangkan sepenuhnya tanpa menggangu emosi-emosi sebuah organisme. Dia mendenervasi kucing sehingga tidak ada perubahan-perubahan tbuh yang terjadi. Kucing-kcuing tersebut masih menunjukkan perilaku kemarahan normal dengan adanya seekor anjing yang menggonggong.
Yang kedua, Cannon mencatat perubahan-perubahan tubuh yang terjadi dalam keadaan-keadaan emosional sangat mirip tanap memperhatikan emosi yang ditunjukkan. Misalnya, dia mencatat bahwa dalam kondisi takut dan marah denyut jantung menjadi lebih cepat, gula darah meningkat, pupil mata melebar, dan rambut menjadi berdiri. Sehingga umpan balik dari jenis-jenis perubahan tersebut tidak bisa menentukan kondisi emosional organisme. Dia mencatat bahwa perubahan-perubahan tubuh yang sama tersebut terjadi akibat perubahan-perubahan temperatur (pempaparan terhadap dingin atau panas ekstrim).
Ketiga, Cannon mengklaim bahwa organ-organ intenral (viscera) yang dianggap memberi umpan balik ke otak untuk pengalaman emosi bukanlah struktur-struktur yang sangat sensitif. Jumlah serat saraf sensoris (aferen) yang berasal dari struktur-struktur tersebut (perut, usus, jantung dan sterusnya) seringkali hanya seper sepuluh dari jumlah serat-serat saaraf motor yang sampai ke mereka dari otak (eferen). Cannon mencatat kita biasanya tidak menyadari pergerakan dan perubahan organ-organ internal kita I(misalnya apa yang dilakukan susu kecil anda pada gerakan ini?). Dia mencatat bahwa seseorang bisa memotong, membcorkan atau merusak atau bahan membakarn komponen-komponen sistem pencernaan tanpa ketidaknyamanan pada manusia yang tidak dianastesi – yang menyatakan bahwa organ-organ tersebut tidak berperan penting dalam memberikan umpan balik.
Keempat, Cannon merasa perubahan-perubahan yang terjadi pada organ-organ internal terlalu lamban untuk memberikan pngalaman emosi. Dia mengamati bahwa pengalaman emosi kadang-kadang langsung, tapi pemicu organ-organ itnernal dan umpan balik ke otak yang berkaitan dengan perubahan mereka bisa membutuhkan waktu beberapa detik. Cannon percaya kondisi emosi terjadi sebelum umpan balik dari viscera terjadi.
Kelima, Cannon mencatat bahwa induski buatan dari sebuah kondisi emosional yang dibangkitkan tidak menyebabkan perasaaan emosional. Sehingga injeksi adrenalin (sebuah hormon yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal selaam episode emosional) tidak membuat orang yang disuntik menjadi emosional, meskipun adrenalin mengubah fungsi-fungsi tubuh dengan cara-cara yang berkaitan dengan emosionalitas. Sekitar 70% subyek yang disuntik melaorkan perasaan “seperti jika” mereka menjadi emosional tapi tanpa pengalaman emosional itu sendiri. Pada sekitar 30% dari kasus-kasus yang dipelajari oleh Maranon, emosi-emosi real dihasilkan, tapi hanya ketika individu diinduksi ke sebuah kondisi emosional o dengan berbicara tentang anak mereka yang sakit atau orang tua mereka yang meninggal setelah mereka diinkeksi.
Lima kritk dari teori James-Lange mendorong Cannon mengusulkan sebuh teori emopsi alternatif yang disebut teori emergensi.

Teori Emergensi dari Kegairahan Emosional
Untuk memahami teori Cannon secara penuh, kita harus menguji secar asingkat sistem saraf otonom.

Sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom (ANS) terlibat dalam regulasi proses-proses vegetatif (Carlson 1977); yaitu, ANS mengontrol proses-proses yang tidak kita kontrol secara sengaja, seperti denyut jantung, kontstriksi pembuluh darah atau dilatasi pembuluh darah, sekresi glandular dan seterusnya. ANS terdiri atas dua subsistem, sistem saraf simpatetik dan parasmpatetik, yang cenderung memiliki efek bertentangan terhadap tubuh. Sistem saraf simpatetik (SNS) paling aktif ketika cadangan-cadangan energi tubuh diperluas. Ketika diaktivasi, SNS menyebabkan meningkatnya aliran darah ke otot, sekresi adrenalin (saat ini istilah epineprin lebih sering dipakai) dari kelenjar-kelenjar adrenalin, meningkatnya denyut jantung, dan pelepasan gula darah tambahan oleh liver. SNS secara umummempersiapkan organisme untuk menangani situasi-situasi darurat seperti serangan atau melarikan diri.
Sistem saraf parasimpatetik (PNS) paling aktif ketika tubuh berada dalam proses menyimpan energi untuk dipakai nanti. Ini menruunkan denyut jantung, melebarkan pembuluh darah dan menyebabkan aliran saliva ke mulut ketika seseorang makan. Ini juga meningkatkan aktivitas intestinal dan perut dan megn arahkan aliran darah menjauh dari otot-otot ke sistem pencernaan. Sistem ini paling katif ketika kita diam dan berelaksasi setelah makan besar.
ANS juga mengontrol sistem endocrine, yang terdiri atas kelenjar-kelenjar yang mensekresi hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah (kelenjar pituitary, tiroid dan adrenal). Sistem ini akan dibicarakan nanti ketika kami menguji hubungannya dengan stres.
SNS dan PNS tidak bekerja secara bertentangan satu sama lain, karena organ-organ yang mereka masuki seringkali berbeda. Karena itu sangat bermanfaat untuk memandangnya berbeda satu sama lain dari sudut pandangn motivasional – yang tidak bisa dilakukan oleh Cannon.
Cannon percaya emosi dikaitkan dengan aktivasi SNS. Dia berpendapat bahwa kontrol emosi didasarkan pada struktur otak yang disebut thalamus, yang menerima informasi dari beragam idnera di seluruh tubuh dan lokasinya seperti pada gambar 3.2. meskis aat ini kita yakin thalamus hanya satu dari beberapa struktur yang terlibat dalam perilaku emosional,. Sebuah struktur yang terletak sangat dekat dengannya, yang disebut hipotalamus (gb 3.2) juga penting. Kami akan menguji peran motivasional dan emosional dari hipotalamus secara lebih detail pada bab 4.
Cannon mengusulkan bahwa beragam pola respon emosional (misalnya kemarahan dan ketakutan0 diaktivasi oleh thalamus ketika informasi sensoris eksternal yang diterimanya disebarkan ke korteks. Dia berpendapat perilaku-perilaku emosionla yang diaktivasi oleh thaamus terus diperiksa oleh korteks (lihat gambar 3.2). ketika korteks menerima informasi sensoris yang seusai, korteks melepaskan thalamus untuk memicu respon-respon emosional. Canon beranggapan thalamus juga bertanggungjawab untuk aktivasi SNS yang menyebabkan perubahan-perubahan tubuh yang dianggap sangat penting dalam teori James-Lange. Sehingga Cannon melihat ekspresi emosi bertepatan dengan aktivagsi tubuh, bukan hasil dari aktivasi tubuh (gb. 3.1).

Teroi Emosi Kognitif-Fisiologis Schachter
Stanley Scachter mengusulkan sebuah teori emosii yang melibatkan kegairahan fisiolgosi dan atribusi-atribusi kognitif (Schachter, 1964; Schachter & Singer 1962). Pada dasarnya teori ini berasumsi kegairah fisiologis dan label kognitif perlu untuk pengalaman emosi penuh. Jika keduanya tidak ada, kondisi subyektif yang dialami akan tidak lengkap. Seperti disebutkan oleh Cornelius (1991), model Scahcter sangat mirip dengan model emosi yang diusulkan oleh Maranon pada 1924 yang sebagian besar diabaikan oleh para psikolog pada eranya.
Schachter dan Singer mencurahkan pengalaman baru untuk menguji ide bahwa kegirahan dan pelabelan kognitif penting bagi pengalaman emosi. Dalam sebagaian besar kondisi-kondisis ehar-hari kegairahan fisiologis yang terjadi dijelaskan oleh situasi, sehignga kita tidak memahami label kognitif dan kegairahan sebagai dua hal yang berbeda. Apa yang akan terjadi jika subyek dibangitkan secara artifisial melalui injeksi sebuah zat yang biasanya ada ketika seseorang dalam kondisi terbangkitkan? Mereka menduga bahwa subyek yang mengalami kegairahan fisiologis di mana tidak ada penjelasan yang cukup akan mencari lingkungan mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk yang bisa membantu mereka menyebutkan kegairahan yang mereka rasakan.
Para subyek pria yang berpartisipasi dalam ekspeirmen ini diberitahu bahwa eksperimen ini melibatkan efek-efek suplemen tivitamin abru terhadap penglihatan. Suplemen ini diberikan dengan cara disuntikkan, setlah itu subyek akan menunggu 20 menit agar suplemen ini bekerja lalu memberikan sebuah uji penglihatan. Sebenarnya injeksiini adalah epinephrine (zat kimia yang dilepaskan oleh tubuh selama kondisi bergairah yang menyebabkan perubahan denyut jantung, pernapasan, kemerhaan dan tremor pada tangan) atau larutan garam yang tidak berbahaya (larutan placebo). Bebeapa subyek diberitahu apa yang diharapkan dari injeksi epinephrine, sementara kelompok lain tidak diberitahu bahwa kaki mereka akan terasa mati dan mereka mungkin meraskaan gatal dan sedikit sakit kepala. Kelompok subyek ketiga tidak diberi informasi tentang apa yang diharapkan dari injeksi epinephrine. Subyek dalam kondisi placebo juga tidak diberi informasi tentang injeksi ini.
Untuk memb erikan label kognitif yang diinduksi secara eksperimental. Separuh subyek dari setiap kelompok menunggu untuk menjalani tes mata di sebuah ruangan bersama subyek lain yang bertindak sebagai euforik (memainkan pesawat kertas, melempar kertas, menggunakan hula hoop) atau marah (saat akan disuntik, saat mengisi kuesioner, dan saatnya mengisi kuesioner dan keluar dari uangan). Tujuh kelompok dan kondisi yang dijalankan adalah sebagai berikut:
Euforia, diberitahu tentang epineprin, tidak mempedulikan epineprin, tidak tahu tentang epineprin, placebo
Marah, diberitahu epineprin, tidak peduli epineprin, placebo.

Schacthter dan Singer menduga bahwa kondisi diberitahu tentang epineprin tidak menimbulkan pengalaman emosi euforia atau kemarahan karena subyek-subyek tersebut mestinya mampu menyebutkan perubahan-perubahan tubuh yang mereka alami pada injeksi epineprin. Demikian juga kondisi placebo tidak boleh mendorong banyak pengalaman emosional karena seharusnya tidak ada kegairahan fisiologis. Baik mereka yang mengabaikan epinephrine dan mereka yang tidak tahu tentang epineprin bisa diperkirakan mencari petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan reaksi-reaksi tubuh yang mereka rasakan. Adanya peserta yang euforik atau marah seharusnya menyebabkan subyek menyebutkan pengalaman-pengalamannya sebagai euforia atau kemarahan. Dengan kata lain, in subyek diperbolehkan menyebut perasaan yang dia alami sebagai euforik atau marah.
Hasil-hasil eksperimen mendukung hipotesis Schachter dan Singer. Euforia atu kemarahan yang dialami oleh kelompok yang mengabaikan epineprin lebih besar daripada kelompok yang diberitahju epineprin. Demikian juga kelompok yang tidak diberitahu tentang epineprin menunjukkan euforia yang lebih beasr daripada kelompok yang diberitahu tentang epinperin. Satu problem pada hasil ini adalah subyek kondisi placebo mengalami emosi sedang tehradap kondisi yang diberitahu epineprin dan yang mengabaikan epineprin dan tidak berbeda dari kondisi yang mengabaikan epineprine. Schachter dan Singer percaya tidak adanya perbedaan antara kondisi yang mengabaikan epinephrine dan kondisi placebo berasal dari fakta bahwa beberapa subyek dalam kondisi mengabiakan epineprhine menyebutkan perasaan mereka terhadap injeksi, meski mereka belum diberitahu secara khusus bahwa injeksi tersebut akan menimbulkan efek. Subyek yang mengetahui dengan sendirinya mestinya kurang dipengaruhi oleh moidel euforik atau marah, dan efek dari konfederasi terhadap emosi mereka cenderung berkurang. Schachter dan Singer mampu menentukan subyek mana yang tahu sendiri lewat jawaban mereka terhadap sebuah pertanyaan terbuka. Ketika subyek tersebut dihilangkan dari analisis, kelompok yang mengabaikan epinephrine dan kelompok placebo sangat berbeda dalam hal emosionalitasnya.
Data Schachter dan Singer mendukung gagasan bahwa perasaan emosi subyektif memerlukan kegairahan fisiologis dan label kognitif yang menyebutkan kondisi yang dibangkitkan tersebut pada sebab-sebab tertebtu. Petunjuk-petunjuk untuk melabelkan kondisi fisiologis dibangkitkan dan kita belum punya penyelasan untuknya, kami kemudian menelusuri lingkungan kita untuk petunjuk-petunjuk yang akan emmbantu kami mengatributkan (melabelkan) kegairah yang kita alami.
Analisis Schachter tentang emosi menunjukkan bahwa jika label kognitif muncul tanpa adanya kegairahan fisioologis, pengalaman emosi mestinya tidak lngkap. Pengalaman ini mungkin mirip dngan kemarahan dingin atau kondisi “sebagaimana jika; aitu oran merasa “sebagaiman jika” dia marah atau sedih tapi kondisi subyektif ini tidak menunjkkan perasaan meledak-ledak atas emosi ygn sebenarnya.
Salah satu cara untuk menguji kontribusi kegairahan fisiologis terhadap emosionalitas adalah mewawancari para psien dengan kerusakan spinal cord. Semakin dekat kerusakan spinal cord dengan otak, semakin kecil informasi yang tersedia untuk menilai kondiis kegairahan seseorang. Schachter (1964) menyebutkan sebuah studi yang dilkaukan oleh Hohmann (1962) yang menunjukkan bahwa semakin dekat kersaukan spinal dengan otak, semakin besar penurunan emosi. Penurunan emosionalitas ini berlaku juga pada kegirahan seksual, ketakutan, kemarahan dan rasa duka tapi tidak pada sentimentalitas. Beberapa korban kecelakaan juga measakan emosionalitas mereka lebih kognitif dan bersifat mental daripada sebelumnya. Meski demikian sebuah studi oleh Chwazllisz, Diener, dan Gallagher (1988) mendapatkan hasil-hasil dengan para pasien spinal cord yang mengkontradiksikan hasil Hohmann. Chwalisz et al menemukan bahwa para partisipan yang mengalami cidera spinal cord dalam studi mereka melaporkan eprasaan emosional yang lebih kuat, khususnya emosi ketakutan. Seperti mereka catat (Chwalisz et al 1988 hal 825) “hasil-hasil kami tidak mendukung bentuk-bentuk yang lebih kuat dari teori-teori bberasis kegairahan otonom tentang emosi. Teori-teori tesebut menyatakan bahwa perspesi kegaiahan otonom merupaka omponen esnesial emosi dan pengalaman emosi tidak bisa tejradi tanpanya.
Dalam banyak hal model emosi Scachter merupakan okmbinasi dan omdifikasi dari teori James-Lange dan teori emergensi emosi Cannon. Teori Schachter, seperi teori James-Lange, mengusuilkan bahw aperubahan-perubahan tubuh terlibat dalam pengalaman emosi. Dengan cara sperti Cannon, Schachter jug amengusulkan bahwa itnerperasi sebuah persitiwa penting bagi pengalaman emosi penuh. Tapi Scahchter melampaui teri-teori sebelumnya dalam mengusulkan perubahan fisilogis danpelabelan kogntif perlu untuk pengalaman emosi penuh. Model Schachter terbukti populer sejak diperkenalkan pada 1964. selain tujuan awalnya sebagai penjelasan emosi, teori ini juga memperlaus badan liteartur tentang misatirbusi kegairahan, khsusnya sebagai misatribusi yang berkaitan dnegan reduksi ketaktuan dan kcemasan. Kami akan menguji beberapa aspek riset misatribtsi dalam bab 11.
Meski teori Scahcter memiliki beberapa lini baru riset, dukungan abgi teori inis endiri kurang begitu besar. Cotton (1981) meninjau riste tentang model ini dan mencaat bahwa studi asli yang menjadi dasar model ini pada atas dasar empiris dan metodologisnya. Selain itu beberapa usaha untuk meniru studi Scahcter dan Singer tidak berhasil, meski Edmann dan Janke (1978) memberi dukungan tas model ini dari riset mereka. Riset oleh Lazarus (1968) dan Weiner, Russell dan Leman (1978) menyatakan bahwa komponen okgnitif saja mungkin penting dan cukup bagi kegairahan emosi. Seperti dibuktikan dalam poin ini, terdapat debat yang besar dia ntara para psikolog tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk memantik emosi. Selama bebearpa dekade yang lalu, analisis emosi semakin menekankan komponen kognitif. Apakah kognitif saja akan memberikan penjelasan emosi yang memadai masih perlu dibuktikan lagi, namun banyak yang diketahuis aat ini tentang kegairahan menumbuhkan riset tenatng fisiologi emosi.

Teori kegairahan
Pendekatan kegairahan cenderung menekankan organisme secara kesleuruhan dan berpenapat bahwa kita bisa memahami perilaku dengan cara paling baik dengan memahami bagaimana organisme teraktivasi.
Ide dasa ryang mendasari teori kegairahan adalah kita memahami emosi dan motivasi dengan memandangnya pada sebuah kontinum aktivasi perilaku. Kontinum iniberskisar dari level-level kegairahan rendah (koma atau tidur) hbignga level-level yang sangat tinggi (kemarahan). Teori kegairahan mengangap emosi sebagai akibat dari level kegairahan individu.
Teori kegairahan berasumsi bahwa perilaku akan berubah ketika kita lebih terbgairahkan. Beberap a perubahan dalam kegairahan, seperti dari tidur menjadi bangun penuh, akan menyebabkan menignkatnya efisiensi performa, tapi perubahan-eperubahan kegairahan lain dari bangun sadar hingga emosi kegairahan emosi ekstrim, akan menganggu respon efisien. Pemikiran ini menunjukkan bahwa level kegairahan optimal muncul di mana perikau akan menjadi paling efisien, seperti digambarkan pada gambar 3.3.
Kurva dalam gambar 3.3 disebut sebuah fungsi U terbalik dan mengindikasikan meningkatnya kegairahan akan memperbaiki performa hanya hingga pada suatu poin, setelah itu akan terus menurun hingga mengganggu respon. Hubungan kegairahan-performa ini, kadang-kadang disebuthukum yerkes-Dodson, bisa dilihat dengan mudah. Untuk belajar secara obektif bagi sebuah ujian, kita harus cukup tergairahkan; di sisi lain, jika kita menjadi terlalu emosional dengan ujian tesebut, kecemasan kita bisamenggangu proses belajar kita hingga kita tidak bisa mempelajari materi tersebutu.
Hokanson (1969) mencatat bahwa hubungan yang diusulkan dia ntara performa dan kegairahan bisa berlaku bagi suatu tipe tugas tertentu saja. Misalnya Freeman (1940) mendapatkan fungsi U terbalik dia tara kegairahan (seperti diukur oleh konduktansi kulit) dan waktu reaksi, tapi Hokanson tidak mendapatkan fungsi U terbalik untk tugas-tugas seperti pencpcpkan simbol dan pembentukan konsep. Sehingga hubungan antara kegirahan dan perilaku nampak lebih kompleks dan spesifik tugas daripada yang diindikasikan oleh teori kegairahan.
Jika emosi dan motivasi berasal dari aktivitasi sistem saraf, seperti disarnakan teori ekgariahan, kemungkinan terdapat struktur-struktur dalam sistem saraf yang memicu aktivasi ini. Bremer (1937) menunjukkan jika kita memotong melalui batang otak seekor binatang di antara meulla dan spinal cord (gambar 3.4), binatang terus menjalanis iklus tidur-bangun normalnya meski tubuhnya kekurangan semua jaringan otak kortikal tinggi (bremer menyebut preparsi in iencephale isole). Di sisi lain, jika kita memotong lebih tinggi batang otak pada level colliculi, siklus tidur-bangun dihilangkan dan binatang tidur secara konstan, tidak menunjukkan bangun spontan (disbut cerveau isole).
Secara bersamaan, hasil-hasil dua potongan Bremer ini menyatakan bahwa beberapa struktur otak (struktur-struktur oz) yang terletak di antara dua potongan ini bisa mengontor perubahan-perubahan pada level kegairahan yang terlibat dalam gerakan-gerakan dari tidur ke bangun. Lebih lanjut, sebuah struktur mungkint ereltak berdekatan dengan pons (gambar 3.4).

Sistem Aktivasi Retikular
Teori kegairahan mendapatkan dukungan besar dengan penemuan Moruzzi dan Magoun (1949) tentang peran sistem atkivasi retikular dalam kegairahan. Sistem aktivasi retikular (RAS) adalah sekelompok neuron (sel-sel saraf) yang terlaetak pada inti sentral batang otak, yang berjalan dari level medulla hingga thalamus, seperti ditunjukkan pada gamba 3.4 (Carlson 1977). MORuzzi dan Magoun menemukan bahwa stimulsi listrik RAS menyebabkan perubahan aktivitas listrik korteks (dicatat oleh elektroencepahogram atau EEG) yang tidak bisa dibedakan dari perubahan-perubahan yang terlihat ketika stimuli eksternal (misalnya kebisingan keras) muncul. Untuk memahami peran RS dalam kegairahan, kita harus menguji secar singkat apa yang ditunjukkan oleh EEG.
Seseorang yang tidur tenang menunjukkan pola regular aktivitas listrikortikal yangibsa diukur dengan EEG. Aktivitas listirk sel-sel dalam kondisi rileks ini terjadi pad waktu yang sama (yaitu besifat sinkronis dan menyebbakan pola aktivitas listirk yang dikenal sebagai gelombang alaf. Jikakita akan membuat suara keras, indivdiu akan membuka mat adan melihat sekelilingse cara waspada, dan pola EG selama perilaku waspada ini sangat berbeda. Sel-sel korteks cenderung bisa diaktivasi secar indpeneden satu sama laiN (mereka didisinronisasi) yangmenyebabkan pola-pola EEG baru yang disebut gelombagn-gelombang beta. Gelombang0gelombang beta dikaitkan dengan kondisi sadar, atentif dan tergairahkan sheingag individu siap menangani perubahan-perubahan dalam lingkugan.
Moruzzi dan Magoun (1949) menemukan bahwa stimulasi RAS menyebabkan atkvitas gelombagn beta seperti halnya stimuli lingkunga. Oleh karena itu cuup masuk akal bila RAS juga bertanggungjawab untuk aktiviasiorganisme. Dukungan bagi ide ini diberikan dalam beragam cara. Pertama, RAS mendapatkan input sensoris dari sistem-sistem sesori eksterndan dari otot-otot organ intenral da (Hokanson 1969); sehingga ini memerlukan input yang diperlukan untuk memicu kegairahan. Kedua, Lindsley (1951) memotong semua struktur otak di sekliling RAS pada binang eksperimetnal dan menemukanbiatang ini masih menunjukkan siklus tidur-bangunnormal. Tapi ketika dia emotong RAS, yang menyebabkans emua hal utuh, hasilnya adalah binatang tidur secara permanen, seperti pada preparasi isole cervau primer. Yang terakhir, RAS terbukti mengirimkan serat-serats ecara menyebar ke seluruh korteks. Oleh karenaitu RAS merupakans truktur otak yang berfungsi membangkitkan organisme dari tidur ke kondisi bangun dan meurpakan mekanisme yang menentukan di mana pad kontinum kegairahan kita menemukan diri kita.
Penemuan peran RAS pada kegairahan mendorong para ahli teori aktivasi berpendapat bahwa emosi dan motivasi sama dengan kegirahan kortikal. Mungkin salah satu teori pemikirant erbaik dikedepankan oleh Donald Hebb(1955).

Teori Hebb
Hebb percaybahwa informasi sensoris memilki dua tujuan: memberikan informasi, atau apa yang dia sebut sebagai fungi petunjuk dari sebuah stimulus dan membangitkan inividu (fungsi kegairahan). Jika korteks individu tidak dibangkitkan, fungsi petunjuk dari sebuah stimlus tidak akan erdampak (kita tidak bereaski terhadap sura mobil yang lewat ketika kita tidur karena korteks tidak dibangkitkan oelh RAS).
Stimuli sensoris yang dibawa oleh seseorang dikirm ke RAS dan korteks lewat thalamus. Hebbpercay abahwa efek stimulis terhadap level RAS adalah mengaktivasi atua membangkitkan korteks sehignga informasi stimulus yang berasal dari thalamus bisa diproses oleh korteks. Motivasi bagi Behh adalah aktivasi korteks oleh RAS.
Juga diketahui bahwa korteks mengirimkan sreat-serat ke bahwa ke RAS (Magoun 1963). Sehingga korteks bisajuga mengaktivasi RAS dan menjaga kegairahan tetap tinggi bahkan ketika stimulasi eksternal atau internal rendah. Koneksi downsteream dari korteks ke RAS inibisamemberikan penjelasan yangmungkin untuk bagamana pemikiran bisa memotivasi perilaku. Misanya, berbaring di rancjang dan berpikir tentang ujianbesok akan mengaktivasi RAS seseorang yang pada gilirannya akan menaga koreteks tetap bangun, dan tidur menjadi sulit. Seingga piemikiran dan stiuli seksternal bisa menyebabkan kegirahan seseorang. Lebih banyhakr iset tentang aspek kegairan ini basi mebantu pemahaman kita tentang car pkikiran kita mempengaruhi perilaku.

Ukuran-ukuran psikofisiologis
Teori kegairahan didasarkan pada asumsi bahwa seseorang bisa mengukurkegairahan dengan memantau aktivitas otak atau perubahan-perubahan pada sistem saraf otonom dan mengkorelasikannya dengan perubahan-perubahan pada perilaku. Para peneliti menemukan korelasi tersebut bersifat minimal (meski biasanya positif). Tidak adanya korelasi substansisl l dia ntara indeks=indeks kegairahan yangberbeda menimbulkan problem bagi teori kegairahand an mendorogn Lacey (1967) mengusulkan ada lebih dari satu tipe kegairahan. Shingga kitabisa melihat kegirahan perilaku seperti yang diindikasikan oleh organisme yang merespon, kegairahan otonom yang ditunjukkan oleh perubahan-perubahan pada fungsi tubuh, atau kegairahan kortikal yang dibuktikan oleh gelombang otak yang cepat dan tidak sinkurn. Lacey mengusulkan bahwa meski tiga kegairahan ini bseringkali muncul bersamaan, kegiairahan ini tidak harus independen. Dia mencatat, bahwa zat-zat kimia tertentu menghasilkan aktiitas EG yang berkaitand engan tidur pada kucing dan anjing, yang bagaimanapun merespon secar normal. Zat-zat kimia lain (misalnya physostigmine) menghasilkan aktivitas EEG seperti pada binatang yang bangun tapi binatang bertindak seakan mengantuk. Para pasien commatose kadang-kadan gmenunjukkan EEG normal dan respon normal kadang ditemukan pada orang-orang dengan EEG seperti tidur. Lacey juga melaporkan beberapa studi yang menunjukkan kadang-kadang terdapat sedikit hubngan atanra aktivitas sistem saraf pusat dan perubahan-perubahan otonom. Akibat dari problem ini dia mengusulkan situasi-situasi yang berbeda menghasulkan pola-pola respon somatis yang berbeda (denyut jantung misalnya).
Feedback dari perifreral tubuh juga penting pada model kegairahan Lacey. Misalnya, dia melaporkan riset yang menunjukkan distensi sinus karotid (mekanisme di mana arteri karotid) menyebabkan aktivitas EEG berubah dari aktivitas sadar, frekuensi tinggi hingga aktivitasf rekuensi rendah biasanya berhubungan dengan tidur. Perubahan ini mengindikasikan bahwa feedback adri beragam sistem tubuh bisa scara langsung mempengaruhi sistem kegairahan dan menyarankan bahwa sistem tubuh juga berperan dalam durasi episode kegairahan.
Seabgai ringkasan, riset RAS mengindikasikan mekanisme fisiologis yang dilibatkan dalam kegairahan organisme. Siklus tidur-bangun dan perhatian sadar bagi lingkugan. Kesimpulan ini sangat cocok dengan konsep teori kegairahan motvasi dan emosi sebagai hal yang sama dengan kegairahan.

Problem-problem pada teori kegairahan
Sayangnya, beberapa rpblem pada teori kegairahant etap ada. Satu problem utama adalah tidak adanya hubungan yang kuat antara ukran-ukuran periaku, kortikal dan kegirahan otonom. Problem kedua yang khusus dengan teori Lacey adalah ini mengasumsikan pola-pola respn tubuh yang berbeda, tapi ada perbedan-perbedaan yang eprlu ditunjukkan. Beberapa studi mengindikasikan bahwa norepinephrine hormon adrenal bisa dikaitkan dengan kemahran atau agresi dan epineprin dengan ketakutan atau kecemasan (Schildkraut &* Kety, 1967).
Meski demikian karya lebih lanjut diperlukan utuk menentukan apakah teori Lacey bisamencakup emosi-emosi yang berbeda dalam hal pola-pola respon tubuh yang berbeda. Ayng menarik dalam hal ini adalah studi Ekman, Levenson dan Friesen (1983) yang mengndikasikan bahwa perubahan-perubahan pada aktivias otonom bisadipahami untuk emosi kelicikan, keamrahan ketakutan dan kesedihan ketika prosdur-prosedur kontrol cermat dipakai. Ekman dan rekan menyatakan bahwa perubahan-perumabahn otonom bisa dibangkitkan oleh kotnaksi otot-otot fasiel ke dalam sinyal-sinyaluniversal bagi emosi-emosi tersebut. pola-opla muskular fasial bisa memberi pola respon tubuh yang berbeda serpti diduga teori kegairahan dan bisa mempertahnakan teori emosi James-Lange.
Problem lain dengan teori kegairahan adalah asumsi umum dari kegairahan kortikal, seperti dibuktikan oleh EEG yang mengindikasikans uatu kondisi emosional atau termoitasi. Seperti disebutkan Lacey, hubungan ini tidak selalu ditemukan. Jelas bahwa kegairahan kortikal sama dengan perilaku termotivasi; tapi meski jika kita mebuat asumsi ini, juga tidak jelas bagaimana kegarihanini mengarahkan perilaku. Satu problem akhir adalah asumsi bahwa pemahaman kegairahan hanya memerlukan pemahaman mekanisme fisiologis dasar. Ini mungkin tdiak benar. Pemahaman penuh tentang kegairahan juga memerlukan pegnetahuan faktor-faktor lingkungan dan sejarah organisme.
Riset yang berubungan dnegan teori ekgairahan menambah pemahaman kita tentang perilaku. Kegirahan muncul selama episode emosionald an orang-orang yang tergairahkan secara emosional termotivasi. Tapi problem-problem utama pada teori kegarihan emosi dan motivasi tetap perlu dipecahkan. Riset saat ini menyatakan bahwa okndiisi fisiologis yangberbeda atau kesiembangan kimia yang berbeda bisa menyertai beragam emosi. Agar teori kegairahan tetap hidup, kita harus mampu memahami tipe-tipe emosi berbeda yang diaktivasi.

Tidur
Sebagian besar teorikegairahan menganggap tidur sebagai tidak adanya kegairahan, atau kondisi kegairahan rendah. Tapi tidur ius endiri terdiria tas lebih dari atu ondisi dan dalam beberapa hal menyerupaki aktivitas bangun. Setiap orang yang mengalami masa terjaga panjang menyadari bahwa tidur bisa menjadi motif yang kuat, yang mengesampingkan motif-motif seperti rasa lapar dan seks. Observasi ini didukung oleh riset yang mengindikasikan bahwa tidur menunjukkan karakteristik kondisi kebutuhan yang termotivasi (Dement, 1972).
Riset tidur bisa dilacak kembali sejak akhir 1800an, tapi riset sistmatik hanya dimulai sejak studi-studi Nathaniel Kleitman pada awal 1920an (Kleitman, 1963). Banyak yang diketahui tentang proses tidur, naun alasan tidur masih tetap kabur. Diketahui bahwa efek kurang tidur sangat spesifik pada tipe tugas yang diperlukan dari individu yang kurang tidur. Webb (1986) menemukan bahwa tidak tidur selama 48 jam menyebabkan prblem memelihar performa pad tugas panjagn dan kompleks yang emerlukan perhatian tinggi dan proses kognitif yang tinggi. Tidak ada indikasi yang jelas bahwa akurasi performa menurun. Dalam bagian berikutnya kami akan menyelidiki apa yang diketahui tentang tidur, struktur-struktur fisiologis apa yang nampak dilibatkan dan beberapa fungsi tidur apa yang diajarkan.

Ciri-ciri tidur secara umum
Kita menghabiskan sepertiga hidup kita dalam kondisi tidur. Tidur harus dianggap sebagai perilaku penting untuk dipahami. Meski sebagian besar waktu kita dihabiskan untuk tidu, terdapat variasi-variasi besar di antara individu dalam hal jumlah tidur yang diperlukan. Sementara sebagian besar orang tidur 7-8 jam per malam, beberapa lagi mampu tidur lebih lama atau lebih sedikit. Dement (1972) melaporkan studinya terhadap dua orang yang tidur scara teratur kuragn dari 3 jam per malam tanpa mengalami efek sakit.
Anggapan umum menunjukkan bahwa kita tidur ktika kita lelah. Ini tidak bisa membeirkan penjelasan yang lengkap, karena orang-orang dibatasi pad 24 jam per hari akan tidur sama dengan yang dihabiskan jika mereka aktif. Dement menyatakan bahwa kita mungkin tidur karena kita merasa paling tidak efisien pada waktu-waktu tertentu. Tubuh kita mengalami perubahan siklik yang seringkali berkisar pada 24 jam; sikuls ini disetbu ritme circadian. Banyak ritme circadian beroperai pada bagian terendah siklus mereka selama tidur, dan Dement mengusulkan bahwa tidur bisa melindungi kita dari terlibat dalam perilaku pada saat kita paling tidak efisien. Webb dan Agnew (1973) menyatakan bahwa tidur itu bersifat adaptif karena menjaga organisme dari merespon waktu yang berbahaya taut idak perlu. Meddis (1975) mengusulkan hal yang sama berdasarkan pada perspektif evolusioner. Beberapa lini riset menyatakan bahwa ritme circadian dan tidur berhubugnan erat. Pemahaman yang lebih kompleit tentang peran ritme circadian dalam posestidur bisa terbukti berguna dalam mengobati gangguan tidur dan jet lag.
Binatang-binatang yang berbeda menghabiskan waktu tidur yang berbeda. Variasi ini nampak cocok dengan ide daya adaptif tidur Webb dan Agnew, karena binatang yang berbeda diperkriakan memilki durasi waktu yang berbeda.
Pada manusia waktu yang dihabiskan untuk tidur menurun seiring usia. Bayi berusia 3 hari tidur sekitar 14 hingga 16 jam sehari, sementara anak usia 5 tahun tidur 11 jam. Pad usia 20 tahun rata-rata orang tidur sekitar 6,5 hingga 7 jam per malam. Lebih lanjut, tidur orang-orang tua berbeda dari orang muda. Ancoli-Isreal dan Kripke (1991) mencatat bahwa orang-roagn lansia melaporkan bangun lebih lama selama malam dan lebih sering mengalami insomnia. Demikian juga Buysse dan kolega (1992) menemukan bwha subyek lansia sehat tidur siang lebih lama dan tidur malam lebih pendek dibandingkan orang dewasa muda. Slielman dan Herrera (1991) mel;aporkan bahwa orang lansia masih tidur sekitar 7 jam per hari tapi tidur ini lebih sering dilakukan di siang hari. Mereka juga melaporkan ada penurunan pada tidur tahap 3 dan tahap 4 (lihat bagian berikutnya) dengan usia dan penurunan ini nampak lebih parah pada pria daripada wanita.
Pertimbangkanbagaimana kita tertidur. Tertidur nampak terjadi secara bertahap; yaitu kita nampak perlahan-lahan tertidur. EEG recording otak selama tidur menunjukkan perspesi kita tidak benar – kita tidur secara mendadak (Dement, 1972).
EEG merupakan alat yang kuat untuk membantu peneliti mepelajari tidur. Alat ini dipakai untuk mengidentifikasi tahap-tahap atau level-level tidur yang berbeda.

Tahap-tahap tidur
Seperti ditentukan oleh aktivitas listirk otak tidur berlangsugn lewat lima tahap selam malam. Aktivitas gelombagn alfa yang menandai kondisi terjaga rieks digantikan oleh gelobang cepat dan tak teratur dengan amplitudo rendah pada tahap 1 tidur, yang berlangsugn selama 10 hingga 15 menit setelah jatuh tidur. Kemudian pola EEG mulai menunjukkan periode singkat tidur (gelombang 14 Hz/detik) dan subyek sekarangbeada pada tahap 2 tidur. Ketika tahap 2 berlanjut (sekitar 15 menit), amplitudo gelombang menjadi lebih beasr dan lebih lamban (1/2 hingga 3 ½ Hz/.detik). ketika gelombang lamban ini menjadi cukup sering, orang disebut berada pada tahap 3 (15 menit). Tahap 4, di mana gelombang amplitudo tinggi dan lamban menjadi dominan, akan dicapai sekitar 30 hingga 45 menit setelah tertidur. Setelah beberapa saat pada tahap 5, pola EEG mulai berubah lagi ke tahap 3, lalu ke tahap 2 dan akhirnya ke tahap 5. pada tahap 5 mata individu biasnyaa mulai bergerak dengan cepat di bahwa kelopak mata, dan denyut otot, seperti diukur olehott rahang, sangat rendah. Tahap 5 umumnya disebut tidur REM (rapid eye movement) dan ini merupkaan waktu di mana mimpi terjadi (Webb & Agney 1973; Carlson 1977). Contoh-contoh dari beragam pola EEG tahap-tahap tidur ditunjukkan pada gambar 3.5.

Tidur REM dan NREM
Tidur tahap 1 hingga 4 umumnya disebut tidur NREM (non REM) karena gerakan-gerakan mata tidak terjadi pada tahap ini. Tidur NON-REM juga kadang disebut tidur gelombang lamban untuk menyebutkan dominasi ampitudo tinggi, gelombang lamban (disebtu gelombang delta) dilihat pad tahap 3 dan 4.
Beberapa peneliti percaya bahwa tidur NREM melakukan fungsi retroatif, memberi peluang bagi tubuh untuk membangun kembali smberdaya. Kita tahu, tidur tahap 4 menurun seiring usia, menunjukkan penurunan tajam setelah usia 30 dan pada beberapa individu hilang bersamaan pada usia 50. hayashid an Endo (1982) juga menemukan penurunan beassar pada tahap 3 dan 4 pada orang sehat. Hasil-hasil mereka menunjukkan pergesran kedepan REM ke arah bagian-bagian malam sebelumnya, mugking karena reduksi pada tahap 3 dan 4.
Mendengkur juga tejadi selama tidur NREM, dan orang yang terbangun pada tidur NREM biasanya tidak melaporkan mimpi. Dia melaporkan pemikiran random, biasanya non emosional, seperti pikiran-pikiran saat terjaga.
Waktu tidur tidak dibagi secara sama pada lima tahap tersebut, juga tahap-tahap terebut tidak terjadi secara merata selama malam, seperti yang terjadi ari diskusi tahap-tahap tidur sebelumnya. Periode tidur total hanya sekitar 5% dari tidur total dihabiskan pada tahap 1, sementara hampir 50% dihabiskan pada tahap 2. tahap 3 hanya menempati sekitar 6% dari waktu tidu total dan tahap 5 mencakup sekitar 14%. Tidur REM mencakup sekitar 25% dari waktu tidur.
Dari beragam tahap tersebut, tahap 4 dan REM paling banyak dipelajari. Bagian yang lebih besar dari tidur tahap 4 terjadi lebih dini di malam hari sementara tidur REM sebagian besar terjadi kemudian. Gambar 3.6 menunjukkan bagimana tahap-tahap tersebut berbah selama tidur di maalm hari.
Tidur REM ditemukan oleh Aserinsky dan Kleitman pada 1955 (lihat juga Aserinsky, 1987). Segera jelas bagi para penliti bahwa tidur REM berkorlasi dengan laporan-laporan mimpi. Misalnya, Dement (1972) mencatat bahwa laporan-laporan mimpi dari individu yang terjaga selama tidur REM adalah sekitar 80% sementara laporan bermimpi dari orang-orang yang bangund ari tahap 4 hanya sekitar 7%. Ada kontroversi tentang persentase mimpi agn dilaporkan dalam tidur REM dan REM. Goodenough (1991), yang mencatat tinjauan Foulkes (1966), Rechtschaffen (1967), dan Styva dan Kamiya (1968) menyimpulkan bahwa bermimpi bisa terjadi selama NREM dan di bawah kondisi-kondisi tertentu tidur REM terjadi ketika mimpi tidak terjadi. Sehingga penggunaan gerakan mata cepat sebagai satu-satunya indeks bermimpi tidak akurat seluruhnya. Kemungkinan terdapat perbedaan antara mimpi yang dilaporkan dalam tidur REM dan NREM. Mimpi-mimpiREM lebih cendrurng aneh, emosional atau seperti nyata, sementara mimpi-mimpi selama tidur NREM lebih cenderung non emosional dan merupakan pemikiran random. Lebih lnajut, seperti dilaporkan oleh Goodenough (1991), karya beberapa kelompok peneliti menemukan bahwa frekuensi gerakan mata selama REM dikaitkand engan aktivitas yang dilaporkan dalam mimpi-mimpi REM. Frekuensi gerakan mata juga nampak dikaitkan dengan keanehan mimpi dan intensitas dan emosionalitas mimpi-mimpi REM
Selama tidur REM aktivitas EEG korteks nampak sanga tmirip dengan aktivitas EEG yang ditemukan pada orang yang terjaga dan sadar. Sebenarna aktivitas EEG yang terjadi selaam tidur REM pada tikus tidak bisa dibedakan dari aktivvitas EEG saat mereka bangun (Jouvet 1976). Tapi meski aktivitas listrik korteks nampak dekat dengan perilaku bangun, mebangkitkan seseorang dari tidur REM sangat sulit. Karena itu tidur Rem kadang disebut tidur paradoksial (paradoks di mana EEG nampak bangun, tapi stimulasi kuat diperlukan untuk membangunkan individu).
Selain gerakan mata cepat adlamt idur REM, juga terjadi kehilangan nada otot skeletal. Ini disebabkan oleh hambatan neuron-neuron motor pada otak dan jumlah parlaisis temorer. Hilangnya nada otot merpakan indikator terbaikd ari REM atau tidur bermimpi. Tidur bREM biasanya terjadi sekitar sekali setiap 90 menit selama malam. Periode REM menjadi lebih lama selama malam sehingga pad pagi hari seseorang mungkinberada pada periode Rem selama 1 jam (Demen,t 1972).
Tidur REM, seperti tidur tahap 4, cenderung menurun seiring usia p; meski dmeikian tidu Rem menjadi stabil pad usia 20 dan tetap relatif konstan setelahnya. Bayi yang baru lahir menghabiskan sekitar 50% dari waktu tidur mereka dalam tidur REM, sementar adiketahui bayi prematur menghabiskan lebih dari 75% dari tidur mereka dalam kondisi REM. Tidurnya anak kucing, anak anjing dan anak tikus adalah 100% dari REM (Dement (1972) pada saat lahir. Semua temuant ersebut mendorong Dement berspekulasi bahwa tidur REM bisa mengatur hubungan-hubugnand engan otak. Dalam mendukung hipotesisnya, Dement mencatat bahwa marmut yang lebih dewasa daripada anak kucing saat lahir menunjukkan tidur REM sangat sedikit.
Fakta bahwa binatang menunjukkan tidur REM dengan cara yang sama pad amanusia menimbulkan pertanyaan apakah binatang bermimpi. Meski kita tahu bahwa tidur REM dan bermimpi berkorelasi pada manusia, tidak bisa diyakini ini juga terjadi pada speises lain. Sementara pertanyaan ini cukup rumit, saat ini belum ada jawaban yang benar. Pengetahuan kita ttnang prsoes-proses evolusioner mungkin mendukung kemungkinan bawa beberapa binatang seperti primata dan mungkin juga anjing dan kucing bisa bermimpi.
Aspek yang paling menarik dari riset tidur REM adalah temuan bahwa ini biasanya bertepatan dengan bermimpi. Untuk pertama kalinya, para ilmuwan mimpi bisa mulai mempelajari secara obyektif kondis imimpi yang sangat subyektif.

Mimpi
Meski beberapa orang tidak percaya mereka bermimpi, riset menunjukan setiap orang bermimpi. Ini bisa ditunjukkan dengan meminta tidur ”non-dreamer” selam beberapa malam sambil menghubungkannya ke aparatus EEG dan pada peralatn yang mengukue gerakan-gerakan mata dan nada otot. Nondreamer tertidurd an kadang memasuki periode aktivitas REM. Jika dibangunkan selama periode REM ini nondreamer meenmukan bahwa dia bermimpi seolah nyata.
Individu rata-rata menghabiskan sekitar 100 menit per malam dalam bermimpi. Sebaigan besar mimpi tidak diingat kecuali sesorang dibangunkan segera setelah mimpi itu muncul (Goodenough 1991). Ini mungkin mengapa kita cenderung menginga tmimpi yangkita alami sebelum alarm mati tapi tidak ingat mimpi yang terjadi sebelumnya.
Riset menunjukkan meski sebagian beasr mimpi berlangsung singkat, tapi beberapa bisa berlangsugn selama satu jam (Dement, 1972). Sebagian besar mimpi terjadi dalam seting ehar-hari dan kadang-kadang tidak emosional sangat. Ketika emosi muncul dalam mimpi ini cenderung negatif; sekitar 65% mimpi emosional besifat negatif. Dement juga menvatat bahwa mimpi lebih awal di malam hari cenderugn menggambanrkanpeiristwa-perisitwa hari sebelumnya sementara mimpi yang lebih lambat lebih menggambarkan ingatan-ingatan yang tersimpan.
Suatu riset juga menyatakan bahwa mimpi berubah seiring usia (Herman & Showks 1984; Waterman 1991). Hermand an Shows menemukan dalam sebuah sampel 295 mahasiswa lulusan bahwa orang-orang yang lebih muda lebih sering mengingat mimpi daripada orang yag leih tua. Setelah mennjau beberapa studi survei dan laboratorium Waterman menyimpulkan bahwa ”ingatan mimpi berkurang ketika orang menjadi dewasa.” lebih lnajut, Waterman menemukan terjadinya perubahan-perubahan isi mimpi di antar orang yang lebih muda dan lebih tua. Orang yang leih tua menunjukkan kurangnya keagresifan, keramahan dan emosi dalam mimpi mereka. Megnapa perubahan ini terjadi seiring usia masih belum jelas – namun demikian tidur REM beurbah seiring dengan usia – waktu yang dihabiskand alam REM berkurang seiring usia dan Rem kurang stabil (Woodruff 1985) – dan perubahan-perubahan pada REM ini bisa dikaitkand engan perubahan-perubahan pada ingatan dan isi dari mimpi.

Kurang Tidur
Seperti dicatat seelumnya efek kuragn tidur berbeda-beda untuks etiap tipe tuas. Tugas-tugas pendek yang dilakukan di bahw amotivais yang cukp seringkali hanya menunjukkan efek-efek kecil dari kurang tidur. Tugas-tugas yang panjagn dan membosankan yang memerlukan motivasi tinggi menunjukkan defiist dalam m,enjaga perhatian (Webb 1986).
Meski anggapan umum menunjukkan bahwa eefk-efek kekurangan tidur adalah negatif, riset menunjukkan kurang tidur bisa memiliki efek terapeutik bagi beberapa individu yang depresif. Setidaknya semalam tanpa tidur bisa memiliki efek antidepresan bagi sepertiga hingga setengah pasien yang depresi |(Roy| Byrne, |Uhde, 1986).

Deprivasi Mimpi
William Dement merintis riset tentnag deprivasi mimpi. Prosedurnya adalah mengamati rekaman-rekaman mimpi orang-orang untuk gerakan-gerakan mata cepat dan ketika terjadi, segera membangunkan orang tersebut. Dement menemukan bahwa untuk mendeprivasi pemimpi tidur REM, mereka perlu dibangunkan lebih sering. Di amencatat jika sebuah tekanan terbentuk yang bisa diekspresikan lewat mimpi REM. Ketika Dement membiarkan subyeknya tidur dngan normal, dia menemukan sebuah fenomena yang sekarang dikenal sebagai REM rebound. Dia menemukan abwha subyek yang mimpinya terdeprivasi diizinkan tidur, mereka bermimpi lebih sering ketimbang normal, seperti jika periode REM melambung dari level rendah sebelumn ya. Overshoting jumlah mimpi normal ini berlangsung selama beberapa hari setleah periode deprivasi. Deprivasi Rem pada binang menimbulkan beberapa efek ganjil yangbelum dipahami. Misalnya, deprivasi REM pada binatang menyebabkan pergeseran pola makan dibandingkan dengan siklus terang-gelap tapi tidak nampak mengubah julah makanan yang dimakan secara keseluruhan. Deprivasi REM juga bisa meningkatkan perilaku seksual dan agresif pada binatang dan deprivasi REM rebound efeknya dikurangi oleh stimulasi diri intracranial (lihat Ellman, Spielman, Luck, Steiner, & Halperin, 1991; Ellman, Spielman, & Lipschytz-Brach, 1991, untuk tinjauan studi tadi). Ellman dan rekan mengusulkan bahwa ada sebuah link antara struktur-struktur netral yang mendasari proses-proses tidur REM dan struktur-struktur negral lainnya yang mensubversi proses-proses motivasional. Mereka percaya kemungkinan link ini melibatkan struktur-struktur neural yang bertanggungjawab untuk efek-efek stimulasi diri intracranial.
Dement mencatat bahwa subyek yang terdeprivasi REMnya (manusia) nampak rentan dan cemas dan kurang bisa berkonsentrasi. Ini menunjukkan bahwa tidur REM dipelrukan bagi kesbaikan psikologis. Sayangnya, oapara peneliti lain tidak menemukan kecemasan dan iritabilitas pada subyek yang tereprivasi REMnya; ada sedikit yang bisa disimpulkan tentang perlunya bermpimpi bagi kesehatan psikologis.
Deprivasi Rem bisa terjadi dari pemakaian obat. Banyak obat (khussnya barbitura, jika dipakai melebihi level yang direkomendasikan) bisa menekan tidur REM. Jika obat ini dihentikan seara m endadak, REM rebound terjadi, dan orang tersebut mengalami peningkatan mimpi dengan mmpi buruk nyata. Ampfetamin yang bekerja pada pembentukan retikjular untuk memelihara kebangkitan adn keterjagaan, juga menekan REM ketika tidur akhirnya terjadi. Webb dan Agnew (1973) mencatat bahwa penghentian amfetamin menyebabkan REM rebound lebih lama, kadang-kadang berlangsung hingga 2 minggu, disertai oleh mimpi buruk nyata. Bahkan alkohol, jika dipakai pada dosis yang cukup bisa menyebabkan supresi REM. Kemungkinan halusinasi nyata dialami saat pemakaian alkohol dihentikan (disebut delirium tremens atau DT) bisa bersal dari REM rebound yang menyerang pada perilaku bangun (Dement 1982; Webb & Agnew 1973). Nampak jelas bahwa beberapa ”obat” untuk keterpulasan, seperti pemakaian barbiturate bisa menjadi lebih parah daripada kuarng tidur (Palca 1989).
Banyak riset sudah dilakukan pada tidur REM dan NREM. Meski kita tahu banyak tentang karakteristik tidur, kita masih pemula untuk memahami sistem otak yang terlibat dalam proses tidur. Riset ini kopleks dan kadang-kadnag bertentangan; bagaimanapu, beberapa struktur otak depan dan batang otak sudah diidentifikasi sebagai pengatur fungsi tidur.

Fisiologi tidur
Sistem saraf otomatis mengubah aktivitasnya selama tidur. Selam tidur NREM, tekanan darah, dneyut jantung dan respirasi menurun dan vena serta arteri melebar (vasodilasi). Selama tidur REM, tekanan darah, denyut jantung dan repsirasi biasanya meningkat dan menadi jauh lebih bervariasi. Terjadi peningkatan aliran darah ke otak dan ereksi penil terjadi pada pria; adanya sebuah erksi Nampak tidak berhubungan dengan isi mimpi!dalam tidur REM aktivitas listrik korteks, seperti yang anda ingat, berubah dari gelombang delta ampitudo tinggi, lamban menjadi gelombang amplitude rendah yang mirip seperti yang terjadi saat bangun.
Sebagian besar riset ditujukan untuk menjelaskan bagiamaan struktur-strutkur dalam batang otak bias dikaitkan dengan perubahan-perubahan dalam aktivitas kortikal. Ada banak riset yang menyarankan areaotak tengah juga menogntrol proses tidur.

MEkanisme batang otak. Dalam membicarkaan pembentukan reticular kita menguji karya Bremer. Anda akan ingat bahwa ketika Bremer memotong otak pada level colliculi, tikusnya tidak lagi menunjukkan siklus tidur-bangun normal. Ketika potongan ini lebih rendah, antara medulla dan spinal cord, siklus tidur-bangun normal diamati. Transeksi ini ditunjukkan pada gambar 3.7. jika potongan dibuat pada pertengahan antara dua potongan Bremer (melalui bagian tengah pons) binatang menunjukkan insomnia. Ini menunjukan bahwa area di antar apotongan collicular dan potonganmidpontine dilibatkan dalam keterjagaan. Jika area ini diputuskan dari sisa otak, seperti pada potongan ccollicular Bremer, binatang ini tidur; jika area ini tetap tersambung, seperti pada potongan midpon tine, keterjagaan dipertahankan dan tidur terganggu. Di bawah pusat kebangkitan ini (RAS), dalam area umum pons, terdapat struktur yang menekan RAS sheingga tidur bias terjadi . tapi RAS tidak bias lagi ditekan jika struktur ini diputus dari RS (oleh potongan midpointine) dan binatang tidak bias tidur. Jika potongan ini dibuat lebih rendah, atanra medulla dan spinal cord seperti yang dilakukan oleh Bremer, kedua system ini dibuarkan utuh dan tersambung ke korteks sehinggag siklus tidur-bangun normal terjadi (gambar 3.7).
Temuan-temuan ini mendorong dilakukannya studi intens terhadap area pons untuk menemukan struktur-struktur yang mengontrola ktivitas RAS otak tengah dan mengontorl kegairahan. Setidaknya tiga struktur dalam area ini sudah diimplikasikan dalam produksi tidur (Carlson 1977). Tiga struktur adalah rhape nucleus, locus corerulus, dan giganto-cellular tegmental field (gambar 3,7).
Jouvet (1976) merusak sel-sel di dalam raphe nucleus pons dan medulla dan menemukan timbulnya insomnia, seperti pada potongan midpontine yang disebutkan sbeelumnya. Sheingga Nampak bagi Jouve t bahwa system raphe bertanggungjawba menekan aktivitas system retiklar otak tengah (yang bertanggungjawba untuk kegairahan dan keterjagaan). Setelah terminology Jouvet, kita bias beprikirraphe nucleus sebagai rem untuk keterjagaan.
Riset lain menyatakan bahwa locus coeruslus (selanjutnya disebut LC dan terletak di pons) dan gigantocellular tegmental field (disebut FTG juga terlaetak di pons) bekerja secara resiprokal untuk menentukan periode-periode tidur REM dan NREM.
Struktur-struktur tambahan di dalam batang otak juga terbukti mempengaruhi kegairhaan dan tidur. Misalnya, nucleus saluran soliter (tereletak di medulla) menekan aktiitas RAs di bawah kondisi-kondisi tertentu (Carlson, 1977). Yang menarik nucleus ini menerima input dari lidah dan beragam organ internal; seperti disebutkan Carlson, kehadirannya mungkin menjelaskan mengapa makan besar membuat kita mengantuk. Sehingga mekanisme fisiologis yangm mengotnrol perilaku bangund an tidur cukup kompleks. Untuk menambah kompleksitas ini, terdatp bukti yang cukp bahwa struktur otak depan seperti korteks frontal, thalamus, hipotalamus dan area-area preoptik juga berperan dalam tidur (Williams et al 1973).

Kimia tidur. Jika anda pernah tidak tidur dalm waktu lama, anda tahu bahwa keinginan untuk tidur menjadi semakin kuat. Sekarang terdapat bukti bahwa tubuh menghasilkan satu zat kimia atau lebih yang mendukung tidur akibat terjag. Bukti untuk suatu tipe kimia tidurdiberikan oleh Henri Pieron pada awal 1900an (Pappenheimer, 1976). Pieron menemukan bahwa ketika dia menyuntik anjing normal dengan cairanserberospinal anjing yang terdeprivasi tidur selama 10 hari atau lebih, respipien tidur sleama beberapa jam setelah inejksi. Ini menunjukkan bahwa beberap ajenis zat kimi ayang mendukung tifdur bias berpkembang selama periode terjaga lama. Teknik-teknik PIeron jauh lebih disukai, dan mekski riset awalnya menarik, sedikit kemajuan yang dibuat hingga saat ini.
Pada 1976 John Pappenheimer di Hardward Medical Shchool mengembangkan teknik-teknik di mana cairan cerberospinal bias didapatkan atau dipakai dengan mudah dengan menaruh kanula (tabung) dengan baik. Pappenhemier mendeprivasi domba tidur selama 48 jam dan mengambil beberapa cairancerberospinal. Cairan ini kemudian disuntikkan ke cairan cerberospinal kucing laboratorium. Pappenheier menemukan kucing itu menjadi mengantuk. Dalam serangkaian eksperimen, Pappenhemier menyarign tekniknya dan mampu menunjukkan bahwa tikus yang disuntik dengan cairan serberospinla yang diambil dari doba yang terdeprivasi-tidurnya jug amenjadi kurang aktif. Pencatatan aktivitas listirk otak pada tikus ini menunjukkan penignkatan pola gelombang lamban yang terlihat selama tidur normal.
Karya Pappenheimer menyatakan bahwa suatu zat kimia yang mednukung tidur dihasilkans elama terjaga. Dalam sebuah pengertian kita mungkin mendorong diri untuk tidur dengan tetap terbangun. Pappenheimer dan koleganya mencoba memisahkan zat kimia pendorong tidur. Meski kemajuan sudah didapatkan, jumlah zat kimia yang dihasilkan oleh keterjagaan sangat sedikit, mungkin hanya sepert juta gram. Kureger, Papenheimer, dan Karnovsky (1982) juga mengisolasi zat kimia pada urin manusia yang Nampak mendukung tidur.
Riset lain menyebutkan zat-zat kimia lain dalam rposes tidur seperti cytokine interleukin-1, dan prostaglandin D2 dan juga neurotransmitter acetylcholine (untuk tidur REM) (Palca, 1989). Juga ditunjukkan bahwa neurotransmitter adenosine, yang dihasilkan oleh metabolism otak selama terjaga, memiilki efek inhibitoris terhadap neur pada pons yang menghasilkan kegairahan EEG. Kerja pada adenosine menarik karena memberi mekanisme dimana keterjagaan seblumnya bias berkontribusi terhadap produksi tidur. Adenosine meurpakan produk samping dari aktivitas otak yang lebih tinggi sleama terjaga daripada salaam tidur. Adenosine memiliki efek inhibitoris terhadap neuron-neuron yang menjaga kegairahan seperti diukur oleh EEG sehingga kadang-kadang menurunkan kegairahan dan tidur. Dukungan lebih lanjut untuk mekanisme ini berasal dari fakta bahwa kafein (yang ditemukan dalam kopi) dan theophylline (yang ditemukan dalam teh) memblok tempat-tempat reseptor untuk adenosine, sheingga mencakup cirri-ciri kegairahan kopi dan teh. Riset tentang asar kia tidur cukup emnarik karena member pemahamanyang lebih tentang bagaiaman tidur bias tejradi dan harapan akan penyembuhan insomnia secara lebih alami.

Fungsi-fungsi tidur yang mungkin
Meski par apenliti mulai membagi-bagi pemahaman struktru otak yang terlibat dalam proses tidur, pemahaman kita tentang fungsi tidur masih misteri. Beberap ahipotesis sudah ditawarkan dan beberapa riset sudah dilakukan. Ide-idenya cukup menantang.
fungsi-fungsi apa yang bisa diatributkan ke tidur? Dari banyak proposal mungkin yang palin gumum adalah yang memberikan fungsi restorative. Hartman (1973) meyakini tahap 3 dan 4 bersifat restorative dan bisa mendukung sintesis senyawa kimia yang dipakai selama tidur REM – misalnya, protein dan asam ribo nukleat (RNA). Hartman selanjutnya menyarankan bahwa tidur REM bisa memiliki fungsi restorative berkaitan dengan perhatian dan emosi. Dia menyebutkanbahwa tidur REM yang lebih cukup mnampak terjadi setleah seharian mengalami kekhawatiran, stress atau belajar keras. Dari sudut pandang Hartman, Ftidur REM bsa membantu kita menangai situasi stress dengan memungkinkan kit amemperhatikan lingkungan lebih efisien saat kita terjaga. Seperti dicatat sebelumnya beberapa studi mengindikasikan sifat restorative dari tidur NREM (Shapiro et al 1981; BUnnel, Bevier, & Hoirvath 1983, Shapiro 1982). LEbih lanjut Greenberg dan rekan (1983) mel;aporkan bahwa deprivasi REM mengurangi akses ke ingatan-ingatan penting tapi tidak pada ingatan-ingatan non personal. Berdasarkan hasil-hasil mereka, Greenberg dan rekan menyatakan bahwa tidur REM bisa dilibatkan dalam membuat hubungan antara pengalman penting saat ini dan pengalaman emosional yang berkaitand engan pengalaman-pengalaman sekarang. Sehingga Nampak bahwa tidur REM bisa penting berkaitan dengan emosionalitas. Bukti lebih lanjut untuk pentinngya tidur REM dalam emsionalitas berasal dari riset yang menunjukan bahwa depresi dan osnet REM awal berkorelasi positif.
Problem dengan teori yang menyatkan fungsi restorative untuk tidur, adalah bahwa tidur REM dan tahap 3 menurun seiriing usia. Banyak ahli teori menyarankan bahwa tahap 3 merupakan proses tidur restorative, beberapa indidiu masih belum menunjukkan tidur tahap 4 pada usia 50. Setiap teori fungsi retoratif harus mampu menangani perbedan ini.
Dement (1972) mengusulkan bahwa tidur, khususnya tidur REM, bisa dilibatkan dalam organisasi otak. Dement mendasarkan ide ini pada fakta bahwa mamalia muda enunjukan REM yang lebih kut daripada mamalia dewasa. Selain itu, pad amanusia, periode-peridoe REM bisa dideteksi pada 3 bulan sebelum lahir. Bayai yang kahir hinggag 3 minggu secar premature menghabiskan sebanyak 75% waktu tidurnya dalam REM sementara bayi full term menghabiskan sekitar 50% tidur mereka dalam REM. Pad usia 3 bulan, periode tidur REM menurun sekitar 30% dari waktu tidur (LEwin & Singer, 1991). Oleh karena itu tidur REM bisa berfungsi sebagai sumber internal stimulasi yang membantu menyusun otak muda dengan benar. Tidur REM pada orang dewasa mungkin tidak lebihdari sekaadr sisetm vestigial yang tidak punya tujuan nyata.
Meski mungkin tidur REM dan bermimpi tidak penting bagi orang deawasa, studi-studi deprivasi REM menyatakan sebaliknya. Mengapa tekaan REM meningkat dengan eprivasi jika system ini tidak penting bagi orang dewasa? Organisasi otak muda mungkin merupakan abgian dari fungsi tidur, tapi mungkin harus ada penjelasan lebih bagi fungsi terbeut daripada pemrograman awal otak.
Beberapa ahli teori (BErtini 1973l Dewan, 1970) mengusulkan bahwa tidur REm berfungsi sebagai alat pemrogram. Materi baru yang dipelajari selama terbangun dianggap dimasukkan dan mengubah organisasi otak yang ada selama tidur REM. Dewan menyerupakan proses ini dengan program computer. Selama tidur REM program-program diubah dan diatur ulang berdasarkan informasi-informasi baru yang diterima. Bagian dari pemrogrmaan ulang ini memerlukan penyimpanan informasi baru di lokasi yang tepat.
Broughton dan Gastaut (1973), Greeberg (1970), dan Pearlman (1970) menekankan ide bahwa tidur REM dilibatkan dalam konsolidasi memori. Greebnerg, misalnya, percaya bahwa bermimpimemungkinkan materi ditransformasikan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Bertini, Dewan, Greeberg dan Pearlman percaya bawh proses penyimpananbisa didasarkan pad aaspek-aspek emosional infomrasi, sheingga menjelaskan mengapa emosionalitas terjadi dalam mimpi. Emolsi tertentu yang diraskaan selama proses pembelajaran bisa berfungsi sebagai “tag” atau lebel yang menentukan di mana dan dengan meoori apa bagian infomrasi disimpan. Riset Greenberg dan rekan (1983) juga mendukung gagasan ini.
Stern (1970) membicarakan rsit yang menyaatakan bahwa deprivasi REM mengganggu pembelajaran respon dan juga denan retensi tugas-tugas yang dipelajari sebelum deprivasi. Selain itu, Pearlman menebutkan bukti interferensi dalam adaptasi terhadap peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kecemasan pleh deprivasi REM. Film yang mendukung kecemasan dihadirkan pad apara subyek yang kemudian mendeprivasi tidur REM selama satu malam. Kemduain emreka menonton film tersebut untuk kedua kalinya. Subyek normal menunjukkenan kecemasan yang lebih kecil pada sat menonton kedua kali seemtnara subyek yang terdeprivasi REm menjadi cemas selama menonton kedua seperti pada saat menonton pertama kali. Hasil-hasil PEralman menyatkaan bahwa bermimpi memungkinkan kita memasukkan situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan dan membiasakan diri dengan mereka.
TIdur REM juga berperan sebagian dalam penyimpanan informasi asosiastif kompleks. SCrima (1982) misalnya menemukan ingata material asoasiatif kompleks secara signifikan lebih baik setelah periode REM terpisah daripada setelah periode NREM terpisah atau keterjagaan pada sekelompok sepuluh narcoleptic. Narcolesy adalah gangguan tidur di aman indivdu sering tidurdengan cepat selama siang dan REM sering terjadi pad onset tidur daripada setelhah periode NREM normal.
Para pasien alkoholik kronis akdang-akdang menunjukkan serangkaian gejala yang disebut sindrom Korsakof, sebagian emlibatkan gangguan memori. Greenberg (1970) mempelajari para pasien yang menderita sindrom KOrsakoff dan menemukan bahwa mereka yuagn sudah megnalami sindorm ini mengalami peningkatan kondisi REM, yang cnederung bersifat fragmenter. Greenberg percaya lesi otak yang terinduksi alcohol menggangu ingatan dan proses impipi dan meningkatnya REm adalah usaha oleh otak untuk mengimbanginya.
Salah satu baian paling menarik dari riset tentang hubungan yang mungkin nantara memori dan ingatan dilakukan oleh ZOrnetzer, Gold dan Boast (1977). Dalam seri-seri eksperimen mereka, konsolidasi (waktu penyimpnanan) dari memori diuibah oleh destruksi lcus coerulus (LC). Seperti yang anda ingat, LC merupakan bagian mekanisme yang terlibat dalam aktivasi dan inhibisi REM dan tidur NREM. Para peneliti menemukan bahwa kerusakan pada LC memperlama jumlah waktu I mana informasi baru rentan bagi gangguan memori. Nampak bahwa LC berperan emmbatasi lama waktu di mana memori bisa diganggu. Zornetzer dan rekan juga mencatat beberapa hubungan anatomis yang menyatakan bahwa LC dilibatkan dalam proses memori. Meski data ini kurang jelas, kesimpulan yang muncul adalah salah satu fungsi penting dari tidur dan bermimpi adalah untuk menyimpan informasi. Dua studi terbaru member bukti lebih lanjut bagi peran tidur dalam proses memori. Karni dan kolega menunjukkan bahwa tidur REM (tapi bukan NREM) penting bagi pengmbangan tugas diskriminasi visual, sementara Wilson dan McNaughton menemukan bahwa sel-sel di dalam hipokamus yang berhenti bersamaan ketika binatang berada dalam lokasi tertentu juga berhenti bersmaaan selama periode tidur berikutnya. Seperti mereka catat “informasi yang didapatkan selama perilaku aktif dinyatakan lagi dalam sirkuit hipocampal selama tidur, seperti dipostulatkan oleh beberapa teori konsolidasi memori (Wilson & McNaughton, 1995, hal 676).
Tidur umumnya dianggap terletak di ujung bawah kontinum kegairahan. Seperti kita lihat, ini mungkin merupakan sudut pandang yan terlalu sederhana karena aktiitas kortikal berbeda dari tahap ke tahap,. Seperti aktivitas oda n control otot otomtatis. Argumen Lacey (1967) untuk beberapa tipe kegrairahan Nampak tepat dalam pandangan data tentang perilaku bangun dan tidur yang kami uji, tpai banyak yang harus dilakukan untuk emahami kegairahan perilaku.
Kami sekarang akan menguji riset yang berkaitan dengan apa yang biasanya dianggap sebagai ujung itnggi dari kontinum kegairahan – yang kita sebut stress.

Stres
ketika level kegairahan kita tinggi, kita menjadi stress. Seringkali istilah stress disamakan dengan distress (arlond 1967). Nampak jelas kita juga st res ketika hal-hal baik terjadi kepada kita, seperti promosi atau pernikahan.
Cara yang lebih umum untuk memikirkan stress terjadi ketika tubuh dipaksa mengatasi atau beradaptsi dengan situasi yang berubah, yang bisa baik atau tidak. Sehignga situasi yang menyebabkan deivasi berarti dari kondisi normal kita akan dianggap menimbulkan stress.
Stress adalah bagian intregal dari hidup; kita tidak bisa lepas dari stress, seperti dikatkaan Selye “bebas sepenuhnya dari stress adalah kematian” (1973, hal 693). Untuk memahami perilakutermotivasi, perlu diketahui bagaimana stress mempengaruhi tubuh dan perilaku kita. Dalam bagian ini kami akan menguji riset tentang stress yang berkaitan dengan motivasi dan inovasi, dan kami akan menguji juga cara-cara menangani stress.

Definisi stes
Konsep stress terbukti sulit diartikan. Mungkin karena banykanya situasi yan gbis amemicu stress pada seseorang. Bagaimanapun kami akan mencoba merumuskan definisi kasar tentang stress.
Selye (1973) mengartikan stress sebagai respon tubuh non sepsifik terhadap setiap permintaan yang muncul. Pada dasarnya Selye berasumsi bahwa suatu level optimal fungsi tubuh muncul dan stressor 9stimulu atai situasi yang menciptakan stress pada diri seseorang) menyebabkan gerakan menjauh dari level optimal ini. Respon stress dipandang sebagai perilaku adaptif untuk mengembalikan tubuh ke kondiis normal. Stress adalah mekanisme homeostatis. Stress sistemik atau psiklogis bisa dipandang sebagai respon adaptaif yang dirancang untuk mengembalikan individu ke kondisi yang mendekati optimal.

Stres Psikologis dan Sistemik
Strs sistemik melibatkan suatu tantangan bagi integritas tubuh fisik. Tubuh bereaksi terhadap invasi (bakteri, virus, panas, dingin dan sterusnya) oleh respon umum yang membantu menyerang tanntagan tesebut. Kami akan segra menguji respon ini secara detail.
Tapi stress tidak memerlukant antangan fisik ke tubuh agar terjadi; ini bisa terjadi untuk alas an-alasan psikolgis murni. Kekhawtairan terhadap ibu yang sakati atau kecemasan tentang kehilangan pekerjaan bisa menimbulkan stress. Misalnya antisipasi lompat parasut lebih menimbulkan stress bagi pelompat berpengalaman dari pada lompatan actual. Adanya emolsi biasanya dianggap sebagai tanda gangguan terjadinya perilaku (Appley & Trumbull 1967).
Efek-efek stress tidak slalu buruk, meski kami biasanya cenderung mempelajari efek negative stress. Jumlah stress tertentu Nampak perlu untuk kreativitas dan performa. Jumlah stress yang sedang memperbaiki performa (Tanner 1976). Kita semua tahu individu tidak mampu menyelesaikan segala hal kecuali ditekan oleh sebuah deadline. Bagi para individu tersebutu, stress sedang bisa membantu. Kita harus ingat bahwa ada perbedaan dalam kemampuan untuk mentoleransi stress, dan kadang-kadang berguna untuk menanyakan kepada diri kita sendiri di bawah kondisi apa perilaku kita bisa paling efisien.

Aktivitas Sistem Endocrine dan Stres
Untuk memahami beberapa efek stress, kita harus tahu sesutau tentang kera-kerja tubuh ketika menghadap istresor. Salah satu efek utama stressor adalah pada system endocrine.
System endocrine adalah serangkaian kelenjar yang terletak di seluruh tubuh yang mensekresi zat-zat mereka secara langsung ke dalam aliran darah. Zat-zat ini disebut hormone dan bisa diangagp sebagai sinyal-sinyal kimi ayang mengatur atau mengkoordinasikan aktivitas organ-organ jauh (Seyle, 1956). Kelenjar utama dalam system ini adalah pituitary, yang disebut sebagai kelenjar master karena berperan mengontrol kelenjar-kelenjar lain. Pituitary terletak di dasar otak dan dikontrol oleh struktur otak yang dikenal sebagai hipotalamus. Hipotalamus aktif dalam banyak aktivitas yang termotivasi seperti yang akan dilihat dalam bab berikutnya. Ini meproduksi hormone-hormon yang bisa menyebabkan pituitary melepaskan zat-zatnya (Guillemin & Burgus, 1976; Levine, 1971).
Disamping pituitary, kelenjar utama lainnya yangmenarik bagi kita dalam studi stress adalah kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal (yang terletak di atas setiap ginjal) terdiri atas dua bagian yang memiliki fungsi berbeda. Tutup luar kelenjar adrenal (disebut korteks adrenal) mesnekresi hormone yang disebut 17-hydroxycorticoid. Sementara beberapa kortikoid terdapat pada manusia, sebagian besar sekresi korteks adrenal adalah hydrocortisone (juga disebut kortisol). Adrenal cortex jug amensekresi sedikit hormone lain yang disebut aldosteron, yang efek utamanya adalah pada keseimbangan air dan elektrolit (Oken, 1967). Bagian utama (adrenal medulla) mensekresi dua zat, epinephrine dan norepinpehrine. Sekarang kita coba memahami apa yang terjadi ketika mnengalami stress.
Informasi tentang kondisi tubuh secara konstan dikumpulkan oleh system sensori eksternal )(mata, telinga hidung) dan oleh system sensori internal (kondisi organ internal, perubahan darah dan seterusnya). Informasi ini dipantau oleh otak, dan ketika stressor terdeteksi system-sistem di dalam hipotalamus diaktivasi. Bagian posterior hipotalamus mengaktivasi aktivitas system saraf simpatetik yang menstimulasi adrenal medulla mensekresi epinephrine dan norepinephrine. Apada saat yang sama, system-sistem lain di dalam hipotalamus mensekresi sebuah zat yang disebut CRH, yang menyebabkan kelenjar pituitary mensekresi zat ke aliran darah yang disebut ACTH. ACTH penting karena melintasi aliran darah ke kelenjar adrenal, sementara ini menyebabkan korteks adrenal mensekresi hydrocortisone dan juga sedikit aldosterone ke dalam aliran darah (Oken, 1967).
PElepasan epinephrine dan hydrocortisone ke dalam aliran darah memilki efek memombilisasi tubuh untuk krja (dengan meningkatkangula darah, denyut jantung dan tekanan darah) sehingga kita bisa menangani stressor dengan lebih baik.suatu jenis mekanisme feedback harus ada karena ketika level darah hidrokortisone meningkat, otak menghentikan produksi ACTH dan juga hydrocortisone.
Ketika stresor diatasi atau hilang, aktivitas system pituitary adrenal berkurang dan kita kembali ke keadaan yang lebih rikels. Bagian anterior (depan) hipotalamus Nampak penting dalam hal ini dan bisa bekerja menghambat bagian posterior (belakang) yang aktif ketika kita mengalami stress (bovard 1967).
Orang yang paling bertanggungjawab atas studi stress adalah Hans SElye yang system tiga bagian respon terhadap stress.

SIndrom adaptasi umum
Pada 1925 seorang mahasiswa kedokteran usia 18 tahun bernama Hans Selye memperhatikan gejala-gejala penyakit menular. Saat itu dia melihat gejala-gejala umum yang dimiliki pasien, bukan gejala-gejala yang dia harapkan (Seyle, 1956).
Masih tak dibiaskan oleh pemikiran medis saat itu, Selye mencatat bahwa sebagian besar penyakit memilki serangkaian gejala umum. Pasien kelihatan dan merasa sakit, lidahnya kaku, mengelhkan sakit dan nyeri pad asendi dan kehilangan selera makan serta mengalami demam. dengan kondisi ini dia menyebutkan ada serangkaian gejala umum yang membuat sesorang menentukan suatu penyakit. Meski para praktisi medis saat ini tertarik pada gejala-gejala khusus, Selye dihadapkan oleh tingkat overlap yang besar dalam gejala-gejala umum dari satu penyakit ke penyakit lainnya.
Hingga 10 tahun kemudian Selye mulai mencocokkan observasi awalnya ini dan sampai pada konsep stress. Dia melakukan riset pad hormone seks dan menemukan bahwa menyuntik binatang dengan hormone placenta ataui overaian menyebabkan serangkaian perubahan, termasuk pembesaran korteks adrenal. Penyusutan kelenjar thymus dan lymph node dan ulcerasi pada saluran gastrointestinal. Dia segera menemukan abhaw injeksi setiap zat asing atau beracun bisa menyebabkan efek yang sama. Dengan kata lain, respon-respon tubuh yang dia amati tidak spesifik, seperti gejala-gejala yang dia amati sebelumnya.
Hasil-hasil ini mendorong Selye mempelajari reaksi-raksi tubuh ketika dihadapkan pada stressor. Dia sgera menemukan bahwa perubahan yang dia temukan pada kelnejar adrenal, system lymph dan saluran gastrointestinal merupakan respon awal tubuh terhadap sebuah stressor. Dia menyebut respon ini reaksai pengingat.
Selama reaksi pengingat kekuatan tubuh dimobilisasi sehingga hidup bisa dpertahankan sehingga respon adaptif local (misalya inflamasi pada suatu titik infeksi) disekresi ke aliran darah untuk embantu tumbuh mempersiapkan diri dari serangan stressor. Epinephrine disekresi oleh adrenal medulla dan melintasi semua bagian tubuh, meningkatkan efisiensi sinapsis otot, mempercepat napas, meningkatkan denyut jantung dan seterusnya. Selama fase awal reaksi pengingat ini, resistensi kita tehradap stress di bawah normal tapi ini segra naik di atas normal.
Sekali respon adaptif local sudah dibangun, tahap kedua berkembang – Selye menyebutnya tahap resistensi. Selama periode ini proses-proses menjadi lebih cepat penuranr eaksi pengingat hamper ke level normal. Daripada memobilisasi seluruh tubuh untuk mengambil suatu tindakan, dalam reaksi alarm, tahap resistensi membilisasi hanya sebagian tubuh yang diserang. Kemampuan beradaptasi dengan stressor lebih besar daripada normal selama tahap resistensi.
Jika pertahanan local tidak adekuat atau gagal mebatasi efek-efek stressor, resistensi akhirnya member jalan bagi tahap ketiga, yang selye sebut sebagai tahap pemnghabisan. Dalam tahap ini reaksi stressor menjadi umum lagi. Level kortikoid naik seperti kenaikan selama reakasi alarm. Hidup pad atahap ini bisa dilanjukans elama pertahanan ekstra yang dibawa oleh aktivasi seluruh system bis aberlangsung. Jika stressor tidak dihilangkan pertahanan tubuh akan dihabiskan dan kematian akan terjadi (Gambar 3.9). tiga tahap ini menyusun reaksi tubuh total terhadap stress, dan reaksi ini disebut sebagai sidnrom adaptasi umum (GAS).
GAS adalah serangkaian respon yang dipicu oleh stressor dan dirancang untuk menghilangkan atau mengandung unsure stress sehingga tubuh bisa mempertahankan hidup. Perubahan fisiologis yang bekaitan dengan GAS inilah yang kita alami sebagai stress (Selye 1956m, 1973).
GAS diaktivasi tidak hanyah olehs t res-stes fisik seperti infeksi tapi juga ole sters-tres psikologi seperti kecemasna, suar abising, atau kerumunan. Tubuh bereaksi dengan cara yang sama terhadap semua stressor. Karena stressor seperri kecemasan tidak bisa dihilangkan dengan mudah, stressor bisa menyebabkan kerusakan pada diri kit adnenga membuat GAS tetap aktif. Dalam hal ini problem-problem seperti ulcer, tekanan darah tinggi, dan bahkan tipe-tipe penyakit ginjal terstentu mungkin disebabkan oleh stress psikologis. Sehingga respon GAS tidak selalu adaptif; karena suatu alas an, respon ini mungkin tidak tepat untuk problem. Ketika terjadi, kita menderita, menurut Selye, penyakit adaptasi.

Penyakit-penyakit adaptasi
Kadang-kadang respon tubuh bisa tidak adekuat atautidak tepat terhadap stressor. Misalnya salah satu proses paling dasar dalam control stresoor fisik adalah inflamasi. Inflamasi memberikan hambatan yang membatasi persebaran stressor (infeksi misalnya). Jika tubuh bereaksi terhadap partikel asing, inflamasi bisa menimbulkan bahaya lebih besar ketimbang partikel tersebut. Ini lah yang terjadi pad areaksi-reaksi alergik terhadap serbuk bunga. Selye percaya banyak penyakit merupakan penyakit adaptasi di mana tubuh bereaksi secara tidak tepat terhadap stressor.
Satu aspek baru dari teori Selye adalah ide bahwa setiap kita hanya memilki sejumlah tertentu energy adptif. Energy adaptif adalah zat hipotetis yang dipakai ketika kita stress. Selye percay abahwa penuaan dan kematian disebabkan oleh habisnya energy adaptif ini; kita bisa menggunakannya degna epat dengan hidup sangat stress, hidup singkat; atau kita bisa membagi-baginya dengan hidup lebih lama dan stress leih kecil. Saat ini terdapat sedikit bukti yang mendukung adanya energy adaptif.
Satu problem dari teori Selye berkatian dngan pemicuan reaksi kewaspadaan. Sesuatu memicu reaksi kewaspadaan tapi proses-proses aktualnya tidak jelas. Oken (1967) percaya bahwa pemicu GAS bisaberupa emosi, karena hamper setiap emosi yang membangkitkan stimbulus menyebabkan aktivasi komponen pituitary-adrenal dari GAS. Riset yang diarahkan pada sinyal atau beberapa sinyal yang bisa mengaktivasi respon stress adalah sebuah tugas kompleks
Rioset Selye menghasilkan ribuan studi tambahan tentang stress. Pemahamanmenyeluruh tentang bagaimana stgres fisik atau psikologis mempengaruhi perilaku sangat penting. Stress, di satu sis ibis amemotivasi kreativitas; di sisi lain ini bisa menciptakan tekanan darah tinggi dan ulcer. Satu bidang di mana stress sudah dipelajari adalah hubungan stress dengan perubahan-perubahan hidup signifikan di satu sisi dan terhadap penyakit di sisi lain.

Perubahan hidup, stress dan penyakit
Satu area riset sudah bersuaha membahwa jarring-jaring hubungan antar stress dan penyakit – topic tentang perubahan hidup. Riset perubahan hidup, seperti sebagian besar ilteratur tentang stress, bisa dilacak balik hinngga Walter Cannon (Dohrenwend & DOhrenwend, 1974). “peta hidup” yang dibuat oleh Adolph Meyer pada 1930an juga merupakan salah astu usaha terawal untuk menghubungkan perubahan-perubahan dalam kehidupan pasien dengan penyakit. Riset Meyer merintis studi-studi modern hubungan anara stress dan penyakit.
Ide dasar yang mendasari riset perubahan hidup adalah peristiwa-perisitwa di kehidupan kita mempengaruhi kerentanan kita terhadap penyakit mental dan fisik. Riset berfokus terutama pada usaha-usaha untuk membuat skala beragam perubahan hidup dalam hal jumlah penyesuaian yang diperlukan dari perubahan-eprubhaan tersebut dan kemudian mengkorelasikan perubahan-perubahan hidup tersebut dengan terjadinya penyakit atau pencarian bantuan professional.
Studi-studi jangkma panjang dilakukan oleh Hinkle (1974) yan gmenguji kesehatan dan catatan para pekerja perusahaan telpon selama 20 tahun. Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa beberapa orang lebih mudah sakit ketimbang yang lain. Orang-orang yang mengalami hari libur lebih lama mengalami lebih sering penyakit baik minor atau mayor. Penyakt-penyakit ini juga cenderung berkelompok di sekitar periode kehidupan tertentu individu. Pengelmopomkan ini terjadi selama waktu-waktu di dalam kehidupan orang-orang ketika lingkungan social atau hubungan interpersonal meerka menimbulkan tuntutan besar. Hubungan stress-penyakit bukannya tidak bervariasi, meski demikian, karena Hinkle mencatat banyak orang mengalami stress yang luar biasa tapi tidak menjadi sakit. Dia menyatakan bahwa individu yang sehat Nampak secara emosional mampu melindungi diri mereka dari perubahan hidup drastic yang terjadi pada mereka. Insulasi emosional Nampak melibatkan kemampuan utuik emlangkah balik dari peristiwa-peristiwa emosional dan menjaga perspektif mereka.
Thomas Holmes dan rekan mengembangkan sebuah skala perubahan hidup utama yang mereka ketakhui berhubungan dengan penyakit. 43 item skala (disebut SRRS) dirating oleh orang-orang menurut jumlah penyesuauan yang diperlukan oleh even-even tersebut. Tidak semua item negative: beberapa positif seperti perkawinan atau perayaan Natal. Meski dmeikian semuanya memerlukan suatu coping atau adaptasi pada orang yang mengalami perubahan.
Scaling 43 item mendorong penentuan item mana yang memerlukan cping atau penyesuaian paling bagus. Seperti bisa dilihat dalam table 3.1,. (Holmes & Rahe, 1967), kematian pasangan memerlukan adaptasi terbesar, diikuti oleh perceraian, perpisahan perkawinan dan seterusnya. SRRS diberikan pada segala kelompok (Dewasa, mahasiswa, remja) dan perjanjian pad jumlah peneysuaian yang dilperlukan oleh beragam pengalaman hidup sangat konsisten, bahkan secara lintas budaya. Sejak pengemb anagn SRRS awal beberapa modifikasi telah dibuat dan beberapa alat pengukuran stress hidup lainnya sudah dikembangkan.
Para peneliti menemukan bahwa perubahan-perubahan hidup cenderung mengelompk secara signifikan dalam 2 tahun sebelum onset penyakit. Studi-studi menunjukkan bahwa dengan p eningkatan jumlah unit perubahan hidup (disebtu LCU ukuran jumlah perubahan hidup dalam suatu unit waktu seperti 6 bulan atau setahun) membuat peluang sakit juga meningkat/
Banyak ivnestigasi sebelumnya tentang perubahan hidup dan penyakit merupakan studi-studi retrospektif, di mana individu diminta menyebutkan kapan penyakit dan perubahan hidup terjadi. Para peneliti kemudian mencari hubungan antara penyakit dan perubahan hidu yang mungkin mengawali penyakit. Skor-skor LCU mulai dari 150 hingga 1999 dalam satu tahun diangagp sebagai krisis pertengahan hidup dan ditemukan bahwa 37% dari individu yang member skor did alam rentang ini melaporkan mengalami perubahan kesehatan utama. Skor-skor LCU di antara 200 dan 299 diartikan sebagai krisis hidup sedang, dan persnetase orang-orang yang melaporkan perubahan kesehatan utama naik menjadi 79% (Homes dan Masuda 1974). Holmes percaya bahwa onset penyakit setelah perubahan utama hidup terjadi dalam satu tahun.
Studi-studi prospektif, di man aindividu member informasi tentang perubahan hidup terbaru dan ditanya kemudian tentang perubahan-perubahan pada keshatan mereka juga telah dilakukan. Inti dari studi ini adalah untk melihat apkah perubahan dalam peristiwa-peristiwa hidup bisa memprediksikan perubahan-perubahan kesehatan di masa mendatang. Holmes dan masuda menyebutkan beberapa studi yang mengindikasikan bahwa perubahan hidup juga memprediksikan penyakit di masa mendatang. Dalam satu studi, 86% dari individu yang mendapat skor di atas 300 LCU mengalami perubahan kesehatan utama kadang-kadang sleama dua tahun berikutnya (48% yang member skor antara 200 dan 299 dan 33% yang member skor antara 150 dan 199 mengalami perubahan kesehatan utama).
Salah satu studi prospektif paling menarik melibatkan prediksi performa berdasarkan pada skor-skor perubahan hidup terbaru, dalam sebuah situasi stress kopetitif lama. Even pkompetitif adalah sebuah lomba balap anjing yang mencakup 1.049 mil antara Anchorage dan Nome, Alaska. Para menemukan adanya korelasi negative signifikan antara skor perubahan hidup dan urutan finis dalam lomba; semakin besar jumlah perubahan hidup yang terjadi pada diri seseorang, semakin buruk orang tersebut menang dalam lomba. Meski jumlah subyeknya sedikit, tapi hasilnya cukup berguna.
Roskies, LIda-Miranda dan STrobel (1975) mempelajari perubahan hidup dan penyakit pad sekleomok imgiran POrtugis di Kanada. Temuan-temuan mereka menarik karena dua hal. Pertama, 68% dari subyek tersebut masuk eke dalam kategori krisis hidup sdang atau utama, namun sampel portigis tidak menunjukkan insiden penyakit yang besar ketimabg populasi kanada scara keseluruhan. Menderita perubahan penyakit utama imgirasi tidak menempatkans esoerang pada sebuah kategori resiko tinggi penyakit, meski para peneliti tersebut menemukan korelasi signifikan antara perubahan hidup dan penyakit.
Kedua, temuan yang lebih menarik adalah terdapat perbedaan jenis kelamin signifikan berkaitan dengan perubahan hidup dan penyakit di antara kelompok inigram ini. Wanita imigran lebih mudah sakit ketimbang pria imigran, dan korelasi antar aperubahan hidup dan penyakit untuk wanita jauh lebih kuat. Tidak ada hubungan signifikan di antara perubahan hidup dan penyakit untuk pria. Dan untuk sub kelompk pria (muda atau berpendidikan tinggi atua keduanya) hubungan ini negative, menunjukkan bahwa bagi mereka perubahan hidup dikaitkan dengan kesehatan. Kemungkinan adanya perbedaan jenis kelamin dalam hubungan antara perubahan hidup dan perubahan kesehatan memerlukan studi sistematik
BNedell dan rekan (1977) mempelajari perubahan-perubahan hidup aank yang mengikuti camp 3 minggu untuk penyakit kronis. Anak-anak ini diberi barterei uji kepribadian dan versi SRRS anak-anak. Anak-anak ini digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan pada skor-skor perubahanhidup mereka; kelompk stress rendah yang member skor anak-anak tersebut normal, dan kelompok stress tinggi yang skornya jauh di bawah normal. Hasil-hasil dari kuesiner menunjukkan bahwa kelompk sres tinggi, dibandingkan kelompk stress rendah memiliki konsep diri yang lebih buruk, menganggap diri mereka bertidnak buruk, mengatakan mereka kurang menarik dan kurang popular, dan mesa mereka kurang sukses di sekolah. Anak yang sangat stress cenderung membuat evaluasi diri negative.
Studi juga menemukan bahwa kelompk strs tinggi lebih sering mengalami problem kesehatan daripada kelompok stress rendah. Selama periode kamp 3 minggu, 69 episode penyakit terjadi pada kelompok sres tinggi, dibandingkanhanya 19 pada kelompok stress rendah. Karena dua kelompok ini dibandingkan untuk tipe dan tingkat keparahan penyakit, kelompok stress tinggi lebih rentan teerhadap episode penyakit akut. Seseorang menduga apakah anak-anak berpenyakit kronis kurang mampu beradaptasi dengan stress-stres tambahand ari perubahan hidup dan lebih rentan terhadp penyakit akut. Seperti mereka catat, bukti paling kuat untuk penyakti kardiovaskular, penyakit menular dan komplikasi kehamilan.

Problem-problem riset perubahan hidup
Beberapa studi mempertanyakan SRRS dalammemprediksikan penyakit. Ada sedikit keraguan bahwa sebuahubungan antara perubahan hidup dan perubahan kesehatan ada, tapi korelsi ini, meski signifikan,s eringkali sangat kecil dan mencakup sedikit variasi total di dalameksperimen. Artinya adalah SRS bisa memprediksikan perubahan-perubahan umum pad akesehatan yang berasal dari perubahan-perubahan di antar akelompok-kelompok besar. Tapi memprediksikan sangat sedikit tenatng peluang-leuang penyakit untuuk individu tertentu yang disebabkan oleh perubahan-perubahan hidup.
Perbedaan-perbedaan individu selau menjadi probem terbesar dalam usaha untuk memahami bagaimana peristiwa-peirsitwa hidp berhubugnand engan penyakit. Perisiwa yang sama Nampak tidak mempengaruhi orang secara sama. Rahe (1974) menyebutkan kita perlu memahami lebih tentang bagaimana orang-orang menangani perubahanhidup baik scara psikologi danfisiolgoi sebelum kita berharap memahami pengapa perubahan-perubaan hidup bisa mempengaruhio seseorang tapi tidak orang lain.

MEnetralkan Efegk-efek PEurbaahn hidup dan stress
Bahwa beberapa orang mengalami banyak peurbaanhidup dan tidak menyadi sakit menunjukkan bahwa orang-orang tersebutu mungkin mampu mengurangi efek-efek stress dari perubahan-perubahan hidup. Riset yang menguji efek-efek penetral variable-ariabel kepribadian dan strategi yang emngurangi stress mendukung ide ini. Sejumlah studi mengidentifikasi beberapa variable yang Nampak berperan. Beberapa variable itu antara lain kekersan, latihan, duungan social, orientasi peran seks, kompleksitas diri, humor danoptimisme.
Misalnya KObasa dan rekan (1982) menguji efek dari dua variable terhadap hubungan penyakit-stres. Variabel pertama adalah gaya kepribadian yang mereka sebut kekerasan (Kobasa 1979). Kekerasan dianggap sebagai kombinasi dari tiga karakteristik kepribadian – komitmen, control dan tantangan – yang berfungsi menetralkan efek-efek stress karena mereka dikaitkan dengan keingintahiuan dan minat dalam pengalaman-pengalmaan hidup. Lebih lanjut, individu yangkras percaya mdirinya bisa mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka danperubahan ini bersifat alami. Sikap-sikap ini membantu ment\etralkan efek-efek stress karena membantu individu menangani peristiwa-peirsitwa hidup yang berubah dalam suatu perspektif (Kobasa et al 1982). Studi varibel kedua oleh KObasa dan rekan adalah latihan. Kmeski latihan sering diuji berkaitan dengan system kardiovaskular para peneliti ini tertarik pada efek latihan sebagai penetra stress yang diakibatkan perubahanhidp.
Dalam studi cermat inim para peneliti menemukanbahwa kekerasan dan latihan mengurangi kemungkian penyakit akibat perubahan hidup yang menimulkan stress dalam sampel 137 personel manaemen tingkat menengah dan atas serta berjenis kelamin pria. Selain itu, efek penetral dari keerasan dan latihan bersifat independen dan adititif. Efek buffering terbesar ditemukan pada subyek yang memiliki skor kekerasan dan latihan tinggi. Apra peneliti mengusulkan bahwa efek penetral dari dua variable ini adalah pada spek-aspek yang berbeda dari hubugnjan stress-penyakit. Mereka peraya bahwa kekerasan mentrnansformasikan peristiwa-peirsitwa yang menimbukan stress dan mengurangi stingkat stress, sementara latihan mengurangi tegangan fisiol;ogis dan psikologis pada individu dari perisitwa ptersebut. Sehingga efek penetral dari dua variable ini cukup berbeeda; satu mengurangi stress itu sendiri, sementar yang lain mengurangi efek merugikand ari stress terhadap orang itu. Akibatnya titik-titk kerja yang berbedaini, kekerasan dan latihan bersifat aditif dalam engurangi efek perubahan hidup terhadap penyakit.
Hasil-hasil studi Kobasa dan rekan (1982). Konsiten dengan badan riset umum yang menunjukkan bahwa dimensi keterkontrolan-ketidakterkontrolan dari peirsitwa yang menyebabkan stress penting dalam menentukan efek-efek perubahan hidup terhadap penyakit. Misalnya Johnson dan Sarason (1978) menunjukkan subyek yang mengindikasikan suatu keyuakinan lokus control internal menunjukkan korelasi yang lebih rendah antara perubahan-perubahan hidup dan penyakit selanjutnya daripada subyek yang menyatakan keyakiann dalam sebuah lokus control eksternal. Demikian juga Stern, McCants dan PEttine (1982) menemukan item-itempad SRS yang dinilai tidak terkontrol oleh subyek lebih berkaitan dengan penyakit daripada item-item yang dinilai sebagai hal terkontrol. Selain itu merkea menemukan bahwa item-itemyang dianggap tak bisa dikontrol juga dinilai lebih menimbulkan stress. Harus dicaat bahwa kesepakatan subyek tentang bagaimana peristiwa-peristiwa yang bisa dikontrol yang berbeda adalah sangat divergen; apa yang dianggap oleh satu subyek bisa dikontrol sering dianggap tak terkontrol oleh orang lain. Selain itu merek amenemukan bawh item-item yang dianggap tak bisa dikontrol juga dinilai lebih menimbulkan stres. Hasil-hasil yang sama dilaporkan oleh SUls dan Mullen (1981) yang menemukan bahwa ketidakinginan dan ketidakterkontrolan berkaitan dengan insiden gejala-gejala stress psikologis. Mungkin korelasi rendah antara perubahanhidup dan penyakit sebagian disebabkan oleh persepsi-persepsi keterkontrolan yang berbeda. Seperti dicatat oleh Stern dan rekan, ketidakterkontrolan peristiwa terbukti menjadi indeks stress yang lebihbaik daripada perubahan-perubahan hidup. Riste di atas menyatakan bahwa keaykiann bahwa seseorang bisa mengontrol perisitwa hidupnya merupakan mekanisme adaptif penting untuk mengatasi stress.

Kritik terhadap Konsep Ketangguhan
Baru-baru ini beberapa riset mulai mempertanyakan peran ketangguhan dalam menetralkan efek stress. Mungkin kritik yang paling kuat adalah ukuran-ukran ketangguhan dicrancukan dengan ukuran-ukuran neurotisisme. Skala-skala yang dipakai untuk mengukur ketangguhan umumnya demikian dengan mengukur cirri-ciri selerti alienasi dan ketidakberdayaan. Ketangguhan kemudian diindiaksikan oleh skor-skor yang rendah pad askala-skala tersebut. Karena tidak adanya cirri-ciri negative dibuktikan sebagai ketangguhan, kemugninan yang diukur adalaha tidak adanya neurotisisme daripada ketangughan itu sendiri. Funk (1992) menyatakanbahwa skala-skala ketangguhan perlu dimodifikasi untuk memasukkan item-item yang lebih positif dan item-item yang menyaring neurotisisme harus dihilangkan.
Hubungan-hubungan social kita bisa mempengaruhi kesehatan kita (House et al 1988). Diketahui bahwa tingkat kematian dari semua sebab lebih tinggi di antara orang yang tidak menikah ketimbang orang yang menikah. Orang yang tidak menikah dan terasing secara social mengalami angka tuberculosis, kecelakaan dan gangguan psikiatrik yang lebih tinggi.
KOrelasi antara hubungan social dan kesehatan mendorong beberapa peneliti mengusulkan bahwa hubungan social bisa mendukung kesehatan dengan menetralkan efek stress. Satu aspek penetral dari ineraksi social yang sudah dipelajari adalah sifat suportifnya. Teori dukungan social mengusulkan bahwa hubungan menetralkan efek stress melalui dorongan seseorang atau beberapa oragn terhadap orang yang mengalami stress. Dukungan social bisa mendukung kesehatan yang lebih baik melalui bantuan praktis, kenyamanan emosional, penetapan rasa bermkana dan koherensi pada hidup, membantu perilaku kesheatan yang bagus (tidur yang benar, diet, latihan dan sterusnya), promosi afek positif, pengembangan rasa berarti, atau kombinasi dari antaranya.
Yang menarik, dukungan social bisa lebih efektif sebagai penetral bagi pria atau untuk orang-ornag yang menunjukkan orientasi peran seks maskulin. Karakteristik-karakteristik lain selain dukungan social yang bisa member efek penetral terhadap hubungan penyakit-strs. Peterson dan rekan (1988) melaporkan bahwa gaya eksplanatoris 9cara kit amenjelaskan perisitwa) memprediksikans atus kesheatan 20 hingga 30 tahun kemudian. Mereka menemukan bahwa gaya penjelasna pesimistik (mengatributkan peristiwa-perisitwa buruk pada factor-faktor stabil, global dan inernal) pada usia 25 memprediksikan kesehatan yan gburuk pada usia 45 hingga 60. Para subyek dalam studi ini yang mencatat peristiwa peristiwa buruk dalam hidup mereka dengan gaya penjelasan yang lebih eksplanatoris (menyebut perisitwa buruk tersebut pada sebab yang tak stabil, spesifik, dna eksternal) lebih sehat daripada kleompok pesimistik. Satu implkasi dari studi ini adalah bahwa menginterpreasikan sebuah peirsitwa buruk secara optimistic bisa meredakan efek-efek stress dari peristiwa tersebut. Kita harus hati-hatid alam mengambil kesimpulan hingga bukti lebih lanjut tersedia. Kemungkinan ada variable lain yang mempengaruhi gaya peksplanatoris dan kesehatan dalam hidup.
Satu penetral potensial dari hubungan stress-penyakit yang sudah diselidiki adalah gaya ekspresif. Para peneliti menemukan bahwa penggunaan humor sebagai cara menangai peristiwa stress. Sebenanrya, studi mereka melaporkan subyek yang sering menangis menunjukkan meningkatnya level gangguan mood ketika peristiwa-peristiwa negative sering muncul.
Mungkin gaya penjelasan (pesimistik-optimistik) dan gaya ekspresif (menaing-humor) berinerkasi dalam efek-efek buffering. Sesoearng mungkin memprediksikan penetral paling kecil ketika gaya penjelasan pesimisme dihubungand ngan gaya penjelasan ekspresif berupa sering menangis. Logika ini menyatakanbahwa buffering terbesar akanberasal dari komnbiansi gaya eksplanatoris optimistik dan gaya ekspresif humoris. Rist dimasa mendatang mungkin emmberikan penjelasan atas efek-efk penetral interaktif tersebut.
Beberapa teknik untuk mengatasi stress dengan sadar juga diusulkan. Kami akan menutup bagian ini dengan menyeb utkan sedikit di antaranya.
Selye (1956) percaya bahwa pengetahuan itu bersifat menyembuhkan. Jika kita menghilangkan suatu misteri dari sebuah proses ini menjadi lebih menakutkan. Ini menyatakan bahwa mengetahi sesuatu tenatenag reaksi-raksi terhadap sres akan emmbantu kita menangani stress. Menyadari kita kuat seringkali membantu kita mengurangi ketegangan.

Studi-studi HIkle selama bertahun-tahun menunjukkan beberapa orang mentoleransi stress lebih baik daripada yang lain. Dia mencatat mereka yang mentolernasi stress dengan baik dan tetap sehat Nampak mampu uintuk melindungi diri secara emosional dari perisitwa-peristiwa di sekitar mereka. Mungkin kemapuan untuk menjadi obyektif dan menerima situasi yang tidak bisa diubah membantu orang-oarng ini mentoleransi stress.
George Ruff dan Sheldon Korchin (1967) mempelajari bagaimana para astronot MErkuri menangani stress. Para astronot ini memiliki dorongan kuat untuk menguasai dan berprestasi, yang sering difrustasikan oleh penundaan program yang tak terhindarkan dan problem peralatan. Bagaimanapun para astronot ini mampu mentoleransi stress dengan baik, terutama dengan mengalihkan frustasi-frustasi yang terjadi sementara ini ke masa depan. Selain itu par astronot cenderung menggambarkan dirinya positif secara emosional, dan kecemasan antisipatoris Nampak membantu performa emreka. Misalnya, ketika mereka cemas tentang suatu kondisi tidak beres, mereka segera beralih ke rencana kontingensi untukkondisi darurat tersebut. Mandler (1967) mencatat bahwa salah satu dari respon yang paling adaptif terhadap stressor adalah memiliki rencana pengganti untuk kesempatan iut. Mungkin yang kita pelajari dari para astronoot ini dan menangnai situasi-situsi stress kita dengan merumuskan rencana kontingensi.
Banyak orang tertarik pada meditasi sebagai cara mngurangi stress dalam hidup mereka. Herbert Benson menulis sebuah buku yang sangat menarik, The Relaxation Response (1975) yang menganalisa banyak tipe teknik meditative dan menyaringnya menjadi empat langkah umum. Menurut Benson semua tipe meditasi mendukung relaksasi. Dia percaya bahwa meditasi mengurangi stress karena melawan overaktivitas system saraf simpatetik pada level hipotalamus (Benson 1975; Benson et al 1977; Hoffman et al 1982). Sehingga teknik meditasi menyebabkan berkurangnya stress dengan mengaktivasi mekanisme-mekanisme neural yang melawan atau menghambat system saraf simatetik dan respon-respon stress tubuh. Meski demikian, lebih banyak karya tentang efek-efek fisiolgosi meditasi terhadap stress yang diperlukan sebelum kita mengambil kesimpulan.

Ringkasan
Dalam bab ini kami sudah menguji teori-teori dan riset yang menyarankan bahwa motivasi dan emosi bisa dipahami menurut teori kegairahan. Teori kegairahan diperkuat oleh penemuan mekanisme-mekanisme otak yang berfungsi mengaktivasi korteks (system aktivasi reticular otak tengah) dan ini mendorong pada pengembangan teori-teori yang mengusulkan bahwa kegairahan adalah motivasi. Segera menjadi jelas bahwa kegairahan bukan sebuah proses unitary tapi terdiri atas beberapa tipe kegairahan (kortikal, otonom, behavioral). Teori kegairahan sudah melangkah lebih jauh dalam hal motivasi. Jika kita menyebutkan bahwa organism yang tergairahkan itu termotivasi, apa yang menentuka apakah organism ini makan, minum, berhubungan seks atau tertidur? Teori kegairahan sedikit menyebutkan tentang aktivasi motif-motif tertentu atau arah yang diambil oleh perilaku tersebut.
Tidur pada awalnya diangagp melibatkan sedikit kegairahan. Kita sekarang tahu bahwa ini juga terlalu disederhanakan. Pencatatan aktivitas listrik otak menunjukkan perubahan-perubahan tertentu pada level-level tidkur yang berbeda dan juga menunjukkankemiripan-kemiripan dia ntara aktivitas kortikal selama tidur REM dan sleama terjaga. Studi-studi fisiologis mulai mencata system-sistem yang terlibat dalam tidur dan menunjukkan mekanisme batang otak berperan utama dalam proses tidur dan bermimpi. Meski peran struktur-struktur otak lainya masih belum jelas, mereka juga Nampak terlibat aktif dalam proses tidur.
Penyimpangan-penyimpangan besar dari level fungsi normal kit abis amenyebabkan kondisi kegairahan yang disebut stress. Stress dianggap sebagai usaha tubuh untuk mengasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Stress bisaterjadi dari sebab-sebab fisik dan psikologis dan menyebabkan pada reaksi umum yang disebut sidrom adaptasi umum. Banyak reaksi stress melibatkan kelenjar pituitary dan adrenal dari system endocrine. Aktivasi sumbu pituitary-adrenal dipicu oleh persepsi sebuah stressor, menyebabkan mobilisasi tubuh untuk mengatasi stress.
Banyak riset yang dilakukan pada hubungan perubahanhidup dan penyakit mengindikasikan hubungan di antara keduanya. Problem utama pada riset perubahan-hdup adalah idnvidiu memiliki kemampuan yang berbeda dalam me nahan stress. Perbedaan-perbedaan individu tersebut pada efek perubahan hidup dan penyakit saat ini bersaal dari agen-agen penetral yang mengurangi efek stress. Gaya kepribadian ketangguhan, latiahn fisik dan kontrolabilitas disebut-sebut sebagai factor-faktor yang mengurangi hjubungan antara perubahan hidup dan stress.
Sebagian besar orang kemungkinan mampu mengurangi jumlah stres yang mereka alami. Riset menunjukkan bahwa pengetahuan reaksi-raksi tubuh terhadap stress dan persiapan rencana altenratif untuk mengatasi frustasi yang menyebabkan stress adalah cara-cara efektif mengurangi strs. Beberapa orang juga lebih kebal terhadap stress karena mereka bis amelindungi diri secar aemosioal dari perubahan-perubahan hidup yang mereka alami. Teknik-teknik meditative bisa efektif mengurangi stress karena pengalaman meditative memicu mekanisme di dalam hipotalamus yang menghambat overaktivitas pada system saraf simpatetik.

BAB 4
MEKANISME FISIOLGOSI REGULASI

Teori-teori Lokal
Ketika saya duduk didepan word procesor saya, melihat sandwich dan memikirkan bagaimana memulai diskusi tentang mekanisme fisiolgosi regulasi, smpailah pada saya topik lapar, haus, dan motivasi seksual. Terasa sangat kompleks. Banyak rset sudah dilakukan terhadap lapar dan haus yang mengambil pandangan bahwa homeostasis merupakan mekanisme utama yang mengontrol pencernaan makanan atu air. Yaitu, secar aumum diasumsikanbahwa kita makan makanan untuk menjaga kesiembangan energi kita dan minum air untuk mnjaga keseimbangan cairan kita. Pendekatan-pendekatan awal menyatakan bahwa perubahan-perubahan pada kotnaksi perut atau mulut kering merupakansinyal-sinyal yang memulai makan dan minmum. Misalnya Cannon dan Washburn (1912) melaporkan bahwa kotnraksi perut berkaitan dengan rasa lapar pada manusia. Washburn menelan sebuah balon yang dikempeskan dan kmudian menempelkannya pada sebua pena pennanda yagmencatat kotnraksi perut Washburn pada sebuah bagian kertas yang begerak (gambar 4.1). washburn juga dimint amengindisikan kaan dia merasa lapar secara subyektif. Rasa lapar ini cendeurn gnaik dengan kontraksi perut, sehngag menyebabkan Cannon dan Washburn berasumsi bahwa kotnraksi-kontraksi perut merupakand asar dari sinyal-sinyal lapar dan hasil dari makan.
Teori Cannon dan Washburn dikenal sebagai teori motivasi lokal karena berasumsi bahwa sinyal-sinyal yang mengontrol motif-motif seperti lapar dan haus dihasilkan dalam organ-oragn tubuh perieral (yang berbeda dengan otak). Teori motivasi lokal tidak memadai. Misanya, memperparah saraf yang membawa informasi di antar asistem saraf pusat dan perut tidak menghilankan pengalaman lapar. Saaf vagus merupakan sumber utama informasi ini; ketika memperbarahnya menyebabkan kotnraksi-kontraksi perut berhenti tapi tidak menyebabkan pengalaman lapar pada manusia berhenti (Gross man & Stein 1948). Morgan dan Morgan (1940) sebelumnya menunjukkan bahwa memperbaparah agus tidak menghilangkan asupan makanan pada tikus yang diberi insulin, sehingga peneliti bisa melihat perubahan-perubahan pada periferal tubuh tidak perlu untuk menimbukan pengalaman lapar. Karena penjelasan-penjelasan peirferal sebelumnya tidak mampu mencakup kondisi-kondisi termotivasi seperti lapar dan haus, cukup alami bagi penliti untuk mulai melihat otak sebagai tempat kontrol yang mungkin.

Teori-teori Sentral
Teori-teori sentral motivasi menekankan ide bahwa sel-sel kuhsus dalam otak mendeteksi perubahan-perubahan pada kondisi ubuh dan memicu motivasi yang sesuai. Model-model tersebut tidak menekankan peran peifferal dalam regulasi makan dan minum. Beberapa rea otak diimplikasikan dalam kontrol homeostatik dari perilaku termotivasi, tapi jumlah riset terbesar berfokus pad struktur kecil yang terkubur dalam otak, disebut hipotalamus. Speerit namanya, ini terletak dibawah talamus. Gambar 3.2 menunjukkan lokasi hipotalamus dalam kaitannya dengan struktur-struktur otak lain.
Meski hipotalamus merepresetnasikan sebagian kecil dari seluruh otak, sel-sle yang terdapat dalam area ini dan serat-srat yangmelewatinya terlbat dalam banyak fungsi penting. Mislanya, hipotalamus menggontgrol aktivasi bagian simpatetik dan parasimpatetik sistem safar otonom dan juga kelenjar pituitary, dan akkibatnya juga mengontrol seluruh sistem endocrine. Perubahan-perubahan pada perilaku seksual, makan dan minium, keagresifan dan ketaktuan semuanya dilaporkan disebabkan oleh kerusakan eksperimental atau stimulasi pada area ini. Hipotalamus juga memilki banyak pembuluh darah, yang membuatnya sangat cocok dengan perubahan-perubahan sampel pada koponen-komponen darah (glukosa darah, kadar air, level hormon, dan seterusnya).

Regulasi Homeostatik
Model homeostatik berasumsi ada kmekanisme regulatoris did alam tubuh yang mengambil sampel lingkungan inernal; ketika prubahan memindahkan tubuh dari nilai optimal, mekanisme ini memicu sirkuit yang menghasilkan motivasi untuk mengembalikan organisme ke kondisi seimbang. Gambar 4.3 menunjukkan versi sederhana bagaimana mekanisme tersebut bisa bekerja. Banyak riset yang diarahkan pad apemahaman regulasi kondisi-kondisi motivasional berkonsentrasi pada motif lapar dan juga pad aperan hipotalamus ada rasa lapar.

Regulasi rasa lapar
Motivasilapar secara umum dianggap bersifat homeostatik. Ketika terjadi ketidakseimbangan, misalnya kadargula dalam darah (glukosa darah), perubahan ini dideteksi oleh sel-sel khusus yang disebut glukoreseptor menghambat makan leih lanjut karena level energi sekarang sudah cukup. Suatu mekanisme homeostatik seperti yang baru saja dijelaskan dianagp mengontrol regulasi asupan energi jangka pendek, yaitu ketika kita makan (interval intermeal) dan seberapa banak iita makan (ukuran makanan). Umumnya, mekanisme homeostatik kedua, yang mengontrol regulasi adangan energi jangka panjang, juga diasumsikan. Mekanisme yang mengotnrol reglasi jngka panjang dilibatkan dengan memelihara cadangan energi yang cukup sehignga jika asupan energi jangka pndk terbukti tidak cukup, simpanan-simpanan tersebut bisa dipakai untk mmelihara fungsi nomal. Regulasi jangka panjang ini bisanya daingap melibatkan deteksi perubahan-perubahan jumlah lemak yang tersimpan dalam jaringan adiposa dan aktivasi rasa lapar juga cadngan makanan berada jauh di bawah jumlah optimal. Sekarang kita akan menguji konsep regulasi motivasi lapar jangka penek dan jangka panjang.

Regulasi jangka pendek
Regulasi jangka pendek melibatkan kontrol makan pada periode waktu tetentu, seperti dari satu hari ke hari berikutnya atau dari satu makan ke makan berikutnya. Karena regulasi jangka pndek diangagp berfungsi terutama menyeimbangkan asupan energi dengan pengeluaran energi, diasumsikan sistme ini memantau beberapa aspek ktersediaan energi dan memicu makan ketkika energi yang tersedia mulai turun. Pertanyaan menariknya adalah: di mana sistem jangka pendek ini dan bagaimana cara kerjanya?
Petunjuk untuk lokasi yang mungkin dari sistem ini diberikan dalam sebuah studi oleh Hetheringtond an Ranson (1940) yang menemukan bahwa lesi-lesi hipotalamus menyebabkan kegemukan pada binatang. Riste selanjutnya melokalisir efek kegemukan pada kerusakan di aaerah hipota,amus ventromedial (VMH). Ketika area hipotalamus ini dirusak, binatang yang terkena akan mulai makan dalam jumlah besar, sebah kondis iyang dikenal sebagai hiperpagia. Gambar 4.4 menunjukkan sebuah tikus yang dibuat gemuk oleh kerusakan pad aarea ini. Binatang hiperagic bisa makan dalam jumlah banyak, kadang-kadang menyebabkan berat badannya naik dua kali lipat dari beat badan normal; namun demikian binatang ini tidak makan hingga munta. Kadang-kadang binatang gemuk ekstrim ini menyetbailkan berat badam merka pada peningkatan level ini dan memelihara diri mereka pada berat badan baru ini.
Petunjuk kedua yang berkaitan dengan operasi sitem ini diberikan oleh Anand dan Brobeck (1951), yang menemukan bahwa lesi-lesi dalam daerah kedua, disebut lateral hipotalamus (LH) menyebabkan binatang berhenti makan. Gambar 4.2 menunjukkan lokasi hipotalamus lateral. Binatang yang dirusak LH ini tidak makan atau minum (kondisi yang disebut aphagia dan adipsia), dan bisa mati jika tidak diinterfenssi pengeksperimen. Jika binatang ini dijaga hidup oleh pengekserimen, biatang ini akan puluh dan memelihara dirinya sendiri meski berat badannya jauh di bawah normal.
Penemuan area-area di dalam hipotalamus yang memiliki efek spesifik dan berlawanan terhadap perilaku makan binatang mendorng pada konsep psat-pusat yang bekerja bersama-sama mengatur rasa lapar (Stellar 1954). VMH diangagp sebagai pusat satiety yang menghentikan makan ketika asupan energi cukup. Jika center inidirusak maka binatang tidak bisa menghamatb makannya dan menjadi kegemukan. Sebaliknya LH dianagp sebagai pusat eksistatoris yang menyalakan respon makan ketika sumber-sumber energi baru diperlukan. Menurut hipotesis pusat, kerusakan pada LH akanmenyebabkan tidak adanya makan karena sel-sel yang umumnya memulai kprsoes makan dirusak. Konsep eksistatoris dan pusat inhibitoris di dalam hipotalamus yang menatur asupan makanan menghasilkan riset yang cukup besar. Inti daririset ini adalah usaha utnk menentkan kondisi-kondisi apa yang berubah di dalam tubuh yang memberi sinyal LH untuk memulai makan dan kodisi-kondisi apa yang memberi sinyal VMH untuk menghambat makan. Perubahan-perubahan pada glukosa darah memberikan sebuah alon.

Teori Glukostatik Rasa Lapar. Pada 1955 Mayer mengusulkan bahwa rspetor-rseptor dalam hipotalamus sensitif terhada perubahanperubahan ada rasio glukosa darah dalam ateri pada vena. Penurunang lukosa darah yang terdeteksi oleh glukoreseptor pada LH dianggap memicu makan, sementara peningkatan glukosa dara yang dideteksi leh glukoreseptor pada VMH dianggap menghambat asupan makan lebih lanjut. Teori Mayer sebagian didasarkan pada laporan Brechr dan Waxler (1949) yang menunjukkan bawah injeksi zat kimiayang disebut thioglukosa emas membunuh selsel dalam VMH. Diasumsikan sel-sel ini dibunuh karena menyerap zat kimia karena mirip dengan glukosa/.
Teori glukosattik mendapatkan popularitasnya tapi kredibilitasnya dipertanyakan. Beberapa lini penelitian menyatakan bahwa meski glukoreseptor bisa terdapat dalam VMH dan LH, keduanyabulan kemkanime utama yang bertanggngjawba untukr eguasi jangka pendek normal. Misalnya, saat ini ditunjukkan bahwa ker thiglkosa emas merusak VMH karena menghancurkan makann kapiler pada VMH bukannya diserap oleh sel-sel karena mirip glukosa. Zat-zat kimia lain yang merusak kapiler juga merusak VMH meski tidak mengandung glukosa sebagai bagian dari susunannya. Kerja destruktuf gthipoglukosa emas pada kapiler bukannya pada sel-sel VMH menimbulkan keraguan terhadap adanya glukoreseptor dalam VMH. Ekragukan lebih lanjut dibuat olehs tudi Gold (1973) yang menunjukkan bahw lesi-lesi terbatas seluruhnya pada VMH dan tidak merusak bendel-bendel serat yang berdekatan yang tidak menyebbakankegemukan. Ketuka bendel-bendel yang berdekatan dirusak, efek kegemuklan VMH ditemukan. Hasil-hasil Gold mmpertanyakan peran VMH dalam mematikan perilaku yang memoitasi makanan dan menyatakan bahwa serat-serat yang meliutnasi dekat VMH bisa bertanggungjawab atas terjadinya kegemukan, karena serat-srat trsebut serigkali dirusak ketika lesi-lesi VMH diciptakan.
Peran LH dalam aktivasi perilaku makann juga itdak semeyakinkan yang diindikasikan riset. Bukti untuk glukoreseptor pada LH muncul dan area ini nampak dilibatkan dengan makan akibat perubahan-peurbhana pada glukosa, meski demikian, peran LH dalam makan normal nampak meragukan. Misalnya Blass dan Kraly mencatat bahwa berkurangnya sel-sel LH dari glukosa harus ekstrim sebeoum makan diinduksi pada tikus normal. Akibatnya mereka menyatakan bahwa LH bisa menjadi bagiand ari sistem emergensi yang dipicuhanya di bawah kondisi-kondisi ekstrim.
Bukti yang paling merusak bagi ide bahwa LH normalnya memulai makan adalah sekelompoks tudi yang menunjukkan bahwa lesi-lesi LH menyebabkan defiist motivasional umum di mana makan hanya menjadi bagian kecilnya saja. Stricker dan rekan menujukkan bahwa binatang yang dirusak LH tidak bereaksi terhadap stimuli yang umumnya dikaitkan denganperilakut ermotivasi dan juga menunjukkan defisit yang besar pada level kegairahan normal. Binatang gn dirusak LH menjadi catat dan tidak berkaitan dengan motivasi lapar. tidak terjadinya makan pada binatang tersebut mungkin merefleksikan efisit yang lebih umum daripada kursakan pada sistem regulatoris jangka pendek yang sensitif terhadap glukosa.
Apa yang dibahas oleh siet ini berkaitan dengan teori bahwa hipotalamus mengandung respetor sensitif glukosa yang mengotnrol makan dan minum? Nampak jelas bahwa VMH dan LH terlibat pada motivasi lapar dalam beberpa cara. Ada bukti bahwa glukoreseptor ditemukan dalam otak; injeksi glukosa ke otak menekan proses makan dan kekurangan glukosa yang kuat akan memulai proses makan. Glukoreseptor dalam otak mungkin meurpakan bagiand ari sebuah sistem darurat yang hanya berperan ketika level glukosaturun drastis. Juga diketahui bahwa baik VMH dan LH terlibat dalam beragam perilaku selain makan; kerusakan menyebabkan perubahan-erubahan perilaku komplkes dimana makan (atau kurang makan) hanyalah satu bagian saja. Akibatnya, konsep sistem ganda dari puat inhibitoris dan eksistatoris di dalam hipotalamus yangmenatau level glukosa dan mematikan atau menyalakan motivasi lapar nampak tidak benar. Kesimpulan bahwa glukorespetor dalam otak tidak mengontrol perilaku makan normal mendorg beberapa peneliti melihat kembali periferal tubuh untuk sinyal-sinyal yang memulai dan menghambat makan

Detektor-detektor periferal untuk regulasi jangka pendek. Mekanisme periferal apa yang memicu perilaku makan dan mekanisme apa yang menghentikan makan? Meski sebuah mekanisme tunggal bisa memulai danmenghentikan proses makan, beberapa sistem mungkin dilibatkan. Jika kita mengangap tubuh seperti roket NASA, di mana beberap sistem backup menjadi aktif ketika kondisi berubah, kita tidak boleh terkejut saat menemukan bahwa pemciuan dan penghmbatan makan berasal dari lebihd ari stu tipe sinyal. Para peneliti menemukan bukti untuk lebih dari satu sistem sinyal.
Ketika kita makan, enzim dalam saliva mulai memecah makanan menjadi komponen-komponen yan lebih kecil. Proses ini dilanjutkan oleh perut yang kemudian mengosongkan isinya ke usus kecil atas, yang disebut duodenum. Poduk-produk pencernaan, sepergi gula sederhana dan asam amino disrap oleh duodenum dan masuk ke aliran darah yang selanjutnya langsung diangku ke liver; lemak mengambil jalan yang berbeda (Carlson 1977), Beberapa mekniasme dalam perut bisa bertindak sebagai sinyal-sinyal satiety untuk mematikan makan. Dua mekanisme ini merupakan reseptor regangan dalam dinding perut, yang berfungsi embaasi asupan, dan detektor nutrisi, yang menginformasikan oak akan adanya nutrisi tersbut. Sebuah loop fedback juga muncul di antara perut dan otak karena aktivitas perut dimodifikasi oleh isinya. Perut tidak nampak meregulasi dengan sendirinya, meski demikian, karena individu yang mperutnya masih kosong melaporkan lapar dan masih meregulasi.
Duodenum merupakan tempat yang mungkin bagi glukorespetor elusif karena injeksi glukosa lngsung ke duodenum menekan makan pada kelinci ygn makan bebas (Novin 1976). Duodenum juga mensekresi hormon yang disebut enterogastrone yang memilikie fek mengurangi aktivitas perut. Injeksi enterogasron juga menekan makanan selama 17 jam pada tikus, jadi suatu komponen enteroasron berfungsi sbagai sinyal kenyang. Komponen ini merpakan zat kimia yang disebut cholecystokinin (CCK).
Banyak studimemberi bukti bahw CCK, yang disekrsi oleh ussu atas sebagai respon terhadap makanan memberi sinyal otak untuk menghentikan makan. Satu lini riset melibatkan perbandingan konsentrasi-konsentrasi CCK yang ditemukand alam otak tikus gemuk dan non gemuk.studi ini,yang dilakukan oleh Straus dan Yalow (1979), menunjukkan bahwa tikus yang gemuk secara genetik mungkin hny puny sekitar 25% jumlah CCK dalam otak mereka sebagai tikus normal dan menyatakan bawha makan berlebihan oleh tikus gemuk tersebut bisa berasal dari konsnetasi CCK yang lebih rendah. Saitio dan rekan (1982) menunjukkan hubungan antara tempat-tempat reseptor CCK dalam otak dan obesitas, tapi tidak jelas bagaimana hasil-hasil ini berhubungan dengan hasil Straus dan Yalow (1979). Meski data ini nampak menunjukkan CCK berfunsi sebagai sinyakl kekenyangan pada beberapa kondisi, pentingnya CCK sebagai sinyal kekenyangan hormonal utama masih diperdebatkan (Kraly 1981a, 1981b).
Liver juga nampak menjadi sumber potensial sinyal lapar dan kenyang. Injeksi gluikosa ke dalam vena portal hepatik (yang melalui liver) menekan mkanan, sementara injeksi glukosa dalam vena jugular (yang menyuplai otak)tidak punya efek. Efek kenyang dari injeksi glukosa portal dihilangkan jika saraf vagus dipotong. Ini menunjukkan bahwa glukoreseptor bisa ada dalam liver yang menularkan inframsio mereka ke hipotalamus di sepnajng saraf vagus. Dalam mendukung hubungan liver-hipotalaik ini, Schimitt (1973) menunjukkan bawha infusi portal glukosa mengubuah tingkat penembakan neuron dalam hipotalamus. Jika nampak bahw aliver bisa menjadi saumber sinyal kenyang yang dikirim ke otak untuk menekan poses makan.
Di sisi lain, bukti jug amenunjukkan liver bisa memulai proses makan. Misalnya Novin (1976) melaporkan bebeapa eksermend I maan 2-DENGAN disuntikkan ke vena portal hepatik. Karena 2-DENGAN menghambat penggunaan glukosa, ini tidak boleh membodohi reseptor-reseptor liver untuk berfgungsi seperti jika glukosa darah rendah sehingga memulai makan. Inilah yang terjadi, dengan onset makan sangat cepat. Hasil-hasil Novin menyatakan bawha liver memantau ketersediaanglukosa dan mengirim informasiini ke hipotalamus, yang memulai atau menekan proses makan. Novin percaya bahwa detektor glukosa terdapat pada duodenum dan liver. Dia mengusulkan reseptor-respetor dalam duodenum bertindak sebagai penekan makanan jika l;apar mimnimal tapi memacu keras ketika bninatang kelaparan. Di bawah kondis ikelaparan, respetor-reseptor liver menetukan kapan makan akan ditkan. Novin juga menyarankan bahwa detektor tersebut juga mengirimkan informasi ke LH dan informasi ini spesifik bagi glukosa.
Nampak mungkin bahwa regulasi makan jangka pendek dicapai oleh sistem senstifi-glukosa tapi reseptor ssitem ini berada dalam duodenum, liver atau keduanya.

Regulasi jangka panjang
Studi-studi alam regulasi perilaku makan jangka panjang mengujimekanimse yang mengontrol rpsoes makan dan untuk menjaga stabilitas berat badan. Meski banyak yang mengeluhkan kelebihan berat badan, berat badan tubuh kita masih teregualsi dengan baik; sehignga meski beart kita mungkin tidak ideal, kita memelihara berat tertentu secar akonsisten, hanya berbeda satu pond atau dua pond dalam periode waktu lama.
Mekanisme apa yang memungkinkan organisme mengatur berat badannya? Sebagian besar teori regulasi jangka panjang berasumsi suatu sistme respetor bekerja untuk menantau lemak tubuh dan kemduian mengatur asupan mkanan agar lemak tubuh tetap konstan. Teori-teori ini dsiebtu teori lipostatik (lemak adalah lipid).
Teori Set-Point. Teori Liposatik lapar. Rchard Kesey dan kolega berpendapat bahwa setiap dari kita memilki level berat badan normal yang dipertahankan secar akonsisten. Mereka memandang LH berkaitan dengan regulasi berat badan tubuh atau set-point yan tepat. Jika LH dirusak, tidak adanya makan dan minum yang diamati pada kasus-kasus tersebut bukanlah sebuah defisit kemampuan untuk makan tapi sebuah perubahan pada set point tubuh pada level baru yang lebih rendah. Tidak adanya makan adalah cara oragnisme megnurangi berat badan ke set point baru.
Keesey dan Powley mencaat hasil-hasil yang mendukng jenis interpretasi ini. Ketika binatang yang LHnya rusak menjadi pulih, mereka mulai makan lagi dengan cara normal, kecuali mereka memelihara berat badannya tetap rendah. Binatang yang pulih juga memelihara berat badan ini terhadap beragam tantangan diet. Misalnya, jika mereka diberi diet terkonsentasi, mereka makan sedkit untuk emelihara set poin baru sementar apengurunan diet mereka menyebabkan peningkatan makan untuk memelihara berat badan mereka.
Jika perubhan perilaku makan yang dibuktikan oleh binatang-binatang ini merupakan cara mengurangi berat badan pad set poin baru, maka melaparkan binatang-binatang tersebutsebelum melukai LH akan menghilangkan tidak adanyamakan dan minium. Keeseymenemukan abhwa binatang yang dilukai LHnya yang sebelumnyalapa, mulai makan hampir secara langsung, yang mendukung ide bahwa LH terlibat dalam pengaturan beart badan.
Keeseydan Powley mencatat bahwa VMH bis ajuga mengontrol set poin tubu. Dimungkinkan lesi-lesi VMH menyebbkan nainknya set point berat badan tubuh pada level baru yang lebih tinggi. Mereka mencata bahwa binatang0biantang yang VMHnya rusak akan mempertahnakan berat badan mereka yang baru terhadap tantangan diet dengan cara yang sama seperti binatang yang LHnya rusak mempertahankan berat badan rendah mereka. Lebih lanjut, binatang0bintang ygn dirusak VMH cenderung makan sedikit.
Kemungkinan stimulus untuk regulasi di sekitar et point adalah lemah tubuh. Keseydan rekan mengusulkan LH dan VMH bekerja secara resiproks untuk menentukan set point bagi jaringan adiposa (lemak). Apa stimulus yang sensitif? Satu cara bagi set point bekerja adalah memantau suatu aspek sel-sel lemak. Suatu pemantauan sel-sel lemak terjadi; Faust, Johnson dan Hrsch (1977a) menemukan bahwa jarignan adiposa yang dikeluarkan dari tikus usia 3 mingu digantikand engan sanga tepat. Hasil-hasil riset ini menunjukkan suatu tipe rgulasi perkembangan jumlah sel-sel lemak di dalam tubuh. Regenerasi sel-sel lemak hanya terjadi pada rendag p;erkembangan yang sangat terbatas, meskid emikian ketika para peneliti menemukan pad usia 15 minggu regenrasi tidak lagi terjadi. Para peneliti tersebut mencatat bawha diet tingi lemak mendorong pada regenrasi sel-sel lemak yang lebih besar daripada diet rendah lemak, menunjukkan kandungan diet bisa juga beperan dalam perkembangan sel-sel lemak pada oranisme muda. Studi oleh Fasut danrekan penting karena menunjukkan jumlah sel lemak diatur secara genetik tapi bisa juga dipengaruhioleh diet pada organisme muda.
Yang lebih penting, Faust, Johnson dan isch (1977b) menemukan dalam studi kedua bahwa pengeluaran jaringan adiposa dengan bedah (tanpa regenrasi) menyebabkanmeningkatnyaukuran sel-sel lemak individu. Jumlah dari sel-sel yang bisa membesar tersebut sangat terbatas, menunjukkan suatu jenis mekanisme regulatoris.
Bagaimana ukuran sel lemak bisa diregulasi? Wirtshafter danDavis (1977) mendapatkan data yang menunjukkan sebuah zat dalam darah bisa memberi otak informasi yang penting tentang simpanan lemak tubuh. Zat yang terlibat ini adalah gliserol darah. Wirtshafter dan davis mencatat kadar gliserol darah berkaitan dengan ukuran sel-sel lemak. Karena ukuran sel-sel lemak akan mengindikasikan jumlah lemak yang disimpan, meningkatnya gliserol darah mengindikasikan peningkatan berat badan.
Wirtshafter dan Davis menduga jika gliserol darah mengindikasikan berat badan, injeski gliserol akan membodohi mekanisme regulatoris agar berfngsi seperti jika organisme lebih berat daripada berat aktualnya sehingga menyebabkan binatang berhenti makan dan pada akhirnya kehilangan berat badan. Untuk menguji ide ini, sekelompok tikus diberi injeksi gliserol harian; kelompk kedua diberi injeksi glukosa sebagai kondisi kontrol. Injeksi glukosa menyebakan penignkatan berat badan, sementara injeksi gliserol menyebabkan penurunan berat badan.
Jika set poin baru berat badan sudah ditentukan oleh injeksi gliserol, para peneliti menduga bahwa binatang yang diberi gliserol akan kembali ke set pontbaru ini jika mengalami kelaparan daripada kembali ke berat badan sebelumnya. Hipotesis ini diuji dan dikonfirmasikan dalam eksperimen kedua. Wirtshafter dan Davis menyimpulkan bahwa gliserol mengontrol berat badan secara langsung daipada diubah menjadi glukosa sebelum terdeteksi. Mereka mencapai kesimpulan ini karena kelompok kontrol glukosa mereka tidak mengalami penurunan berat badan dan karena gliserol yang disuntikkan langsung ke otak menyebabkansupresi prose smakan. Supresi ini menunjukkan suatu area dalam otak bisa sensitif terhadap level gliserol.
Jika level-level gliserol pnting bagi regulasi jangka panjang, mka injeksi gliserol harus menybabkan manusia gemuk berat badannya turun seperti tikus dalam ekspeirmen Wirtshater dan Davis (1977). Sayangnya, prosedur ini gagal menuunkan berat badan manusia. Mungkin suatu sinyal lain dipantau untk regulasi jangka panjang. Satu kemungkinannya adalah adipsin.
Cook dan rekan (1987) menemukan sebuah molekul yang bisa mennadai kondisi simpanan-simpanan lemak. Para peneliti tersebut menemukan bahwa molekul adipsi dihasilkan oleh sel-sel lemak dan melimpah dalam darah. Prubaan lvel adipsin terbukti berbeda-beda menurut kondisi metabolik tikus; level adipsin meningkat pada tikus yan berpantang, dan menurun pada tkus yang disuntik dengan glukosa. Meski lebih banyak riset dibuthukan, kemungkinan level adipsin bisa memberi sinyal yang perlu yang berkaian dengan keseimbangan energi simpanan lmakk setidaknya dalam beberapa tipe kegemukan yang ditentukan secar agenetik.
Keeey dan Powley menyatakan bwha insulin bisa menjadi calon regulatoris lain karena dilibatkan dalam simpanan energi pada sel-sel lemak. Mereka menyarankan VMH mungkin mengonrol pelepasan insulin karena memotong saraf vagus (yang juga menstimulasi pankreas untuk melepaskan insulin) menghilangkan kegemuka pada tikus yang dirusak VMHnya. Dalam mendukung hiopotesis insulin, Oomura (1976) melaporkan baha sel-sel dalam LH dan VMH sensitif erhadap glukoa, insulin dan asam lemak bebas, yan gmenunjukkan sebuah sistem yang diusulkan oleh Keeey danPOwley bisa ada. Wood, Decke, dan Vaselli (1974) mengusulkan dua hormon, insulin dan somatotropin 9hormon pertumbuhan) terlibat dalam regulasi berat badan jangka panjang. Beberapa lini riset menyatakan bawh aperilaku makan, yang dipandang dari perspektif regulasi jangka panjang, melibatkan suatu sistem yang mampu mendteksi perubahan-perubahan simpanan lemak tubuh dan mengubah asupan untuk menyesuaikan dengan simpanan-simpanan tersebut.
Sebagian besar ahli teori yang teratrik dalams tudi lapar memandang perilaku makan sebagai system dua proses- proses jangka pendek yang memantau glukosa dan proses jangka panjang yang memantau lipid. Friedman dan Stricker (1976) mengusulkan epgcualian bagi pendkeatan umum ini. Secara singkat, mereka menyatakan bahwa rasa lapar dipahami sebagai mekanisme tunggal yang memantau ketersedian semua bahan bakar, baik eksternal 9makanan) dan internal (lemak). Sinyal-sinyal rasa lapar, menurut mdel ini dikirim ke otak dari liver ketika bahan bakar dari usus kecil dan jaringan adipose tidak cukup untuk memelihara fungsi tubuh tanpa kontribusi hepatic signifkan. Friedman dan Stricker menyarankan bahwa stimulus untuk lapar bisa bergeser dalam metabolism liver, yang akan dibalik ketika makanan dikonsumsi. Model ini tidak perlu membuat perbedaan antara regulasi jangka pendek dan jangka panjang atau antara mekanisme glukostatik dan mekanisme liposatik. Selain itu, ini tidak memerlukan konsep set –point karena mengasumsikan bahwa rasa lapar “muncul dan hilang menurut fluktuasi yang terjadi secar normal dengan adanya bahan bakar metabolic yang bisa dipakai, tanpa memperhatikan bahan bakar mana dan sberapa banyak cadangan itu (hal 424). Para peneliti ini kemudian menyipulkan bawha control pusat dari perilaku makan oleh hipotalamus tidak benar; bukti mereka menyatakanbawha lesi-lesi LH mempengaruhi semua perilaku yang dimotivasi daripada sekadar makan dan lesi-levsi VMH menyebabkan perubahan-perubahan sehingga sulit bagi binatang untuk menggunakan bahan bakar yang disimpan itu dan akibatnya mereka harus makan berlebihan
Powley (1977) juga mencatat beberapa probelmd engan penjelasan-penjelasan sebelumnya tentang peran VMH pada makan. Dia mengusulkan lesi-lesi VMH memperburuk respon otonom dan endocrine terhadap makana, respon-respon yan disa sebut sebagi refleksi\-refleks pencernaan cephalic. Menurut POwley, reflek-reflek tersebut seperti meningkatnya pelepasan saliva dan insulin akibat rasa atau bau makanan, menyebabkan makan berlebih dan gejala-gejala lain yang diamati pada binatang yang VMHnya dirusak.
Riset lanjutan tentangmekanisme yang mengontrol motivasi makan menunjukkan bahwa mekanisme-mekanisme tersebut bersifat behavioral dn metabolic.ketika kita belajar lebih tentang interaksi antara system metabolic dan perilaku control makan menjadi lebih sulit. Carlson memberikan catatan atas riset ini.
Ide-ide yan gberkaitan dengan regulasi rasa lapar telah berubah. Problem utama dengan semua teori rasa apar asat ini adalah mereka tidak menjelaskan mengapa organism muali makan sebelum homeostasis diganggu. Pada manusia makan sering terjadi sebelum perubahan pada keseimbangan energy cukup bsar untuk memicu perilaku tersebut. Sebenarnya kita sering makan untuk menghindari hilangnya homeostasis. Strategi-strategi perilaku tersebut menyatakan bawha regulasi homeostasis makan bisa dikesampingkand engan mudah dan faktor-faktor selain homoestasis harus bekerja pada perilaku makan normal. Tiga contoh makan non homeostasis akan dibicarakan dalam bagian berikutnya.

Kegagalan regulasi
Anorexia nervosa
Anorexia nervosa adalah kondisi di maan individu menghambat asupan makan secara parah, dalam beberapa kasus ektrim menyebabkankelaparan dan kematian. Kondisi ini paling sreing dialami oleh wanita dewasa muda dan remaja, dengan pkejadian diperkirakan antara 0,24 dan 1.6 per 100.000 individu per tahun tapi Nampak semakin meningkat pada lansia. Contoh-contohj anorexia nervosa pada pria juga diketahui tapi sajngat langka (lihat Bruch 1973, bab 15). Pada wantia gejala-gejala ini Nampak pada usia 25 atau 30, meski onset kondisi ini diangap terjadi lebih awal. Beberapa contoh anorexia nervosa dijelaskan pada lieratur medis lebih dari 100 tahun yang lalu oleh Gull di Inggris danLasegue di Perancis, dan kondisi ini pernah dianggap sangat langka, namun insiden anoreksia menjadi dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
Gejala utama anorexia adalah penurunan berat badan signifikan akibatindividu mengurangi asupan makan. Reduksi 25% dari beratbadan awal diangagp sebagai nilai minimum untuk diagnosis anorexia nervosa tapi ini sekarang dikurangi menjadi 15%. Gejala utama kedua pada wanita aalah amenorrhea (tidak terjadi menstruasi) yang sering terjadi akibat kehilangan berat badan. Gejala ketiga adalah terganggunya sikap terhadap makan yang sering meliputi penyangkalan kebutuhan akan makan, menikmati kehilangan berat badan, dancitra tubuh yang diinginkan berupa kurus ekstrim. Bberapa peneliti menekankan gejala terakhir ini, mencatat bahwa para apsien yang menderitra anoxia nervosa sering menyatakan mereka gemuk meski sudah sangat kurus (Bernis 1978). Berikut ini adalah daftar criteria 1994 untuk diagnose anorexia nervosa:
1. MEnolak memelihara berat badan d melebihji berat normal minimal untuk usia dan tinggi, misalnya penurunanberat badan yang menyebabkan berat badan kurang dari 85% dari yang diharapkan.
2. KEtakutan yang berlebihan terhadap kegemukan meski sudah kurus.
3. Gangguan pada beat badan, ukuran atau bentuk tubuh di mana orang mengklaim merasa gemuk meski sudah kurus, percaya bahwa bagian tubuh tertentu terlalu gemuk meski tidak demikian.

PEntingnya gangugan citra tubuh dalam diagnosis anoreksia sudah dipertanyakan. Sebuah artikel tinjauan oleh Hsu (1982) menemukan abwha penderita anoreksia biasanya terlalu mengkhawatirkan lebar tbuhnya, khususnya wajah dan pinggul; meski demikian individu dengan berat badan normal terlalu mengkhawatirkan lebar tubuh mereka, seperti halnya penderita anoreksia. Subyek yang gemuk dan wanita hamil juga terlalu mengkhawatirkan lebar tubuh mereka. Seperti dicata oleh Hsu “sehingga, kekhawtairan terhadap lebar tubuh tidak bisa dianggap unik hanya pada penderita anoreksia. Yang menampah kebingungan berkaitan dengan pentingnya citra tubuh yang tergangu sebagai sebuah gejala anoreksia alah studi oleh Probst, Van COppenolle, Vandreyken, dan Goris (1992). Para peneliti ini menemukan abwha kelompok anoreksia dan kelompk control normal mengabaikan pengukuran tubuh mereka ketika dimint amengubah citra video yang terdistorsi dari diri mereka sehignga ini menggambarkan berat badan mereka dengan benar. Karena para penderita anoreksia dan kontorl dalam studi Probst dan rekan (1992) sekali lagi tidak berbeda, dan sebenarnya member ukuran yang berbeda dalam arah yang berlawahan dengan yang dicaat oleh Hsu (1982), seseorang mulai mempertanyakan kegunaan ganggaun citra tubuh sebagai criteria dasar anoreksia. Lebih lanjut, kasus-kasus anoreksia ad masyarakat non Barat (Lee 1991)sering menunjukkan sedikit atau tidak adanya distrosi citra tubuh.
4. Pada wanita, tidak adanya setidaknyat iga siklus menstrual berurutan ketika dipekrirakan terjadi. (Seorang wanita diangagp mengalami amenorrhea jika periodenya terjadi setlah penggunaan hormone estrogen.

Bukti-bukti lintas budaya untuk anoreksia
PErtanyaan yang menarik apakah anoreksia merupakan fenomena yang berhubugnan dengan masyarakat barat atau bisakah ini ditemukan di kultur-kultur lain. Laporan anoreksia di kultur-kultur lain juga diketahui. Sedikit studi menunjukkan isndien anoreksia lebih rendah di antara populasi non kulit lputih. Selain itu Lee (1991) mencatat bahwa simptomatologi anoreksia berbeda dalam sebuah sampelkelompok anroeksia Cina di Hongkong. Dia menemukan para pengidap anoreksia tersebut tidak menunjukkan ketaktuan terhadap kegemukana tau gangguan citra tubu, tapi berkurangnya asupan makanan karena itu menjadikan mereka gendut. Pendeita aoreksia di CIna juga menunjukkan depresi yang lebih kecil daripada yang ditemukand alam sampel-sampel Barat dan cenderugn beerasal dari kelas-kelas sosioekonomi yang lebih rendah. Lee (1991) menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan simptomatologi dari perbedaan-perbedaan dalam latar belakang sosiokultural. Saat ini jelas bahwa terjadi di maysarkat non Barat; meski demikian prevalensi noareksia lebih rendah meski tingkat prevalensi yang sebenarnya sulit dipastikan di masayrakat tersbtu, dan gejala-gejalanya berbeda.
Pasien anoreksia tidak lagi menjaga keseimabnngan energy homeostatic, dan ketika cadangan energy Dallam tubuh menipuis, berat badan menurun. Pertanyaan yang menarik adalah mengapa pasien anoreksia tidak lagi memelihara homeostasis energy. Seara historis, opini yang berkaitan dengan alas an tidak adanya homeostasis ini berubah-ubah di antara penjelasn fisik dan psikologis. Istilah anoreksia menunjukkanindividu tidak mengalami lapar; meski demiakin tidak jlas apakah pasien anoreksia benar-benar kehilangan selera makan karena individu tersebut sering menunjukkan kebiasana makan yang aneh seperti menolak makan.
Seperti yang pada awalnya dijelaskan oleh Gull dan Lasege anoreksia disebabkan oleh faktor psikologi; meski demiakin ada keraguan terhadap analisis ini ketika Simonds menjelaskan kasus seorang wanita yang kurus yang otopsinya menunjukkan lesi pada kelenejar pituitary. Ini mendorong banyak peneliti berasumsi bahwa anoreksia melibatkan malfungsi system endocrine. Pada 1930an penekanan mulai mengarah kembali pad asebab-sebab psikologi anoreksia, penekanan yang tetap dipercaya sampai sekarang (Bruch 1973). Debat yang berkaitand engan sebab-sebaba noreksia jauh dari selesai, meski demikian, kaerna beberapa kaus spade awalnya terdiangosa sebagai anorexia nervosa kemudian terbukti disebabkan oleh beragam jenis tmor otak, meski dalam sebagianbesar kasus tidak ditemukan adanya patologi (Bemis 1978).
Ploog dan Pirke (1987) menjelaskan beberapa perubahanfisiologis yang terjadi selama anoreksia. Perubahan metabolic dan somatic seringkali diindikasikan pertama kali oleh amenorrhea. Selama serangan anoreksia tekanan darah bisa turun hingga level yang membahayakan dan denyut jantung bisa turun hingga 30 denyut per menit. CT scan pada otak penderita anoreksia menunukkanbukti atropi otak dan pembesaran ruang yang disi cairan serberospinal dan internal (pembesaran ventrikel lateral). Dengan kata lain, otak Nampak menyusut. Ploog dan Pirke menemukan perubahan-perubahan morfologis pada otak sekitar 82% dari studi-studi anoreksia. Setelah berat badan bertambah, sekitar 42% dari mereka yang menunukkan pembesaran awal ruang airan cerberospinal eksternal menunjukkan kembali ke level normal dan peleparan berkurang. Witt, Ryan dan Hsu (1985) menemukan bahwa pasien anoreksia menunjukkan deficit pembelajaran pada tugas belajar sosiasi berpasangan. Para peneliti tersebut juga menemukan bahwa semakin lama pasien dalam kondisi anoreksia semakin buruk mereka mengerjakan tugas tersebut. Dneganmempertimabngkan temuan Ploog dan Pirke dia tas, kemungkinan deficit pembelajaran dikaitkan dengan perubahan-perubahan morfologis pada otak yang terjadi selama anoreksia.
Gangguan system saraf simpatetik terjadi pada anoreksia, seperti malfungsi endocrine. Level kortisol naik selama anoreksia dannampak menjadi adaptasi terhadap kelaparan. Fungsi gonadal juga terganggu. Perubahan-perubahan endocrine yang dicatat sbelumnya Nampak berasal dari disfungsi hipotalamis yang terjadi selama fase anoreksia akut. Yang terakhir, Ploog dan PIrke berpendapat bawha anoreksia menyebabkan perubahan dorngan lapar. Mereka memandang dorongan lapar ditimbulkan oleh kondisi anoreksia pada titik di mana konsekwensi lapar seperti penruuann berat badan menyenangkan bagi individu. Ini menimbulkan situasi ambivalen untuk anoreksia di mana motivasi lapar menimbulkan obsesi terhadap makanan tapi penurunan berat badan sangat diperhatikan. Merkea menyatakan ambivalensi ini bisa menyebabkanperilaku bulimic yang sering terjadi pad apenderita anoreksia, dan untuk obsesi yang umumnya diamati pada makanan saat tidak makan.

Hipotesis Serotonin
Riset tentang perubahan-perubahan fisiolgois yang berkaitand engan anoreksia menunjukkan peran serotonin, sebuah neurotransmitter pada otak, dalam perkm,ebangan gangguan makan. Berkaitan dengan anoreksia, disarankan bahwa meningkatnya aktivitas serotonin bisa diakitkan dengan tidak adanya makan dan perubahan Mood (Kaye & Weltzin 1991). Sperti disebtukan oleh Kaye dan WEtzin, terdapat bukti yang cukup dari studi-tudi binatang dan studi-studi klinis manusia tentang kelompok-kleompok psikiatrik di mana level serotonin mempengaruhi selera makan, mood dan variable kepribadian, dan fungsi neuroendocrine. Oleh karena itu yang penting bagi pemahaman gangguan makans eperti anoreksia untuk ditentukan jika perubahan dalam level serotonin menyebabkan gejala-gejala gangguan tersebut.
Studi-studi yang dilaporkan oleh Kaye dan Weltzin menunjukkan bahwa pasienanoreksia yang kurus cenderung memiliki level metabolit utama serotonoin lebih rendah (CSF5-HIAA) menunjukkan bahwa level serotonin berada di bawah normal. Ketika penderita anoreksia berat badannya bertambah dalam jangka penek (2 bulan) metabolit ini kembali ke klevel normal meski berat badan masih 15% di bawah berat badannormal. Dalam jangka panajng (lebihd ari 6 bulan) berat badan bertambah maka level metabolit penderita anoreksia berada di atas normal. Pola perubahan pada CSF 5-HIAA ini menyatakan bawha level serotonin lebih tinggi dari normal pada penderita anoreksia ketika mereka berada pada berat badan normal dan pembatasnamakanan ini menyebabkan berkurangnya produksi serotonin. Karena meningkatnya leel serotonin dikaitkan dengan gangguan mood seperti kekakuan, kcemasan, inhibisi dan perilaku kompulsif-obsesif, Kaye dan WEltzin berspekulasi bahwa kemungkinan penderita anoreksia bisa membatasi makanan karena pembatasan tersebut menurunkan level serotonin sehingga mengurangi perasaan mereka. Yang menarik, penderita anoreksia sering mengatakan mereka merasa lebih baik saat tidak makan (Kaye & WElzti, 1991). Meski ini sangat spekualtif, hipotesis serotonin layak diperhatikan.
Ploog dan Pirke menyebtukan bahwa perubahan metabolic, endocrine dan CNS membantu menjelaskan beberapa gejala yang berhubungan dengan anoreksia; meski dmeikian mereka percaya anoreksia paling baik dipahami sebagai perilaku adikitf dan perlu diobati.

Faktor-faktor turunan
Studi-studi tentang keluarga anoreksia mengindikasikan ada peningkatan prevalensi sebesar 5-10% pada kerabat tingkat pertama dari pasien anreksia. MEski studi oleh Rastam, Gillberg, dan Wahlstrom (1991) tidak menemukan bukti abormalitas kromosomal pada penderita anoreksia ketikad ibandingkand engan populasi normal, studi-studi kembar menunjukkan faktor genetk yang kuat pada perkembangan anoreksia. Dalam studi Holland dkk, ketika kebar identik wanita (kembar monozigotik) didiagnosa menderita anoreksia, 56% dari waktu kebar lain juga didiagnosa mengalami anoreksia. Studi mereka menemukan bahwa kembar non identik (kembar diszigotik) ketika satu kembar wanita terdiagnosa anoreksia hanya 5% dari kembar satunya mengalami anoreksia. Karena kedua tipe kembar ini dibesarkan di rumah yang sama, perbedaan prevalensi Nampak disebabkan oleh faktor genetic ketimbang faktor lingkungan. Par apeneliti ini juga menemukan 4.9% dari kerabat wanita tingkat pertama dan 1.16% dari kerabat tingkat kedua mengalami anoreksia. Meski hasil-hasil dari kerabat tngkat pertama dan tingkat kedua Nampak kecil, mereka cukup besar dibandingkan dengan prevalensi 0,1% aanoreskia pada populasi wanita.
Denganmenggunakan tigametode analisis yang berbeda, Holland dan rekan (1988 hal 567) menyimpulkan bahwa “heritabilitas mencakup setidaknya 80% dari varian” di dalam studi mereka. Dengan berasumsi hasil-hasil mereka tidak bisa dijelaskan dengan cara lain, kemugkinan ada faktor genetic yang berperan.
Hollan dkk menyarankan bagaimana faktor genetic bekerja adalah dengan menciptakan kelemahan pada mekanisme homoestatik yang mengontrol berat badan. Para peneliti menyatakan bahwa seseorang dengan gangguan ini mungkin tidak termotivasi untuk kembali ke berat badan normal setelah periode penurunan beart badan seperti orang yang mekanisme homeostatiknya bekerjanormal. Banyak karya tentang dasar genetika naoreksia perlu dilakukans ebelum kita memahami alasan penyakit ini.
Regina Casper (1983) dalam tinjauan tentang bulimia nervosa, menympulkan bahwa “kemungkinan ada faktor-faktor biologis pada anorexia nervosa.. yang mendukung dan menopang penurunan berat badan progresif” (hal 10). Pada persimbangan ini, kemungkinan baik faktor fisiologi dan psikologi tetap berperan dalam anoreksia harus tetap dibuka. Faktor-faktor tersebut mengesampingkan mekanisme homeostasis dasar dari rasa lapar dan menyebabkan kekurusan parah dan kadang-kadang kematian.

Bulimia Nervosa
Para pasien anoreksia nervosa tidak mau makan meski sudah mendekati kepalaran. Orang-orang yang menderita bulimia nervosa, sebaliknya, d makan makanan dalam jumlah besar dalam waktu yang relative singkat. Selama makan ini si penderita bisa mengkonsumsi banyak kalori, dalam satu studi berkisar dari 1000 hingga 55000 kalori per episode. Dua studi sebelumnya menemukan insiden bulimia pada poulasi universitas berkisar antara 3,8 dan 13%. Rand dan Kuldau (1992) yang menggunakan wawancara terstruktur dengan sampel random 2115 orang dewasa menemukan prevalensi sebesar 1,1%. Sampel besar ini meliputi individu berusia antara 18 dan 96 tahun. Satu temuan menarik dari studi ini adalah ada lebih banyak kasus bulimia di antara pasien lansia daripada yang diperkirakan, meski bulimia lebih umum pad awanita muda. Di antara wanita usia 18 hingga 30, prevalensi bulimia adalah 4,1%.
Idnividu bulimic tidak bisa berhneti makan setelah makan dimuali dan merasa bersalah, depresi dan panic setelah makan. Orang-orang yang menderita bulimia melaporkan sangat tak tgerkontrol setelah episoe makan besar dan akibatnya dia berusaha membuat muntah, menggunakan obat pencahar atau menjalani diet parah agar mengontrol atau memelihara berat badannya.
JOhnsn dan rekan (1982) menurvei 316 kasus yang emmenuhi criteria diagnostic untuk bulimia yang dilakukan pada 1980 oleh AMrrican Psychiatric Association untuk karakteristik bulimia. Daftar ini dari publikasi terbaru:
1. Episode-episode kambuhan makan besar (konsumsio cepat jumlah makan yang besar dalam periode waktu singkat)
2. Rasa tidak terkontrol saat makan
3. Orang yini cenderung berusaha muntah, menggunakan obat pencahar atau diuretic, melakukan diet ketat atau puasa, latihan keras untuk mencegah pertambahan berat badan.
4. Rata-rata minium dua makan besar seminggu selama minimal tiga bulan.
5. PErhatian yang berlebihan terhadap bentuk dan berat badan.

Mereka menemukan bahwa bulimic sering dialami wanita, kulit putih berpendidikan universitas dan berumur di awal 20an. Lebih lanjut para wanita tersebut cenderung berasal dari keluarga kelas menengah dan atas dan memiliki lebih dari satu anak. Meski bulimia terbukti berkaitan dengan anoreksia – 40% hingga 50% dari wanita yang terdiagnosa mengalmai anoreksia akan mengalami bulimia pada waktu tertentu selama terjadinya gangguan makan (johson dan Larson 1982) – pada wanita bulimic yang disampel oleh Johnson dan rekan, sebagian besar berbobt normal. Pemakaian obat pencahar untukmengontrol berat badan sanagat sering dilakukan. Seperti dilaporkanoleh Johnson dan rekan, metode mengosongkan perut paling umum adalah muntah dengan sengaja; metode kedua adalah menggunakan pencahar.
Tabel 4.1 menampilkan faktor-faktor yang paling sering dilaporkan menyebabkan makan besar pada wanita. Seperti bisa dilihat di tabel, dua yang paling sering disebutkan adalah kesulitan emanngani emosi dan diet ketat.
Studi oleh Johnson dan Larson (1982) menguji faktor emosi dengan meminta wanitabulimi dansampel wanita normal memakai pager elektronik yang member merkea sinyal untk mengisi kuesioner berkaitan dengan kondisi emosioal merek dan apa yang mereka lakukan saat sinyal tersebut muncul. Sinyal-sinyal dikirim secar aacak, satu sinyal per periode 2 jam, antara jam 8 pagi dan 10 malam. Wanita bulimic melaporkan kondisi negatif lebih sreing daipada wanita normal pada enam dari delapan item mood. Wanita dalam kelompok bulimic lebih bersedxih, lebih kesepian, lebih lemah, lebih mudah marah, lebih pasif dan lebih terbatas daripada mereka yang berada dalam kelompok normal. Sampel bulimic juga melaorkan lebih sering berubah mood dan lebih mudah goyah, menunjukan bahwa kondiis emosi mereka lebih stabil dibandingkan sampel normal.
Disarankan bahwa anoreksia dan bulimia merupakanv arian dari kategori DSM III dari ganguan afektif utama. Secara khusus, depresi dikaitkand engan anoreksia dan bulimia. Laessle dan rekan (1987) mencoba menentikan apakah anoreksia dan bulimia paling baik disebut sebagai vareian gangguan afektif utama. Mereka mwewaancarai 52 pasien dengan riwayat anoreksia atau bulimia dengan menggunakan teknik wawancara standar. Para peneliti menemukan 44,2% dari sampel didiagnosa memiliki karakteirstik DSM III dari gangguan afektif utama (depresi); meskid emikian pada sebagian besar kasus gangguan afektif terjadi setelah onset gangguan makan. Studi oleh lassle dan rekan mengimplikasikan gejala-gejala depresif yang sering ditemkan pada anoreksia dan bulimia bersifat sekunder terhadap gangguan makan dan memberikan bukti yang bertnetnagan dengan ide bahwa naoreksia dan bulimia merupakan varian dari ganggaun afekti utama. Sebenarnya Laessle dan rekan menyatakan bahwa perubahan pola makan pada anoreksia dan bulimia bisa menyebabkan gejala-gejlaa depresif dengan menyebabkan perubahanperubahan pada system neurotransmitter yang terlibat pada proses depresi.
Beberapa faktor lain sudah diuji berkaitan dengan hubungan emreka dnegan bulimia. Satu faktor adalah peristiwa-peristiwa dalam hidup. Sohlberg dan NOrring (1992) mempelajari hubungn antar aperistiwa-peirsitwa hidup dan pemulihan pada sekleomok pasien bujlimic di SWedia pada peridoe 3 tahun. Mereka menyebutkan bahwa bulimic yang memiliki frekuensi perisitwa hidup negatif utama yang terjadi selama tahun pertama treatment lebih lamban untuk pulih; meski demikian peristiwa-perisitwa hidup di antara rentang 3 tahun studi memiliki sedikit efek. Satu perisitwa hidup awal yang dikaitkand engan perkembangan bulimia adalah kekerasan seksual pada anak. Abramson dan Lucido (1991) melaporkan bahwa pengalaman skesual masa kanak-kanak bersifat m penting; mereka menemukan pasien bulimic melaporkan sejumalh epganalamn seksual signifikan dengan ayah dan saudara laki-laki mereka. Selain itu para peneliti mencatat tidak ada pendeirta bulimic yang membicarkaan pengalaman seksual mereka dengan orang tua, menunjukkan kurangny akepercayaan dan komuniaksi di dalam keluarga mereka. Para penulis mencatat “sementara temuan-temuan saat ini tidak memungkinkan dugaan-0dugaan kausal, mereka menyatakan bahwa pola-pola familial disfungsional yang berkaitan dengan bulimia bisa meliputi kekerasan seks pada anak” (Abramson & LUcido 1991, hal 531).
Yang terakhir, dilaporkan abwha perilaku bulimic dikaitkand engan perubahan-perubahan musiman khususnya pada mmen-momen kegelapan (Blouin et al 1992). Bouin dan rekan menemukanbahw perilaku makan besar meningkat selama bulan musin dingin dan menurun selama bulan musim panas pada 31 penderita bulimic di Ottawa kanada. Yang menari, foto periode, yang diindekskan oleh jam-jam gelap, hanya dipengaruhi oleh perilaku makan besar, bukan memuntakan makanan atrau depresi. Para penuls berspekulasi bahwa efek-efek musiman bisa disebabkan oleh perubahan-perubahan musiman pada serotonin, sebuah neurotransmitter juga dikaitkan dengan anoreksia dan kita akan melihat pad bagian berikutnya juga ditunjukkan pada perilaku penderita bulimic.

Teori-teori bulimia
Tiga kategori penjelasan umum sudah diusulkan untuk meahami bulimia. Ketiganya adalah pendekatan sosiokultural, pendekatan klinis/psikiatrik dan pendekatan faktor-faktor resiko/epidemiologis. Selain itu teori penularan sosial menggabungkan beberapa aspek dari tiga pendkeatan tersebut untuk menjelaskan bulimia (Crandall 1988). Teori pelepasan diri (Heatherton & Baumeister, 1991) mengusulkan bahwa makan besar bisa memberikan pelarian dari kesadaran diri, sementara bukti semakin banyak menunjukkan bahwa bulimia memiliki dasar fisik (Gold-Bloom & Garfinkel 1990).
Pendekatan sosiokultural menyatakan bahwa perubahan norma-norma masyarakat menekankan peningkatan pad kekurusan bagi wanita dan pada saat yang sama norma-norma ini hamper tidak bisa dicapai. Kebutuhan biologis untuk makan dipertentangkan dengan norma-norma sosial tak realistic dari penampilan dan bunetuk tubuh dan akibatnya pola makan abnormal berkembang.
Pendekatan psikatrik/klinis menyatakan bawah bulimia dikaitkan dengan gejala-gejala klinis seperti sifat meluap-luap, harga diri rendah, kesehatan psikolgos parental atau ganguan afektif utama (Hudson et al 1987; tapi lihat Hinz & Williamson 1987 untuk sudut pandang yang berbeda). Gangguan makan sering dilihat dari persketif ini sebagai simptomatik dari tekanan psiklogis.
Tidak seperti dua pendekatan pertama, pendekatan faktor-faktor resiko/epidemiologis tidak membuat asumsi-asumsi dasar tentang sebabs-ebab bulimia (norma-norma cultural tak realistic, tekanan psiklogis) tapi usaha-usaha untuk menentukan faktor-afktor apa yang menyebabkan individu beresiko mengalami bulimia. Faktor-faktor yang sudah disebutkan antara lain citra tubuh, labiltas emosional, hubungan keluarga, perubahan hormonal, peran seks, stress, predisposisi genetic.
Crandall (1988) menggabungkan beberapa spek pendekatan yang disebutkan dalam teori penularan sosial dari makan besar, yang mengusulkan bwah norma-norma yang diberikan oleh kelompok sosial (pendekatan sosiokultural) akan menular ke individu yang mengalami stress psikllogi (pendekatan klinis/psikatri). Gejala-gejala yang diidentifikasi oleh pendkeatan faktor resiko/epidemiologis juga relevan; beberapa faktor esiko bisa meningkatkan kemungkinkan pengaruh sosial (predisposisi genetic, stres) sementara faktor-faktor resiko lainmungkin dipahami berasla dari pembelajaran sosial (citra tubu, peran seks).
Ide-ide Crandall didasarkanpad studi aspek-aspek sosial makan-besar. Dalam sebuah studi Crandall mengukur perilaku makan dan pola persahabatan wantia yang termasuk ka pad aduia kelompok pada sebuah universitas negeri. Hasil-hasil studinya menunjukkan bahwa makan besar menjadi subyek tekanan sosial. Dalam satu kelompok, lebih banyak wanita melaporkan makan besar lebih populer ketika dia dinilai oleh rekannya. Dalam kelompok kedua, popularitas bergantung pada makan besar dengan jumlah yang benar (hal 588). Yaitu wanita yang makan mendekati jumlah rata-rata untuk kelompokt ersebut secara kesleuruhan dianggap yang paling populer. Lebih lanjut, Crandall menemukan bahwa individu menjadi seperti temannya. Perilaku makan besar dari seseorang bisa diprdiksikand ari perilaku makan besar temannya. Hasil ini tidak nampak ditujukan oleh individu yang berkupul bersama. K karena perilaku makan besar dari seseorang selalu berubah, menjadi seperti perilaku makan kelompok.
Meski pola makan binge cukup umum di kampus, sebaigan besar individu tidak mabuk. Bagaimana bisa menjelaskan fakta bahwa orang tidak sama-sama rentan terhadap efek-efek penularan sosial? Crandall mengusulkan bahwa wanita yang mengalami stres (msialnya rasa harga diri rendah) lebih terbuka terhadap pengaruh sosial. Jika norma di dalam sebuah kelopok adalah makan-mabuk dan wanita mendapatkan dukungan dan persetujuand ari kelompok tersebut, dia cendeung menggunakan norma-norma kelompok tersebut dan juga melakukan makan-binge. Carandall menyatakan bahwa makan-binge adalah pola perilaku yang didapatkan yangbisa diterapkan lwat proses kontrol sosial dan modeling.
Setelah tnjauan pustaka ekstensif tentang makan binge. Heatherton dan Baumeister (1991) menyatakanbahwa perilaku ini merupakan akibat dari usaha untuk lepas dari kesadaran diri. Mereka mengusulkan makan binge berfungsi mempersempit fokus perhatian seseorang pada lingkungan langsung dan menghindari perspesi diri aversif yang memicu kecdemasan dan/atau depresi. Perspesi diri ini bersifat aversif, menurut hipotesis pelarian diri, karena pemakan-besar cennderung memiliki snadar dan ekspektasi tinggi (yang tidak bisa mereka pertahankan) dan juga sangat sensitif terhadap apa yang mereka anggap sebagai tuntutan dari yang lain. Menruut proposal ini mereka menjadi sada akan kelemahan mereka, dan menghindari berpikri tentang kegagalan tersebut sehingga mereka makan. Tindakan makan berfungsi mempersempit perhatian mereka terhadap kondisi yang sebenarnya sehingga memungkinkan pelarian temporer dari eksadaran diri dan kecemasan serta depresinya.
Johnson dan Larson (1982) menyatakan bahwa individu bulimic menjadi kecanduan makan karena makan berfungsi meredakan ayunan mod. Meski demikia, karena pemakian besar cenderung memperbesar asupan aklori, individu ini melakukan purging sebagai mekanisme yang membuat mereka makan-mabuk tanpa menjadi gemuk. Johnson dan Larson menyarankan bahwa kombinasi dari beberapa faktor, baik fisik dan psikolgoi mendorong beberapa individu menggunakan makanan sebagai cara mengatur ketegangan, yang berbeda dengan cara-cara lain seperti pemakaian alkohol dan narkoba.
Faktor-faktor fisik yang bisa menyebabkan perilaku bulimic adalah perubahan-perubahan pada beberapa neurotransmiter otak. Di antara neurotransmiter yang diimplikasikan dalam perilaku bulimic adalah serotonin, norepinephrine, dopamine, CCK, Beta-endorphin dan neurop[eptide PYY )Kaye & Weltzin 1991b). Sebagian besar riset melihat pada peran serotonin dan norepinephrine pada perilaku bulemic.
Hipotesis serotonin, seperti yang diuraikan oleh Goldbloom dan Garfinkel (1990) menyatakan bahwa perilaku bulimic berasal dari kurangnya aktiivta sserotonin dalam otak. Beberapa eksperimen yang menggunakan binatang menemukan bahwa penurunan level serotonin dalam hipotalamus menyebabkan meningkatnya asupan karbohidrat dan gangguan pada mekanisme kenyang yang biasanya membataspiasupan makan (Leibowitz & Shor-Posner 1986). Lebih lanjut, Jimersond an rekan (1992) menemukan penurunan konsnetrasi metabolit serotonin (dan juga dopamine) pada cairan serberospinal apsien yang megnalami gejala-gejala bulimia parah.reduksi metabolit ini menyatakan bahwa level serotonin (dan dopamin) juga bisa rendah.
Kaye dan Weltzin (199b) meninjau bukti yang menunjukkan level norepinephrine juga terganggu pada blimia; meski demikian untuk neurotransmiter ini level ini nampak terlalu tinggi. Kaye dan Weltzin menyatakan bahwa level norepineprine tingi bisa menstimulasi maan dan level serotonin yang rendah bisa mengganggu respon kenyang yang biasanya menghambat makan.
Bukti yang dibicarakan in nampak menunjukka nhubungan antara perilaku bilimic dan beberapa neurotransmiter. Yang tidak jelas adalah apa yangmenyeabbkan dan apa yang menjadi efeknya. Apakah perubahan dalam serotonind an epineprine menyebabkan titibulnya perilaku b ulimic atau apakah perilaku bulimic menyebakan gangguan pada neurotransmiter tersebut? Ada kemungkian ketiga. Kemungkinan perilaku bulimic merupkan usaha untuk meningkatkan jumlah tryptophan (precursor serotonoin) yang tersedia bagi otak untk menghaislkan penignkatan serotonin jangka pendek. Pada poin ini pemahaman kami berasumsi bahwa suatu kombinasi prubahan-perubahan neurotransmiter dikaitkan dengan bulimia; meski dmeikian diperlukan riset lebih lanjut untuk membuka hubungan rumit antara perubahan fisik ini dengan perilaku bulimic.
Seerti ditunjukkan teori-teori sebelumnya terdapat keragaman ide tentang mengapa perilaku bulimic terjadi. Kemungkinan berbrapa kombinasi faktor-faktor dilibatkan dalam perkembangan dan pemeliahran perilaku bulimik ini. Ketika lebih banyak riset tentang topik inid irampungkan, diharapkan itnerelasi dari beargam fatkor ini menjadi lebih jelas.
Seperti halnya naoreksik, penderita bulimik nampak mampu mengesampingkan kontrol homoestatik normal makan. Bagi penderita anoreksia petunjuk-petunjuk normal ununtuk memulai makan adalah cara yang tidak diketahii yang diabaikan atau tidak dirasakan, sementara bagi penderita bulimic petunjukpetunjuk yang berkaitan dengan akhirnya sebuah mepisode makan diabaikan atau tidak dirsakan. Dalam kedua kasus kontrol keseimbangan energi homeostatik terganggu. Bagi penderita bulimia, keseimabngan yang tepat dicapai mlalui perilaku purging. Riset tentang gangugan makan anoreksia nervosa dan bulimia nervosa menunjukkan bahwa kontrol homeostatik lapar bisa dikesampingkan; riset tentang kegemukan juga menyatakan tidak sulit untuk mengesampingkan kontrol-kontrol tersebut.

Kegemukan/obesitas
Obesitas melibatkan ketidakseimabngan jangka panjang antara asupan eenrgi dan pengugunaan energi. Ketika asupan melebihi penggunana, energi yang berlebih disimpan dalam bentuk lemak. Obesitas merupakan problem utama di Amerika. Meski definisinya beragam, obesitas biasanya diartikan sebagai berat 20% dia tas normal menurut tinggi dan bentuk tubuh. Dengan menggunakan definisi ini diperkirakan bahwa 25% hingga 45% orang dewasa di Amerika mengalami kelebihan beart badan (Grinker 1982). Studi terbaru oleh Kuczmarski dan rekan (1994) menemukan bahwa 33,4% oragn dweasa di USA kelebihan berat badan/
Informasi yang diambils ejak awal 1900an menunjukkan bahwa wanita dan pria mengalami peningkatan berat badan sejak awal abad ini. Beberapa penignkatan kmeungkiann disebabkan oleh perubahan pola kerja yang sekarang memerlukan aktivias fisik yang lebih ecil dan gaya hidup sedenter. Misalnya Kuczmarski dan rekan (1994) meninjau sebuah studi oleh Centers for Dieseae Control and Prevention yang menemukan 58,1% dari orang ewasa melaporkan merkea memiliki aktivita ssfisik tak teratur. Perubahan-perubahan pola aktivitas juga ditunjukan oleh fakta bahwa asupan akalori harian rata-rata tetap kosntan sejak awal 1900an (Grinker 1982). Pada beberapa individu berat badan cenderung meningkat seiring usia, meski berat badan tetap stabil untuk individu lainnya.
Meski berat badn tubuh mungkinte tap stabil, orang-orang akan menjadi lebih gemuk seiiring usia. Dua faktor menyebabkan peningkatan lemak tubuh. Yang pertama adalah rduksi tingkat metabolik basal seirin gusia. Metabolisme basal adalah energi yang kita konsumsi untuk memelihara fungsi tubuh saat istirahat. Sekitar dua pertiga energi yang kita keluarkan dikonsumsi oleh proses-proses metabolik basa;l; sepertiaga sisanya dibuat untuk latihan (Franken 1982; Rodin 1981).
Ketika kita menjadi tua metabolisme basal kita melamban; kita memerlukan lebih sedikit energi untk mempertahankan proses-proses tubuh. Gamabr 4,5 menunjukkan penurjnan tingkat metabolik yang terjadi seiring usia. Jika kita terus mengambil jumlah kalori yang sama seperti yang kita lakukan sebelumnya dant idak mengubah pola latihan kita, kita mungkin mendapatkan berat badan karena kita menghbaiskan leih sdikit energi untuk memelihara metabolisme basal kita. Studi terbaru oleh Roberr tdan rekan (1994) mengindikaikan abwah pria lansia yang sehat menunjukkan gangguan kemampuan mengimbangi pertambahan berat badan dan penurunan berat badan. Pria lansia yang diberi makan berlebihan tidak mendapatkan berat badannya dengan cepat seperti pria muda. Hasil-hasil mereka menunjukkan bahwa pertambahan dan penurunan berat badan pada lansia bisa berasal dari perubahan mekanisme yang umumnya mengontrol keseimbangan energi pada individu yang lebih muda.
Faktor kedua yang menyebabkan meningkatnya lemak adalah perubahan komposisi tubuh seiring usia. Masa tubuh ramping – berat otot dan tulang dt – menurun sering usia, semnentar lemak tubuh meningkat seiring usia (Grinker 1982),. (Sekitar 15% dari beat badan seseorang dengan berat badan normal adalah lemak; simpanan lemak ini sama dnegan satu suplai kalori sebulan). Akibatnya, meski beart tubuh kita tetap konstan persentase lemak tubuh kita akan meningkat dan kita akan menjadi lebih gemuk. Sehingga meski indviidu dengan beat normal, perubahanf siik yang berkaitan dengan penuaan mendorong pada peningkatan persetnase lemak tubuh. Dari informasi ini jelas bahwa setiap orang, kelebihan berat badan atau tidak, sedang mengalami peningkatan cadangan lemak tubuh. Pertanyaan yang menarik di sini adalah faktor-faktor lain apa yang bisa menyebabkan dan menjaga kegemukan pada beberapa individu.

Pola adaptif menjadi salah. Kemampuan kita untuk menyimpan energi dalam bentuk lemak untuk dipakai di masa mendatang besifat adaptif. Selama riwayat evolusioer kita, sumberdaya makanan tidak reliabel. Karena individu dngan berat nomrla mmeiliki suplai satu bujlan energi yang ersimpan, para peneliti memandang obesitas sebagai simpanan energi lanjutan, di laur cadangan normal, karena kelaparan tidak lagi sering terjadi. Karena cadangan energi tidak digambarkan oleh tidak adanya makanan yang cukup, sistem penimpanan terus menambah cadangan yang dekuat. Di masa lalu kontrol obesita s bersifat lingungan. Di masa-masa sulit dan makanan lammngka, cadangan diminta untuk memelihara hidup; ketika kondisi membaik, energi disipan. Jika lini pemikiran ini benar, maka manusia mungkin tidak akan memiliki kekanisme yang baik untuk membatasi simpanan lekak d melebihi suati level minimum, karena sifatnya biasanya membatasi simpanan saat periode kekurangan. Meski hipoteiss ini lgosi, cukup sulit dibukitan dan tidak menjelaskan mengapa beberap aindivdiu yang punya akses mudah ke makanan berat badannya tetap normal. Margules (1979) menyatakan bahwa alasan bagi beberapa orang tetap gemuk sementara yang lain tidak berasal dari perbedaan genetik dalam produksi beta-endorphin (zat kimia yang ditemukan di otak). Misalnya Margules dan rekan (1978) menemukan menignkatny lvel beta-nedorphin memiliki beberapa fefek, satu di atanranya adalah reduksi bangkitnya stimuli, yang pada gilirannya menyebabkan aktivitas lebih rendah dan penyimpanan energi lebih sering.

Predisposisi genetik. Ad a uga bukti bahwa beberapa oang terprogram secara genetik untuk membawa lemak lebih banyak daripad ayang lain. HOIRsch dan Kntitle (1970) menemukan bahwa idnivdiu yang terlalu gemuk mengalami lebih dari dua kali lemak lebih banyak dibandingkan individu normal dan cel-sel lemak oragn gemuk ini lebihbesar daripada individu dengan berat normal. Karena pla makan tidak mengurangi jumlah sel lemak (tapi mengurangi ukuran sel lemak individu) oarng dengan jumlah sel lemak banyak mungkin diprogram secea genetik untuk bertambah berat badannya daripada individu normal (Grinker (1982). Karena ada beberapa keturunan binatang gemuk secara genetik (misalnya tikus Zucker dan tikus ob/ob) kemugkian perbedaan enetik pad ajumlah sel lemak juga ditemukan pada manusia.
Satu temuan yang menarik oleh Jones dan Friedman (1982) menyatakan bahwa kurang gizi pada tikus etina selama trimester 2 kehamilan menyebabkan obesitas dan pembesarn sel-sel lemak pada keturuan jantan (keturunan betina tidak menjadi gemuk tapi menunjukkan abnormalitas sel). Riset mereka didukung oleh laporan Ravelli steind an Susser (1976) yang menganalisa berat badan 300.000 pendaftar tentara Belanda yang ibunya mengalami kurang gizi selama PD II. Ravelli dan rekan melaporkan bahwa par pria yang ibunya terpapar pada kondisi kelaparan selama 2 trimester pertama kehamilannya memiliki insiden obesitas lebih tinggi daripada populasi umum. Dimungkinkan kondisi-kondisi intrauterin selama perkembangan individu bisa menyebabkan obesitas.

Lemak Coklat
Riset terhadap tkkus menunjukkan sebuah cacat metbaolik bisa menyebabkan kegemukan. Ketika bahan makanan yang berlebihan diambil beberapa energi yang diamsukan akan dibakar sebagai opanas. Depsoti flemak-coklat meurpakan sumber utama panas ini (Glick 1982). Beberapa laporan riset menunjukkan bahwa sebuah malfungsi pada produksi panas lemak coklat menjadi dasr bagi obesitas pada tikus yang gemuk scara genetik. Sehingga agumen menyatakan bahwa produksi panas lemak coklat yang malfungsi tidak membakar energi yang cukup sehngga lemak tetap tersimpan yang menyebabkan kegemukan. Meski riset ini sangat luarbiasa dan diulas oleh media, sebuah problem fundamental perlu diatasi jika analisis ini ngin diterapkan pada obesitas manusia. Problemnya aldaha manusia hanya punya sedikit deposit lemak coklat (Grinker, 1982) sheingag malfungsi sistem ini cenderung berdmapak besar terhadap berat badan manusia. Peran lemak coklat pad aobesitas manusia tetap pelru ditunjukkan.

Obesitas sebagai pemelihara obesitas. Judith Rodin (1981) dari Yale University menyebutkan satu konsekwensi menjadi gemuk adalah lebih slut untk menurunkan berat badan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini. Pertama, semakin gemuk seseorang, semakin bisa menjadi gemuk dia. Orang yang gemuk biasanya memiliki kadar insulin lebih tingi daripada orang dengan bobot normal. Situasi ini, disebut hiperinsulinemia meningkatkan jumlah energi yang disipan sebaglai lemak karena insulin terlibat dalam proses penyimpanan. Tapi hiperinsulinemia tampak mempengaruhi rasa lapar sehnga individu yang gemuk lebih mudah lapar dan menyim;pan lebih banyak energi sebgai lemak daripada individu dengan berat badan normal.
Obesias juga berdampak terhadap level aktivitas. Orang yang gemuk biasanya kurang aktif dibandingkan orang yang lebih kurus (Bullen, Reed & Mayer 1964), jadi merek amebakar lebih sedikit kalori sehignga menjaga kondisi gemuk dengan mengurangi aktivitas. Selain level aktivitas yang lebih rendah, konsumsi energi dipengaruhi oleh obesitas. Jaringan lemak kurang aktif daripada jaringan ramping (Rodin 1981). Karena persnetas eerat badan tubuh lebih besar berupa lemak pada individu gemuk, mereka memerlukan lebih sedikit kalori untuk menjaga berat badan karena metabolisme yang lebih kecil ini.
Yang terakhir diusulkan bahwa pengaturan pola makan bisa membantu menyebabkan kegemukan. Tingkat metabolisme dikurangi selaam kekurangan makan, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan berat badan menjadi lebih sulit; setiap episode pengaturan pola makan suksesif dianggap menyebabkan reduksi tinkat metabolik lebih besar, sehingga penurunan berat badan menjadi lebih sulit (Rodin, 1981). Meskid emikian ide bahwa siklus-siklus pengaturan pola makan dan pertambahan beat badan (disebut pola makan yo yo) bisa mengurangi tingkat metabolit ternyata kurang benar saat ini. Dalam sebuah tinjauan pustaka tentang siklus beart badan, National Task Force on The Prevention and Treatment of Obesity (1994) menemukan b ahwa siklus-siklus pengaturan pola makan menyebabkan penurunan berat badan yang diikuti oleh pertambahan berat badn tidak berdampak buruk terhadap tingkat metabolisme. Tinjauan oleh Wing (1992) memiliki kesimpulan yang sama.

Eksternalitas. Pada 1971 Stanley Scahcter menampilkan sebuah teori perilaku makan yang mengusulkan bahwa individu yang gemiuk lebih dipengaruhi oleh petunjuk-petunjuk lingkungan eksternal daripada oleh petunjuk-petunjuk homeostatis internal berkaitan dnegna makan. Petunjuk-petunjuk lingkungan eksternal meliputi hal-hal seperti waktu makan sehari, citarasa makan, kuantitas makanan dan usaha. Sebaliknya, orang dengan berat badan normal dianggap makan lebih banak sebagai rspon terhadap petunjuk-petunjuk internal seperti kotnraksi perut dan kadar gula darah.
Schachter mengusulkan ide eksternalitas sebagai akibat dari beberapa studi yang mengindikasikan bahwa subyek yang kelebihan berat badan lebih responsif terhadp petunjuk-petunjuk eksternal yang berkaitan dngan makan. Misalnya dalam satu studi oleh Scahcher dan Gross (1968), kecepatan dua jam diubah sehingga seseorang berlari dua kali lebih cepat dariapada normal sepementar yang lain berlari setengah lebih lamban daripada normal. Dalam eksperimen ini, yang dimuali sebelum waktu makan malam, subyek dibiarkan sendiri selama 40 menit sementara jam di ruangan mereka menunjukkan 1 jam atau 15 menit sudah lewat. Subeyk yang memiliki jam cepat setelah 6 malam, ketika pengekserimen kembali ke ruangan dsementara subyek dengan jam lamban mengangapnya 5:20.
Pengeksperimen, saat memasuki ruangan menawarkan beberapa camilan pada subyek sambil mengisi kuesioner. Subyek yang betubuh gemuk dan bertubuh normal diuji setengah dari setiap kelompok dalam situasi jam lamban. Pertanyaan yang menarik adalah berapa banyak camilan yang dimakan subyek gemuk versus subyek normal akibat waktu ini. Jika orang gemuk sensitif terhadap petunjuk-petunjuk eksternal yang berkaitan dengan makan, maka subyek gemuk dalam situasi jam-cempat akan makan lebih banyak daripada dalam situasi jam lamban karena mereka percaya itu saatnya makan malam. Sebaliknya subyek dengan berat badan noral tidak dipengaruhi oleh jam tersebut karena mereka dipengaruhi oleh petunjuk-petunjuk internal.
Hasil-hasil eksperimen menunjukkan bahwa subyek gemuk dalam situasi jam cepat makan dua kali lebih banyak daripad dalam situasi jam lamban. Yang mengejutkan, subyek normal dalm kondisi jam lamban makan lebihbanyka daripada dalamjam cepat hasil tak terduga ini mungkin terjadi karena subyek dalam jam lamban tidak ingin melewatkan makan malam mereka dengan makan camilan. Bebearpa subyek normal dalam kondisi jam cepat memberi alasan ini untuk berkurangnya makan camilan. Hasil-hasil ini dalam arah yang diprediksikan: subyek gemuk lebih dipengaruhi untuk makan ketika jam menunjukan sudah dekat ke waktu makan.
Petunjuk eksternal kedua adaalah citarasa. Nisbett (1968) menguji efek citarasa terhadap jumlah yang dimakan dari sebuahesmkrim berasa enak dan berask tidak enak. Subyek normal, kelebihan berat badan dan kurus digunakan dalam eksperimen. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa subyek gemuk maklan leih banyak eskrim bercitarasa enak daripada subyek kurus dan normal., seperti diprediksikan. Menurut hipotesis, subyek normal dan kurus mestinya lebih banyak makan es krim yang tidak enak daripada subyek gemuk., yang mestinya sensitif terhadap rasa. Meski Nisbett menemukan bahwa subyek yang gemuk makan lebih banyak es krim berasa tak enak daripada subyek normal, subyek gemuk juga makan leih banyak. Scahchter (1971b) menyebut perbedaan ini disebabkan oleh fakta bahwa tiga kelompok ini makan sangat sedikit es krim berasa tidak enak; meski perbedaan tersebut kecil.
Studi oleh Hashim dan Van Itallie (1965) mendukung pernyataan Schachter. Para peneliti ini membatasi subyek gemuk dan normal ke diet cairan lunak yang bisa mereka makan sebanyak atau sesedikit yang mereka mau. Subyek gemuk segeramengurangi asupan makannya dan kehilangan beat badan dan subyek normal memelihara asupan alaori harian mereka (dan juga berat badan) meski makan cairan lunak. Dalam studi Nisbett, kina dipakai untuk membuat citarasa es krim menjadi pahit, mungkin cukup aphit sehingga ketiga kelompok ini makan sangat sedikit. Dalam studi Hashim dan Van Itallie, diet cairan tidak aversif dan subyek gemuk dan normal makan cukup banyak. Hasil dari kondisi es krim enak dari Nisbet dengan hasil-hasil dari studi Hashim dan Van Italie mendukung gagasan bahwa orang gemuk lebih reaktif daripada individu normal terhadap citarasa makanan.
Subyek gemuk nampak kurang bersedia menghabiskan suaha untuk emdnapatkanmkanan. Dalam eksperimen Shachter meminta subyek gemuk dan normal untuk mengisi uji kepribaidan pada sebuah tabel di mana sekantong almond dan pemecah kacang ditaruh. Pengeksperimen meminta subyek untuk membantu mereka memecahkan almond itu. Untuk separuh subyekalmond sudah dipecah, semntara separuh laginya masih hraus dikupas sebelum bisa dimakan. Sekitar ssearuh dari subyek normal makan apakah mereka harus mengupas atau tidak. Meski demikian hanya 1 dari 20 subyek gemuk yang bersedia mengupas buah almond itu meski 19 dari 20 makan kacang itu jika sudah dikupas. Schachter (1971a) juga menemukan abwha berat normal orang Ameriak lebidha ri lima kali dari mereka yang kelebihan beat badan menggunakan sumpit ketika makan makanan Oriental. Kesimpulannya adalah bagi orang Amerika makan dengan sumpit memerlukan suaha yang lebih daripada makan dengan psau, garpu dan sendok dan orang gemuik tidak bersedia mengeluarkan usaha ekstra. Hasil-hasl dari studi ini menunjukkan perbedaan kesediaan subyek berbobot normal dan gemuk untuk bekerja demi makanan.
Yang terakhir Shcachter dan Rodin (1974) mencata sebuah paralel menarik antara perilaku binatang yang dilukai VMHnya dan manusia gemuk. Seperti diketahui biantang yang dilukai VMHnya menjadi hiperaghic, makan banyak makanan dan dengan cepat menjadi gemuk kadang-kadang binatang ini mencapai berat badan baru yang leih besar yang kemudian mereka pertahankan. Scahchter dan Rodin membandingkan perilaku binatang ini selama fase staik kedua dnegna perilaku manusia gemuk. Petama-tama, binatang ini sangat rewael. Jika kina ditambahkan pada makanan, biantang ini mengurangi asupannya di bawah biantang normal yang memakan makanan berkina. Selain itu, jika unsur-unsur ditambahkan pada makaan seekor binatang yang dirusak VMHnya yang disukianya, asupanany naik di luar biasanya dan di luar binatang normal dengan zat aditif yang sama pada pmakanan inimanusia gemuk juga makan lebih sdikit makaan cair dan makan lebih banyak makanan yang enak, sebuah pola yang bisa disebut rewel.
Scahchter mencatat kemiripan-kemiripan lain anatar binatang yang VMHnya dirusak dan manusia gemuk. Misalnya tikus yang dibuat gemuk oleh kerusakan VMH hnya makan sedikit lebih banyak daripada bianatang normal untuk mmelihar aberat badan mereka (sekitar 26% lebih sehari). Demikian juga mansuai gemuk dalam studi-studi yang disebutkan oleh Scahcter dan Rodin (1974) tebukti makan lebih banyak daripada manusia normal. Tikus yang dirusak VMHnya makan lebih sedikit per hari tapi mengkonsumsi leih banyak pada setiap makan; manusia gemuk bertindak sama. Yang terakhir riset menunjukkan bahwa tikus yang dirusak VMHnya dan manusia gemuk makan lebih cepat daripad asubyek dengan berat normal. Hubugan yang dicata oleh Schacher ini menunjukkan bhwa perubahan-perubahan did alam VMH bisa menjadi faktor dalam kegemukan manusia; meski demikian kita harus sangat hati-hati untuk mngambil kesimpulan karena huubngan yang diamati inibersifat korelatif. Beberapa faktro bisa berkontirbusi tehradap perubahan-perubahan perilaku yang samabaik pada binatang yang dirusak VMHnya dan manusia yang tidak berkaitan dengan malfungsi VMH pada manusia. Perlu ditunjukkan bahwa obesitas pada manusia dikaitkan dengan perubahan-perubahan abnormal pada aktivitas VMH.

Problem-problem pada Konsep Eksternalitas-Obesitas
Hubunga nyang diusulkan antara obesietas dan sensitivitas terhadp petunjuk-petunjuk eksternal sangat populer, dan riset Scahchter sudah disebutkan dengan sangat luas. Tapi ada badan riset yang menunjukkan bahwa hubungan obesitas-eksternalitas terlalu sederhana. Pertama-tama Rodin mencatat bahwa banyak studi tidak mampu menunjukkan bahwa individu gemuk lebh resposnif daripad aoang berbadan normal terhadap petunjuk makanan eksernal. Selain itu jelas bahwa dalam setiap kategori berat badan terdapat orang-oarng yang responsif secara eksternald an mereka yang responsif secara internal. Menjadi gemuk tidak secara ekslusif dikaitkand engan eksternalitas. Densitivitas terhadap petunjuk internal tidak menghasilkan regulasi yang sangat bagus, meski pada orang yang normal jika petunjuk tersebut ada. Sehingga jelas bahwaindividu dengan berat normal sensitif terhadap perubahan-perubahan dalamkondisi intenral mereka.
Sebuah problem lebih lanjut dengan hipoteis obesitas-eksternalitas adalah bahwa petunjuk-petunjuk eksternal bisa memicu kondisi fisiolgoi inernal. Petunjuk-petunjuk eksternal berinerkasi dan bisa menciptakan kondisi-kondsi intenral yang kemduian mempengaruhi pola makan. Misalnya sekresi saliva dan insulin meningkat dengan adanya petunjuk-petunjuk eksternal yang secara reiabel memprediksikan ketersediaan makanan.
Karena petunjuk-petunjuk eksternal bisa mempengaruhi kondisi-kondisi internal, demikian jgau kondisi-kondisi inernal bisa mengubah daya respon terhadap petunjuk-petunjuk eksternal. Data tentang makan yang menyebabkan stres pada binatang menyatakan bahwa meningkatnya level kegairahan menyebabkan meningkatnya kesadaran dan daya respon terhadap petunjuk-petunjuk eksternal. Dalam studi Rowland dan Antelman (1976), cubitan ekor ringan (manipulasi kegaiahan) yang dilakukant erhadap tikus dengan adanya susu manis mendorng hiperpagia dan pertambahan berat badan.s ehingga kondisi-kondisi internal mungkin memepgnaruhi tingkat reeptivitas terhadap petunjuk-petunjuk eksternal yang berkaitan enganmakan. Data yang diatat di sini menimbulkan problem bagi hipotesis obesitas-eksternalitas karena kndisi internal dan eksternal berinteraksi secara kompleks. Yang jelas disini adalah obesitas melibatkan lebihd ari sekadar meningkatnya daya respon tehradap petunjuk-petunjuk eksternal.

Regulasi homeostasis dipertimbangkan lagi
tiga contoh keggagalan regulasi homeostatis – anorexia nervosa, bulimia nervosa dan obesitas – memberitahu kita bahwa motivasi lapar lebih kompleks daripada diperkirakan sebelumnya. Jika mekanisme homoesotatis perilaku makan ada, kita bisa mengesampingkannya dengan mudah. Secara khusus, petunjuk-petunjuk eksternal yang berkaitan dengan makaan (rasa, bau, tekstur dan seterusnya) seringkali menstimulasi perilaku makan tanpa adanya kebutuhan real. Prefernesi orang Amerika untuk junk food mungkin contoh yang bagus bagaimana petunju-petunjuk ini bisa menyebabkan perilaku makan tanpa adanya ketidakseimbangan homeostatik. Studi-studi rasa lapar selama beberapa dekade terakhir mencari perubaan-perubahanf isiologis yang memicu proses makan. Reseptor glukosa, insulin dan lipid dan juga beberap amekanise lain disarankan sebagai alat pemantau untuk memulai perilaku makan. Saat ini riset terbukti kurang berguna dalam memperluas pemahamankita tentang motivasi lapar daipada yang diharapkan. Kaibatnya beberapa peneliti saat ini mencari pendekatan-pendekatan baru. Smith (1982) misalnya menyatakan bahwa kita mempelajari sinyal-sinal kekenyangan yang membuat makan terhenti, daripada terus mencari pemicu elusif pola makan.
Secara teoritis dimungkinkan bahwa perilaku makan tidak diregulasi secara sempurna.. di masa lalu, sumberdaya makanan lebih tidak stabil daripada sekarang. Tampilan, bau, rasa dan peutnjuk eksternal lain yang beraitan dengan makanan bisa mendorong orang untuk makan, meski pada orang yang tidak lapar, karena peluang berikutnya untuk makan mungkin tidak akan terjadi lagi selama beberapa hari. Akan menjadi adaptif dan responnsif terhadp petunjuk[-petunjuk eksternal petunjuk-petunjuk yang berkaitan denganmakanan dan makan m ketika makanan ada bahkanjika homeostasis saat ini sudah dipertahankan. Banyak riset menyatakan bahwa manusia makan sebagai respon terhadp petunjul-petunjuk selain yang berkaitan dengan homeostasis; seerti dicatat sebelumnya regulasi buruk ketika petunjuk internal muncul (Orodin 181). Jadi kemugnkiann mekanisme homeostasis spesifik kurang penting bagi permulaanmkan daripada petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan ketersediaan makanan. Mungkin, dengan adanya makanan dan kurangnya motivasi kuat laina, kit amakan. Makan,s eperti perilaku berdandan pada tikus sangat mungkin bisaterjadi, dan akibatnya, mekanisme internal yang memicu makan bisa kurang penting.
Saat ini cara terbaik adalah membuka peluang bagi motivasi lapar untuk dipicu secara homeostatik di bahwa kondisi-kondisi tertentu, tapi manusi seringmakan sebelum homeostais terganggu; yaitu perilaku makan kit atidak nampak dipicu oleh ketidakseimabngan homeostatis. Petunjuk terkait makanan secara eksternal dan pola-pola perilaku yang dipelajari kemungkinan berperan penting dalam pola makan nonhomeostatis ini.

Regulasi rasa haus
Kita baru melihat bukti untuk regulasi asa lapar homeostasis kurang jelas daripada yang diperkirakan. Sekarang kami akan menguji riset yangberkaitan dengan regulasi homeostasis rasa haus. Pengujian kami terhadap data ini akan mengungkapkan bawah regulasi hooestais keseimabngan air terjadi tapi sekali lagi mekanisme non homeostasis juga bisa terjadi.
Para ahli teori awal menganggap haus sebagai akibat dari perubahan-perubahan periferal seperti mulut kering karena diketahui dehidrasi mengurangi aliran saliva (Cannon 1929). Mulut kering tidak bis amencakup regulasi keseimabngan air meski bisa dilibatkan dalam kondisi-kondisi khusus yangberkaitan dengan memakan makaan kering (Kissileff & Epstein 1969; Kissileff, 1973).


Mekanisme intraselular dan ekstraselular
Air tidak disebarkan secara merata ke seluruh tubuh. Jumlah ariir terbesar, sekitar 67% berada dalam sel-sel tubuh. Sekitar 26% ditemukand alam ruang-ruang dia ntara sel dan sekita7% dari air tubuh terkandung dalam darah (gambar 5.6). Riset menunjukkan bahwa mekanisme yang berbeda diaktivasi oleh perubahan kadar air sel (disebut mekanisme itnraselular) dan dalam kadar air cairan di sekeliling sel (disebut mekanimse ekstraselular). Misalnya, diketahui bahwa cairan ektraselular hilang karena diare atau kehilanan darah, tapi perubahan-perubahan air seular tidak terjadi. Karena hilangnya cairan ekstrasellar ini menyebabkan haus, penjelasan itnraselular rasa lapar tidak lengkap.
Bukti untuk dua sistem ini bis dilihat dalam studi oleh Eliot Blass (1968). Blass menunjukan bahwa kerusakan pada area frontal otak tikus menyebabkan defiisensi pad pemeliharaan keseimbagan air yang benar ketika sel-sel tubuh terdehidrasi tapi tidak ketika cairan ekstraselular berkurang. Mekanisme kontrol untuk memelihar acairan inraselular dari mungkin tidak bergantung pada yang mengontrol cairan ekstraselular. Dua mekanisme motivasional sudah disulkan; yang pertama berkaitan dengan keseimabngan cairan intraselular; dikenal sebagai haus osmoterik; yang kedua berkaitan dengan keseimangan cairan ektraselular, yang dikenal sebagai haus volumetrik. Untuk memahami riset tentang rasa haus, kita harus menguji sejenak kerja ginjal pada retensi cairan.

Ginjal
Normalnya kita minum lebih banyak air daripada yang kita butuhkan dan kelebihan ini diekskresi oleh ginjal. Ginjal berfungsi meneyrap sodium yang terlarut dalam ciran tubuh dan membuang produk sampah metabolisme. Dalam proses menyerap sodium, sekitar 99% dari air yang disaring oleh ginjal diserap kembali, karena kontrol keseimbagan air sangat tergantung pada keeimbangan sodium yang benar, disarankan bahwa rasa shaus dikontrol oleh detektor sodium (Anderson 1971).
Kemampuan ginjal mnyerap kembali sodium dan air bis adiubah. Misalnya ketika aliran darah lewat ginajl menurun, sebuah zat yang disebut renin akand isekresi. Renin juga disekresi ketika ginal diaktivasi oleh sistem saraf simpatetik. Renin berneraksi dengan sebuah zat kimia yang diproduksi oleh liver yang disebut angiotensinogen dan mengubahnya menjadi angiotensin II (yang saya sebut sebagai angiotensin). Angiotensin menstimulasi korteks adrenal mensekresi aldosteron yang kemudian menyebabkan ginjal meningkatkanr eabsorbsi sodiumnya dan juga air (Carlson 1977). Sehngag penruunan volume darah yang dideteksi oleh ginjal atau perintah dari sistem sraf sipatetik menyebabkan penignkatn jumlah air yang ditahan melalui reabsorbsi.
Kemapuan saluran-sauran pngumpul ginjal untuk menyerap air bisa juga diubah oleh horon pituitary yang disebut hormon antidiuretik (ADH juga dikenal sebagai vasopressin)l tidak adanya hormon ini menyebabkan penyakit yang disebut diabetes insipidis, di mana idnviidu melewatkan banyak air dan harus minum lebih banyak untuk menghindari dehiddrasi. Meski kelenjar pituitary melepaskan ADH untuk meningkatkan reabsorbsi, ADH diproduksi di hipotalamus (Carlson 1977; 1994). Cukup beralasan untuk diperkirakan bahwa hipotalamus atau daerah-daerah didekatnya dihubungkand engan regulasi asupan air. Sebenarnya riset ini menyatakan bahwa reseptor-resetor dalam area umum hpotalamus sensitif terhadp perubahan-perubahan pada konsentrasi relatif cairan ekstraselular dan intraselular.

Haus Osmoterik
Meski sodium merupakan kandungan yang diprlukan bagi hidup, sodium tidak bisa masuk dengan mudah ke badan sel. Akibatnya, setiap bentukan sodium di luar sel menciptakan sebuah kondisi di mna air ditarik dari sel oleh sebuah prsoes yang disebut osmosis (kecenderugna ciran melintasi membran seimpermeabel untuk mengimbangi konsentrasi cairan di sisi membran),. Mekanisme yang mungkind ari regulasi air adkah sel-sel khusus yang bisa mendteksi perubahan volume akibat kehilangan air selular karena osmosis. Osmoreseptor ini bisa memicu perilaku minum ketika volume selmenurun sehingga keseimbangan cairan sel bisa dikembalikan ke normal.
Sebenarnya bukti tak langsung untuk mekanisme ini sudah diketahui. Misanya Verney (1947) menemukan bahwa injeksi lauratn garam ke sulai darah otak menyebabkan sekresi ADH dan meningkatkanr etensi air oleh ginjal. Anderson (1971) menunjukkan bawh alaruan garam yang disuntikkan langsung ke LH menghasilkan perilaku minum. Injeks-injeksi laruan garam ke otak mungkin membodohi osmoreseptor agar berfngsi seperti jika sel-sel tubuh terdehidrasi. Sebenarnya osmoreseptor saja didehidrasi oleh meningkatnya konsentasi sodium yang menarik air darnya. Normalnya ini terjadi hanya jika sel-sel tubuh lainnya didehidrasi.
Riset yang sebelumnya dicatat oleh Blass (1968) menunjukkan bahwa osmoreseptor harus terletak berdekatan dengan area frontal otak karena kerusakan pada area ini meyebabkan defisit pada ontrol keseimbangan ari selular. Blass dan Epstein (1971) mampu membatsi reseptor-resetpor tersebut pada daerah preoptik yang terletak di depan hipotalamus pada otak tikus. Dalam studi mereka Blass dan Epstein menunjukan kerusakan area preoptik lateral menghapuskan atau sangat mengurangi minum sebagai respn erhadp dehidrasi elular. Mereka jug amenunjukkan bahwa dehidrasi lokal darah preoptik mengaktivasi minum, semntara dehidrasi dari area yang sama menekan minum pad atikus yang area preoptiknya utuh. Peck dan Novin (1971) melaporkanbahwa area yang sama mengandung osmoreseptor pada kelinci. Sehingga mekanime regulatoris pada daerah preoptik lateral nampak memantau keseimbangan carian selular dan memulai atau menekan minum sebagai respon terhadap perubahan-perubahan osmotik. Sebuah studi terbaru oleh Andrews, McGowan, Gallitano dan Grossman (1992) mendapatkan hasil-hasil yang berbeda dari yangmereka catata. Selain itu, riset lain menyatakan bahwa struktur-struktur lain yang berada pada sisi darah hambatan otak-darah di sepanjang ventrikel ketiga bis amengandung beberapa dektektor. Osmoreseptor dalam satu atau eberapa lokasi nampak meamntau volum sel dan meicu haus ketika volume tersebut berkurang. Mekanimse bisa mencakup regulasi haus osmotik taip tidak bisa menjelaskan minym yang berasal dari peurbahn-perubahan keseimbangan ekstraselular. Karena perubahan-perubahan terakhir ini juga memicu haus, perlu diuji apa yang diketahui tentang mekanisme tersebut.

Haus Volumetrik
Reduksi keseimbangan carian dari ruang ekstrsellar menyebabkan situasi yang dihkenal sebagi hipovolemia sebuah kondisi yang mengaktivasi mekanisme kompensatoris untuk merestorasi keeimbangan carian yang benar (Clarson 1977; 1994). Hypovolemia bisa terjadi karena beragam alasan. Misalnya, hilangnya sejumlah besar darah mengurangi cairan ekstaslular dna memulai rasa haus. Demikian pula, diaera dan bahkan muntah bisa menyebabkan hipovolemia dan haus. Hilangnya cairan dari koparteenbadan ekstraselular tidak mengubah keseimbangan osmotik dia ntara sel dan komaprtemennya jadi mekanisme yang memantau volume sel tidak akan mendeteksi adanya perubahan.oleh karena itu mekanisme kedua harus memantau cairan ekstrasellar dan memicu rasa haus ketika volumenya berkurang.
Setidaknya dua detektor volume cairan ekstrasleular sudah diidentifikasi. Atrium jantung mengandugn reseptor meregang yang mendeteksi perubahan-prubahan pad atekanan darah venous (tekanan darah yang kembali ke antung). Jika tekanan ini menurun, beberapa rspetor tersebut menstimulasi pituitary untuk melepaskan ADH dan ginjal untuk melepaskan renin. Seperti kita lihat, dua zat kimia ini menigkatkan jum,lah airyang ditahan oleh ginjal yang kemudian meningkatkan volume darah.
Sistem kedua melibatkan deteksi angiotensin. Aktivasi haus dan asupan airs elanjutnya untuk mengimpbangi berkurangnya cairan ekstraselular dianggap oleh beberapa peneliti berasal dari sensitivitas otak terhadap zat kimia ini. Angiotensin terbukti menjadi stimulus yangkuat untuk minum pada beberapa spesif antara lain monyet, anjing, kucing, domba, kelinci dan mermati. Misalnya, Fitzsomons dan Simons (1969) menemukan bahwa infusi angiotensin ke dalam suplai darah tikus keseimbangan air normal menyebabkan minum. Selain itu, Epstein, Fitzsimons dan Rolls (1970) menunjukkan bahwa injeski angiotensin secara langsung ke otak membagkitkanminum, sementara Malvin, Mouw dn Vander (1977) meneukan bahwa agen-agean yang memblok uptake angiotensin oleh otak juga memblok minum.
Data di atas kosnisten dengan ide bahwa anigotensin yang dibuat di periferal tubuh mengalir menuju otak dan menstimulasi sel-sel yang bertanggungjawab untuk motivasi haus. Seperti diperkriakan, para peneliti yang pada awalnya mencari di dekat atau pada hipotalamus, daerah otak sangat terlibat dengan kondisi-kondisi motivasional dsar. B suatu riset nampak menunjukkan bahwa area pedial rpreoptic merupakant empat deteksi angiotensin., tapi tempat ini sangat meragukan karena angiotensin melewati hambatan darah-otak sangat lamban atau mungkint idak sama sekalik. Tempat kerja angiotensin kadang-adang ditentukanoleh sebuah struktru yang disebut organ subfornical (SFO). SFO menarik karena berada di luar hambatan darah-otak pada permukaan cairan otak (ventrikel). Akibatnya ini bisa mendeteksi perubahan pada angiotensin yang diangkut ke otak dan mengirim informasi ini ke struktur-struktur otak lain yang terlibat dengan regulasi cairan (Epstein 1982). Simpson dan Routtenberg (1973) menunjukkan bahwa SFO sangat sensitif terhadap angiotensin; aktivasi minum terjadi dalam waktu kurang dari 3 detik ketika angiotensin dikrimkan. Ketika Sipson dan Routtenberg m,enghancurkan SFO, mereka menemukan bahwa minum sebagi respon terhadap angiotensin dihilangkan. Berdasarkan temuan-temuan tersebut mereka menyatakanabwh SFO merupakant empat reseptor-reseptor yang sensitif tehradap perubahan-perubahan pada cairan tubuh ekstraselular. Riset selanjutnya mengonfirmasikan SFO sebaig struktur kritis.
Sirkuit netral yang terlibat dalam haus volumetrik dan osmometrik cukup kompleks dan masih belum dipahami scar autuh. Beberapa struktur berinteraksi untuk memulai proses minum kketika volume sel atau volume cairan ekstraselular menurun. Truktur-strutkur tersebutu nam[ak beaa di area depan bawah (anteroventral dari ventrikel ketiga (Carlson 1994, memberikanringkasan tentang bagaiman beragam struktur tersebut bisa bekerjasama untuk menimbulkan proses minum).

Minum Nonhomeoistatik
Perilaku minum biasanya terjadi sebelum keseimbangan homeostatik terganggu. Dalam hal ini Kraly (1984) menyarankan bahwa para peneliti perlu mempelajari perilaku minum normal, ayitu minum yang terjadi sebelum keseimbangan cairan intraselular atau ekstraselular tergangu. Kraly mencaat bahwa minum normal terjadi di sekitar makan untuk mamalia. Pada tikus 70% hinggag 90% asupan air harian terjadi dalam interval waktu dari 10 menit sebelum makan hingga 30 menit setelah makan (Fitzsimons & LeMagnen, 1969; Kissileff, 1969) dan tidak nampak menjadi respont erhadap ketidakseimbangan homeostatik lainnya (Kraly 1984). Data ini bersama dengan pertimabngan-pertimbangan lain yan dicatat oleh Kraly menyatakan bahwa perilaku minum sangat berkaitan dengan makan dan pmakan nampak menjadi stimulus kuat untuk minum. Oleh akrena itu minum sering kali terjadi ketika tidak terjadi ketidakseimabngan homeostatik. Lebih lanjut, karena makandan minum berinteraksi, peran pencernaan mkanana pada perilaku minum perlu diselidiki. Seperti disarankan oleh Kraly, saluran gastrointestinal berubah disebbakan pencddernaan makanan bisa menstimulasi perilaku minum yang bersifat non homeostatik. Perubahan-perubahan ini melibatkan histamine dna angiotensin. Ketika makanan dimakan,. Histamin dikelaurkan oleh sel-sel perut. Histamin ini nampak menyeabkan produksi renin oleh ginjal yang anda anggap berineraksi dengan angiotensinogen menghasilkanangiotensin yang kemudian menstimulasi minum.

Kontrol inhibitoris minum
Kami sudah menguji riset yan gberkaitan degna proses minum akibat perubahan itnraselular dan ekstraselular. Tapi kami belum menguji mekanisme yang menghentikan minum. Penghambatan asupan air menghadapi problem yang lebih kcil bagi tubuh daripada penghambatan asupan makan karena kelebihan air bisa dikontrol dengan relatif sederhana dengan meningkatkan ekskresi lewat ginjal. Karena keseimbangan air bisa dikontrol oleh perubahan eksreksi, tidak mengejutkan bila mekanimse inhiitoris kurang berkeembang daripada mekanisme yang memulai minum. Sperti kami temukan sebelumnya, liver nampak berperan penting dalam menangani rasa lapar. Ada juga bukti bahwa sinyal-sinyal dari liver berfungsi mematikan perilaku minum. Infusi air ke vena portal hepatik menghentikanminum yang dimulai oleh depriasi air dan oleh suntikan saline. Lebih lanjut, tikus minum lebih banak air daripada ketika saraf vagus diotong di liver. Pemotongan ini akan mencegah respetor dalam liver memberi sinyal otak tentang kedatanganair. Meski sinyal laind ari mulut, perut dan duodenum berperandalam mematikanmotivasi minum ini, sinyal-sinyal liver akan mampak menjadi yang paling kursial.

Regulasi motivasi seksual
rasa lapar dan haus merupakan dua kondisi yang dimotivasi yang diatur oleh hipotalamus. Kondisi-kondisi termotivasi lainnya juga diatur oleh hipotalamus, di antaranya perilaku seksual dan maternal, regulasi temepratur, takut dan agresi. Meski banyak yangbelum dipahami tentang mekanisme regulasi untuk setiap motif tersebut kami akan menguji secara singakmt beberap riset tentang regulasi motivasi seksual.
Otak pria dan wanita tersusun secara berbeda akibat adanya atau tidak adanya hormon sek. Riset menunjukan bahwa otak mamalia pada dasarnya betina kecuali diubah oleh adanya hormon seks pria (testosteron). Otak pria diciptakan oleh adanya testosterons elama period ekritis perkembangannya. Menurut Bredlove (193) estosteron mengikat reseptor androgen pad sel-sel yang mengandung reseptor-resetor tersebut.. kompeks restosteron-resetor kemudian mengikat DNA selmngubah manufaktur beberapa protein. Pperubahan protein ii bis amenguabh aktivita sel-sel yang dipeganruhi,membuatnya membelah, mengubah bentuk, mengubah fungsi dan pada beberapa kasus mati.
Seymour Levine (1966) melakukan riset tentang hubngan antara hormon seks dan perilakus eksual pria dan wanita. Misalnya Levine menyuntik tikus betina usia kurang dari 4 hari dengan testosteron horon seks jantan. Betina yang disuntik ini tidak mengalami fisiologi betina normal. Ukuran ovarium berkurang drasstis, mereka tidak menghasilkans el-sel telur dan siklus ovulasi terganggu. Levine juga mengkastrsi tikus jantan pada usia yang sama untuk menghilangkan testosteron pada diri mereka.. pejantan yang dikastrasi menunjukan tanda-tanda fisiologi beinta; jika ovarium diimpantasi pada salah satu pejantan tersebut saat maturitas, ovarium ini akan menghasilkan sel telur. Hasil-hasil yang sama sudah didapatkan pada marmut dan monyet.
Levine menyatakan bawah penggunana tesotsteron slam aperiode kritis kehidupan biantang mengubah otak secara permanen sehingga siklus pituitary betina hialgn dan otak menjaditidak sensitif terhadap estrogen dan progeteron. (hormon seks betina), tanpa pmemperhatikan seks genetik biantang.. periode kritis ini adalah beberapa hari pertama setelah lahir pad atikus tapi tejradi sebelum kelhairan pada marmut dan monyet, jadi injeksi testoteron pada dua spesies ini harus dibeirkan sebelum kelahiran untuk menimbulkan efek maskulinisasi. . pad ajantan genetik,seumlah kecil testosteron disekresi selama perkembangan dalam tuerus,d an jumah eccil ini cukup untuk memaskulisansi aotak. Pada betina genetik, atua pada jantan yang tidak memiliki testosteron, otak mengamai sirkuitas feminin/
Yang lebih menarik dari sudut pandang psikologi adalah efek-efek jangka panjang dari pemakaian testsosteron pada betina. Levine menyuntikkan testosterone ke tikus betina muda untuk memaskulinisasi kemduian emgnuji binatng tersebut pad saat dewasa untuk mengetahui perilakus eksual betina normal (tikus betina normal menunjukan pola perilaku yang disebut lordosis, yaitu pembengkokan punggung dan nkanya pelvis agar pejantan bisa mengawininya). Tikus betina yang dimaskulinisasi ini tidak menunjukkan perilakus eksual betina normal ketika disuntik dengan estrogen dan prgoesteron, hormon yang diperlukan untuk perilakus eksual pada tikus betina normal. Dis isi lai, jik abetina yang dimaskulinisasi diberi suntikan testosteron tambahan, meeka menunjukkan pola kopulatoris lengkap perilaku seksual pria, meliputi gerakan-gerakan yang berkaitan dengan ejakulasi. Penggunaan awal testsoteron menghambat perkembangan perilaku seksual betina normal atau emnghambat ekspresinya. Ketika tikus jantan yang dikastrasi pada usia dini diberi eostrogen dan progsteron, mereka berperilaku persis seperti betina normal. Tidak adanya testosteron awal pad atikus jantan menyebabkan kegagalan perkembangan pola seksual jantan atau terhambatnya ekspresi pola tersebut.
Bukti yang berkaitand engan pentingngya hormon seks pada perkembanga otak juga mulai mengemuka pada stud-studi manusia. Geechwidn mengusulkan abwha kel. Atau sensitiivtas tak lazim terhadap ttestosterons elama kehamilan mengubah sirkuitas otak sehignga individu lebih cenderung memiliki sparuh otak mendominasi fungsi seperti ujaran dan dominasi tangan yang dikaitkan dengan sifat kidal. Geschiwnd mengusulkanabwha jumlah testosteron yang muncul selama perkembangan sangat penting; jika testosteron yang berlebih ini jugamlhnya benar, bakat pada bidang seperti musik, seni atau matematika bisa muncul tapi jika kelebihannya terlalu besar, maka akan timbl abnormalitas septi autisme, dysleksia dan ganguan sistem kekebalan (Kolata 1983). Pada konfirmasi awal terhadap proposal Geschwnd, Benbow dan Stanle menemukan abwha para pria berbakat matematika dalam sampel nasional meerka cenderugn kidal. Lebih lanjut, 60 persen dari pria kidal tersebut mengalami gangguan sistem kekebalan (biasanya alergi dan asma) yang lima kali lebih beasr darpada rata-rata nasional.
Riset lebih lanjut tentang hubugnan antara hormon seks dan perkembagnan otak bisa mendorong kita lebih memahami krativitas danabnroamlitas; testosteron fetal nampak berperan pentign ada keduanya. Bagaimana hormon-hormon seks mengubah sirkuitas yang berkembagn did alam otak masih belum diketahui; meski demikian sepeti yang terjadi pada perilaku makan dan minum, perilakus eksual nampak diatur oleh mekanisme did alam atau di dekat hipotalamus.

Regulasi hipotalamik
Banyak yang diketahui tentagn peran hipotalamus dalam kontrol lapar dan haus dariipad ayang diketahui untuk perilaku seksual, meski struktur-struktru lain juga dilibatkan dalam reguasi pierilakus seksual, hipotalamus sangat penting (Sawyer 1969).
Tumor atau patologi lain pada hipotalamus bisa memodifikasi perkembangan atau pemeliharan perilakus eksual pada manusia. Tumor hipotalamius bisa menyebabkan perkembangan seksual dini dengan pembesaran gonadal dan penampilan akraktersik seksual sekunder (rambut kemaluan misalnya) pada anak-anak hingga usia 8. karea alasan-alasan yang masih belum jelas, perkembangan awal ini lebihs erign terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Kerusakan pada hipotalamus bisa juga menyebakan efek yang berbeda, menyebabkan kondisi-kondisi gonadal, termasuk tidak adanya motivasi seksual, kurang berkembangnya genital, dan tidak adanya karaktersitik seksual sekunder.
Pada banyak biantang perilakus eksual bisa dicapai pad alevel spinal cord. Misalnya, ereksi, gerakan thrusting dan ejakulasi pada pria semua terjadi setelah spinal cord dipotong untuk menghlangkan pengaruh otak. Lordosis juga bisa dicamapi pada level spinal. Pria dengan kerusakan spinal cord terbukti mencapai ereksi dan ejakulasi tapi tidak mengalami orgasme (Carlson 1977, 1994).
Banyak riset tentang mekanisme fisiologis periaku seksual sudah dilakukan pada kelinci dan tikus. Kelinci menjadi subyek yang berguna karena betina berovulasi setelah berhubungan seks. Mereka mempermudah peneliti menguji struktur otak mana yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan memeriksa ovulasi setelah area-era otak distimulasi atau dikelaurkan. Fenomena ovlasi yang disebabkan hbungan seks membajtu menjelaskan mengapa kelinci jumlahnya begitu banyak!

Studi-studi lesi
Beberapa studi menunjukkan bahwa lesi pad hipotalamus anterior menghilangkan siklus estrous pada mamalia betina. Pterapi pergantian dengan estrogen gagal membentuk kembali siklus ini, menunjukkan bahwa bagian ihpotalamus inibisa mengandugn sel-sel yang sensitif terhadap hormon seks betina yang bersirklasi. Lesi-lesi di adaerah preoptik, kshuusnya area preoiptik medial menghilangkan perilaku seksual pada tikus jantan. Daerah pada otak tikus jantan ini mengadung sejumlah besar reseptor andorgen (Roselli, Handa dan Resko 1989). Sebenarnya, penggunaan testosteron pada are preoptik medial akan memulai kembali perilaku seksual pada tikus jantan dewasa yang dikastasi.
Lesi-lesi pada VMH juga menghilangkan estrus pada betina, tapi terapi pergantian suske smemperbaiki perilakus eksual. Hasil-hasil agn sama didapatkan pada pria dengan lesi-lesi pada VMH terapi pergantian hormon sukses mengembnalikan perilaku seskual pad binatang yang dilukai VMHnya, pran VHP dalam peirkau seksual berbe dadari peran yang dimainkan oleh hipotalamus anterior dan area preoptik. Kemungkiann diua area ini mendeteksi perubahan level hormon seks yang bersirkulasi sementara VMH mungkin terlibat dalam eksiresi perilaku seksual. Beberapa aarea tersebut berineraksi untuk menghasilkan aktivitas seksual.

Studi-studi stimulasi hormonal dan listrik
Meningkatnya perilaku seks jantan dilaporkan disebabkan oleh stimulasi listrik dari daerah preoptik. Stimulasi listrik pad ipotalamus anteriro dan area preoptik juga menyebbakan ovulasi pada kelinci betina. Herberg (1963) menghasilkan emisi semen lamban pada tikus dengan menstimuasli erat-serat secara listrik yang melewati hipotalamus dan Sawyer (1969) melaporkan bahwa aktivitas listrik pada serat yang sama, dan jug pad anterior hipotalamus terjadi akibat stimulasi vaginal pada kucing.
Stimulasi hipotalamus oleh injeksi hormon seks juga menyebabkan perubahan-perubahan pada perilakus eksual. Fisher (1964) menemukan tikus jantan menunjukkan perilaku seksual ketika testosteron disuntikan secara langsung ke area preoptik lateral. Secara tak terduga dia juga menemukan bahwa testsoteron yang disuntikkan ke area preoptik medial menyebabkan perilaku maternal pad atikus jantan. Hasil baru ini menunjukkan bahwa sirkuit neural untuk perilaku maskulin dan feminin muncul pada jantan dan betina tapi biasanya diaktivasi hanya oleh hormon-hormon masing-masign.pada jnatan maternal Fisher perilaku maternal mungkin dipicu scara buatan. Perilaku estrous pada kucing betina juga dipicu oleh implan hormon meski ovarium sudah dikeluarkan. Penempatan yang menyebabkan estrus meliputi hipotalamus anterior dan area preoptik medial (Sawyer 1969).
Hipotalamus nampak mengatur motivasi seksual, setidaknya dengan menghamabat raspek-asepk refleksi spinal dari perilaku seksual hingga kondisi-kondisinya tepat untuk bisa tejadi. Misalnya Barfield, Wilson dan McDonald (1975) dan Clark dan rekan (1975) menemukan bahwa lesi-lesi di antar ahipotalamus dan otak tengah meningkatkan perilakus eksual pada tikus jantan. Penignaktan perilaku seksual ini merupakan hasild ari penurunan jumlah waktu di antara ejakulasi. Tikus jantan biasnyaa melalaui periode refraktoris setelah ejakualsi selaam mereka tidak tertarik berhubugan seksuial dan menunjukkan EEG seperti tidur. Lesi-lesi yang memutus hipotalamus dari otak tengah mengurangi periode refraktoris ini dari sekitar 5 hingga 2 ½ menit, menunjukkan hipotalamus mungkin menghambat aktivitas seksual.
Informasi yang diulas secara singkat dalam bagian ini menyatkaan bahwa hipotalamsu sensitif dan bertanggungjawab untuk regulasi hormon seks dan perilaku seksua yang tepat. Hipotalamus anterior dan area-aera preoptik sensitf terhadap hormons eks yang bersirkulasi dan bisa mengandung detektor hormon seks. Hipotalamus anterior dan area preoptik nampak sensitif terhadap hormon seks yang bersirkualsi dan mungkin emgnandaung beberapa dekteor hormon seks yang mengatur output hormonal dan juga mempengaruhi area-area lains eperti VMHJ, menyebbakan ekspresi perilaku seksual. Pengaruh hormon seks terhadap perilaku cukup kompleks; di satu sisi, mereka penting bagi organisasi sirkuit otak selama perkemabngan fetal; di sisi lain, mereka mengatur dan memungkinkan terjadinya perilaku seksual. Banyak riset lain perlu dilakukan seblum kita benar-benar memahami bagaimaan perilaku seksual diatur.

Regulasi Motivasi Agresif
Untuk mengakhiri bab ini, kami akan mempertimbangkan secara singkat bukti untuk sirkut neural yang mendasari agresi. Secara khusus kami menguji penelitiant etnang agresio biantang, sebuah topik yang relevan engan studi-studi kemarahan pad manusia.
Karya awal Cannon (1929) menunjukkan bahwa korteks otak tidak perlu untuk mengekspresikan kemarahan. Sebenarnya kucing dekortikcate menunjukkan apa yang disebut Canon shamre ga, sebuah tilah yangd igunakan karena perilaku emosional yangs ebenarnya tidak bisa terjadi tanpa koreteks. Kemarahan yang diamati meliputi peirkau khusus yang dilihat pada kcng marah, seperit mengangkat ekor. Respon sham ragae mirip dengan ekspresi normal kemarhana kecuali ini tidak diarahkan untuk memprofokasi stimulus. Bard menentukan abwha respon kemarahan ini bergantun gpada hipotalamus utuh, kshusnya bagian posterior. Studi-studi dini tersebut mendorong ide korteks otak bertindak menekan perilaku emosional agresif yang diarahkan pada hipotalamus. Meskit eori terbaru lebih kompleks, asumsi bahwa area kortikal menghambat perilau agresif masih valid.
Sistem limbik
Pada awal 1973 James Papez mengsuulkanhipotalamus, bersama dengan struktur lain emmbentu bagian sirkuit yang berartispasi dalm ekspreis emosional. Papez mengidneitifkasi hipotalamus, anterior thalamic nuclei, cingulate gyrus, dan hipokampus. Saat ini struktur-strutkur tersebut, bersama dengan amygdala dikenal sebaig asistem limbic yang ditunjukkan pada gambar 4.7.
Keterlibatan sistem limbik dalam emsi didukung oleh eksperimen Kluver dan Bucy (1939), yang mengeluarkan lobus temporal monyet dengan cara bedah. Destruksi bilateral lobus temporal menyebabkan serangkaian gejala yang meliputi perubahan-perubahan emosionallitas. Monyet yang sebelumnya liar dan agresif menjadi sangat jinak setelah operasi dan menunjukkan sedikit emosionalitas. Dlam beberapa kasus kemarahan dan rasa takut benar-beanr hilang, sementara dlama beberapa monyet kembali setlah operasi tapi dalam bentuk yang sangat beda. Karena lesi lobus temporal tersebut sangat merusak amigdala dan hipokampus sitem limbi, riset Kluver dan Bucy mengonfirmasi teori Papez.
Rosvold, Mirsky dan Pribram (1954)O menunjukkan bahwa kerusakan amyglala menyebabkan hilangnyaperilaku dominasi sosial pada monyet. Karena rutuan dominasi monyet dipertahankan melalui agresi atau ancaman agresi, kehilangan ini menunjukkan bahwa amygdala penting bagi ekspresi ormal perilaku agresif. Pada beberapa monyte,t sementara kerusakan pada amygdala mengurangi keagresifan dalam interksi sosial, ini meningkatkan agresi (perilaku mengancam pengeksperime) jika binatang diisolasi. Hasil ini menunjukkan bahwa amygdala memiliki efek yang berbeda terhadap jesni agresi yang berbeda.
Pada awal bab ini kami mencatat beberapa riset yang menyatakan pentingnya dua area di dalam hipotalamus dalam regulasi rasa lapar, haus dan perilakus eksual. Dua area ini, hipotalamus lateral (LH) dan ventromedial hypotalamus (VMH) juga dilibatkan dalam perilakua gresif. Flynn dan rekan (1970) mebedakan dua tipe agresif yang dikenals ebagai serangakan afektif dan serangan menggigit.
Sreangan afektif sant mirip dengan perilaku marah yang ditemukan pada kucing decoritcate yang disebutkan sebelumnya. Terjadi kegirahan simpatetik signifikan yang dibuktikan oleh melebarnya pupil dan piloereksi seekor tikus yang memnaian tipe agresif ini mendesis dan mncaka dan menyerang, menjerit dengan kuku mencakar dan menunjukkan perilaku eksrim.
Serangan gigitan diam adalah agresi diam. Emosionalitas minimal, dan tidak terjadi teriakan atau erangan. Kucing mengejar mangsanya dan berusha menangkapnya, menggigitnya pada daerah leher. Kcuing menggunkan cakar bukan untuk memotong tapi untuk menarik mangsa sehingga gigitan mematikan bisad ilakukan. Perilaku ini sanga tmirpi dengan perilaku predaotirs kucing dan bisa didpaatkan dengan menstimulasi LH. Bandler dan Flynn juga menemukan area-area di dalam talamus yang emnimbulkan serangan gigitan diam ketika distimulasi. Mereka melukasi area ini dan kemudian mencata serat-seragdegeneratif pad otak tengah. Ketika area yang tepat dari otak tengah dilukasi pada lekompok tikus lain, stimulasi talamus tidak punya efek; meski demikian stiuasli LH masih menimbukan serngan gigitan diam. Sehngga agresi predatoris nampak dikontrol secara komplekls.
Area periaqueductal grav pada otak tengah terbukti terlibat dalam perilaku agresif karena respon agresif parsial seperti meludah dan menggertak bisa masih didapatkand ari area ini. Temuan-temuan ini menyatakan bahwa pola-pola motor perilaku agresif mereka dimediasi pada level otak tengah. Sementara hipotalamus mungkin dilibatkan dalam spontanitas perilaku agesif (Flynn et al 1970).
Hipoitalamus bisa diregulasi oleh amygdala. Gray (1971) mengusulkan bahwa amygdala menghambat hipotalamus, yang memudian menghambat pola agresif otak tengah. Gray mengusulkan satu sistem saraf mengonrol perilaku serang dan lari. Jika lingkunga kondusif untuk lari, melarikan diri akan tejradi; jika lari tidak mungkin, maka serangan akant erjadi. Gray berpendapatbahwa keputusan untuk menyerang atau lari dibuat oleh hipotalamusventromedial (VMH).
Para ahli teori lain, terutama Flynn berpendapat bahwa thalamus menandung sistem-sistem neural terpisah untuk serang dan lari. Misalnya, Flynn dan rekan melukai sebuah area thalamus yang menyebakan eliminasi perilaku serang ketika distimulasi dengan rasa sakit. Meski lesi ini megnhilangkan lari seagia respon teerhadap stimulasi hipotalamik, ini tidak menghilangkan serangan yang diinduksi stimulasi hipotalamik. Uuslan Gray dan Flyyhn tidak sepenuhnya sebanding, karena Gray memperhatikan serangan afektif, sementar Flynn memperhatikan serangan menggigit diam. Jadi isu apakah periakus erang atau lari diregulasi oleh sistem neural indepnenden atau oelsh atusistem tidak bisa dijawab dengan pasti. Meskid emikian, secara umum disepakati bahwa oganisasi perilaku agresif memelrukan amygadala, hipotalamus dan daerah otak tengah. Meski amygdala sering dianggap menyebabkan pengaruh inhibitoris terhadap hipotalamus, ini mungkin terlalu sederhana dijadikan asumsi karena amygdala terdiri atas beberapa kelompok nuklei yang memiliki fungsi-fungsi berbeda.
Misalnya Miczek, Brykctynki dan Grossman (1974) menunjukkan bahw alesi-lesi dari bagian amygdala yang berbeda menghasilkan efek yang berbeda terhadap keagreifan: lesi-lesi di satu bagian menghilangkan perikau serang dan dominasi padaitkus jantan yang sebelumnya dominan, sementar alesi-lesi di bagian lain tidak berdampak terhadap tipe keagresifan ini. Demikian juga, agresi setelah guncangan kaki hanya sedikit dikurangi oleh beberapa lesi, sementara beberapa lesi lainnya sangat menguranginya. Beberapa tipe agresi dikontrol oleh sistem-sistem yang berbeda di dalam amygdala.
Informasi sensoris juga penting bagi ekspresi perilaku agreif. Sebenanrya stimulasi listrik yang sama padaarea-aera hipotaamus yangmembagnkitkans erangan juga menyusun bidang sensoris yang digunakans elama terjadinya serangan (Flynn, 1969). Selama stimulasi misalnya, menyetnuh kepala seekor tikus did ekat muus menyebabkan kepala bergerak sehingga stimulus berkontak dengan bibir; ketika bibir disetnuk oleh stimulus, rahang menarik dan membuka gigitan. Gamabr 4.8 menunjukkan bidang sensoris yang diciptakan oleh stimulasi listrik dari hipotalamus. Data FLynn menyatakan bahwa selama perilakus erangan, bidang sensoris menciptakan dan memandu sreangan.

Tipe-tipe agresi
Riset oleh Flynn dan koleganya menyatakan ada lebih dari satu tipe agresi dan masing-masing tipe dijalankan oleh masing-masign sistem neuralnya. Gagasan ini ditentang oleh Kenneth dan Moyer (1971) yang menampilkamn bukti untuks etidaknya tujuh tipe aktivitas agresif sbagai beriktu:
1. Agresi predatoris: agresi yang ditimbulkan oleh obyek mangsa alami.
2. agresi intermediat: agresi yang biasanya dilepaskan oleh pejantan lain; srangan biasanya tanpa provokasi.
3. agresi yang disebabkan ketakutan; agresi yang terjadi ketika melarikan diri dihambat.
4. Agresi yang menyebabkan marah; agresi biasanya digambarkan sebagai kemarahan; serangan terjadi sebagai respon terhadap beragam stimuli, baik hidup atau tak hidup.
5. Pertahanan teritorial: agresi untuk mempertahankan wilayah kekuasaan; agresi biasanya melawan anggota spesie binatang lain.
6. agresi maternal: agresi yang melibatkan pertahanan orang muda, basanya oleh betina pada mamalia.
7. Agresi instrumental: perilaku agreif yang merupakan respon yang dipelajari dan dilakukan ketika respon diperkuat.

Meski sedikit yang diketahui tentang sistem neural yang mendasari sebagian besar perilaku agresif yang diusulkan Moyer, agresi preadtoris nampak mirip dengan srangan menggigit diam yang dicatat olh Flyhn dan LH nampak penting dalam regulasinya. Agresi irtablitasnya juga nampak berhubugnan erat dengan serangan afektif Flynn dan VMH diimplikasikan dalam performanya. Moyer juga membuktikan bahwa amygdala mempegnaruhi tipe-tipe agresi yang berbeda. Dia mencatat bahwa stimulasi nukleus basal dari amygdala membantu agresi yang disebabkan oleh ketakutan tapi menghambat serangan predatoris dan agresi iritabilitas sementara destruksi seluruh amygdala mengurangi ketiga tipe perilaku agresif ini/
Banyak yang harus dikerjakan sebelum kita benar-benar memahami sistem menrual yang mengatur perilaku agresif. Sistem limbik nampak terlibat dalam emosionalitas tapi bagaimana ini mgnatur ekspresi emosi tertentu masih merupakan misteri. Dari emosi yang dipelajri, kemahraan mendapatkan pehraitan terbesar berkaitan dengan mekanisme fisiologis kontrol. Model-model seperti Moyer penting karena menyebutkan agresi yang mungkin bukan perilaku tungal tapi beberapa perilaku yang dibangkitkan oleh kondisi-kondisi yang bbereda. Tpe-tipe agresi yangberbeda ini mngkin berantun gpad asistem-sistem neural yang berbeda.

Ringkasan
Dalam bab ini kami sudah menganalisa teori dan riset yang berkaitand engan regulasi empat kondisi termotivasi. Pendekatan-pendekatan ini menekankan homeostasis, pandangan bahwa motivasi dipicu ketikkondisi tubuh bergerak terlalu jauh dari suatu level optimal.
Ada bukti untk regulasi homeostasis rasa lapar, haus dan motivasi seksual; mekanisem homeostasis ini bsai disebabkan oleh faktor-faktor lain. Faktor-faktor penyebab ini mudah dilihat padaperilaku makan manusia yangbisa menjadi anoreksia, bulimik atau gemuk.
Pada masing-masing kasus tersebut homeostasis dilanggar. Perikau minum meski diregulasi di bahwa kondisi tertentu, lebih sering terjadi sebelum regulasi ini diganggu. Alasannya minum preventif tetap tidak jelas tapi mungkin disebabkan oleh itneraksi antara makan dan minum.
perilaku sksual pada binatang selain manusia mungkin merupakan yang paling diregulasi dari tiga motif di atas, karena perilaku ini biasanya terjadi di bawah kondisi-kondisi hormonal yang tepat. Meski kondisi hrmonal berperan dalam perilaku seksual manusia, seksualitas manusia lebih sering dikontrol oleh faktor-faktor kultural dan sosial yang dipelajari. Efek hormon seks terhadap perilaku manusia nampak paling kuat sleama perkembagnan rpenatal. Testosteron prennatal memiliki efek organisasional terhadp otak yang berkemabng yang mungkin bertanggungjawba untuk krativitas dan bakat yang diiliki dan dysleksia dan gangguan sistem kekebalan tubuh di sisi lain. Kontribusi hormon fetal terhadap perilaku orang dewasa merepresntasikan area riset yang paling menakjubkan; hormon yang sama ini mungkin mempengaruhi motvasi.
Struktur-struktur sistem limbic dilib atkan dalam regulasi perilaku emosional. Kerusakan pada beragam bagains istem limbic menyebabkan perubahan pada emosionalitas. Karena kemarahan merupakan emosi yang paling mudah diidentiifkasi pada biantang, sebagin besar riset fisiolgois tentang meosi berfous pada mekanisme regulatoris yang terlibat dalam serangan agresif.
Karya sbelumnya menunjukkan bahwa koreks tidak sellau perlu untuk peirlku marah, riset selanjutnyamenunjukkan LH dan VMH penting. Pola-pola serangan mototr dipadukan oleh mekanisme otak tengah yang umumnya diperiksa selalu oleh hipotalamus. Hipotalamus mugkin dikontro loleh amygdala. Beberapa tipe perilakua gresif sudah diidentifkasi tapi hanya sdikit (agresi iritabnel dan predatoris yang dikaitkan dengan struktur-struktur otak tertentu.
Cukup penting untuk ditekankan bahwa struktur-struktur yang sama (LH dan VMH) telah disebutkan dalam beberapa keadaan motif, antara lain lapar, haus, seks dan agresi. Banyak saluran fier p melalui hipotalamus dan kerusakan pada beragam area, yang menyebabkan perubahanperilakut ermotivasi bisa terdiri atas gangguan sistem-sistem serat tersebut. Selain it, eprubaahn pad aperikau bisa berasal dari kerusakan sistem kgairahan umum yang tidak bergantung pada motif tertentu. Proposal awal yang menyatakan adanya pusat-pusat di dalam hipotalamus untuk bearagam kondisi motif belum didukung oleh riset.


BAB 7
MOTIVASI-MOTIVASI INSENTIF

Tinjauan Bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan beriktu:
1. Apa itu motivasi insentif?
2. bagaimana motivasi isnentif dijelaskan secara teoritis?
3. Bagimana konsep-konsep ekpensktasi dan kebermkanaan dimasukkan ke dalam konsep insnetif?

Bob mengemudi menuruni jalan raya dengan melihat ke kanan kiri mencari tanda-tanda adanya restoran. Hari sudah hampir siang dan dia hanya meminum kopi sejak makan siang kemarin. Dia telah bekerja semalaman mengerjakan promosi iklan untuk bank dan baru saja dia menyelesaikannya. Posisi analis iklan senior bar-baruj ini di buka dan dia punya peluang bagus untuk mengisi posisi tersebut jika kampanyenya ini sukses. Dia telah mengerjakan proyek ini selama tiga tahun tearkhir, dan promosinya saat ini bergantung pada satu proyek ini.
Ketika Bob terus mengemudi, berhenti tiba-tiba karena lampu mrah, dia bin gung di mana harus makan. Toko-toko makanan siap saji terlintas saat dia memandang sekilas, tapi dia tak tertarik. Yang benar-benar dia inginkan adalah steak besar dan kentang panggang serta salad, bukan hamburger keras dan kentang goreng dingin. Pikirannya tentang steak membuat mulutnya berliur, dan dia meningkatkan kecepatan mobilnya,.
Skets singkat beberapa detik dalam kehidupan seseorang ini menunjukkan beberapa ide tentang konsep motivasi insentif. Bagaimana kita mengartikan insentif dan motivasi insnetif?
Pertama, perlu dicatat bahwa istilah insnetif biasanya menjelaskan suatu obyek tujuan yang memotivasi kita (steak besar merupakan insentif bagi Bob). Insentif penting bagi kita untuk mencapai atu menghindari. Seperti Bob, kita mungkin menghargai sensasi yang berkaitan dengan makanan lezat (insentif positif) dan menghindari makanan yang tidak lezat (insentifnegatif. Insentif memiliki nilai yang berbeda buat kita sementara dan dari waktu ke waktu. Saat Bob mengerjakan proyeknya, steak bukanlah insentif dan tidak mempengaruhi perilakunya; tapi setelah proyek rampung, makanan yang lezat merupakan insentif yang menyebabkannya mengemudi mengitari jalan raya untuk mendapatkannya. Kami juga berasumsi abwha setelah makan makanan tersebut, makanan lain ayng sama akan bernilai lebih kecil baginya, meski insnetif-insentif lain akan segerae mempengaruhi perilakunya.
Insentif memotivasi perilaku. Ini bisa dilihat dalam kisah Bob. Dia punya motivasi yang kuat untuk mendapatkan promosi sebagai analis ikaln senior dan hal ini mepengaruhi o perilakunya selama beberapa tahun. Insnetif promosi cukup kuat untuk mengesambingkan secara sementara kebutuhan-kebutuhan fisiolgisnya untuk makan dan tidur. Poin lain yang perlu diamati dalam episode ini adalah insnetif tidak “muncul dari dalam” tapi dipelajari. Bob tidak lahior dengan kebuutuhan untuk menjadi seorang analis iklan senior; di sepanjang jalan dia mepelajaris esuatu yang menjadikan ini sebagai tujuan penting. Yang terakhir kisah Bob menjelaskan ide- bahwa pikiran bisa berufngsi sebagai motivator insnetif. Kami akan menyelidiki pendekatan ini nanti dalam bab ini dan lebih menyeluruh dalam bagian IV buku ini.
Konsep insentif sebagai motivator perilaku menjadi alat yang penting untuk mnejelaskan mengapa orang-orang (dan binatang) melakukan apa yang mereka lakukan. Penggunaanya dalam teori mengakui bahwa obyek atau peristiwa bisa memodifikasi dan mempengaruhi perilaku kita melebihi kebutuhan-kebutuhan fisik kita.
Motivasi insnetif bisa dianggap sebagai mediator (M) yang muncul di antara beberapa karakteirstik stimulus (S)da ri suatu obyek tujuan. Kita bisa melihat hubungan antara stimulus, mediator, dan respon sebagai SMR. Lebih lanjut, Overmier dan Lawry (1979) memberikan bukti yang cukup bahwa hubungan ini terddiria tas dua hubungan terpisah, satu di antar astimulus dan mediator (SM) dan yang kedua antara mediaotr dan respon (MR), jadi hubungan harus dianalisa sebagai SM, MR. setiap link bisa dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dalam istuasi-situasi di man insnetif muncul, jadi hasil-hasil yang mungkin dari memanipulasi motivasi insentif bisa kompleks.
Para ahli teori insentif membahas bagaimana M dibentuk dan ciri-ciri M apa yang meembuatnya menguabh perilaku. Seperti yang akan kita temui, sebagian besar ahli teori menekankan pengkondisian klasik sebagai cara membentuk M, teapi mereka tidak sepakat tentang ciri-cirinya. Satu pendekatan menekankan csifat penguat dari M, yang kedua menyarankan bahwa emosionalitas penting, semntara yang ketiga menekankan aspek-aspek infromasional dari mediator. Kami akan menguji setiap pendekatan tersebut dalam bagian berikut.

Insentif sebagai penguat
Seperti dicatat pada bab 5, konsep dorongan merupakan alat utama yang dipakai untuk memperhitungkan motivasi perilaku. Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa obyek-obyek eksternal (tujuan) juga memotivasi perilaku, sehingga memaksa modifiaksi sistem ini. Sebagai wakil dari karya ini, kami akan menguji kembali eksperimen klasik Crespi (1942) yang dibicarakan dalam bab 6.
Perhatikan bahw Crespi melatih tikus untuk berlari menuruni Alleyway untuk mendapatkan pelet makanan. Satu kelompok tikus mendapatkanr eward besar (256 pelet), semntara kelompok kedua mendapatkan reward yang kecil (1 pelet) untuk perilaku yang sama. Kelompok ketiga berfungsi sebagai kontorl, mendapatkan 16 pelet selama eksperimen. Pada percobaan ke 20, Crespi mengganti kelompok reeward besar dan reward kecil menjadi masing-masing mendapatkan 16 pelet per percobaan. Kelompok reward besar, yang sekarag mendapatkan reward yang lebih kecil secara tiba-tiba menurun motivasinya dibandingkan kelompok kontrol; kelompk reward kecil yang sekarang menerima reward yang lebih besar segera berlari lebih cepat dibandingkan kontrol. Gambar 7.1 menunjukkan hasil-hasil studi ini. Zeaman (1949) mendapatkan hasil-hasil yang sama di bawah kondisi yang sama.
Poin penting bagi diskusi kamis aat ini tentang eksperimen Crespi adalah perilaku (berlari menurun alleyway berubah secara drastis dan cepat ketika insentif diubah. Teori dorongan Hull tidak bis menjelaskan perubahan-perubahan langsung perilaku yang diamati ketika insentif-insentifnya bergeser; perubahan-perubahan ini terlalu tiba-tiba disebabkan oleh perubahan kekuatan kebiasaan (sHt) atau dorongan (D). hingga saat eksperimen Crespi, para ahli teori seperti Hull berasumsi jumlah atau kuran reward yang berbeda mempengaruhi tingkat pembelajaran tapi tidak mengubah motivasi organisme. Studi Crespi menunjukkan bahwa halyang sbealiknya benar; obyek-obyek insentif yang berbeda mempengaruhi seberapa keras orgnaisme bersedia bertindak tapi bukan apa yang dipelajari. Istilah insentif dipilih untuk mewakili tipe motivasi ini.

Motivasi insentif K
Pada awal 1950an para ahli teori mulai memasukkan knsep insentif dalam menjelaskan perilaku (Hull 1951m 1952, Spence, 1956). Bagi Hull, potensi reaksi (perilaku) saat ini dipandang sebagai fungsi kerja pembelajaran (kekuatan kebiasan), dorongan (D), intensitas stimulus (V) dan motivasi insentif (K). jika antisipasi sebuah tujuan mempengaruhi motivasi sebuah organisme, maka pertanyaan berikutnya menjadi bagaimana insentif berkembang?

Hull-Spence dan re-sg. Karena pendekatan-pendekatan mereka memiliki kemiripan, kami akan membahas Hull-Spence secara bersamaan. Keduanya menggunakan simbol K untuk motivasi insnetif dalam merumuskan perilaku dan keduanya berasumsi bawah nilai insnetif dari sebuah obyek tujuan bisa diindeks oleh kekuatan respon konsumatoris yang ditimbulkannya. Sehingga reward yang besar harus menyebabkan perilaku mengunyah dan menelan yang kuat, dalam kasus makanan, daripada reward yang kecil. Respon konsumatoris (disimbolkan sebagai Rg) tidak terjadi dalam kekosongan; bagi tikus stimuli kotak tujuan muncul selama terjadinya (sensasi visual dari cangkir makana, tekstur lantai, kecerahan dinding dan seterusnya). Stmuli muncul ketika kemunculan Rg dikaitkan dengannya (lewat pengkondisian klasik) dan akan cenderung untuk menimbulkan Rg secara langsung. Selama stimuli tersebut (tekstur lantai yang sama dan kecerahan dinding pada kotak awal dari sebuah maze) juga terjadi sebelum orgnaisme mencapai kotak tujuan, mereka akan cenderung menyebabkan Rg sebelum tujuan. Akan bersifat mengganggu (dan maladaptif) jika seekor tikus yang duduk pada kotak awla sebuah maze merespon dengan Rg fullblown, mengunyah dan menelan makanan yang tidak ada. Setidaknya ini akan mengganggu respon-respon pindah dari kotak awal ke kotak tujuan, di mana makanan bisa didapatkan. Karena itulah diasumsikan bahwa stimuli seperti yang muncul pada kotak tujuan hanya akan menimbulkan respon konsumatoris parsial (disimbolkan rg) yang tidak akan mengganggu respon-respon instrumental (berlari) yang diperlukan untuk mencapai makanan. Sehingga seekor tikus bisa berliur atau melkaukan gerakan mengunyah kecil pada kotak awal tapi tidak menunjukkan full blown Rg.
Pendekatan ini berasumsi bahwa organisme bisa meraskan bahwa ini akan menghasilkan rg. Misalnya, tutup mata anda dan julurkan lengan kanan anda lurus. Sekarng dengan mata masih menutup, tekuk siku anda 90 derajat. Meski mata anda tertutup, anda tahu bahwa lengan anda dibengkokkan karena feedback sensorisd ari otot-otot dan sendi-sendi lengan anda. Logika untuk merasakan rg adalah sama; feedback sensoris dalam bentuk stimuli memberitahu organisme bahwa ini akan menghasilkan rg.
Kejadian respon-respon khusus dan stimulinya, yang sering disebut mekanisme rg-sg, berfungsi memotivasi respon-respon insturmental yang harus dibuat untuk asuk ke kotak tujuan dan terlibat dalam Rg. Penjelasan ini, yang harus ditekankan, adalah bersifat mekanis. Melalui proses pengkondisian klasik, stimuli dalam lingkungan menimbulkan bagian-bagian kecil dari Rg akhir, dan feedback dari respon-respon tersebut berfungsi memotivasi perilaku terus-menerus. Meski penglihatan seekor tikus yang terdesak di pintu kotak start mungkin menunjukkan antisipasi tikus dari sebuah reward yang diharapkan pada ujung maze, model ini tidak mengasumsikan pemikiran tikus. Kita bisa memprogram sebuah komputer untuk bertindak sama. Hull pada awalnya mengusulkan mekanisme rg-sg untuk menjelaskan kesengajaan perilaku dan antisipasi tujuan. Spence (1956) menggunakan mekanisme motivasi insentif, mengusulkan bahwa motivasi insentif adalah hasil dari rg dan sg feedbacknya.
Secara tak sengaja, rg-sg terjadi seluruh jalur dari kotak awal ke kotak tujuan, selama stimuli tersebut berada pada jalur. Ketika organisme mendekati area tujuan, lebih banyak stimuli yang harus terjadi yang berkaitan dengan Rg; sehingga rg-sg harus meningkat dan memotivasi perilaku terus-menerus. Ini mencakup fenomena yang sering diamati nampak lebih temrotivasi (dengan berlari lebih cepat misalnya) mendekati tujuan. Gambar 7.2 memberikan prepresntasi skematik proses ini.
Tapi bagaimana jika stimulinya berbeda pada awal daripada pada tujuan? Jawabannya adalah stimuli yang berkaitan dengan Rg dan mengembangkan rg-sg tidak harus eksternal bagi organisme. Sensasi yang kita rasakan di saat lapar misalnya akan selalu bersama kita dari awal hinggag tujuan; dan karena mereka muncul ketika Rg terjadi, mereka juga harus membangkitkan respon antisipatoris fraksional. Stimuli tersebut merupakan stimuli dorongan Hulls (Sd) yang dibicarakan dalam bab 5.
Satu poin akhir harus disebutkan yang berkaitan dengan mekanisme respon antisipatoris, ketika rg-sg disebutkan. Seperti dirumuskan pada awalnya, ini merupakan penjelasan periferal dari motivasi insentif, dan rg dianggap terdiri ats respon-respon muskular kecil dan feedback sensoris yang berhubungan dari kontraksi-kontraksi otot tersebut. Upaya-upaya untuk menempatkan dan mengukur rg belum ter bukti sukses.

Persistensi perilaku
Satu area di mana penjelasan respon antisipatoris fraksional perilaku masih dianggap relevana dalah studi tentang persistensi perilaku. Salah satu dari aspek perilaku paling fundamental adalah perilaku ini tetap ada meski dalam kondisi sulit. Pertanyaannya adalah mengapa? Amsel sudah mepelajari pertanyaan ini selama bertahu-tahun dan jawabannya menunjukkan bahwa sebuah mekanisme yang sangat mirip rg-sg bisa dilibatkan.

Amsel dan rf-sf. Amsel tertarik pada pertanyaan apa yang terjadi ketika seekor tikus mencapai tujuan dimana tikus ini diberi hadiah sebelumnya dan sekarang tidak mendapatkan apapun. Jika tikus bearda dalam situasi tersebut beberapa kali dan diberi hadiah, motivasi insnetif akan berkembang. Tapi jika tikus sekarang tidak menemukan reward atas usahanya, menurut Amsel, respon frustasi yang tak dipelajari terjadi (disimbolkan sebagai Rg). Setiap stimuli yang muncul pada saat Rp terjadi akan dikaitkan denganya; jika stimuli juga terjadi lebih awal dalam rangkaian peristiwa, stimuli terebut cenderung menimbulkan respon-respon frustasi tertentu (rf). Seperti pada Rg-sg, organisme tahu ini menyebabkan respon karena stimuli feedbacknya 9sf). Respon-respon frustasi parsial tersebut menyebabkan biantang berhenti menunjukkan perilakunya dan melakukan perilaku lain. Frustasi dari nonreeward menyebabkan respon-respon yang bertentangan yang membuat organisme berhenti melakukannya dan mungkin bertindak lebih adaptif.
Misalkan, kita mendesain situasi kita sehingga respon-respon yang bertentangan sulit dibuat dan susunan tentang respon asal apapun bisa dibuat sudah dikuti oleh reward di masa lalu. Apa yang akan terjadi?
Amsel mengusulkan respon-respon frustasi parsial (rf) dan feedback stimulus yang berhubungan dikontraindikasikan ke respon-respon yang ditimbulkan organisme. Dengan menggunakan istilah kontra-conditioning Amsel menyatakan bahwa motivasi yang dihasilkan oleh frustasi nonreward disalurkan ke respon yang menyebabkan frustasi. Respon-respon yang bertentangan yang kaan berkembang akibat frustasi ini dihadpi dalam situasi tersebut, dan motivasi menjadi terkondisikan pada hanya respn-respon yang bisa terjadi dengan mudah; respon-respon yang menyebabkan kotak tujuan terisi reward. Dengan kata lain, mekanisme rf-sf berfungsis ebagai motivator untuk perilaku terus-menerus, seperti rg-sg di bawah kondisi lain
Kapan kondisi-kondisi di atas terjadi? Kondisi-kondisi ini terjadi ketika seekor binatang ditaruh pada jadwal penguatan parsial. Pada jadwal tersebut beberapa respon diberi hadiah dengan makanan atau air, sementar di waktu lain respon tersebut tidak diberi reward. Salah satu fenomena terbaik dalam psikologi adalah organisme yang diperkuat pada jadwal penguatan aprsial terjadi dalam respon yang lebih lama ketika makanan dijauhkan (penghilangan) daripada yang lain ayng dipekurat untuks etiap respon. (sebuah jadwal penguatan kontinyu, atau CRF).
Bagaimana teori frustasi membahas persistensi? Selama melatih penguatan kontinyu kelompk diberi hadiah pad asetiap percobaan. Sehingga rg-sg harus membentuk dan memotivasi respon-respon yang diperlukan untujk mencapai tujuan. Untuk kelompok pnguatan parsial, rg-sg akan terbebtnuk juga meski lebih lambatn pada percobaan-percobaan training yang diberi hadiah. Selain itu, rf-sf akan terbentuk pada percobaan-percobaan yang tidak diberi reward. Pada awalnya ini akan menyebabkanr espon-respon yang bertnetangan (yang menyebabkan perilaku yang lebih lamban). Respon-respon yang bertentangan ini kadang akan mati karena selalu tidak diperkuat (memunah)( dan rf-sf akan menjadi terkontraindikasikan pada respon yang sama yang mengaktivasi rg-sg. Untuk kelompok penguatan parsial, kita punya dua sumber motivasi insnetif pad asetiap percobaan, rg-sg (terben tuk pad apercobaan non-reward). Karena respon-respon yang beretentangan yang dihasilkan oleh rf-sf menghilang, motivasi insnetif yang dihasilkan oleh rf-sf akan disalurkan ke respon apapun yang terjadi 9respon-respon yang menyebabkan tujuan karena dipertahankan oleh rg-sg).
Sekarang untuk bagian pentingnya. Dalam proses pemunahan kelompk CRF merespon dan terus tidak diberi reward. Ini menyebabkan Rf dan rf-sf dan menimbukan respon-respon yang bertentangan. Jika reward dihilangkan secara permanen, efek-efek insnetif rg-sg akan mati dan tidak digantikan oleh rf-sf dan respon-respon yang bertentangan. Karena rf-sf tidak pernah dikontrakondisikan dalam binatang-binatang CRF, kejadian ini tidak akan menyebabkan respon berlari terus berlanjut tapi akan menyebabkan penghentian respon secara cepat. Binatang yang diperkuat secara kontinyu selanjutnya akan berhenti merespon lebih cepat. Kelompok yang diperkuat seara parsial memiliki dua sumber motivasi yang dihubungkan dengan respon sekarang tidak lagi diberi reward. Bagian rg-sg akan mati, tapi respon akan terus lebih lama pada kelompok ini karena dipertahnakan oleh motivasi yang dihasilkan oleh rf-sf. Pendekatan Amsel memberikan penjelasan rapi tentang fakta terkenal respon-respon yang diperkuat sebagian lebih perssiten daripada respon-respon yang diperkuat secara kontinyu. Efek ini disebut efek pemunahan penguatan pasial (PREE) dan cukup handal.
Jika seseorang berhenti dan memikirkan”dunia nyata”orang tersebut segera mengetahui bahwa penguatan parsial ini lebih merupakan sebuah aturan daripada pengeculaian. Mungkin hanya dalam laboratroium kita bisa membatasi lingkungan dengan suatu cara sehingga memungkinkan penguatan kontinyu. Kita membuat ratusan respon setiap hari, sbeagian besar bersifat tidak langsung diberi reward; tapi kita terus ada. Mengapa? Mungkin seperti alasan pada tikus – karena suatu imbalan, tidak lebih.
Frustasi melakukan test dengan buruk bisa memotivasi kita untuk belajar lebih keras untuk test berikutnya (jika kita sudah diberi reward dalam masa lalu karena belajar keras). Di sisi lain, bekerja secara bruk pada sebuah tes bisa menyebabkan perilaku yang bertentangan (mendengarkan CD favorit kita). Poin penting adalah frustasi akan masuk ke dalam perilaku terus-menerus dan menjadikannya lebih persisten jika perilaku tersebut pernah diberi reward sebelumnya; ini akan menyebabkan perilaku bertentangan yang akan mengurangi persistensi. Sehingga tipe perilaku yangd iaktivasi bergantung pada pengalaman-pengalaman sebelumnya dengan reward dan non reward.
Jenis bukti apa yang diberikan Amsel untuk mendukung ide-idenya? Cukup banyak.
Pada sebuah eksperimen klasik, Amsel dan Roussel (1952) menempatkan tikus pada situasi seperti gambar 7.3. Tikus berlari dari kotak awal ke kotak tujuan 1 di mana mereka diberi makanan; kemudian menjalankan Alley 2 ke kotak tujuan 2 untuk mendapatkan makanan tambahan. Setelah melatih tikus pada prosedur ini, makanan kadang diambil dari kotak tujuan1. Amsel menduga ini akan menyebabkan Rf yang akan muncul dalam bentuk berlari lebih cepat pada Alley 2 pada percobaan-percobaan tanpa penguatan. Dia membandingkan kecepatan membalik Alley 2 pada percobaan yang diperkuat versus non diperkuat dan menemukan bahwa tikus berlari lebih cepat setelah percobaan yang tak diperkuat. Sementara hasil-hasil eksperimen ini terbuka bagi beberapa penjelasan alternatif, riset lebih lanjut cenderung mendukung pendekatan Amsel. Nonreward setelah respon yang sudah diperkuat secara teratur di masa lalu nampak memperkuat perilaku, seperti diklaim Amsel.
Apakah frustasi nonreward menyebabkan perilaku yang bertentangan? Sekali lagi riset nampak mendukung Amsel. Dalam sebuahs tudi oleh Adelman dan Maatsch (1955), dua kelompok tikus ini dianggap berlari ke kotak tujuan untuk mendapatkan makanan. Kemduian makanan ditahan (pemunahan dilakukan). Satu kelompok tikus diizinkan melacak kembali jalurnya dari kotak tujuan ke kotak awal, sementara kelompok kedua diizinkan lepas dari situasi tersebut dengan melompat keluar dari kotak tujuan. Tikus yang diizinkan untuk melacak kembali jalurnya dengan cepat mendapatkan epmuhnahan, sementara tikus yang dibiarkan melompat ke kotak tujuan untuk percobana-percobaan berikutnya. Untuk kedua kelompok frustasi non reward mendorong pada respon-respon baru, seperti diprediksikan Amsel. Tikus yang diizinkan melacak kembali akan mengembangkanr espon baru yang bersaing dengan respon lari lama, dan mereka mengalami kepunahan dengan cepat. Untuk tikus-tikus yang diizinkan melpompat, persaingan dia ntara respon ini dan respon berlari tidak terjadi, dan mereka mengalami pemunahan jauh lebih lamban. Sehinggag reward non frustatif cenderung menimbulkan respon baru yang bersaing dengan respon-respon yang dipelajari sebelumnya.
Studi oleh Ross (1964) memberikan dukungan kuat untuk efek-efek penguatan furstasi dan penggunaan energi ini ke dalam perilaku yang muncul pada sat frustasi terjadi. Dalam fase pertama eksperimen, enam kelompok tikus dilatih untuk melakukan satu dari tiga respon untuk mendapatkan makanan. Tiga kelompok mendapatkan penguatan kontinyu (100%) dan berfungsi sebagai kontrol terhadap kelompok lain yang menerima penguatan parsial (50%) bisa dibandingkan. Untuk kedua kelompok ini, respon yang diperlukan adalah berlari ke makanan; untuk dua kleompok lain, respon yang tepat adalah meloncati sebuah celah dalam lantai untuk mendapatkan makanna; dan untuk dua kelompok terakhir, respon yang tepat adalah memanjat sebuah jaring kawat untuk mencapai makanan. Ketiga respon tersebut memilki tingkat kesulitan yang sama dan pada dasarnya dipelajari pada kecepatan yang hampir sama. Teori frustasi Amsel memprediksikan b ahwa binatang dalam tiga kelompok yang diperkuat secara parsial mestinya mengalami fdrustasi pad percobaan-percobaan yang tidak diperkuat dan rf-sf yang dihasilkanharus dikondisikan pada respon apapun yang harus dipelajari tikus untuk mencapai tujuan (berlari, melompat, atau memanjat).
Dalam fase eksperimen kedua, enam kelompok diajarkan berlari untuk mendapatkan air dalam bilik eksperimental yang berbeda dari yang dipakai pad fase 1 dan diperkuta 100 persen dari ewaktu. Dalam fase akhir yang penting, respon berlari untuk mendapatkan air dihilangkan. Proses penghilangan ini harus menimbulkan frustasi, dan teori Amsel memprediksikan bahaw respon-respon yang dikondisikan terhadap frustasi selama fase 1 harus menyebabkan tingkat pemunahan yang berbeda pada fase akhir pemunahan sebagai fungsi apakah respon yang pada awalnya berhubungan dengan rf-sf membantu atau menghambat respon berlari yang dipelajari dalam fase 2. untuk binatang yang diajari berlari pada fase 1, frustasi yang ditimbulkan selama pemunahan harus meningkatkan persistensi, karena berlari merupakan respon yang benar dalam fase 2, dan rf-sf harus bersambung ke respon yang terjadi. Untuk tikus yang diajari melompat pad afase 1, pemberian efek ulang frustasi oleh pemunahan akan mengganggu proses berlari dan mengurangi resistnsi terhadap pemunahan. Untuk kelompok memanjat, reinstitusi frustasi akan menuntut respon memanjat, yang sangat mengganggu respon berlari, dan pemunahan akan terjadi dengan cepat. Tiga kelompok penguatan, jika dibandingkan dengan kontrol penguatan kontinyu berfungsi seperrti yang diprediksikan teori fruastsais.
Data Ross memberikan konfirmasi efek-efek penguat frustasi dan penyaluran energi ini menjadi perilaku. Lebih lanjut, efek dari penyaluran terhadap persistensi perilaku ini tebukti bergantung pada hubungan respon yang diperkuat dengan respon yang dihilangkan. Respon yang diperkuat bisa menyebabkan resistensi yang lebih besar atau pengurangan resistensi dengan bergantung pada apakahn ini membantu atau menghambat respon yang mengalami pemunahan.
Teori frustasi Amsel mampu menangani banyak fenomena yang dikenal dalam riset motivasi dan pembelajarana. Ini meurpakan teori insnetif karena keahdiran atau iketiadaan tujuan mempengaruhi motivasi organisme. Respon-respon fruasi antisipatoris dan feedback stimulus mereka (rf-sf) bisa menyebabkan penguatan perilaku yang bertentangan atau pada aktivasi perilaku instrumenta, dengan bergantung pada kondisi-kondisinya. Persistensi perilaku dibentuk menurut riwayat masa lalu organisme dengan insnetif.
Amsel (1972) melihat teori frustasi sbagai teori persistensi yang lebih umum. Persistensi terjadi ketika organisme belajar mendekat atu terus merespon meski stimuli tersebut menghambat perilaku. Ini terjadi karena stimuli penghambat dikontrakondiskan ke respon-respon yang terjadi dalam situasi. Amsel mencatat bahwa respon-respon emosional dan stimuli feedback seringkali bersifat menghambat, tapi seringkali dikontrakondisikan pada perilaku.
Misalkan perasaan emosi yang anda rasakan ketika deadline untuk mengumpulkan tugas semakin dekat. Kondisi emosi yang tidak menyenangkan masih bisa menyebabkan semua jenis perilaku yang bersaing untuk menghentikan kerja yang diperlukan untuk merampungkan makalah. Jika misalnya anda mulai mengerjakan makalah tersebut akibat emosi yang dihasilkan oleh deadline yang maju, anda mungkin menemukan perasaan in akan menciptakan respon yang diperlukan untuk merampungkan tugas. Seseorang mungkin berpendapat bahw asatu aspek perilaku siswa yang bagus adalah belajar menyalurkan emosionalitas dan frustasi kehidupan kuliah menjadi perilaku konstruktif. Para mahasiswa yang lemah secara akademis mungkin tidak belajar mengkonterkondisikan emosi dan frustasi mereka dengan cara yang benar.
Konsep kontra-pengkon disian menunjukkan respon-respon emosi tidak akan menghilangkan kaulitas emosional mereka hingga dihubungkan ke perilaku yang terjadi. Jika karena suatu alasan mereka tidak dihubungkan, stimuli yang menimbulkan emosi tersebut akan terus mengganggu perilaku.
Teori frustasi Amsel terbukti sangat sukses; meski demikian ini hanya satu dari beberpaa teori yang berusaha menjelaskan bagaimana motivasi insentif bisa menguabh perilaku. Dan ini telah dikritik. Juga, teori Amsel menjelaskan sifat memotivasi dari penghilangan insentif yang diharapkan; ini tidak berkaitan langsugn dengan sifat memotivasi positif ketersediaan insentif yang dianggap dicakup oleh mekanisme rg-sg.

Insentif-insentif sebagi penghasil emosi
Riset Amsel dan koleganya memberi dukungan untuk gagasan bahwa efek memediasi dari sebuah insentif bersifat motivasional; para ahli teori lain seperti Neal Miller, Frank Logan dan O Hobart Mowerer mengambil pendekatan yang berbeda. Kami akan menguji teori Mowrer sebagai satu alternatif bagi pendekatan rg-sg karena dia mengusulkan bahwa motivasi insentif memediasi antara stimulus danr espon dengan mencitpakan kondisi emosional.

Mowrer: ketakutan, harapan, pemulihan, dan kekecewaan
Mowrer (1960) berpendapat bahwa motivasi insentif merupakan pemicu utama perilaku. Bagi Mowrer motivasi insnetif berhubungan erat dengan pembelajaran respon-respon emosi. Dia mengusulkan empat emosi utama: ketakutan, harapan, pemulihan dan kekecewaan.
Menurut Mowrrer, peningkatan dorongan (misalnya dari setrum listrik atau kekurangan makanan) menyebabkan emosi ketakutan. Respon-respon emosi yang berkaitan dengan kondisi ketakutan akan terhubung ke stimuli yang muncul pada saat emosi terjadi. Setelah beberapa pemasangan tersebut, stimuli menjadi petunjuk yang memberi sinyal pendekatan sebuah peningkatan dorongan dan mencitpakan kondisi ketakutan sebelumn terjadinya peningkatan kondisi dorongan. Ketakutan yang terkondisikan ini kemudian meotivasi organisme untuk membuat respon apapun yang bisa dilakukan untuk melepaskan dri dari situasi yang mengandung petunjuk-petunjuk ketakutan. Peran penguatan dalam sistem Mowrrer adalah mengaktivasi satu dari empat emosi tersebut daripada mempengaruhi respon-respon isntrumental secara langsung. Bagi Mowrer, pembelajaran mengubah apa yang ingin dilakukan organisme daripada apa yang bisa dilakukan organisme.
Dalam sebuah analisis seperti analissit erhadap ketakutan, Mowrer mengusulkan bahwa penuruunan dorongan (perut penuh) disertai oleh emosi harapna. Setiap petunjuk yang muncul pada saat harapan muncul akan dikaitkan dengan emosi dan kadang mulai berfungsi sebagai sinyal bahwa penurunan dorongan dan harapan sangat dekat. Sehingga Mowrer sekali lagi memandang perilaku diaktivasi oleh sebuah insentif emosional. Stimuli yang menghasilkan emosi harapan akan mengaktivasi perilaku yang menaga organisme dalam kondisinya sekarang, sementara stimuli yang berkaitan dengan ketakutan akan mengaktivasi perilaku menghindar.
Mowrer melangkah lebih lanjut untuk menganalisa situasi di mana harapan diharapkan tapi belum datang. Situasi ini menyebabkan gagasan emosional ketiga moitasi insnetif – kekecewaan. Kekecewaan terjadi ketika petunjuk-petunjuk ahrapan yang memprediksikan penruunan dorongan tidak menyebabkan reduksi dorongan aktual. Kekecewaawn, seperti ketakutan adalah kondisi negatif bagi organisme dan memotivasi perilaku yang akan berdampak menghilangkan petunjuk-petunjuk yang menandakan kekecewaan.
Yang terakhir dalam cara yang sama seperti analisis terhadap kekecewaan ini, Mowrer mengusulkan emosi pemulihan. Pemulihan terjadi ketika petunjuk-petunjuk yang menandakan peningkatan dorongan dijauhkan. Stimuli yang muncul pada saat petunjuk ketakutan dihilangkan akan menjadi sinal pemulihan. Sehingga bel tanda selesai kelas laboratoriuym yang sulit bisa menjadi petunjuk pemulih jika stimuli yang berkaitan dengan kelas menjadi petunjuk ketakutan. Seperti dengan harapan, organisme berusaha memelihara situasi-situasi yang memprediksikan pemulihan.
Mari ambil contoh. Seekor tikus diajarai menekan tuas untuk mendapatkan pelet makanan. Makanan dalam perut mengurangi dorongan dan menghasilkn harapan. Sebuah lampu di atas batang selau menyala ketika makanan datang. Setlah beberapa percobaan di mana tikus mendapatkan makanan dengan adanya cahaya tersebutu, cahaya menjadi petunjuk bahwa makanan akan datang. Pada poin ini lampu akan mengaktivasi perilaku yang menjaga kehadiran tikus, dan ini menjadi aktivator harapan bahkan sebelum makanan datang. Jika kita membawa eksperimen imajiner melangkah lebih lanjut, kita bisa melihat bagaimana konsep kekecewan Mowrer bekerja. Msialkan ita mendengakran sebuah nada selama 5 detik, setelah itui kita mematikan lampu dan melepas tuas dari bilik. Setelah beberapa pemasangan nada dan lampu, nada akan menjadi petunjuk yang memberi sinyal pelepasan harapan. Nada akan mengaktivasi emosi kekecewaan dan perilaku-perilaku yang dirancang untuk mengeluarkan tikus dari situasi aversif ini.
Pendekatan Mowrrer terhadap motivasi insnetif menekankan pentingnya emosi sebagai mediator antara karakteristik-karakteristik stimulus obyek-obyek insentif dan perilaku instmenta; sehingga, reward dan hukuman menghasilkan emosi. Petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemicuan emosi kadang memnjadi mampu memicu emosi sebelum peristiwa yang menyebabkan emosi. Aktivasi emosi antisipatoris ini mengarahkan perilaku instrumental menuju atau menjauh dari ob yek lingkungna.
Posisi Mowrer uinik dalam mengenali induksi dorongan dan reduksi dorongan sebagai kontributor perilaku (lihat bab 5). Petunjuk ketakutan dan kekecewaan menandakan situasi-situasi induksi dorongan, sementara petunjuk harapan dan pemulihan menandakan situasi-situasi yang mereduksi dorongan. Arus diingat bahwa motivastor-motivator perilaku adalah emosi, bukan kondisi-kon disi dorongan secara langsung. Perubahan-perubahan pad adorongan berfungsi membentuk beragam emopsi (Bolles 1967).
Bolles (1967) dan Miller (1963) menyebutkan beberapa kesulitan konseptual pada pendekatan Mowerer. Miller mencatat meski sisttem ini bisa menyangkut perilaku ketika perilaku mulai terjadi, ini tidak menjelaskan bagamana perilaku dipicu pada awalnya. Misalnya,s etelah tikus belajar bahwa petunjuk-petunjuk pada kotak awal sebuah maze dikaitkand engan harapan karena makanan berada dalam kotak tujuan, perilaku ini akan terus berlanjut; tapi apa yang menyebabkan tikus melintasi maze pada awalnya? Mowrer tidak menjawabnya, dan Miller menganggap problem ini sebagai acad tatal pada teori ini.

Insentif-insentif sebagai pembawa informasi
Pendekatan Mowrer menyatakan bahwa stimuli informasional menyebabkan emosi yang pada gilirannya menyebabkan perilaku mendekat atau menarik diri dari situasi. Beberapa ahli teori lain mungkin juga menekankan pentingnya aspek-aspek informasional petunjuk bagi motivasi insentif. Teori-teori mereka menekankan ide bahwa motivasi insentif berfungsi memediasi antara stimulus dan respon karena stimuli predikitf menghasilkan motivasiinsnetif, yang pada akhirnya mengarahkan respon yang tepat. Meski pendekatan-pendekatan ini dalam banyak hal mirip dengan pendekatan Mowrer, mereka memiliki pendekatan yang berbeda; emosi tidak dipandang sebagai pemicu perilaku tetapi sebagai petunjuk yang memprediksikan (memberikan informasi tentang) tujuan dan mngarahkan perilaku menuju tujuan. Konsep prediktabilitas sebagai sbuah penjelasan untuk efek-efek insentif berhutang banyak pada konsep-konsep teoritis Tolman. Sekarang kami akan membahas ide Tolman sebelum menguji konsep prediktabilitas.

Tolman: Formulasi-formulasi Kognitif
Pendekatan-pendekatan yang diuji sejauh ini menekankan penjelasanp-penjelasan mekanis dari efek-efek insentif terhadap perilaku tapi tidak semua ahli teori memilih melihat insentif dengan cara ini. yang paling jelas dari kelompok terkahir ini adalah Tolman, yangberpenapat bahwa motivasi insnetif berasal dari pengembangan ekspektansi. Mari kita uji secara singkat sudut pandang ini.
Edward Chase Tolman (1959, 1967) memberikan sanggahan yang bagus terhadap teori-teori Hull dan Spence. Sementara para peneliti tersebut berusaha mereduksi perilaku pada unit terkecil mungkin (sebuah pendekatan yang disebut reduksionisme), Tolman mengambil pandangan yang lebih menyeluruh. Tolman kurang memperhatikan respon-respon muskular tertentu yang ditimbulkan dalam usaha mencapai tujuan daripada fakta bahwa organisme bekerja untuk mendapatkan tujuan. Dia memandang perilaku itu sengaja; tikus dan juga manusia menurutnya mengembangkan ekspektasi dari perilaku tertnetu yang akan menyebabkan tujuan tertentu.
Tolman (1967) menyebutkan bahwa tujuan-tujuan yang berbeda memiliki nilai-nilai yang berbeda bagi organisme. Misalnya Simmons (1924) melatih tikus untuk menemukan jalan melewati sebuah maze kompleks dan kelompok-kelompok yang berbeda menerima reward yang berbeda pada akhirnya. Dia menemukan bahwa sebuah kelompok yang diberi susu dan roti bekerja lebih baik daripada kelompok kedua yang dibeeri biji bunga matahari sebagai rewad, dan kelompok kedua bekerja lebih baik daripada kelompok yang tidak diberikan apa-apa. Dalam eksperimen yang sama Elliot (1928) menemukan bahwa wet bran menyebabkan performa yang lebih b aik dalam sebuah maze kompleks daripada biji bunga matahari.
Dengan mengikuti karya awal Blodgett (1929), Tolman dan mahasiswanya terus menggarap pembelajaran laten. Stujdi-studi ini berusaha menunjukkan b ahwa penguatan tidak perlu bagi terjadinya pembelajaran. Selain itu mereka menunjukkan pentingnya insentif-in snetif yang tepat untuk peforma pembelajaran. Dalam eksperimen-eksperimen tersebut kelompok-kelompok tikus dilatih untuk melintasi maze kompleks. Satu kelompok menerima makanan pada ujung maze dan belajar untuk berlari dengan cepat dan mengurangi eror uyntuk menerima reward. Kelompok kedua tidak menerima apa-apa pada ujung maze; performanya menunjukan sedikit indikasi bagaimana mencapai ujung maze secara efisien. Kelompok ketiga tidak mendapatkan apapun dalam maze hingga percobaan ke 11, ketika dia mulai menerima reward makana. Selama sepuluh percobaan pertama, kelompok ketia ini, seperti kelompok 2, menunjukkan seidkit bukti adanya pembelajaran. Ketika reward digunakan, performa kelomok ketiga membaik dengan cepat pada level kelompok 1. perubahan cepat pada performa ini mengindisikan Tolman bahwa pembelajaran terjadi sleama sepuluh percobaan pertama tapi tidak jelas pada performa d hingga insentif makanan diberikan (Tolman, Honzik, 1930a).
Eksperimen-eksperimen tersebu tmendorong Tolamn menyimpulkan bahwa obeyk-obyek tujuan mengeluakran sejumlah permintaan yang berbeda atas performa, atau yang lebih sederhana, insentif-insentif ini memiliki nilai-nilai yang berbeda. Insentif-insentif mengontgrol perilaku, efek-efeknya bergantung pada nilai insentif tertentu bagi organisme.

Ekspektansi. Aspek penting dari pandangan Tolman adalah obyek-obyek insentif mempengaruhi perilaku hanya jika dialami beberapa kali sehingga ekspektasi kognitif terbentuk. Dengan ekspektasi kognitif, Tolman menyatakan bahwa organisme setelah beberapa pengalaman dengan tujuan, menduga bahwa perilaku-perilaku tertentu akan menyebabkan tujuan di masa mendatang. Sehingga tikus yang sudha menerima jaring bran basah beberapa kali dalam sebuah baris untuk melintasi sebuah maze diperkirkan akan melintasi maze.
Apa yang terjadi jika kita mengubah aturan mainnya? Tolman mengatakan bahwa insentif yang berubah setelah timbulnya ekspektasi didapatkan akan menyebabkan tgerganggunya perilaku, khususnya jika perubahan itu berasal dari insnetif yang lebih besar. Tolman mencatat bahwa perubahan tersebut membuktikan adanya ekspektasi kognitif. Contoh dari eksperimen itu adalah studi klasik oleh Tinklebpaugh (1928) – seekor monyet mengamati pengeksperimen menaruh makanan di dalam satu di antara dua wadah; beberapa saat kemudian monyet-monyet itu diminta memilih wadah yang benar untuk mendapatkan reward. Pada beberapa percobaan Tionklepaugh menguabh reward selama masa jjeda (dan tanpa sepengetahuan monyet) dari bahan makanan yang lebih disukai, seperti pisang, pada makanan yang kurang disukai, seperti lettuce. Monyet ini, setelah mengamati lettuce, tidak memakannya, memilih mencari pisang dan kadang-kadang bertindak seperti mengancam pengeksperimen (monyet juga memiliki perspesi tentang asal perubahan yang menyimpang). Bagi Tolman, gangguan terhadap perilaku pembelajaran normal memilih wadah yang berisi makanan menunjukkan bahwa ekspektasi kognitif mendapatkan pisang berkembang.
Tolman juga menakui interaksi kondisi fisiologis dengan ilai insnetif tujuan. Tolman menyebutkan sebuah eksperimen Szyumanski di mana tikus betina diajari berlari pada mae untuk mendapatkan ankanya. Ketika anak tikus tersebut tumbuh dan tidak lagi diirawat induknya, kecepatan dan akurasi tikus betina tersebut menurun, kemungkinan karena anak-ankanya tidak lagi bernilai insnetif tinggi. Sehingga perubahan kondisi fisiologis mengurangi nilai insentif anak tikus tersebut.
Tolman menampilkan sebuah model insnetif yang menekankan terbentuknya ekspektansi yang berkaitan dengan perilaku yang akan mendorong pada tujuan-tujuan tertentu. Ekspektasi tersebut meperkuat dan memandu perilaku. Insnetif-insetif positif didekati dan insentif-insentif negatif dihindari. Semakin tinggi nilai insnetif akan mendorong perilaku lebih besar. Ketika ekspektasi didiskonfirmasikan, seperti dalam eksperimen Tinklebaugh, perilaku terganggu. Tidak sperti pendkeatan Hull Spence, yang menjelaskan insentif mmenurut respon konsumatoris, parsial, kecil, Tolman memahami insnetif sebagai represtnasi sentral (pemikiran) dari hubungan dia ntara perilaku-perilaku tertentu dan tujuan yang ingin dicapai.
Teori-teori Mowrer dan Tolman menekankan ide bahwa petunjuk-petunjuk predikitf (ekspektansi) penting dalam pengembangan motivasi insentif. Mungkin efek mediasi insentif bergantugn pada kemampuan memprediksikan tujuand engan cara ini. Beberap a teori yang menekankan pentingnya prediktabilitas dalam pen gembangan motivasi insentif sudah diusulkan; kami akan menguji hanya dua, ide Overmier dan Lary dan ide Bindra.

Prediktabilitas
bOlles dan Moot (1972) dalam tinjauan tentang konsep insentif menyarankan bahwa petunjuk menjadi motivator insentif selama itu memprediksikan kedatangan atau penarikan diri dari suatu obyek tujuan. Dalam pandangan mereka, apakah sebuah petunjuk berbentuk kontrol motivasional (menjnadi sebuah motiator insnetif) bergantung pada apakah ini memprediksikan suatu peristiwa di masa mendatang. Petunjuk-petunjuk predikitf dianggap memotivasi perilaku terus-menerus dan memperkuat respon-respon lengkap ((bertindak sebagai penguat kedua0.
Satu cara untuk membuat petunjuk predikitf adalh memasngkannya dengan penguat seperti makanan dalam sebuah prosedur pengkodnisan klasik. Setiap kali stimulus muncul, demikian juga makanan. Sekali stimulus dipasangkan dengan sebuah penguat selama beberap-a percobaan, kita bisa mengubah situasi sehingga respon menekan batang diperlukan untuk mendapatkan makanan. Pertanyaan yang menarik disini adalah apakah presentasi petunjuk yang berkaitan dengan makanan dalam situasi pengkondisian klasik akan mempengaruhi pembelajaran respon emnekan batang. Jika menekan batang dibnantu oleh adanya petunjuk, kita punya bujkti untuk sebuah efek insnetif petunjuk (kelompok-kelompok kontrol yang tepat diperlukan untuk mengatakan bahwa petunjuk yang sebelumnya berkaitan dengan makanan membantu respon instrumental).
Eksperimen-ekspeirmen yang melibatkan transfer desain kontrol ini sering mendapatkan fasilitasi. Bolles dan Moot mencatat bahwa petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan makaan membantu kinerja sebuah respon operan, semntara petunjuk-petunjuk yan gmemprediksikan penarikan makanan memiliki efek menghilangkan motivasi. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan menarik adalah kita menemukan diri kita tidak termotivasi untuk melakukan perilaku-perilakut ertentu karena petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan tugas meprediksikan sukses yang lebih kecil. Mungkina nak yang memilikis edikit motivasi untuk kerja sekolah dimasukkan lingkujgnan sekolah atau rumah yang mengandung petunjuk-petunjuk yang dipasangkan dengan tidak adanya sukses di masa lalu. Petunjukp-petunjuk tersebut menimbulkan efek demotivasi terhadap kienrja anak, dan karena proses pemasangan hanya menuyntut anak dipaparkan pada petunjuk, anak mungkint idak sadar mengapa sekolah itu membosankan. Penting untuk dipahami bagaimana petunjuk-petunjuk predikitf bisa mempengaruhi motivasi organisme.
Seperti dicatat dalam awal bab ini, motivasi insentif bisa dikonseptualisasikan bekerja seperti sebuah mediator di antara stimuli lingkungan dan respon-respon terhadap stimuli tersebut. Lebih lanjut, overmier dan Lawry (1979) menganggap aspek mediasional insnetif terdiri atas dua link yang terpisah: ada satu link antara stimulus dan perilaku (SM) dan link independen kedua antara mediator dan respon (MR). bukti yang cukup banyak saat ini menunjukkan bahwa satu cara insentif memeidasi perilaku adalah melalui sifat-sifat informasional mereka; isnntif, menurut sudut pandang ini berfungsi sebagai petunjuk yang membantu dalam selksi respon. Overmier dan Lawry mencatat bahwa sebuah penjelasan informasional tidak bisa mencakup semua yang diketahui tentang efek-efek mediasi pada eksperimen transfr kontrol, dan mereka selanjutnya menyatakan bahw insentif memiliki fungsi petunjuk dan penguat. Sehingga ketika petunjuk yang berkaitan dengan sebuah tujuan muncul kembali pada waktu selanjutnya atau dalam situasi yang berbeda merka diangap memperkuat perilaku dan mengarahkan respon menuru tasosiasi-asosiasi yang sudah mereka dapatkan sebelumya. Meski penguatan dan aspek informasional mediator berperan dalam mengubah pembelajaran dan performa, Overmier dan Lwry memberi bukti bahwa aspek-aspek informasional lebih penting, setidaknya dalam stiausi di mana dua aspek insentif ini bersaing untuk mengontrol perilaku. Data yang ditampilkan oleh Overmier dan Lawry (1979) untuk penjelasan mediasi dual-link mereka untuk efek-efek insentif didasarkan pada serangkaian ekspeirmen kompleks dan subtil yang berada di luar lingkup diskusi; meski demikian, studi-studi yang dilaporkan oleh mereka mendukung pandangan bahwa insnetif mengubah performa karena memberi informasi tentang tujuan.
Stimuli yang secara konsisten dikaitkan dengan penguatan menjadi nya sendiri dan disebut penguat sekunder (terkondisikan). Banyak ahli teori saat ini percaya bahwa penguatan berfungsi mengembangkan motivasi inbsentif daripada memperkuat koneksi respon-stimulus. Ini berarti penguat sekunder juga meruakan motivasi insnetif dan harus memiliki sifat penguat dan seleksi respon.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak pernah memperhatikan mengapa uang cukup berharga untuk didapatkan. Mengapa kita menghargai uang? Kita menghargai uang karena kita menghubungkannya dengan reward yang memiliki nilai buat kita. Ini mungkin bersifat fisiologis (uang membeli makanan, air, dan bahkan seks) atau dipelajari (uang membeli status, mobil baru atau rumah di suburbia). Bagi manusia, uang berfungasi sebagai penguat sekunder yang kuat. Karena penguat-penguat sekunder juga merupakan motivator-=motivator insnetif, uang mengaktivasi dan mengarhakan perilaku kita karena uang memprediksikan keberadaan item-item yang penting bagi ikita; jika kita tidak bisa membeli item dengan uang, maka motivasi kita untuk mendapatkannya akan hilang. Bertahun-tahun yang lalu atu dolar akan cukup untuk menonton bioskop dan membeli sekantong popcorn juga. Saat ini parkri di sebuah gedung biopskop saja akan membutuhkan beberapa dolar. Satu dolar tidak memiliki nilai insnetif yang sama sperti sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa insnetif itu bersifat relatif, bukan absolut. Bagaimana memotivasi insnetif tertentu akan bergantung pada later belakang peristiwa yang dibandingkannya. Karena latarbelakang selalu berubah, demikian juga nilai insentif.
Karya Trapold dan Overmier (1972), Bolles dan Moot (1972), dan Overmier dan Lawry (1979) dan juga karya-karya oain berkotnribusi banyak bagi pemahaman kita tentang bagaimana sebuah stimuylus yang dikaitkan dengan tujuan bisa menjadi motivator insentif. Dalbir Bindra di McGill University mengembangkan model motivasional yang memasukkan bukan hanya petunjuk-petunjuk predikitf tapi juga kondisi-kondisi organismik (dorongan) dan tujuan. Sekarang kami akan membahas secar asingka tpemikiran ini/

Model Bindra. Bindra mengusulkan sebuah model perilaku yang menekankan produksi sebuah kondisi motif sentral (pertamakali diusulkan oleh Morgan 1943) yang mengaktivasi perilaku yang diarahkan tujuan ke opbyek-obyek insentif. Menurut Bindra, kondisi motivasional dan kondisi emosional adalah dua hal yang sama, jadi modelnya juga merupakan model perilaku emosional.
Bindra berpendapat bahwa kondisi motif sentral diciptakan ketika terdapat kondisi-kondisi organismik tertentu (seperti perubahan-perubahan kondisi hormonal atau gula darh) dan organisme distimulasi oleh ciri-ciri sebuah obyek insntif (stimuli bau, rasa, visual, atau auditoris). Sehingga kondisi orpganismik (dorongan) dan stimuli dari obyek tujuan (insentif) bersama-sama menghasilkan kondisi motif sentral.
Aktivasi kondisi motif setnral ini memicu koordinasi sensoris-motor bawaan (ummnya otonom) seperti salivasi atau perubahan denyut jantung yang mempersiapkan organisme berhubungan dengan (atau lepas dari) obyek insnetif. Selain itu, aktivasi dari kondisi motifs entral meicu kordinasi sensoris-motor yang sebelumnya dibentuk oleh pembelajaran atau maturasi. Misalnya, represetnasi sentral (emmori) dari ciri-ciri stimulus makanan mengaktivasi periaku pendekatan instrumentan dan saat berkontak dengan mkanan perilaku konsumatoris seperti mengunyah dan menelan.
Sistem Bindra berasumsi bahwa stimuli in snetif memperkuat dan mengarahkan. Pengarahan perilaku dicapai oleh stimuli yang berkaitan dengan obyek tujuan (makanan) dan berfungsi memilih perilaku yang benar (mendekati, mengunyah, menelan) daripad arespon-respon lain. Stimuli netral bis amenjadi insentif melalui pemasangan sederhana dengan in sentif-in sentif lain yang sudha membangkitkan kondisi motif sentral. Meski dengan proses pembelajaran kotningensi ini, sebuah stimulus suara dari sebuah kaleng yang dibuka dan didengar oleh anjking anda bisa menjadi prediktor stimuli di mas amendatang (bau, citarasa dan tekstur makanan anjin) dan berfungsi memotivasi perilaku.
Contoh kami sebelumnya menjelaskanbagaimana sebuah stimulis bisa mendapatkan sifat-sifat insentif, tapi mari lihat juga bagaimana sebuah stimulus bisa mendemotivasi perilaku. Misalkan stimulus tertentu (S1) selalu memprediksikan tidak adanya stimulus kedua (S2). Misalkan S22 merupakan akrakteristik stimulus dari suatu obeyk tujuan yang sangat dipilih. Karena S1 memprediksikan tidak adanya S2, S1 akan menekan kondisi motisf sentral. Kecuali jika kondisi motof sentral muncul, perilaku tidak akan terjadi.
Ini membawa kita pada poin yang mungkinnyata tapi perlu disbutkan. Obyek-obyek insenbtif bisa positif atau negatif. Insentif-insentif positif menimbulkan perilaku mendekat, sementar ainsentif negatif menyebabkan penarikan diri. Karena petunjuk-petunjuk netaral bisa dipasangkan dengan insnetif, petunjuk-petunjuk yang sebelumnya netral bisa meprediksikan tiga hubungan. Sebuah hubungan positif memprediksikan presentasi kuat dari sebuah obyek insentif. Hubungan negatif memprediksikan bahwa insentif, baik bagus atau buruk, tidak akan datang. Yang terakhir, ada hubungan netral ketika stimulus tidak memiliki hubungan konsisten dengan insentif dan tidak memberikan informasi tentang kejadiannya. Perilaku tertentu yang diamati oleh seseorang akan bergantung pada apakah insnetif positif atau negatif plus hubungan antara stimuli yang memberi informasi tentang insnetif dan obyek insentif. Misalnya sebuah stimulus yang elalu dihubungkan dengan tidak adanya shock (di mana stimuli lain memprediksikan shok) diperkirakan menimbulkan motivasi mendekat, sementar stimulus lain yang berkaitan dengan tidak adanya makanan akan menimbulkan respon menarik diri.
Sistem Bindra menarik karena bersuaha memberikan suatu model untuk memberikan sebuah model yang meliputi kondis iorganisme (dorongan), pengaruh ciri-ciri tujuan (insentif) dan asosiasi petunjuk-ppetunjuk dengan insentif (prediktabilitas). Riset lebih lanjut dibutuhkan, sebelum kita bisa menetukan keun an model motivasi Bindra.
Sebelum mengakhiri diskusi kami tentang motivasi insnetif, kami akan menguji satu pendekatan teoritis lagi. Pendekatan yang diusulkan oleh Ewric Klinger penting karena menekankan faktor-faktor kognitif (dengan cara yang mirip dengan cara tolman) dan karena ini merupakan teori insnetif yang berasal dari studi manusia. Seperti yang akan kita lihat, insentif-insentif dalam sistem Klinger berfgungsi sebagi mediator dia ntara stimulus dan respon selama ini bermkana secara emosional.

Klinger: kebermkanaan
Ide dasar klinger adalah pentingnya kebermkanaan bagi hbidup orang-orang. Kebermkanbaan diberikan oleh insentif terhadap apa yang dikerjakan oleh oran g-orang. Dia percaya bahwa orang-orang mengupayakan obyek, peristiwa dan pengalaman yang secara emosional penting bagi mereka. Sehingga emosionalitas idmasukan ke dalam konsep insnetif untuk Klinger. Jika sesorang kekurangan insnetif yang penting baginya, hidup menjadi kurang bermkana. Orang-orang bekerja (atau bertindak) untuk mendapatkan insentif-insentif yang dihargai.
Satu aspek menarik dari pendekatan Klinger adalah dia menunjukkan bahwa insentif tersebut memberikan kebermkanaan yang tidak luar biasa. Sebenarnya hubungan keluarga, anak dan pribadi nampak menjadi sumbe rmkana utama bagi sebagian besar orang (klinger 1977). Klingert juga mencatat bahwa orang-orang yang menyebutkan hidup mereka bermkana menyebutkan kategori-kategori yang sangat konkrit ketika menjelaskan apa yang bermkana baginya.

Insentif-insentif dan tujuan-tujuan
Klinger membuat perbedaan antara insnetif dan tujuan pada perilaku manusia. Insnetif merupakan obyek atau peristiwa yang dinilai. Orang-oran g tidak selalu bersedia bekerja mendapatkan apapun yang memiliki nilai in sentif. Misalnya, orang mungkin menghaagai memiliki yacht 50-kaki tapi tidak bersedia melakukan sesuatu untuk mendapatkannya (mengambil pekerjaan sambin gan). Sementara sebuah yacht merupakan insnetif karena bernilai, ini bukan sebuah tujuan keculai individu bersedia menghabiskan upaya untuk mendapatkannya. Sehingga tujuannya sleau insntif, tapi insnetif mungkin atau tidak mungkin selalu menjadi tujuan.
Klinger mencatat bahwa tidak ada organisme yang benar-benar terpisah dari tujuannya, meski pada level manusia, tujuan bisa meliputi item-item yang tidak diperlukan untuk survival (keintiman, pemahaman, keyakinan agama dan steterusnya). Sehingga tujuan dan insnetif merupakan bagian dari pabrik kehidupan dan perilaku insentif secara kon tinyu.
Ketika seseorang memutuskan mengejar insentif tertentu (sehingga menjadi sebuah tujuan) orang tersebut dikatakan berkomitmen terhadap tujuant ertentu itu. Sebuah tujuan disebut persoalan utama oleh Klinger. Seseorang biasanyaa berkomitmen terhadap beberapa tujaunt erbaru meski perilaku bersifat selektif; yaitu, ada perhatian sekarang, meski pikiran pada suatu momen mungkin tidak merefleksikannya.

Fase Pemisahan
Perhatian terbaru berkaitan teurs mempengaruhi perilaku hingga tujuan dicapai atau individu melalui proses penarikan diri. Penarikan diri terjadi ketika sebuah tujuan menjadi tidak terjangkau. Klinger percaya sejulah bukti dari beragam sumber menyatakan bahwa pemisahan diri dari sebuah tujuan melibatkan pergeseran perilaku melalui sebuah siklus. Siklujs ini bisa dijeaskan terdiri atas lima fase.

1. Invigorasi. Jika dihambat dari mencapai tujuan, perilaku sesorang pada awalnya menjadi lebih kuat. Klinger menganggap efek frustasi Amsel (disebutkan sebelumnya dalam bab ini) sebagai con toh invigorasi. kLInger juga menyatakan abwha satu konsekwensi dari invigorasi adalah insenif yang terhambat menjadi lebih menarik dan daya tarik insentif lainnya akan tereduksi sementara (lihat Klinger 1975 untuk tinjauan eksperimen yang menyebabkan kesimpulan ini). Sehingga individu dalam fase invigorasi menjadi berpikiran tugngal dalam mencapai tujuan yang terhambat.

2. Primitivisasi

Jika lebih kuat, usaha-usaha yang lebih bersamaan tidak akan berhasil mencapai tujuan, perilaku dipandang tersetereotipkan dan primitif hingga menjadi destruktif. Misalnya Barker, Dembo dan Lewin (1941) menunjukkan bahwa perilaku bermain anak menjadi lebih primitif setelah frustasi. Demikian juga, Hinton (1968) menunjukkan abwha orang dewasa merespon secar lebih primitif terhadap test-tes keaslian dan pemikiran divergen setyelah frustasi,

3. Agresi
Ketika menghambat penapaian tujuant erus berlanjut, respon menjadi lebih primitif hingga menjadi agresif. Perilaku aresif sebagai rspon terhadap penghambatan pencapaian tujuan sudah dicatatr dengan baik (Dollard et al 1939, Johnson 1972) dan bisa menjadi usaha terkahir individu untuk mendapatkan sebuah tujuans ebelum menyerah (Klinger 1975).

4. Depresi
Menurut Klinger, ketika semua usaha untuk mencapai tujuan gagal, depresi tebentuk. Kondisi depresif bisa berbeda-beda mulai darikekecewaan ringan hingga depresi ekstrim. Perjunagan einsturmental untuk tujuan berhenti dan individu menunjukkan rasa tak berdaya dan putus asa. Orang yang depresi menjadi tidak tertarik pada insentif-insentif yan ggbiasanya mempengaruhi mereka dan nampak tak termotivasi dalam interaksi-interaksi sosial. Klinger percaya depresi meruakan bagian normal dari memisahkan diri dari sebuah tujuan yang tidak bisa dicapai dan kondisi depresif tersetbu isa mengurangi nilai emosional insnetif sehingga insentif-insentif lain bisa diusahakan.

5. Pemulihan
Fase akhir dari siklus pemisahan diri adalah pemulihan. Seperti dicatat Klinger, tidak banyak yang diketahui tentang apa yang memciu pemulihan dalam situasi alami, tapi pemulihan biasanya terjadi. Klinger menyarankan bwha sukses dalam mendapatkan tujuan-tujuan lain bisa menstimulasi pemulihan dari depresi. Misalnya Beck (1967) menunjukkan bahwa pasien yang dperesi biasanya sensitif terhadap suskes pada tugas-tugas kecil.

Kedukaan sebagai Pemisahaan diri. Setiap orang yang kehilangan teman dekat atu kerabat dekat karena meninggal mengetahui perasaan-persaaan yang berkaitan dengan apa yang disebut kedukaan. Bowlby dan Parkes (1970) menyarankan bahwa kerja pada proses duka melibatkan empat dimensi terpisah. Pertama ada guncangan atau mati rasa, selama ini pembuatan keputusan bisa sulit. Selama tahap ini in dividu yang berduka menunjukan panik, setres dan bahkan kemarahan. Frase-farase sepeti “ini tidak boleh terjadi” menunjukkan kesulitan menerima kehilangan tersebut.
Dimensi kedua dari mourning melbatkan peringatan dan pencarian orang yang hilang. Stimuli yang berkaitan dengan individu yangpergi membawa reaks-reaksi tak bisa tidur, marah atau ambiguitas dan orang yang beruka mengajukan pertanyaan seperti “apa ini artinya” atau “bagaimana bisa begini?”
Dimensi ketiga yang dicatt oleh Bowlby dan Parkes meliobatkan disoreientasi dan disorganisasi. Dimensi ini seling melibatkan depresi dan rasa bersalah seperti dinyatakan oleh pemikiran-pemikiran seperti “Apakah saya melakukan semua yang saya bisa?”
Yang terakhir, dimensi keempat melibatkan resolusi dan reorganisasi. Secara bertahap seseorang mulai menempatkan kematian orang tercin ta dalam perspektif tertentu dan mulai bertindak lebih kompeten. Peran-peran baru bisa didapatkan, dan pikiran seseorang bisa sesuai dengan realitas situasi.
Dimensi-dimensi Bowlby dan Parkes dari proses mourning agak mirip dengan siklus pemisahan diri yang diusulkan oleh Klinger (1977). Dari perspektif Klinger proses mourning bisa dipandang sebagai contoh pemisahan iri dari insentif kehilangan tertentu (kematian orang tercinta). Serangan panik dan stres dan rasa tak bisa tidur menunjukkan fase invigorasi dari siklus ini, sementar akemarhaan dan penyangkalan diri merupakan aspek agresi-frustasi siklus ini. Dimensi disorientasi dan disorganisasi Bowlby dan Parkes berhubungan erat dengan fase derpesi Klinger dari siklus ini yang mengawali proses pemisahan diri dari insentif baru. Sehingga dimensi resolusi dan reorganisasi Bolwby dan Parkes berhubungan erat dengan fase pemulihan Klinger.
Poin yang disebutkan oleh analisis tentang perasaan duka adalah seseorang yang memiliki insnetif penting diperkirakan menangai kematian orang tercina lebih baik daripada mereka yang memiliki insentif yang lebih sedikit. Mungkin kita perlu mengembangkan insnetif-insnetif baru atau membantu mereka mengarhakan perilaku ke insentif-insentif yang sudah ada. Kita sering melakukannya secara naluriah; saat pemakaman, orang-porang biasanya memberi saran seperti “Kamu harus kuat demi anak-anakmu sekarang.”

Aspek-Aspek insentif dari motivasi seksual
Dalam bab ini kami harus menguji riset yang menunjukkan bahwa banyak perilaku yang dimotivasi oleh karakteristik obyek-obyek tujuannya. Kita telah mengunakan motivasi insentif untuk menjelaskan situasi-situasi ini. Dalam bab 5 kami menemukan perilaku seksual memiliki sejenis karakteristik dorongan. Apakah motivasi seksual juga memiliki karakteristik motivasi insentif?
Teori-teori motivasi insnetif menyebutkan bahwa karakteirstik tujuan seringklai cukup penting dalam memotivasi perilaku. Jika tujuanya adalah kopulasi, maka pertanyaannya jadi jenis stimuli apa yang dimiliki oleh binatang yang bisa menghasilkan kegairah seksual adan perilaku seksual pada calon pasangan? Bagi beberapa binatang zat-zat kimia yang berkaitan dengan kesiapan seksual merupakan stimuli penting untuk menarik pasan gan. Tikus betina dalam estrus (reseptif secara seksual) menghasilkan zat kimia urinary yang menarik tikus jantan. Menurut Money dan Ehrahrd (1972), monyet resus pejantan dirangsang oleh bau vagina betina resus.
Sinyal-sinyal kimia disebut feromon./ feromon adalah sinyal-sinyal kimia yang menyebarkan informasi dari satu binatang ke binatang lain (Carlson, 1994). Pada binatang feromon terbukti mempengaruhi siklus estrrus dan usia maturasi reproduksi mencegah iplantasi dari embrio yang dibuahi dan mengindikasikan kesiapan seksual si betina (bartoshuk & Beauchamp, 1994).
Zat-zat kimia yang memberikan informasi ke binatang lain tentang keiapan seksual binatang ini nampak terdeteksi oleh sekelompok reseptor yang terpisah dari sistem olfaktori primer. Sistem sekunder disebut organ vomeronasal dan mengirimklan informasinya ke bulb olfaktori kimia, sebuah lokasi otak yang berbeda daripada bau normal yang dikirimkan. Organ vomeronasal, dan khsuusnya ofalktori bulb aksesoris, nampak bertanggungjawab untuk berbagai efek ferom,on terhadap perilaku karna kerusakan pad asistem ini menggangu efek feroon tapitidak perilaku lain.
Meski tidak ada bukti langsung bahwa manusia dibangkitkan secara seksual oleh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh pasnagan seksual tertentu, kemugnkiann perilaku seksual manusia bisa ditentukan sebagian oleh feromon. Peran feromon pada perilaku seksual manusia lebih cenderung terjadi karena terbkti bahwa hidung manusia memiliki sebuah organ vomeronasal, meski juga kemugnkiann man suia tidak menyadari sensasi yan gdideteksi oleh sistem reseptor ini (Barto0shuk & B\eauchamp, 1994).
Bukti tak langsung untuk komunikasi kimia seksual diberikan oleh beberapa studi. Misalnya diketahui bahwa sensitivitas wanita untuk mencium diubah oleh perubahan-perubahan hormonal. Money dan Ehrhardt (1972) melaporkan bahwa setelahb pubertas wanita lebih sensitif terhadap bau musk dan beberapa steroid urinary. Parlee (1983) juga menunjukkan bahwa beberapa wanita mengalami penurunan ambang sensoris untuk bau-bau di sekitar tengah siklus menstrual mereka. McClintock (1971) menemukan b ahwa siklus-siklus menstrual wntia yang tinggal berdekatan cenderung disinrokniskan (yaitu terjadi dalam beberapa ahri satu sama lain). Tidak jelas appakah perubahan ini berkaitan dengan kemungkinan perilaku seksual.
Manusia merupakan binatang seksual sehingga kita mungkin menduga stimuli s\visual yang diberikan oleh seorang pasangan seksual akan membnerikan nilai insentif. Money dan Ehrhardt (1972) berpendapat bahwa manusia memiliki sistem sinyal seksual yang pada suatu jarak bersifat visual dan pada jarak dekat melibatkan sentuhan.

Daya tarik wanita
Menurut Symons (1979), dua atribut utama daya tarik wanita adalah kesehatan dan usia. Wanita yang muda dan sehat lebih cenderung bereproduksi dan merawat keturunanny. Analisis Symons menyatakan bahwa pria merasa tertarik pada karakteristik-karakteristik yang mengindikasikan kesehtna. Dia mencatat bahwa Ford dan Beach (1951) menemukan kompleksi dan kebersihan yang bagus dianggapmenarik oleh kelompk-kelompok yang dipelajari. Dalam kultur-kultur primitif kompleksi dan keberishan harus memberi suatu idniaksi kesehatan, dan oleh karena itu akan dipandang menarik. Simons menyatakan bahwa karakterisitk fisik lain seperti mata jenrih, otot yang menonjol, gigi yan gbagus, rambut yhagn indah dans eterusnya bisa menjadi indikator kesehatan yang b agus dan dianggap menarik. Meski ada sedikit data tentang subyek, cukup menarik bahwa banyak dari produk-produk yang diiklankan untuk wanita menarik karakteristik-karakterisitk fisik tersebut. Symons mengusulkan b ahwa memberi perhatrian erat tewrhadap kulit dan tertarik oleh kompleksi yang jelas mungkin bersifat bawaan.
Kemudaan merupakan karakteristik fisik kedua yang disebut Symons penting untuk menarik pria bagi seorang wanita. Sebenarnya GC Williams (1975) berpendapat bahwa kemudaan merupakan determinan penting dari daya tarik wanita. Usia wanita penting karena berhubugnan erat dengan nilai reproduktifnya. Wanita berusia 17 meiliki hampir semua tahun reproduktifnya di depannya sementara wanita berusia 35 tahun berusia reprodutif lebih pendek dibandingkan wanita pertama. Menurut analisis ini pria akan lebih tertarik pada wanita yang lebih muda karena nilai reproduktifnya lebih besar. Syumons (1979) memberikan data lintas budaya yang mendukung ide bahwa kemudaan pada wanita merupakan dayua tarik seksual kuat bagi pria. Dia juga percaya bahwa kemudaan sebagai sebuah faktor dalam daya tarik seksual relatif bawaan. Dengan kata lain, pria secara genetik diprogram menemukan wanita yang lebih muda menarik secara seksual.
Baik kesehatan atau usia belum dipandang sebagai variabel penting oleh sebagian besar peneliti daya tarik. Meski demikian ironi bahwa sebagian besar studi telah dilakukan di negar-anegara barat di mana kesehatannya relatif bagus dan di mana sebagian besar subyek berusia muda; karena itu kesehatan dan usia merupakan kontributor utama bagi daya tarik wanita. Studi-studi lebih lanjtu dari dua variabel tersebut bisa memberikan wawasan penting tentang daya tarik fisik.
Karakteirstik ketiga yang diusulkan oleh Simons sebagai menarik secara seksual pada wanita adalah kebaruan. Menurut Symons, dalam masyarakat pemburu-penmgump;ul makanan primitif seorang pria bisa berharap menghasilkan empat atau lima keteruunan dengan satu istri selama tahun-tahun reproduktifnya. Jika dia memikiki istri kedua dia bisa menggandakan sukses reproduktif ini. Di mana istri ganda tidak mungkin berubpa hubungan ekstra perkawinan maka satu keturunan saja yang dihasilkan, ini meningkatkan sukses reproduktifnya sebesar 20% hingga 25%. Karena strategi-strategi perilaku yang menyebabkan jumlah ketuurnan terbesar akan cenderung dipilih, sesoerang bisa memahami mengapa pria harus menarik dan ingin menikah dengan banyak wanita. Sehingga satu karakteristik kuat bagi wanita menarik adalah kebaruan.
Pada binatang-binatang ternak efek kebaruan betina bisa sangat kuat. Misalnya, setelah seekor banteng berhenti berkop-ulasi dengan sapi pengenalan sapi baru akan menyebabkan kopulasi baru, dan respon banteng terhadap sapi ke tujuh hapir sama kuatnya dengan yang pertama (Schein & Hale 1965). Rams menunjukkan efek serupa terhadap pengenalan ewe baru dan tikus jantan juga menunjukkan fenomena ini. Meski aya jantan bekopulasi lebih sering ketika terdapat beberapa pasangan (Simons 1979).
Efek stimulatoris dari pengenalan betina baru terhadap perilaku seksual jantan sudah ditulis sebagai efek Coolidge setelah percakapan antara PreideN Valvoin Voolidge dan istrinya. Misalkan presiden dan first ladi mengunujungi sebuah pertanian pemerintah. Saat dilewati oleh ayam pertania Ny Coolidge bertanya kepada pemandunya apakah ayam jantan berkopulasi lebih dari sekali dalam sehari. Pemandunya memastikan bahwa ayam jantan tersebutu berkopulasi dengan lusinan ayam betina beberapa kali per hari. Ny Coolidge menyampaikan informasi tersebut pada Ny Coolidge (Bermant, 1976).
Yang terakhir, Suymons berpendapat bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan untuk akrakteristik fisik khusus betina yang mampu menstimulasi pejantan secara visual. Stimulus yang paling konsisten bagi pejantan adalah melihat genital betina; meski demikian, tidak seperti primata lain, di mana estrus menghasilkan perubahan yang sangat jelas pad warna atau ukurang enital betina, wanita tidak mengalami perubahan nyata tersebut.
Riset menunjukkan bahwa ada perbedaan konsisten pada prefernesi jantan (bweberapa pria memilih kaki panjang, beberapa lagi memilki payudara besar dan seterusnya); meski demikia, kemungkinan preferensi tersebut dipelajari. Luria dan rekan berpendapat bahwa stimlis yang membangkitkan seksual secar abawaan adalah sentuhan ringan, khususnya genital dan preferensi untuk payhudara, kaki panjang atau pantat bagus merupakans timuli erotis yang dipelajari.

Daya tarik pria
Jika pria tertarik pada wanita muda yang sehat, karakteristik apa yang dianggap menarik oleh wanita pada diri pria? Dibandingkan dengan pejantan, wanita memiliki keturunan potensial yang lebih sedikit dan invgestasi parental yang lebih tinggi. Akibatnya tekanan-tekanan evolsioner harus memilih konservatisme pada perilaku seksual betina. Yaitu, dalam sebuah masyarakat di mana pria bersaing untuk emdnaaptkan status, wanita cendeurng menunjukkan sukses reproduktif yang lebih tinggi dengan tetap bersama pria berstatus tinggi yang bisa memberinya keturunan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk bertahan. Sehigna seseorang akan memprediksikan bahwa dominasi sosial dan status akan menarik bagi wanita.
Suymons menyatkan bahwa pada wanita yang bersifat bawaan adalah aturan seleksi (dayha tarik terhadap pria berstatus sosial tinggi) daripada pengakuan ciri-ciri spesifik seperti kesehatan dan usia. Sehingga, menurut analisis ini atribut-atribut fiusik dari pejantan mestinya kurang penting daripada karakteristik yang mengindikasikan status. Ford dan Beach (1951) melaporkan bahwa daya tarik jantan didasarkan pada skil dan kemampuan, bukannya pada penampilan. Ini menarik sebagaimana Berscheid dan Walster (1974) menemukan bahwa hanya satu-satunya ciri fisik pria yang dianggap menarik secara seksual adalah tinggi. Pria tinggi diperkirakan memiliki keuntungan dalam persaingan di antara pria, dan daya tarik terhadap pria yang lebih tinggi bisa diperkirakan memberi keuntungan reproduktif bagi wanita.
Symons (1979) juga menyarankan bahwa daya tarik seksual pria kurang bergantung pada ketampanan daripada terhadap skil dan kemampuan. Buss (1994) menyatakan ide yang sama – wanita akan lebih memiliihb pria yang bisa memberikan sumberdaya cukup bagi keturunannya. Karena skil, kemampuan, status dan akumulasi sumberdaya bisasanya butuh waktu untuk berkembang, seseorang bisa juga berpendapat bahwa wanita akan sering memilih pria tua daripada pria muda. Dalam bebepraa kultur primitif pria muda harus bersaing terhadap pria dominan yang lebih tua untuk mendapatkan wanita yang lebih muda (Symons 1979).
Sebagai ringkasan, nampak bahwa kaakteristik obyek tujuan (calon pasangan seksual) untuk perilaku heteroskesual berfungsi sebagai motivator untuk daya tarik seksual. Bagi pria, atirbut-atirbut sfisik yang berkaitan dengan kesehatan dan kemudiaan memberi stimulasi seksual. Bagi pria, atirbut-atribut fisik yang berkitan dennga kesehatan dan kemduian memberikan stimlasi seksual, seperti kebaruan. Bagi wanita, daya tarik seksual nampak kurang didasarkan pada karakteristik fisik seperti ketampanan daripada pada dominasi, status dan sumberdaya. Perbedaan-perbedaan pada daya tarik seksual bisa dipahami dalam hbal kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari pria dan wanita dalam menjamin keberlangsungan hidup gen-gen mereka.

Ringkasan
Dalam bab ini kami m enguji konsep motivasi insnetif. Ide dasar yang mendasari konsep motivasi adalah karakteristik tujuan yang kita kerjakan untuk mendapatkan pengaruh perilaku kita. Penjelasan-penejalsan motivasi insnetif berkisar dari rteori=-teori stimulus respon yang sangat mekanis. Seperti mekanisme rg-sg Hull Spence, hingga teori-teori yang lebih kognitif dari Tolmand an Klinger. Analisis Amsel tentang pertsistensi perilaku yang berasal dari kontra kondisi respon-respon fruasi fraksionala dalh perluasan modern dari model Hll Spence.
Penekanan Mowrer pada ide bahwa insentgif menghasilkan emosi memberi usualn altgernatif untuk bagaimaan tujuan bisa menimbulkan perilaku dan dikaitkan dengan penejalsan-penjelasan populer yang menekankan ciri informasional insentif. Penekanan Tolman tentang pen tingnya ekspektansi sebgai pencitpa perilaku juga menjadi kontributor signifikan bagi pemahaman kami tentang motivasi insnetif, dan sepetrti teori Mowrer, menyebutkan pentingnya petunjuk-petunjuk informasional.
Teori-teori yang menekankan pentingnya ciri-ciri informasional petunjuk yang dikaitkan dengan tujuan dan efek dari petunjuk-petunjuk itu tehradap perilaku menekankan konsep rpediktabilitas mungkin analisis paling mahal tentang insentif dari sudut pandang ini dilakukan oleh Overmier dan Lawry yang mengangap insentif sebagai mediator antara stimuli dalam lingkungan dan respon-respon organisme. Beberapa peneliti lain seperti Bolles dan Moot dan Trapiold dan Overmier juga menekmankan pentingnya prediktabilitas dalam situasi-stiuasi motivasional insentif sementara Bindra berusaha mengumpulkan konsep-konsep dorongan insentif, dan predikitbilitas dalam konsep kondisi motif sentral.
Yang terakhir, Klinger menganalisa perilaku manusia dari perspektif motivasi isnnetif dan menyipulkan bahwa insentif-insentif menjadi kekuatan utama yang mendasari apa yang kita lakukan. Klinger berpendapat bahwa kita bekerja untuk mendcapai tujuan yang secara emosional bermkana buat kita. Selai itu, insentif tidak hanya mempengaruihi tindakan-tindakan kit atapi juga pemikiranpemikiran kita dan bahkan pengaruh-pengaruh lingkungan yang mempengaruhi kita. Memisahkan diri dari tujuan yang tleah diusahakan sangat sulit dan melibatkan serangkaian fase yang bisa diprediksikan.
Motivasi insnetif terus menjadi sebuah pendekatan teoritis penting bagi pemahaman motivasi perilaku. Seperti yang sudah kita lihat, beberapa aspek daya tarik seksual nampak cocok dengan pendekatan motivasi insnetif. Tujuan-tujuan kita bekerja memberikan sumber motivasi yang kuat. Bagi perilaku manusia sumber motvasi ini seringkali mengungguli sumber-=sumber lain termasuk regulasi homeostatis.

BAB 8 HEDONISME DAN STIMULASI SENSORIS

Tinjauan bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut;
1. Bisakah konsep hedonisme menjelaskan beberapa perilaku termotivasi?
2. Apakah stimulasi sensoris memotivasi perilaku?
3. Efek-efek apa yang titmb ulkan oleh pemb atasan sensoris terhadap perilaku termotivasi?
4. Bisakah beberapa perilaku dijelaskan menurut proses-proses yang bertentangan dalam sistem saraf?

Jika dirasa bagus, lakukan. Say amendapati pernyataan ini pada sebuah stiker bumper ketika saya menuju ke kantor beberapa tahun yang lalu. Ungkapan ini merupakan penjelasan dari perilaku termotivasi (meski dalam versi modern) yang sudah bersama kita selama berabad-abad. Democritus, rekan Plato di Yunani kuno, berpendapat bahwa kita bertindak untuk mendapatkan jumlah kesenangan terbesar (Bolles 1975). Epicurus yang namanya lebih dikaitkan dengan pendekatan ini juga percaya bahwa kita termotivasi untuk mendapatkan kesenangan. Pendekatan ini disebut hedonisme dan bisa diartikan sebagai pencarian kesenangan dan menghindari rasa sakit.
Teori-teori hedonik menekmankan die bahwa petunjuk atau stimuli memiliki ciri-ciri motivasional karena mereka dikaitkan dengan pengalaman positif dan negatif. Dalam banyak hal ini mirip dengan argumen-argumen yang berkaitan dengan motivasi insentif. Seseorang mungkin berharap bahwa insentif memotivasi perilaku karena menimbulkan efek hedonikk; yaitu mungkin obyek tujuan menjadi nsentif karena menimbulkan kesenangan atau rasa sakit.

Hedonisme
Banyak filsuf dalam era ini berpendapat untuk penjelasan perilaku hedpnis. Hobbes percaya semua tindakan termotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan menghidnari rasa sakit (Boles 1975; Woodbridge 1958). Spencer mengusulkan bahwa perilaku-perilaku yang menyenangkan memilki nilai survival bagi sebuah organisme; yaitu perilaku-perilaku yang dianggap menyenangkan bersifat adaptif seama sejarah spesies. Dia percaya bahwa respon-respon random yang menyebabkan nyeri probabilitasnya berkurang. Sehingga bagi Spencer kesenangan dan rasa sakit menjadi pemodifiaksi perilaku yang penting. Pendekatan Spencer merupakan awal darihukum efek thoirndiek, yang merupakan awal dari tgeori penguatan modern (Young 1961).
Troland (1932) percaya bahwa sistem saraf dipicu pada perisittwa-peirsitwa menyenangkan dan avewrsif. Dia membagi stimulasi menjadi tiga kategori: beneception, ncoception, dan neutroception. Beneception terjadi ketika rasa senang dibangkitkan oleh stimuli, sementara nociception terjadi akibat stimuli yang membangkitkan rasa tidak menyenangkan. Tronland percay asensasi bisa digolongkan ke dalam satalh satu dari tiga kategori tersebut. Setnuhan cutaneous, audiusi, visi dan kinestesis dianggap sebagai neutroseptif. Nyeri,. Rasa pahit, rasa sain yang kuat, rasa asam yang kuat,bau yang menyebabklan mual dan muntah dan beberapa respon visveral. Sehingga menurut Troland, nilai hedonik dari sebuah obyek dalam lingkungan berkaitan erat dengan kualitas-kualitas sesnoris yang dimliki dan efek-efek stimuli tersebut terhadap sistem sartaf dalam hal beneception, nociception atau neutroception.
Beebe-Center (1932) menyatakan bahwa kesenangan dan ketidaksenangan muncul sebagai ekstrim yang bertentangan pada kontinum, hedonik (Troland 1932, juga menyarankan ini).di antara ekstrim-estrim rasa menyenagnkan dan tidak menyenangkan terdapat zona netral di mana stimuli tidak menyenangkan atau menyenangkan. Beebe-Center menyatakan bahwa sensasi menyenangkan dan tidak menyenangkan bergantng pada bagaimana rogan pengidnera bereaksi terhadap stimulasi. Reaksi-reaksi dari organ-orang erasa dalam satu car (yang dia sebuat sebagai tekanan cerah) menghasilkan perasaan menyenangkan sementara reaksi yang berbeda menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Sehingga Beebe-Center percaya bahwa rasa menyenangkan dan tidak menyenangkan berasal dari beberapa tipe aktivitas berbeda dalam sistem sensoris. Sehingga Beebe-Center peraya bahwa rasa menyenagnkan dan tidak menyenangkan berasal dari tipe-tipe aktivitas yang berbeda dalam sistem snesori.s Beebe-Center juga merupakan salah satu ahli teori pertama yang mengakui bahwa insturksi bisa mengubah krasa menyenangkan atau tidak menyenangkan dari suatu stimuli.

P.T. Young: Tanda, Intensitas dan Durasi
Dari para ahli teori hedonik modern, Paul Thomas Young merupakan yang paling terkenal. Riset luas Young terhadap preferensi makanan mendorongnya sepakat dengan Beebe-Center bahwa ada sebuah kontinum dengan afek negatif maksimum (stimuli tak menyenangkan atau aversif) di satu sisi dan afek positif maksimum (stimuli menyenangkan) di sisi lain. Menurut Young proses-proses afektif yang direpresentasikan oleh kontinum ini punya tiga ciri: tanda, intensitas dan durasi.
Afek positif dikaitkan dengan perilaku mendekati, sementara afek negatif dikaitkan dengan penghindaran. Sehingga kita bisa menentukan tanda situasi afektif tertentu dengan mengamati apakah organisme mendekati atau menghidnari situasi. Misalnya tikus akan mendekati dan minum cairan berasa manis tapi menghindari stelah kontak awal dengan minuman berasa pahit.
Proses-proses afektif juga memiliki intnesitas yang berbeda. Untuk mengamati perbedaan-perbedaan intensitas afektif dari beragam zat, para peneliti basanya menggunakan uji preferensi. Dalam situasi dua-pilihan zat yang dipilih dianggap lebih kuat daripada yang tidak dipilih. Seseorang mungkin membandingkan larutan-larutan air gula yang berbeda. Jika konsentrasi gula dalam air berbeda dalam dua botol itu, tikus akan memilih larutan yang berkonsentrasi lebih tinggi. Dengan menggunakan uji-uji prefernsi kita bisa memetakan perbedaan-perbedaan intensitas hedonik.
Sifat ketiga dari kontinum hedonik adalah durasi. Beberapa proses hedonik bisa berlangsung hanya selama stimulasi sensoris berlangsugn, sementara beberapa lagi berlangsung meleihi stiulasi.
Young secara geografis merepresntasikan kontinum hedonik seperti ditunjukan pada gambar 8.1, yang menunjukkan rentang kontinum hedonik dari ujung negatif maksimum (stres) melalui zona indiferen netral, hingga ujung positif ekstrim (gembira). Perbedaan-perbedaan intesnitas ditampilkan oleh unit-unit arbitrd yang ditandai di sepanajng kontinum. Panah merepressentasikan bagaimana afek hedonik bisa berubah. Panah yangmenunjuk ujung positif merepresnetasikan arah perubahan hedonik yang ingin dipertahankan oleh organisme. Young percay abahwa sistem saaf disusun dengacna ra di mana organisme berusaha memaksimalkan afek positif dan meminimalkan afek negatif. Sehingga organisme mempelajari perilaku-perilaku yang mendorong perubahan afektif positif dan menjauh dari perubahan afektif negatif.
Meski panah yang menunjuk ke arah ujung positif kontinum merupakan situasi yang dipilih untuk sebuah orgnaise, perubahan jgau terjadi dalam arah yang berlwanan yang diindikasikan oleh panah yangmengarah pad aujung negatif kontinum. Ketika perubahan negatif ini terjadi, sebuah organisme akant ermotivasi untuk mengurangi situasi afek negatif (yaitu bertindak meminimalkan afek negatif dan memaksimalkan afek positif).

Stimulasi sensoris dan kontinum hedonik
Stimuli sensoris memberi informasi bagi sebah organsime tentang kondisi-kondisi dalam lingkungan internal dan eksternalnya. Proses-proses afektif, yang direpresneasikan oleh kontinum hedonik menyampaikan sedikit informasi selain apa yang kadang ”baik” (menyenangkan) atau ”buruk” (tidak menyenangkan) dan dalam situasi-situasi pilihan ”lebih baik daripada” atau ”lebih buruk daripada.” Young melihat informasi afektif ini sebagai primitif da atu sebuah tatanan yan ereda dari diskriminas-idikrimiansi yang leih cangih aynisa kita buat dari informasi sensoris. Ini berati kontinum hedonik tidak sama dengan stimulasi sensoris. Perbedaan ini paling jelas ketika seseorang mebandingkan hubugan perubahan-perubahan dalam intensitas hedonik.
Jika kita membandingkan peningkatan konsentrasi gula dengan peningkatan intensitas hedonik (yang diukur oleh situasi pilihan dengan binatang laboratorium) kita menemukan bahwa ketika sebuah larutan gula menjadi lebih tekrkonsentrasi, ini akan lebih dipilih daripada yang kadar gulanya lebih rendah selama skala konsentrasi itu bisa kita ubah (Young & Greene 1953). Berdasarkan data ini saja, kita bisa cenderung menyimpulkan bahwa intensitas sensoris dan hedonik berhubungan erat; cukup jelas bahwa ini tidak benar. Yougn dan Falk (1956), misalnya menunjukkan abwah untuk pilihan-pilihan diantara air suling dan air asin, pilihanpertama adalah untuk larutan asin. Ketika konsentrasi Larutan garam ditingkatkan, air suling akan dipilih. Sehingga pemilihan laruan garam meningkat dengan intensitas lauran hanya pad apoin tertentu, stetelah itu menurun lagi. Untuk larutan garam, ketika intensitas sensoris menignkat, afek positif pada awalnya terjadi, tapi kemudian menjadi negatif ketika konsentrasi garam terus meningkat. Kita tidak bisa berasumsi perubahan intensitas senoris akan memulai perubahan yang sama untuk afek hedonis.
Proses-proses hedonis yangd irepresentasikan oleh kontinum hedonik memiliki pengaruh motivasional terhadap perilaku. Pertama afek positfi berhubungan erat dengan pendekatan perilaku dan berdampak positif dengan penarikan diri. Kedua, Young percaya bahwa proses-proses afektif mengaktviasi dan mengarahkan perilaku seingga afek posiif dan afek negaif minimum dipertahankan. Ketiga, proses-proses afektif menyebabkan perkembangan motfi-motif dan disposisi-disposisi stabil. Misalnya rasa manis dari es krim bisa menyebabkan pemilihan es krim atas makanan lain.
Perubahan motivasi juga dianggap bergantung pada perubahan-perubahan pada nilai hedonik. Jika misalnya tikus diberi pilihan antara gula dan tepung, maka akan memilihgula (Young 1973). Jika satu makanan uji diganti dengan makanan baru, perubahan mendadak akant erjadi pada perilaku yang ditunjukkan ke arah zat lama dalam situasi pilihan. Ini menunjukkan pengenalan zat baru mengubah motivasi organisme.
Young percaya bahwa perubahan motivasi yang diamati ketika sebuah makana baru diperkenalkan terjadi karena organisme mengembangkan ekspentaksi pilihan di antara dua zat yang bernilai hedonik berbeda. Ekspektansi ini merupakan hasil dari feedback hedonik dari sampling zat sebelumnya; yaitu organisme mengambil sampling zat yang bisa dipi;ih dan mengembangkan prefernesi untuk salah satu di antaranya berdasarkan pada nilai hedonik masing-masing. Pada percobaan pertama setelah at baru diperkenalkan, ekspektansi yang berkembang didiskonfirmasikan dam motivasi organisme berubah berdasarkan itu. Sehingga perubahan pada obyek-obyek tujuan menyebabkan perubahan ekspektansi yang pada akhirnya mengubah performa.

Pengaruh motivasional sensasi
Carl Pfaffman (1960) melakukanbanyak riset tentang mekanisme fisiolgosi caitarasa, dan karanya sesuai dngan ide-ide Young. Pfafmannn menyarankan stimulasi senosirs memotivasi dan menyebabkan perilaku mendekat dan menjau (tanpa berasumsis esuatu sperti reduksi dorongan). Dia mencatat karya yang dilakukan oleh Stella, Hyman dan Samet (1954), yang menunjukkan biantang menunjukkan fungsi preferensi-aversi untuk garam (NaCL) meski cairan itu dilewatkan mulut – dan atas respetor sensoris untuk citarasa – tidak pernah mencapai perut (karena sebuah esophageal fistula). Riset ini mengindikasikan abwha sensai srasa cukup untuk memicu perilaku mendekat dan menghindar tanpa harus diikatkan pad aperubahan fisologis.
Sesuai dengan Young, Pfaffman mencatat bahwa intensitas hedonik dna intensitas sensoris tidk sama. Mencatat aktivitas listrik pada chorda tympani (saraf kranial yang menirim informasi rasa ke otak) dia menunjukkan bahwa ketika konsenrasi garam dalam sebuah carian meningakt demikian pula aktivitas listirk saraf. Meski demikia n nilai hedonik (yang dibuktikan oleh pilihan) pada awalnya meningkat dan kemduian menruun ketika konsentrasi garm menjadi lebih tinggi. Hubungan antara aktivitas listrik chorda tympani dan nilai hedonik bisa dilihat pada gambar 8.2.
Bukti tambahan untuk pentignya informasi sensoris dalam meotivasi perilaku bisa dilihat dalam fakta bahwa zat-zat tak bernutrisi seperti sakarin cukup memberi reward 9sehingga memotivasi perilaku untuk mendapatkannya) karena rasanya manis (Sheffield & Roby 1950; Sheffield, Roby & Campbell 1954). Pfaffmann percaya bahwa sifat-sifat stimulus dari sebuah zat yang berasa secara langsung menentukan nilai hedonik dari zat tersebutu.

Nilai hedonik dan reseptor-reseptor kontak
Stimuasi reseptor-reseptor kontak (rasa) nampak lebih sering dikaitkan dengan emosi yang kuat daripada stimulasi respetor-reseptor jauh (penglihatan). Reseptor-reseptor kontak juga lebihs reing dikaitkan dengan aktivitas konsumtif (rasa-makan, kontak-seksual dan seterusnya).
Nada hedonik yang diberikan secara langsung oleh reseptor-reseptor kontak bisa berupa adaptasi evolusoner. Misalnya, respetor-reseptor jauh (penglihatan) memberikan suatu waktu tunda untuk membuat sebuah penilaiand an bereaksi, tapi reseptor-reseptor kontak seringkali melibatkan stimuli (nyeri) yang memerlukan reaksi cepat jika oganisme ingin bertahan. Nilai hedonik (senang atau sakit) bisa mberkembang bersama dengan stimualsi reseptor-reseptor kontak untuk mengarahkan perilaku dengan cepat. Meski hubungan antara stimulasi reseptor-reseptor kontak dan nilai hedonik harus dianggap spekulatif, Sherrington (1947) pada awal 1906, mencaat adanya hubungan antar eseptor kontak, emosi dan perilaku konsumatoris. Selain itu, para ahli teori yang sangat menentang teori-toeri moitasi hedonik sering mempelajari perilaku-perilaku yang berkaitan dengan stimulasi reseptor-reseptor kontak. Penjelasan-penjelasan hedonik dari motivasi mungkin terbukti kurang berguna ketika diterapkan pada perilaku-perilakuyang berkaitan dengan stimulasi reseptor-reseptor jauh.
Sekarang kami akan menguji riset tentang nyeri sebagai satu contoh penjelasan hedonistik untuk motivasi.

Nyeri
Nyeri biasanya terjadi ketika tubuh cidera. Nyeri berguna karena memberitahu bahw kita sedang cidra atau sering menyebabkan kita mengubah perilaku sebhingga bagian tubuh yang cidera utu punya waktu untuk sembuh. Di sisi lain, nyeri seringkali terlalu hebat untuk ukurans akitkita. Cidera-cidera kecil bisa sangat menyakitkan.s etiap orang yang giginya patah bisa mengalami sakit yang sangat parah meski cidra tersebut nampak ringan. Atau pertimabngkan fenomena nyeri phantom limb, di maan nyeri ini bisa dialai meski bagian tubuh yang terkena sudah diambutasi. Pada kasus-kasus tersebut nyeri tidak terlalu adaptif dan bisa mengganggu perilaku yang lebih adaptif.
Salah satu peneliti utama dalm studi nyeri adalah Ronald Melzack yang bersama Patrick Wall pada 1965, mengusulkan teori nyeri yang sangat berpengaurh hingga hari ini. Sebelum model mereka, nyeri dinagap berasal dari reseptor-reseptor nyeri yang mengirimkan pesan-pesannya pada serat-serat nyeri speiifk ke otak, di mana otak kemudian merasakannya. Melzack menyadari bahwa perspesi nyeri jauh lebih bervariasi dan jauh lebih bisa dimodifikasi daripada yang diperkirakan. Misalnya sekitar 65% dari pri ayang terluka di peperangan tidak mersakan nyeri ketika dibawa ke rumah sakit perang, namun sekitar 80%Z dari warga sipil yang mengalami cidera yangs ama melaporkan nyeri yang parah dan meminta obat pereda nyeri. Demikian juga sangat diketahui bahwa para pemain sepak bola, petinju dan atlet lain serngkali terus bertanding meski sudah cidera, karena tidak menyadari cidera mereka. Contoh-contoh ini mendorong Melzack menyadari bahwa tidak ada hubungan sederhana dan langsung antar atingkat keparahan sebuah cidra dan tingkat nyeri yang dirasakan.
Lebih lanjut, kondisi-kondisi nyeri patologis speeti causalgia (nyeri bakar parah yang kadang disebabkan oleh lesi tertentu pada saraf periferal), neuralgia periferal (yang bisa terjadi setelah ifenski saraf periefral) dan nyeri phantom limb yang seringkali gagal diobati oleh lesi-lesi oprasi pada sistem sraf sentral atu perieeral. Jika pengalaman nyeri ini merupakan hasil dari stimulasi reseptor nyeri dan perspesi dari sinyal-sinyal tersebut oleh otak, maka operasi diskoneksi harusnya menghilangkan nyeri kausalgia, neurlagia dan phantom limb. Kenyataannya operasi tersebut seringkali gagal sehingga disebutkan bawh pengalaman nyeri lebih dari sekadar persepsi sederhana stmulasi nyerui.
Selain itu, Melzack (1961) menyebutkanbahwa jika perhatian subyekd ifokuskan pada aspek-aspek nyeri dari sebuah prosdur, nyeri biasanya dirsakan lebih kuat. Hall dan Stride menunjukkan bahwa kata nyeri dalam serangkaian insturksi menyebabkan subyek yang cemas melaporkan setrum listrik teras sakit meski level setrum ini tidak diangap menyakitkan oleh subyek tersebut jika tidak ada kata nyeri. Ini dan eksperimen lain pada aspek psikologis nyeri mengindikasikan bahwa proses-proses otak yang lebih tinggi bisa mengubah pengalaman nyeri.
Berdasarkan bukti yang dicatat di atas dan ifnoramsi yang berkaitan dengan fisiologis sistem sraf tepi tersebut, Melcack dan Wlal mengusulkan sebuah model nyeri yang menekankan peran prsoes-proses otak yang leih tinggi dalam mengonrol pengalaman nyeri dan sebuah sistem modulasi di dalam spinal cord yang mempengaruhi seberapa banyak informasi nyeri yang smapai ke otak. Model ini disebut teori nyeri kontrol jembatan.teori Melzack dan Wall ini terbukti berpengaruh dan menghasilkan banyak riset.
Riset sejak publikasi pertama teori gate control menunjukkan “gate” kontrol nyeri dimoulasi oleh perubahan-perubahant ransmitter yang melibatkan opiate endogen dan mungkin faktor-faktor lain. Misalnya, Pomeranz, Cheng dan law (1977) menunjukkan bahwa menghilangkan pituitary tikus bisa menurunkan efek-efek analgesik elektro-akupuntur secara drastis. Karena pituitary dikenal megnhasilkan endorphin untuk membunuh nyeri, kemungkinan efek-efek analgesik akupunktur bisa berasal dari stimulasi saraf-saraf sensoris yang pada gilirannya memicu pituitary untuk mensekresi endorphin.
Dalam sebuah studi lebih lanjut Peet dan Pomeranz (1978) menguji efek-efek analgesik dari elektroakupuntur pada tegangan tikus yang diketahui tidak memilikir eseptor opiat (tgangan CXBK). Ketika efek-efek analgesik dari elektroakupuntur pada tikusnormal dan defsien-piat dibandingkan. Tikus deifisen-opiat menunjukkan efek analgesik standar. Bukti lebih lanjut untuk peran sistem opiid dalam menjembatain nyeri disarankan oleh beberapa sudi yang menunjukkan bahwa naloxone, yang menghambat efek-efek opiat juga menghambat efek-efek analgesik akupuntur (Peets & Pomeranz, 1978; Pomeranz, 1981).
Area-area otak lain juga berkontribsi terhadap modulasi nyeri. Secara khusus, bagian-bagian thalamus, sistme limbic, korteks prefrontal, korteks somatosensoris (baik primer dan sekunder) dan kortekscingulate dilibatkand engan perspesi nyeri (Clarson 1994). Selain itu, zat abu-abu periaqueductal pada batang otak nampak penting pada produksi nyeri yang dihasilkan oleh opiate endogen. Area ini, melalui koneksi dengan nucleus raphe magnus pada medulla dan dari sini ke tanduk dorsal dari spinal cord bisa mempengaruih persepsi nyeri pada level spinal cord.
Kemungkinan penglaman masa lalu dengan nyeri, perhatian dan emosi jug mempegnaruhi sstem opiate untuk memodulasi nyeri sehingga prajurit yang erluka tidak merasakan nyeri atu sakit selama pertempuran. Sehingga mudlasi nyeri sentral, pertama diketahui oleh Melzack nampak diemdiasi oleh kerja opiate endogen. Bnadura, O’Leary, Tayklor, Gauthier dan Gossard (1987) menunjukkan bahwa kontrol kognitif stimulasi nyeri sebagian beasal dari aktivasi sistem opioid. Riset lebih lanjut tentang kontrol nyeri kognitif akan membantu kita lebih memahami mekanisme nyeri dan kontrolnya.
Apakah nilai hedonik dari obyek terbatas pada stimulasi reseptor kotnak atau tidak, pentingnya stimulasi sensoris per se terhadap motivasi perilaku telah dipelajari secar aekstensif. Riset berkisar dari pengujian perilaku ingin tahu dan eksploratoris untuk mempelajri efek-efek berkuragnnya stimmulasi sensoiris organisme. Seperti yang akan kami lihat pentingnya stimulasi sensoris terhadap perilaku normal telah ditunjukkan pada beberapa situasi eksperimental yang berbeda.

kebaruan, keingintahuan dan perilaku eksploratoris
sekelompok studi yang dilakukant erutama pada 1950an menunjukkan bawh stimuli eksternal bisa berfungsi meotivasi perilaku secara langsung. Istilah yang serign dipakai untuk menjelaskan kondisi motif yang ditimbulkan oleh stimuli eksternal meliputi keingintahunan, dorngan eksplotrotirs, motif monaipulasi, rasa laapr stimulus dan perlunya stimulasi meski informasi yang didapatkan dari eksperimen ini sering dijadikan bukti terntang rduksi kebutuhan atai teori reduksi motivasi, informasi ini menarik karena mengindikasikan bahwa perubahan pada kualiats sensoris lingkungan menyebabkan perubahan perilaku termotivasi.
Dalam tinjauan menyeluruh literatur ini, Cofer dn Appley (1964) mencatat bahwa studi-studi tentang stimulasi sensoris dan mtoivasi bisa dikelompokkan menjadi studi-studi yang mengindikasikan bahwa perilaku dilepaskan oleh stimulasi dan studi-studi yang mengindikasikan sebuah kebutuhan akan stimulasi. Kami akan mengiji ini selanjutnya.

Perilaku-perilaku yang dilepaskan oleh stimulasi
Harry Harlow di University of Wisconsin mempelajari perilaku primata. Dia menyebutkan stimuli eksternal penting untuk memotivasi perilaku dan juga berpendapat bahwa banyak perilaku manusia yang termotivasi oleh mekanisme-mekanisme non homoestatik. Misalnya, manusia belajar meski mereka tidak lapar atau haus, dan mereka memecahkan masalah yang tidak berguna, seperti bermain catur atau kartu. Perilaku ini seringkali dimotivasi hanya oleh stimulasi sensors yang mereka berikan (harlow 1953).
Dalam satu eksperimen Harlow, Harlow dan Meyer (1950) memberi monyet teka-teki mekanis yang bisa dibongkar. Satu kelompok tidak diberi reward makanan untuk memecahkan tek-teki tersebut sementara kelompok lain diberi makanan. Pemberian makanan cenderung mengganggu performa mengerjakan teka-teki, dan kelompok yang diberi reward kehilangan minat segera daripda kelompok yang tidak diberi reward terhadap teka-teki itu. Untuk kelompok non reward, perilaku dipertahankan oleh motif memanipulasi atau mengeksplorasi teka-teki. Meski Harlow mendekati studi-studi ini sebagai contoh dorongan, dorongan-dorngan baru ini non homeostatis dan sensoris (Levine 1975).
Berlyne (1960, 1963) melakukan banyak riset tenatng kondisi-kondisi yang memotivasi kita untuk memperhaikan lingkungan. Dia berpendapa bahwa aktivita seksploratiris berfungsi mengubah bidang stimulus di mana kita bearada. Aktivtas eksploratiris me terutama terlibat dalammengubah input stipulus yang kita terima daripdaa menyebabkan perubahan pada jaringan tubuh. Perilaku eksploraotris juga diangap sebagai fungsi dari kondisi pemikiran sebagai fungsi kondisi dan organisme dan stimuli ekstrnal seperti terkejut, perubahan, ambiguitas, ketidakkongruenan dan ketidakpastian.
Berlyn menyarankan faktor-faktor seperti kebaruan dan ketidakpastian memiliki sifat-sifat motivasional karena meningkatkan level kegairahan organisme. Dia berpendapat bahwa kitaberusaha memelihara level kegairahan optimal. Jika stimulasi turun terlalu rendah (seperti dalam kebosanan), kita menjadi termotivasi untuk meningkatkan level kegairahan kita. Di sisi lain, jika level kegairahan menjadi terlalu tingi, kita akan termotivasi untuk menurunkannya. Sehingga stimuli mengejutkan atau baru akan memotivasi perilaku yang diarahkan pada diri mereka sendiri jika memberi peluang kecil pada kegairahan, karena perubahan kecil pada kegairahan itu menyenagnkan. Sebagai bukti suportif Berlyne menemukan bahwa stimuli baru, dibandignkan stimuli familiar, menyebabkan seseorang berorientasi ke arah mereka. Bayi manusia umur 3 dan 9 bulan misalnya, melhat gambar-gambar yang memiliki kontur terhebat, dan orang dewasa tertarik pada gambar-gambar kompleks atau tidak kongruen yang ditampilkan pada mereka. Semua situasi ini diperkirakan menyebabkan perubahan-perubahan kecil pada kegairahan dan dengan demikian menjadi menyenagnkan.
Montgomery (1953) jutga mempelajari perilaku eksploraotris. Dia membiarkan tikus menyelidki satu dari tiga maze yang dicat hitam, putih dan abu-abu. Setiap tikus dibiarkan menyelidiki dua kali dan julah waktu yang dihabiskan menyelidki pada kali kedua dikaitkan dengan warna dari maze pertama yang diselidiki. Motngomery menemukan bahwa eksplorasi maksimum tejradi ketika maze kedua berbeda dari yang pertama dan eksplorasi terkecil terjadi ketika maze kedua identik dengan yang pertama. Jumlah perantara dari eksplorasi terjdai dketika perubahans timulus dari mze pertama dan maze kedua bersifat deang. Sehingga jumlah periaku eksploratoris yang ditunjukkan oleh tikus Montgomery nampak dikontrol oleh tingkat perubahan stimulus yang terlibat. Data Motngomery sesuaid engan data Berlyne dalam menyarankanbahwa perubahan stimulus (kebaruan) memotivasi perilaku seperti eksplorasi.
Donald Hebb (1966) juga percaya bahwa perubahan-perubahan moderate dalam kegriaahan memperkuat. Karena kita menjadi terbiasa, kita akan mendekati situas-situasi stimulus baru; jika stimulus baru terlalu menggariahkan, kita akan menarik diri dari situasi tersebut. Hebb berasumsi bahwa otak dan juga tubuh perlu aktif. Menuut Hebb perilaku bermain, yang ditemukan pada banyak organisme terjadi ketika kebutuhan lain tidak aktif. Meski seringkali bersifat muskular, perilaku bermain biasanya memilki komponen neural karena banyak gaem yang dimainkan organsime bergantung pada memori pngalaman-pengalaman sebelumnya. Perilaku bermains eringkali terjadi akibat kebosanan dan berfungsi memberikan level kegairahan yang lebih tinggi.
Teori-teori Berlyne dan Hebb dikembangkan sbagai alterantif bagi teori reduksi dorongan Hull pada bab 5. studi-studi perilaku eksploraotris, bermain, kebaruan dan ketidakpastian menunjukan bahwa motivasi bisa dipicu oleh situasi-situasi yang menyebabkan penignkatan stimuasli. Studi-studi ini memberikan perbedaan tajam dengan studi-studi Hull dan rekan, yang nampak menunjukkan bawha motivasi dipicu untuk mengurangi stimualsi. Berlyne dan Hebb mengusulkan bawha motivasi diaktifkan ketika kondisi stimulus terlalu tinggi (rduksi dorongan) atau terlalu rendah (induski dorongan) untuk mmelihar alevel stimulasi optimal. Pada dasarnya teori-teori Berlyne dan Hebb merupakan teori kegairahan; penyipangan dari kegairahan optimal pada arahnya – terlalu banyak ataut erlalu sedikit – memicu motivasipad organisme untuk bertindak dengan cara yangmembawa kegariahan kembali ke level optimal. Sehingga eksplorasi, permainan, reaksi terhadap kebaruan atau ketidakpastian bisa dipandang sebagai perilaku yang meredakan deprivasi yang t erjadi dari tidak adanya perubahan stimulus (Fowler, 1967). Analisis ini menyatakan bawha berkurangnya input stimpus organisme (baik dengan menghilangkannya atau dengan membuat stimulus tidak berubah) tidak akan menyebabkan perilaku termotivasi.
Kebutuhan untuk stimulasi
Banyak studi yang berbeda menyatakan adanya kebutuhan untuk stimulasi. Beberapa studi berusaha menguragni level absolut stimulasi pada level yang sangat rendah, sementara beberapa lagi menguji efek-efek reduksi dalam pemolan stimulasi (biasaya bersifat visual). Yang terakhir, beberapa studi menguji peran-peran lingungan monoton atau tdak berubah (Kubzansky & Leiderman, 1961). Studi-studi ini secara kolektifd disebut eksperimen deprivasi sensoris.
Efek-efek deprivasi sensoris lah diteliti pada orgnaisme-organisme yang berkemabng dan juga pada orang dewasa. Hasil-hasil dari dua tipe studi ini unumnya mengindikasikan gangguan perilaku normal (tapi lihat Suedfeld, 1975). Pertama-tama kami akan menguji riset tentang deprivasi yang erjadi pad awal perkembangand an hubungannya dengan proses-proses motivasional; kemudian kami akan menganalisa perubahan-perubahan perilaku yang terjadi pada binatang dewasa akibat deprivasi sensoris.
Keterbatasan sensoris awal. Thompson dan Melzack (1956) mempelajari efek-efek pembatasan sensoris terhadap perkembangan Scottish Terrier. Kelompok scotties usia 4 minggu dibagi menjadi dua sub kelompok. Satu sub kelomok dipelihara secara normal dan berfgungsi sebagai kontrol bagi sub kelompok kedua. Para anggota sub kelompok kedua masing-masing dirawat di kadang terpisah. Kelompok ekspeirmental ini diirawat secara terpisah selama 7 hingga 10 bulan.
Ketika scotties eksperimen dikeluarkan dari batasan soliternya, mereka secar ekstirm aktif dan senang bermain, berbeda dengan kelompok ontrol. Anjing-anjing yang diisolasi ini terus menyelidki lingkungan baru lama setelah subyek ontrol menjadi bosan dengan lingkungan abru mereka. Juga, scotties yang diisolasi menyelidki lebih banyak pada uji maze s daripada kontrol; bahkan beberapa tahun stelah dilepaskan dari isolasi, subyek eksperimental menunjukkan level aktivitas yang lebih tinggi. Sehingga pmbatasan sensoris mengubah perilaku motivasi normal anjing
Dalam bagian lain eksperimen, dua kelompok scotties diuji reaksinya terhadap obyek asing danmenyakitkan. Scotties normal dengan cepat belajar menghindarinya dengan berlari menjauh. Scotties yang terisolasi menjadi sangat marh dengan obyek asing ini tapi tidak menghindarinya, bertindak seakan tidak pasti tentang benda asing ini. Sebagian dari mereka tidak dasdar bahwa sakit yang mereka alami diinduksi oleh obyek eksternal dalam lingkunganya.
Beberapa uji terhadap kemampuan problem solving jga dilakukandan scoties eksperimental slalu deifsien dibandingkan kelompok normal dalam kemampuannya. Misalnya soctties eksperimental tidak mampu memilih kotk dengan benar di mana makanan disemnyikan, semetnar aanjing normal bisa memilh dengan benar setelah menunda 4 menit. Pada tugas-tugas mze isolat dibuat sekitar 50% atau lebih eror daripada anjing normal. Yang terakhir, ketikascotties normal dan terisolasi dikumpulkan, yang normal selalu lebih dominan meski lebih muda dariada anjing yang terbatas.
Pembatasan sensoris menimbulkan efek-efek lanma terhadap perilaku anjing yang terisolasi. Meski tidak nampak tak termotivasi, anjing yang terisolasinampak hieraktif dan tidak mampu mngarhakan perilaku mereka secaa efisien dan adaptif. Riset Thompsond an Melzack menyatakanbwah pembatasans ensoris bisa menguabh cara perilaku ermotivasi diarahkand an membuka pertanyaan apakah pembatasan sensoris bisa menyebabkan emosionalitas ketika level stiulasi normal diberikan.
Dalam studi terhadap tikus, monyet dan simpanse, Riesen (1961) melaporkan efek-efek yang sangat mirip. Misalnya dia membatasi input sensoris visual anak kucing dengan membesarkan mereka di kadangn gelap. Dia menyatakan bahwa pemaparan tikus-tikus tersebut pad lingkungan bercahaya normal menunjukkan defisit perseptual dan emosionalitas kejam. Riesen menemukanbahwa biantang yang dipelahara dalam kondisi gelap ini menunjukkan 1) hiperaktivitas; 2) meningkatnya insiden gangguan konvulsif,d an 3) gangguan motor terlokalisir.
Berkaitan dengan hipersensitivitas, Risen menemukan bahwa level pencahayaan normal menghasilkan ketaktuan ekstrim pada biantang yang dipelihara dalam kondisi gelap. Juga, ketika penglihatan normal diberikan, banyak tikus mengalami konvulsi. Kerentanan terhadap konvulsi berkaitan dnegna tidak adanya pola penglihatan selama perkembangan daripada terhadap tidak adanya cahaya, kaena tikus yang dipelihara dalam kondisi gelap tapi ditangani dan diuji sehari-hari 9sehngga memungkinkan suatu pengalaman visual terpola) tidak mengalami seizure. Berkaitan dengan disfungsi motor. Riesen menemukan bawah nystagamus visual (gerakan bola mata cepat involunter) sering terjadi pada tikus dan monyet yang kekurangan cahaya.
Riesen menyimplkan bahwa peningkatan stimulasi merupakan penyebabemosi bagi subyek yang dipelihara dalam kondisi gelap. Dalam hal ini karya ini sesuai dengan karya Hebb (1949), yang berpendapat bahwa gangguan emosional akdang timbul akibat input sensoris yang tidak kongruen. Dalam eksperimen Riesen lingkungan bercahaya tidak kongruen dengan riwayat pengasuhan binatang.
Seperti Chotties dalam studi Thopson dan Melzack, binatang-binatang Risen menjadi hiperaktif danemosional. Juga seperti dalam studi Thompspn danMElzck. Binatang Riesen tidak bisa mengatasi situasi stimulus aneh dan baru. Studi-studi Riesen menunjukkan bahwa pembatasan sensoris awal bisa mengubah fungsi normal otak, seperti dibuktikan oleh meningkatnya kerentanan terhadap seizure dan disfungsi motor. Bukti lain mendukung kesimpulan ini, menunjukkan bahwa pemolaah visual yang diawali lebih dini dalam perkembangan mempengaruhi perkembangan sirkuit pemrosesanvisual.
Riset tentang pembatasan sensoris mengidnikasikanbahwa stimulasi yang adekuat diperlukan bagi perkembangan normal. Meski banyak efek pembatasan sensoris berasal dari perubahan perseptual dan fisiolgois, riste jug amenyatakan bahwa perubahan emosional dan motivasional terjadi. Sensasi-sensasi baru, pad binatang yang terdepirvasi menyebabkan ketakutan dan penarikan diri.

Kedekatan
Deprivasi maternal. Induk dari binatang muda memberi sumber stiui yang kaya bagi organisme yang berkembang (penglihatan, bau, sentuhan, suara, temperatur). Studi-studi tentang deprivasi maternal menunjukkan bahwa tidak adanya ineraksi induk-bayi juga menimbulkan efek lama. Efek-efek ini sebagian disebabkan oleh berkurangnya stimulasi sensoris dari lingkungan dan induk. Istilah deprivasi maternal tidak selalu berarti hilangnya induk secara ekslusif. Deprivasi matenral mengacu pad situasi di mana organisme yang berkembang menerima sedikit atau tidak ada perawatan konsisten dari siapapun yang bertanggungjawab atas deprivasi ini. Pada sebagian besar binatang ini adalah induk betina, tapi pada manusia ”pengasuhan ibu” bisa diberikanoleh sejumlah orang, termasuk ibu, ayah, saudara kandung, kerabat lain atau bahkan perawat.
Karya Harry Harow menjelaskan pentingnya stimuli maternal bagi perkembangan organisme muda yang adekuat. Dia menggunakan monyet resusuntuk menguji proses-proses kedekatan yang terjadi antara bayi dan induknya. Harlow (1858) menyebutkan bahwa pandangan lama proses kedekatan ibu-bayi menyebutkan bahwa proses ini merupakan motif yang dipelajari dan didasarkan pada fakta bahwa induk berhubungan erat dengan reduksi kebutuhan bayi (rasa lapar, haus, kehangatan dan seterusnya). Motif-motif yang didapatkan biasanya hilang dengan cepat ketika hubungan dengan motif primer dipotong, tapi kedekatan antara bayi-ibu nampak bertahan lama.
Dalam mengamati bayi monyet yang karena beragam alasan dipisahkand ari induknya, Harlow mencaat bahwa bayi mengembangkan kedekatan kuat dengan balas pakaian yang ditaruh di kandang mereka dan menjadi emosional ketika bantalant ersebut diambil untuk dibersihka.
Dalam eksperimen awal, monyet bayi diambil dariinduknya saat lahir dan ditaruh di kandang terpisah. Di satu kandang ditaruh ibu penganti (substitusi) yang terbuat dari kawat dan satunya dari bahan halus menyerupai boneka. Ini ditunjukkan pada gambar 8.3. Untuk setengah bayi monyet, ibu dari kawat memberikan makanan. Seperti bisa dilihat dalam gambar 8.4, monyet menghabiskan waktu banyak dengan pengganti yang menyerupai boneka tanpa memperhatikan induk (pengganti) mana yang memberi makanan.
Ibu boneka ini lebih dari sekadar tempat yang lembut untuk duduk, seperti dibuktikan bahwa saat cemas bayi monyet ini pergi ke ibu boneka, ygn menjadisumber keamananya. Dalam sebua lingkungan yang asing (sebuah ruangan baru) ibu boneka berfungsi ssebagai basis yang aman di mana pengamatan dilakukan oleh bayi monyet. Jika ibu boneka ini tidakada, bayi monyet ini menunjukkan perilaku menggigil, meloncat-loncat. Jelas bahwa bayi monyet ini mengembangkan kedekatan kuat dengan ibu boenka akibat kenyamanan kontak (kontak badan) yang diberikan.
Harlow dan Suomi (1970) menguji sejumlah stimuli induk wakil yang mungkin memberi senasi yang menyebabkan perilaku kedekatan. Mereka menemukans ementara kenyaamann ontak adalah yang paling penting dari stimuli tersebut ketika diberi kontan, laktasi, temaprtur dan gerakan meolncat juga dilibatkan dalam proses kedekatan. Deisan fasial tidak penting; seperti dicatat oleh Harlow dan Suomi, bagi bayi wajah maternal itu indah tanpa betapapun orang lain menilainya lain. Stimulasi sensoris yang melibatkan kenyamanan kontak, pemberian makanan, temperatur dan gerakan merupakan sumber penting kedekatan bai bayi monyet. Bayi monyet termotivasi untuk tetap berada di dekat ibunya (apakah nyata atau pengganti) dan ibu tersebut berfungsi sebagai sumbr keamanan bayi saat mempelajari lingkungannya.
Sementara bayi monyet dalam eksperimen menjadi dekat dengan ibu pengganti, mereka juga menunjukkan banyak perilaku aneh dan secara sosial abnormal. Ketika beberapa betina yang terpisah tersebut diberi inseminasi buatan, perilaku mereka terhadap bayi menjadi acuh tak acuh hingga keras. Ibu yang tidak berkeibuan ini menjadi benar-benar tidak layak mengasuh bayi.
Kita mungkin tergoda untuk menyimpulkan bahwa perawatan maernal yang adekuat diperlukan bagi penyesuaian sosial normal tapi setidaknya bagi monyet kita tidak dibenarkan menarik kesimpulanini. Monye yang dibesarkan dengan induknya tapi tidak diperbolehkan berineraksi sosial tidak mengalmai perkembangan nmormal, ujuga monyet yang yang dibesarkan bersama teman sebayanya tapi tanpa ibu. Pengalaman dengan ibu dan rekan diperlukan bagi perkembangan normal.
Ketidakacuhan dan kekerasan dari ibu monyet yang tidak berkeibuan ini mirip dengan insiden kekerasan anak pada manusia. Seringkali dalam kekerasan anak orangtua pelaku juga mengalami kekerasan semasa kanak-kananya. Ini menunjukkanbahwa perilaku parenting yang tepat bergantung setidaknya pada megnamati bagaimana orang tua bertindak. Jika belajar tentang parenting dalam pertumbuhan itu penting, makatidak mengejutkan bila ibu monyet yangtidak berkeibuan tersebut tidak adekuat. Parenting bisa dipahami sebagai perilaku termotivasi yang sebagian berasal ari proses pembelajaran yang disebut modeling. Seperti yang kita lihat dalam bab 6, banyak motif-motif manusia berasal dari modeling.

Protes, keputusasaan, keterasingan dan ambivalensi. Studi-studi Harlow memberikan petunjuk di mana perilaku bayi manusia bisa dipahami dengan lebih baik. Kita sudah tahu bahwa anak-anak yang teprisah dari orang tuanya akan mengalami serngakaian perubahan perilaku yang meliputi protes, keptuusasaan, ketersaingan dan ambivalensi protes dan keputusasaan yang menyertai perpisahan juga telah dipelajari seara ektensif pada monyet (Mineka & Suomi, 1978).
Bowlby (1973) melaporkan beberapa sudi yang dilakukan selama PD II yang relevan dengan diskusi perpisahan orangtua-anak. Studi-studi tersebut mengindikasikan bawah anak yang terpisah dariorang tuanya mengalami serangkaian perilaku yang bisa diprediksi. Ketika anak pada walnya dipisahkan dari orang tuanya, terdapat protes yang besar dalam bentuk tangisan. Tangisan terus tetrjadi selama beberapa hari dan terjadi secara sporadis hingga 9 hari, terutama saat tidur dan selama malam. Pada saat yang sama anaka-nak ini menjadi tidak kooperatif dengan orang yang mereka temui.
Setlah tahap protes, keputusasaan terjadi. Anak sekarang mulai menerima suatu kenyamanan dari pengunjung dan kadang menjadi sangat posesif terhadap pengunjungnya. Permusuhan yang diarahkan pada anak lain dalam situasi ni meningkat, dan latihan toiet berkurang.
Ketika anak dikembalikan ke induknya, beragam pengasingan ditunjukkan. Tingkat pengasingan ini nampak bergantung pad lama anak tealh dipisahkand ari orang tua. Dalam beberapa kasus perilaku terpisah ini terjadi selama beberapa hari setelah bertemu dengan orang tua.
Fase pemisahan diikuti oleh fase ambivalensi di mana anak menunjukkan permusuhan, penolakan dan mengalihkan perhatian dari orang tua, dan menangis, dan menutut fase ambivalensi bisa terjadi selama 12 minggu.
Sebagai aturan umum, orang-orang yang dikenal dan obyek-obyek yang dikenal mengrangi intensitas efek-efek perpisahan. Faktor penting kedua adalah ”pengasuhan ibu” yang tersedia dari penganti parental; semakin bayak pengasuhan ibu tersedia, semakin kurang kuat pengalaman pemisahan tersebut.
Sekarang kami menguji riset tentang kurangnya pengasuhan ibu yang cukup di mana efeknya nampak permanen.
Survei 1915 oleh Knox (disebutkan oleh Patton & Gardner, 1963) menemukan bahwa 90% dari bayi yang dirawat inap mati dalam setahun sejak masuk meski mereka mendapatkan perawtan fisik yang adekuat. Staistik ini menunjukkan sesuatu yang penting untuk survival hilang dari kehidupan bayi tersebut. Spita (1946) dalam menjelaskan sindrom yang dia sebut depresi aanklitik, mencatat bahwa bebeapa anak ayng dirawat inap menunjukkan depresi, gagal merespon stimulasi dan kehilangan selera makan dan berat badan. Petunjuk bagi sumber kondisi anaklitik yang mungkin diberikan oleh sebuah studi terhadap sebuah lembaga di mana bayi mendapatkan lebih banyak perhatian dan tdiak mengalami depresi. Bayi memerlukan itenraksi erat dengan individu yang bertanggungjawba merawat mereka agar mereka berkembang normal.

Dwarfisme deprivasi. Gardner (1972) dan Patton dan Gardner (1963) menunjukkan bahwa tidak adanya kondisi rumah yang tepat bisa menyebabkn kondisi yang disebut dwarfisme deprivasi. Dwarfisme deprivasi adalah reduksi maturasi tulang dan eprtumbuhan di m ana maturasi fisik anak jauh kurang normal dari usianya, dan para peneliti tersebut menemukan bahwa anak yang menderita dwarfisme deprivasi pertumbuhannya erhambat. Tinggi untuk usianya rata-rata 20% hingga 65% di bawah normal. Anak-anak ini nampak kurang gisi, meski sudah mendapat makanan cukup. Seara emosional, anak-anak ini menjadi lethargic, apatetik dan menarik diri. Wajah mereka terlihat sedih, jarang ersenyim dan seringkali menghindari kontak dengan orang lain.
Reduksi pertumbuhan ini bukan disebabkanoleh problem neural-endocrine tau akibat penyakit tapi dari lingkungan sosial dimana anak-anak ini dipaksa hidup. Robert Patton dan Lytt Gardner (1963) mempelajari enam kasus ”thin dwarf/” anak-anak ini terhambat secara fisik dan psikologis. Semua berasal dari gangguan dalam keluarga dimana satu atau kedua orang tua terganggu secara emosioal dan tidak mampu memberikan pengasuhan. Ayah seringkali tidak ada di rumah, dan tak satupun yang bisa melakukan tugasnya dengan baik. Ibu berasal dari situasi keluarga yang sama. Hubungan antara orang tua biasanya keras dan kejam. Sikap maernal terhadap anak mulai dari permusuahn keras hingga ketidakacuahn dan penelantaran. Perawatan parental anak bisa dijelaskan sebagai penelantaran pasif.
Ketika anak-anak ini dikeluarkan dari lingkungan yang terdeprivasi dan bermusuhan, mereka mulai mengalami perbaikan fisik dan psikologis. Sebagian besar dari anak ini mulai tumbuh lagi. Anak-anak agn mengalami perbaikand alam situasi rumah sakit seringkali berbeda dengan anak normal, yang seringkali bereaksi terhadap hospitalisasi dengan banyak menunjukkan gejala anak yang terpisah dari orang tuanya.
Patton dan Gardneer mampu menindaklanjuti dua dari enam anak hignga masa kanak-kankak akhir. Anak-anak ini memiliki tinggi dan berat badan di bahwa rata-arta dan pertumbuhan skelatalnya tertingal dari usia kronologisnya. Efek-efek residual dari pengalaman deprivasi awal pada struktur kepribadian dan intelegnesi juga dituliskan. Lebih lanjut, meski hospitalisasi menimbulkan fenomena catch up pada anak-anak tersebut, kembali ke lingkungan yang terganggu menyebabkan gejala-gejala dwarfisme kembali muncul (Gardner, 1972; Goodwin, 1978).
Bagaimana deprivasi maternal dan gangguan sosial dan emosional mengurangi perkembangan fisik? Meski detailnya kurang, Patton dan Gardner mengusulkan bahwa deprivasi lingkungan dan gangguan memosional bisa mempengaruhi fungsi endocrine. Kelenjar pituitary nampak terpengaruhi.
Kelenjar pituitary mesnekreasi sebuah zat yang disbut hormon pertumbuhan (somatotropin) yang menstimulasi pertummbuhan. Kuantitas hormon pertum,buhan subnormal pada anak-anak yang menderita dwarfisme deprivasi. Meski tidak terjadi malfungsi pituitary (fakta bahwa anak-anak ini mulai tumbuh lagi ketika kondisinya membaik juga mengindikasikan bahwa pituitary berfungsi normal tapi dihentikan oleh faktor-faktor lain). Sekrang jelas bahwa mekanisme menekan hormon pertumbuhan merupakan gangguan terhadap pola tidur normal.
Anak-anak yang digolongkan sebagai penderita dwarfisme deprivasi menunjukkan pola tidur abnormal. Diketahui bahwa hormon pertumbuhan disekresi selama 2 jam tidur daripada waktu laind an jika orang tidak tidur, horonnya tidak disekresi. Shengga lingkungan sosial yang buruk menyebabkan gangguan pola tidur normal pada anak-anak tersebut, dan pola tidur abnormal mengubah sekresi hormon pertumbuhan yang menyebabkan penurunan pertumbuhan.
Deprivasi matenral bisa menimbulkan efek yang jauh pada pertumbuhan fisik dan psikologis. Efek-efek ini menekankan pentingny alingkungan sensoris yang adekuat bagi perkembangan yang benar.
Patton dan Gardner (1963) berpendapat ada periode kritis di mana stimulasi eksternal diperlukan bagi perkembangan optimal. Tanpa stimulasi adekuat tersebut terjadi defisinsi permanen. Lingkungan sosial yang terganggu di mana anak-anak tersebut dipaksa untuk hidup tidak optimal. Mereka diabaikan, ditelantarkan, dan diperlakukan keras oleh orang tua. Akibatnya mereka terhambat secara fisik, emosional dan psikologis. Harmow menyumpulkan bahwa periode ada periode kritis ntuk pertumbuhan normal. Data dari riset manusia dan binatang konsisten dalam menunjukkan bahw stimlasi diperlukan bagi pertumbuhan normal dan tidak adanya stimulasi menyebabkan perilaku yang mengidikasikan defisensi motivasional seperti lethargy, apatis dan pengasingan diri.
Itnerkasi ibu-bayi dan antar teman sebaya merupakans umber penting dari stimulasi ygn diperlukan bagi perkembangan normal organisme. Seorang peneliti yangmengamati interaksi ibu-bayi pada babon (Nash, 1978) menunjukkan bahwa per edaan interaksi ibu-bayi bisa mencakup perbedaan kepribadian yang diamati pada masa kanak-kanak. Riset tentang deprivasi maternal dan ineraksi bayi ini konsisten dalam menunjukkan bahwa defisiensi hubungan ibu-bayi dan antar rekan menyebabkan deifisiensi motivasional motivasi dari organisme yang terdeprivasi seringkali tidakhanya menjadi lebih rendah tapi bisa juga menjadi tidak tepat atau aneh. Perubahan emosioanitas juga dibuktikan.
Karenastimuasli nampak sangat penting bagi perkembangan normal organisme, seseorang bisa juga menduga bahwa stimulasi yang berlanjut merupakan syarat perlu bagi fungsi orang dewasa normal. Ini nampak benar.

Deprivasi sensoris pada orang dewasa. Studi-studi deprivasi sensoris biasanya mendeprivasi subyek dari bebeapa input sensoris secara simutlan. seringkali input visual dan auditoris dikurangi atau dihilangkan; namun indera lain juga menurun. Studi-studi deprivasi sensoris mungkin mengusahakan sebuahr eduksi stimulasi sensoris absolut, sebuah pola penurunan stimulasi sensoris atau penyusunan lingkuingan sensoris tanap reduksi stimulasi. Sebagian besar studi tentang depriasvasi sensoris merupakan tipe pemolaan menurun, karena reduksi absolut pada stimulasi sulit dicapai.
Banyak karya sebelumnya tentang deprivasi sensoris dilakukan di McGill University selama 1951-1954 (Heron 1961). Dalam situasi deprivasi sensoris klasik, mahasiswa universias pria diminta untuk berbaring di ranjang selama 24 jam pada ruangan bercahaya dan semu kedap suara. Penglihatan agn dipolakan dihilangkan dengan penggunan kacamata buram yang hanya menangkap cahaya menyebar. Sarung tangan katun ditempelkan ke manset cardboard yang meluas melebihi ujugn jari ke siku untuk mengurangi stimulasi taktil. Kepala subyek berbaring pada bantal berbentuk U, yang mengurangi stimulasi auditoris dan ebuah CA yang memberikan kebisingan latar monoton yang menutupi suara-saura ekstra. Gambar 8.5 menunjukkan bilik deprivasi dan aparatus dasar yang dipakai.
Beberapa uji prilaku dilakukan selama dan setelah periode isolasi (uji IQ, uji rentan gdigit, tugas pembelajaran asosiastif dan sejenisnya). Pembciaraan propaganda pada adanya fenomena fsiik (telepati, hantu dan seterusnya) juga diberikan, dan secara periodik menginterupsi periode isolasi.
Mungkin hasil paling mengejutkan dari eksperimen ioni adalah subyekt idak bisa mentoleransi lama kondisi isolasi. Dalam eksperimen pertama subyek biasanya menghentikan eksperimen setelah 2 atau 3 hari. Dalam eksperimen berikutnya peneliti menggunakan dirinya sebagai subyek dan mampu mentoleransi kondisi ini hanya selama 6 hari (Heron, Doane, & Scott 1956). Subyek yang dideprivasi sensoris megnalami kebosanan, tidak bisa tidur, marah, dan keinginan kuat untuk menghentikan eksperimen. Subyek juga mengalami gangguan berpikir, gangguan perspesi visual (halusinasi), dan perubahan emosionalitas, dan juga perubahan aktivitas listrik otak yang diukur oleh EEG. Subyek-subyek yang terisolasi inferior terhadap kontrol pada 6 dari 7 uji intelktual dan juga kurang baik dalam k mengtrol pada uji-uji kemampuan perseptual. Subyek yang terisolasi ini menunjukkan perubahan sikap yang lebih besar daripada kontrol setelah fenomena berbicara secara fisik, meski kedua kelompok menunjukkan perubahan kearah meyakini peristiwa-peristiwa tersebut.
Perspesi visual dipengaruhi oleh hilangnya penglihatan berpola. Ketika kacama dilepas, permukaan bidang nampak berlapis, dan obyek alam lingkungan nampak bergerak ketika subyek bergerak. Permukaan seperti dinding nampak hsimmer dan subyek dalam eksperimen melaporkan after-image yang sangat kuat. Orientasi spasial juga terganggu oleh isolasi sensoris. Misalnya pada akhir periode isolasi beberapa subyek mengalami disorientasi sehingga mereka meminta bantuan kaerna mereka tersesat di kamar mandi.
Apa yang menyebabkan hasil-hasil ini? Dari sudut padnag motivasi, kondisi depriasi sensoris bagi sebagian besar orang angat aversif. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa orang-orang perlu memelihara tingkat stimulasi tertentu dan mereka menjadi termotivasi untuk meningkatkannya jika mendeprivasi suatu level stimulasi yang adekuat. Stimulasi adekuat juga perlu bagi fungsi yang efisien karena berkuragny stimulasi menyebabkan berkurangnya performa pada sebagian besar tugas eksperimental. Meski halusinasi yang dilaporkan oleh Herond an rekan terbukti lebih elusif bagi peneliti lain, baik fungsi intelektual dan perseptual diubah oleh input sensoris yang berkurang. Keterbatasan dan depriavasi sensoris dalam bentukperawtan maternal yang tidak adekuat menyebabkan defisiensi permanen. Dan deprivasi sensoris pada orang dewasa menyebabkan gangguan perilaku temporer.
Jerome Brunner (1961) mpercaya bawah efek isolasi bisa dipahami dalam kaitannya denganperkembangan model atau strategi adekuat untuk mengevaluasi informasi. Anak yang terdeprivasi keurangan lingkungan yang kaya dan beragam yang memungkinkan perkembangan model yang benar. Dalam hal ini Bruner mencatat bahwa kontak sosial bisa penting karena meberikan lingkungan sensoris yang kompleks.dia menyarankan bahwa orang dewasa yang megnemabngkan proses adekuat untuk mengatasi informasi sensoris yangdatang scara konstan memantau dan memperbaiki strategi-strategi ketka kondisi berubah. Efek-efek deprivasi sensoris pada orang dewasa bisa mengganggu proses evaluasi ini yang bisa menyebabkan penuruan kemampuan kognitif dan gangguan pad persepsi peristiwa.
Studi oleh Bennet (1961) terhadap para pilot jet mendukung ide bahwa deprivasi sensoris pada oragn dewasa mengganggu proses evaluasi. Bennet menguji lima kasus disorientas pada para penerbang. Pada lima kasus ini penerbang adalah pilot atau navigator yang mengalami disorientasi ketika terbang lurus pada ketinggian tertentu.
Gejala-gejal disorientasi ntara lain meras bingung dan kehilangan kontak dengan sekelilingnya. Pada tiga dari lima kasus ilusi berputar juga dilaporkan. Pada lima kasus disorientasi terjadi pad ketinggian di atas 20.000 kaki ketika penerbang bergerak lurus, mendatar selama periode 45 menit hingga 2 jam dan 20 menit. Orang yang menderita disorientasi terisoalsi dari kur lainnya.
Clark dan Graybiel (yang disebutkan oleh Bennett, 1961) melaporkan temuan-temuan yang sama dari pilot laut dan AL. Para pilot tersebut melaporkan merasakan disorientasi spasial, isolasi dan terasing daribumi. Tiga kondisi berikut dikaitkan dengan disorientasi: terbang sendiri, terbang pada ketinggian tertentu, dan minim aktivitas.
Gejala-gejala yang dilaporkan oleh penerbang sangat mirip dengan gejala-gejala yang dilihat pada eksperimen deprivasi sensoris. Bennet mencatat bahwa pilot yang sendiri, terbang pada ketinggian tertentu secara lurus da, mengaami deprivasi sensoris parah, karena gerakan kecil yang bisa dideteksi pada ketinggian tersebut dan ada sedikit hal yang dilakukan. Nampak masuk akal untuk menganggap bahwa disorientasi yang terjadi pad apara penerbang tersebut berasal dari lingkungan sensoris terbatas yang disebabkan oleh ketinggian.
Sebagai dukungan lebih lanjut bagi hipotesis deprivasi sensoris, Bennet menatat bahwa semua gejala disorientasi menurun atau dikurangi jika aktivitas diperlukana atau ada orang lain yang bisa diajak bicara. Karya bennet terhadap situasi kehidupan pilot juga mendukung ide bahwa stimulasi yang berubah diperlukan agar perilaku fektif terjadi dan tanpa sitmulasi yang cukup perilaku adaptif akan berkurang.
Efek deprivasi sensoris mugkin tidak hanyat erbatas pada terbang di ketinggian tertentu. Situasi yang memberikan stimulasi menurun ataumonoton dan sedikit aktivitas bisa menjadi calon efek-efek disorientasi. Mengemudi sendiri di malam hari pada jalan rasa antar kota mungkin menimbulkan efek yang sama seperti yang ditimbulkan oleh terbang pada ketinggian tertentu.
Goldberger dan Holt (1961) menyebutkan bahwa beberapa orang mentoleransi deprivasi sensoris lebih baik daripada orang lain. Dalam satu studi para peneliti membagi individu menjadi dua kelompok berdasarkan kemampuan seperti diukur oleh uji Rorschach). Hasil-hasil menunjukkan bahwa subyek yang mendapatkan skor sebagai pemecah persoalan pemikiran rposes primer mentolernasi deprivasi sensoris lebih baik dan menunjukkan emosionalias yang lebih positifi selama periode depriavasi.
Studi Goldberger dan Holt menytakan bahwa beberap aorang bisa mendapatkan keuntungan dari pngalaman-pengalaman isolasi jika osilasi tidak terlalu parah. Suedfld ((1975) juga menyarankan abwah deprivasi sensoris bisa memberi efek mengutnungkan. Suefeld mencatat beberap studi sebelmnyat entagn deprivasi sensoris mungkin sangat menimbulkan kecemasan karena situasi eksperimental. Misalnya, beberapa peneliti memberikan tombol panik sementara beberapa lagi menggunakan insturksi yang menimbukan kecemasan atau pelepasan dari tanggungjawab. Orner dan Scheibe mendapatkan beberapa hasil tipikal dari studi deprivasi dengan menggunakan hanya kondisi-kondisi pembangkit kecemasan periferal tanpa adanya deprivasi sensoris selanjutnya.
Suedfield mencatat bahwa efek-efek menguntungkan dari isolasi, meski dilaporkan belum ditekankan. Beberapa subyek melaporkan menikmati pengalaman deprivasi. Dalam serangkaian studi, Suedfeld menunjukkan reduksi stimulasi bisa membantu secara terapeutik. Dalam lingkungan yang dia sebut sebagai REST (restricted environmental stimulation technique) subeyk menunjukkan penginkatan kotnrl kebiasaan seperti merokok danlelebihan makanan dan problem-problem terkat strs seperti hipertensi. Subeykd ari studi ini biasanya diminta untukt etap dalam ruang sunyi dan gelap selama 24 jam; dengan bergantung pada fokus studi, mereka bisa mendengar pesan-psan kontrol berat badan dan anti merokok. Laporan-laporan follow up mengindikasikanbahwa kombnasi REST dan pesan-pesan mendorong pada reduksi merokok dan penruunan berat badan signifikan pada para partisipan studi ini. Yang menarik, makanan yang dimasukkan dalam situasi REST oleh subyek kemudian dilaporkan kurang dipilih atau dikonsumsi lebih sedikit. Meski alasan-alasan untuk perubahan pada preferensi makanan yang berkaitan dengan tidak jelas. Hasil-hasilnya menyatakan bahwa individu yang kegemukan mungkin menambah kontrol berat badannya dengan menggunakan prsoedur (seperti REST) yang mengurangi daya tarik makanan yang dipilih (Suedfeld & Kristeller 1982).
Konsekwensi-konsekwensi input sensoris terbatas mungkint idak selalu negatif; riset Suedfeld nampak menunjukkan bahwa keterbatasan lingkungan sensoris bisa digunakan untuk memodifikasi perilaku yang terbukti sulit berubah dengan menggunakan teknik-teknik behavioral. Perubahan-perubahan motivasional yang disebabkan oleh REST tidak dipahami dengan benar; mungkin riset di masa mendatang akan mendorong pada pengembangan kerangka teoritis di aman perubahan pada motivasi, baik positif atau negatif bisa dijelaskan.

Teori Proses-Lawan: Tinjuan Ulang Hedonisme
Konsep hedonisme pada alwanya dihubungan dengan input sensoris karena kita cenderung mengkategorikan informasi sensoris sebagai hal yang menyenagnkan, tidak menyenangkan atau netral. Untuk mengakhiri bab ini kami akan membahas tentang model homeostatisk dari kualitas hedonik yang diusulkan oleh Solomon dan Corbit. Solomon dan Corbit berasumsi kondisi hedonik aversif dan menyenangkan dilawan oleh proses sistem sarf pusat yang emngurangi intensitasnya. Proses ini mengurangi sensasi hedonik utama dengan menghasilkan kondisi hedonk yang kualitasnya bertentngan dengan timulus awal. Sehingga stimuli yang menimbukan perasaan menyengkan akan dilawan oleh perasaan aversif yang dihasilkan pleh proses tersebut; sebaliknya stimuli yang pada awalnya menimbulkan perasaan aversif akan dilawankan oleh perasaan menyenangkan yang dihasilkan olehproses tersebut. Sekrang kita lihat bagaimana mekanisme proses-lawan ini dianggap bekerja.
Model ini mengusulkan bahwa setiap situasi penting secara afektif memiliki lima karakteristik. Ketika stimulus terdeteksi, ini memberi reaksi hedoni yaitu: 1) memuncak cepat; setelah puncak hedonik terjadi ) fase adaptasi di mana itnensitas pengalaman hedonik menurund an kadang mencapai 3) level stabil; jika stimuluis yang dimuali dalam rantai ini menghilang, maka akant erajdi 3) pasca reaksi afektif puncak dengan karakteristik yang berbeda dari kondisi hedonik awal; pasca reaksi ini secara perlahan 5) meluruh hingga intensitas pasca raksi afektif kembali ke nol. Gamabr 8.6 memetakan lima ciri dari sebuah reaksi emosional terhadap stimulus.
Model proseslawan menunjukkan bahwa proses fisiologis yang memicu raksi hedonik awal 9kondisi reaksi A) akan dilawankan dengan reaksi hedonik (kondisi B0. penurunan nilai heodnik daripuncak ondisi A ke level stabil berasal kondisi B menurunkan kondisi A. sehingga level stabil intensitas hedonik dalam gambar 8.6 adalah kondisi A dikurangi kondisi B. ketika stimulus yang menciptakan kondisi A tidak lagi ada, kekuatan penuh kondisi B (reaksi hedonik yang berlawanan terhadap kondisi A) dirasakan. Pengalaman kondisi B secara perlahan meluruh hingga intensitas hedonik kembali ke nol. Kondisi A dan B berbeda satu sama lain dalam beberapa cara selain berbeda dalam hal kualitas hedoniknya. Misalnya, kondisi A berkembang dengan sangat cepat dan dikaitkan dengan intensitas stimulus yang menghasilkannya; ketika stimulus yang menghasilkan kondisi A dihilangkan, kondisi hedonik A berhenti. Kondisi B, berkembang lamban, dan bukanya dihasilkan oleh stimulus, ini dihasilkan sebagai raksi terhadap kondisi A. sleanjutnya kondiisi B menurun secaraperlahan; ketika kondisi A dihilangkankondisi B terus berlangsung karena meluruh secara perlahan. Kondisi A berbeda dari kondisi B dengan cara lain. Prestnasi stimulus berulang yang menghasilkan kondisi A tidak berdampak terhadap itnensitas kondisi A; meski demikian pembangkitan berulang kondisi B menyebabkan menguatnya kondisi B. karena aktivtasi kondisi B menimbukan efek menurunkan intensitas kondisi A, seperti dicatat di atas, prestnasi stimulu ssecar berulang yang memicu kondisi A akan menyebabkan reduksi intensitas hedonik kondisi A, karena kondisi B akan menignkat intensitasnya.

Kecanduan obat
Teori proses-lawan nampak mampu menjelaskan banyak perilaku yang berkaitand engan kecanduan obat. Zat addikitf ini pada awalnya menimbukan rasa menyenangkan (kondisi A). proses-lawan, akan mendapatkan kekuatan ketika roagn terus menggunkan obat, jadi kondisi aversif B berkembang. Karena pengalaman yang menyenagnkan dari kondisi A diturunkan oleh tumbuhnya kondisi B aversif, sebuah poin akan dicapai di maan individu yang ekcanduan akan terus memakai obat ya bukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya tapi untuk menghindari sifat aversif kondisi B (gejala-gejala menarik diri) yang terjadi ketika kondisi A yang dipelihara obat tidak muncul.
Stimuli neetral yang mendahului kondisi A dan B terkondisikan pada kondisi-kondisi tersebut. Sehingga setiap petunjuk yang muncul sebaeblum kondisi A obat tinggi akan muali bekerja sebagai penguat sekudner untuk pemakaian obat kontinyu. Demikaian juga stimul uli netral berhubungan dengan kondisi aversif B penghentian obat akan memperkuat perilaku secara negatif yang mengruangi atau menghilangkan stimuli tersebut. Sebagai cara unuk menghindari stimuli negatif adalah menggunaan obat itu lagi. Kecanduan didapatkan dalam double blind; stimuli yang berkaitan dengan kondisi menyenangkan A dan kondisi aversif B cenderung memelihar apemakaian obat. Dua set stimuli ini memperkuat perilaku yang sama – memakai obat. Efek-efek asosiatif dari stimuli tersebut ditambahkan pada efek-efek perilaku kondisi menyenangkan A dan kondisi aversif B yang juga mendukung pemakaian obat secara kontinyu.
Selain itu nampak toleransi yang berkembang pada obat yang terus dipakai bisa dijelaskan sebagai an oleh hasil dari kondisi A dan B yang terkondisikan. Mosalnya Siegel emnunjukkan tikus mengalami toleransi morfin yang terkondisikan dalam situasi lingkungan yang sinyalnya menghambat pemakaian obat. Siegel mengusukan petunjuk memberi sinyal injeksi obat terkondiskan pad proses kompensatoris, sebuah proses yagm menurut Solomon (1980) memiliki banyak karakteristik yan sama sepbagai kondisi proses-lawan B yang dibangkitkan olhe injeksi obat.
Kita sudah tahu selama bertahun-tahun adanya kesulitan ekstrim menghentikan kebiasaan menggunakan obat. Model proses-lawan mmmberi kita dasar teoritis untuk memahami mengapa kebiasjaan menggunakan obat begitu sulit dihentikan. Mungkin model ini akan membantu kita mengembhagnkan pendekatan-pendekatan baru terhadap penyalahgunaan obat yang akan lebih efektif daripada yang dipakai saat ini

Pencarian Ketegangan
Megnapa orang-orang seringkali mencari pengalamna yang nampak berbahaya, menimbulkan ketakutan dan atau rasa sakti? Teori proses-lawan menyatakan satu alasan orang terlibat dalam perilaku sepet imemakai roller coster, skydiving, baplap motor berolahraga berbahaya adalah kondisi B yang kuat erjadi setlah kondisi menimbukan-takut (atua sakit) A.
Salah satu contohnya adalah bermainparasit. Epstein mempelajari reaksi-raksi emosional para penerjun militer. Sebelum melompat pertama kali, para penerjun ini nampak cemas. Selaam jatuh bebas pertama kali (sebelum parasut mengembang), tanda-tanda teror seringkali muncul: bola mata melepar, bubir tertarik rapat, tubh melingkar kedepan, dan urinasi tak sengaja seringkali tersjadi. Kondisi aversif A nampak terjadi selama lompatan awal. Setelah mendarat dengan aman par apnenerjun pada awalnya nampak tertegun selama beberapa menit dan kemudian mulai berinteraksi secara sosial, seringkali dengan cukup riang. Solomon menyatakan pasca-reaksi untuk lompoatan ini, yang bisa berlangsugn hingga 10 emnit merupakan kondisi B yang sangat positif yang berbeda dengan kondisi A yang menimbukan ketakutan.
Bagi penerjun yang berpengalaman, gamabran ni cukup berbeda. Dengan beberapa lompatan, kondisi ketktaun A berkurang hingga penerjun tidak lagi akut tapi bergairah. Menurut teori proses-lawan, penuruan rasa akut teradi karena kondisi positif B yang terbentuk setelah beberapa lompatan, mengurangi kondisi A. Para penerjun yang berpengalaman terlihat tegang atau bergairah sebelum melompat dan lebih meraskan tertantang daripada teror selaam terjun bebas. Setelah mendarat, para penerjun yang kembali ini sangat atkifs ecara fisik dan mereka bisa melompat bereriak dan berbicara dengan bersemangat. Periode euforia ini yang bisa berlangsung selama 2 atu 3 jam serinng disebut sebagai exhilarating.
Menurut model proses-lawan, orang-orang mungkin terlibat dalam periaku berbahya dan menakutkan karena berkurangnya kondisi A aversif pada awalnya dan reaksi yang berlawanan positif yang terjadi ketika perilaku ini berhenti. Model yang ditampilkan oleh Solomon memiliki aplikasi potensial bagi beragam situasi yang menakutkan berbahaya atau menegangkan. Lari maraton, skydiving, layang gantung, naik roller coaster dan menonton film horor bisa memiliki kondisi B positif yang emngiktui kondisi A aversif awal. Lebih lanjut, banyak dari aktivitas ini nampak memiliki kuatlias adikitf – perssis seperti yang dirpediksikant eori lawan-prsoes.

Kedekatan sosial
Teori proses-lawan juga ditrapkan pada proses kedekatan. Starr (1978) misalnya mencatat bebek muda pada sebuah model bergerak. Starr bersumsi suatu aspek stimulus yang tercatat memicu kondisi A postiif, karena banyak studi menunjukkan bahwa burung muda sangat termotivasi untuk mendekati dan mengikuti sitmulus yang terekam dan stimulus ini bisa berfungsi sebagai penguat positif. Lebih lanjut, penghilangan stimulus yang dterekam menyebabkan teriakans tres (vokaliasi khas dengan frekuesni berksira antara 200 dan 5000 Hz) yang dipakai Starr sebagai ukran kondisi negatif B. Asumsi Starr didasarkan pada studi Hoffman dan rekan (1974), yang menunjukkan abwah teriakan stres terhadap penarikand iri dari sebuah stimulus yang terkam meningkat dengan meningkatnya pemaparan pada stimulus tersebut. Sehingga dalam studi Hoffman dan rekan, terumbuhan kondisi B negatif yang berbeda dari kondisi A positif yang terjadi ketika stimulus ini ditampilkan.
Starr tidak hanya merepliaksi temuan-temuan dasar Hoffman dan rekan tapi menemukan abwah sebuah faktor penting dalam perkembangan kondisi B negatif merupakan inetrval waktu antara presetnasi suksesif dari stimulus imprinting. Sehingga jika itnerval antara ensasi ini pendek – misalnya 1 menit - seperti diprediksikan teori proses lawan. Di sisi lain, jika waktu yang cukup diberikan untuk timbul dia ntar aprestnasi sehingga kondsi B negatif memilki waktu untuk meluruh (5 menit dalam studi Starr) maka kondisi B tidak tumbuh lebih kuat. Temuan penting ini, yang disebut durasi peluruahn kritis oleh Strrr, menunjukkan bahwa pertumbuhan kondisi B ( dan reduksi kondisi A) bergantung pada interval di antara aktivasi kondis A: jika itnerval waktunya pendek, kondisi B akan tumbuh dan menguragni kualitas emosional kondisi A; meski demikian, jika interval waktu cuup besar sheingga kondisi B meluruh, tidak terjadi penuruann kuatlias kondisi A. Berdasarkann temua ini kita bisa memprediksikan abwah melompat dari sebuah pesawat h sekali setahun tidak akan menyebabkan exhilaration tapi teror.
Selain iotu starr menemukan bahwa perubahan pada itnesitas stimulus imprinting (menambah suara, misalnya) dan perubahan druasi (menurunya jumlah waktu stimulus) juga mempengaruhi durasi peluruhan kritis. Sehignga sbuah stimulus yangmemciu kondisi A yang lebih kuat akan mnciptakan kondisi B yang butuh waktu lebih lama untuk meluruh; sebaliknya stimulus yang memicu kondisi A lemah akan menyebabkan kondisi B yang meluruh dengan cepat. Karya Starr menyatakan bahwa dampak emosional sebuah stimulus akan bergantung pada intensitas, durasi, dan frekuensi saat kita menghadapi stimulus tersebut; stimuli kuat dari durasi lama atau frekuensi berulang akan menghasilkan kondisi B yang besar yang akan berlawanan dengan odnisi A. Jika kondisi A positif maka dampak emosionalnya akan berkurang, semtnara kondisi A negatif akan menjadi kurang aversif dan bahkan dinilmati.
Penggunaan teori proses-lawan untuk menjelaskan prose kedekatan memiliki genralitas di luar studi imprinting pada burung. Mineka dan rekan (1981) menemukan bahwa model ini juga bekerja dengan baik dalam menjelaskan perubahan-perubahan perilaku pada kera remaja yang mengalami perpisahan ganda. Dalam serngkaian eksprimen para peneliti menemukan bahwa perpisahan gnda menyebabkan meningkatnya kontak sosial pada saat reuni yaitu kontak menuruns epanajng hari dan pegnalaman perpisahan ganda meningkatkan perilakua gitatif dan depresif. Data mereka menunjukkkan bahwa monyet yang dekat secara sosial beberapa aspek darikedkatanya ini menghasilklan kondisi positif A yang berbeda dari kondisi negatif B. Di bawah kondisi normal kodnis B menyebabkan berkurangnya kotnak sosial; meskid emikian ketika sumber kedekatan dihilangka, kondisi negatif B akan menyebabkan perilaku yang diarhakan sendiri seperti gerakan merangkul, gerakan agiatif dan gerakan stereotip. Ketika monyet dipertemukan lagi dengan sumber kedekatannya, kontak sosial akan semakin meningkat, kemungkinan karena kodnsi B melruh sehignga kondis iA menguat. Yang lebih penting, para peneliti menemukanbahwa perpisahan tambahan menyebabkan pertumbuhan dalamkondisi B sehingga perilaku maladaptif menjadi lebih ditekankan dan perilaku yang diarahkan secara sosial menurun. Seperti dicatat oleh Mineka dan rekan (1981) perilaku agitatif, steroetipik dari monye tersebut nampak mirip dengan aktvitais tak berhenti yang sering ditemukan pada pasien dengan depresi agitatif (Beck 1967, hal 42).
Seperti yang akan kami lihat, teori proses-lawan diperluas mencakup beragam perilaku yang nampak tidak mirip. Teori proses-lawan diterapkan pada perilaku seperti menyusui dan donasi darah habitual. Konsep proses-proses lawan yang merupakan kualitas hedonik berbeda yang berinteraksi menghasilkan kondisi afektif cukup menjanjikan.

Ringkasan
Dalam bab ini kami meneylidiki ide-ide terkait stimulasi sensoris dan hedonisme, dan kami sudah melihat bahwa konsep senang dan sakit sebagi motivator perilaku sudah lama dikenal. Young menyatakan adanya kontinum hedonik bersama dengan stimuli nyeri dan menyenangkan yang beragam. Karena kita bisa bergerak ke belkang dan ke depan di sepanajng kontinym ini, yangmenyenngkanpad asatu waktu akan netral atau bahkan menyakitkan di lain waktu.
Banyak bukti menyatakan bahwa stimulasi penting bagi perkembangand an pemeliahraan perilaku temrotivasi normal. Akibatnya, perilaku seperti keingitahuan dan eksloprasi bisa berkembang untuk memeliahra level stimulasi yang adekuat. Riset tentagn pembatasan sensoris, pada organisme muda dan pada orang dewasa juga mendukung gagasan bahwa stimulasi memilki sifat memotivasi. Sehingga deprivasi maternal menyebabkan beragam abnormalitas pada monyet muda, dan jika ada peluang, organisme yang terdeprivasi sensoris akan bekerja untuk memelihara stimulasi.
Isolasi sensori dan kkerasan pada anak bisa menyebabkan dwarfisme deprivasi dan pembatasan sensoris pada orang dewasa menyebabkan beeragam problem mulaid ari kesulitan berkonsentrasi hingga halusinasi. Sehingga stimulasi sensoris memiliki sifat motivasional penting dan stimulasi adekuat nampak perlu bagi fungsi normal.
Efek stimulai pada individu bisa berasal dari proses yang terjadi dalam otak itus endiri. Teori proses-lawan dari Solomon dan rekan mengusulkan bahwa kondisi emsoional awal yang diciptakan oleh sebuah stimulus akan diertntangkan oleh kondisi emosional kedua yang berlawanan. Kejadian sebuah stimulus menyebabkan ko pertumbuhan kondisi kedua yang mengurangi kualitas emosionalitas kondisi pertama. Akibatnya stimuli yang sangat positif bisa menjadi kurang memotivasi dan stimuli yang sagnat engatif bisa kehialgnan banyak sifat aversifnya dengan pemaparan berulang.
Beragam perilaku meliputi kcanduan obat, pngambilan resiko dan kedekatan dianalisa dengan mengunakan teori proses-lawan. Pada pin ini, teori proses-lawan nampak menjanjikan sebagai versi modifikasi hedonise yang bisa membantu kita memahami lebih baik bagaimana stimuli yang ita hadapi dalam kehidupans ehari-hari akan memotivasi kita. Hedonisme adalah ciri utama kita.





BAB 9
MOTIVASI KOGNITIF: PENDEKATAN NILAI-EKSPEKTANSIK

Tinjauan Bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Ahli teori kognitif awal mana yang membantu mengembangkan konsep nilai ekspektnasi?
2. bagaimana teori nilai-ekspektansi menjelaskan motivasi periaku?
3. bagaiman akonsep nilai-ekspekantansi menambah pemahaman anda tentang prestasi?

Sarah lapar lagi. Sarah memang selalu lapar. Sejak terkena serangan jantung, dokter memintanya menurunkan berat badannya 50 pond, dan anak perempuannya, yang tinggal bersamanya, mengawasinya seperti elang.
Bagaimanapun Sarah selalu lapar. Dia mengakui problem itu. Jika dia pergi ke dapur dan membuka pintu kulkas, anak perempuannya Doris akan segera berlari. Permen di meja kopi pun selalu terbatas; Doris akan segera mengingatkan setiap kali dia memakannya.
Lalu srah punya ide. Doris membeli permen untuk haloween dan menyimpannya di toples di basement. Jika sarah pergi ke bawah, Doris akan mengira dia akan mencuci atau menyerika. Dia bisa mengambil sebatang permen kecil dan Doris tidak akan tahu.
Sarah mengendap-endap sendiri dari tangga tersebut dan melongok ke basemen – bukan untuk yang terakhir kalinya minggu itu dan doris pun terkejut ketika Halloween tiba.
Perilaku sarah menunjukkan ide bahwa tindakan kita ditentukan oleh sebuah medan kekuatan yang bekerja bersama-sama. Serangan jantung, perintah dokter, dan anak perempuan yangs elalu mengawasi membatai Sarah dalam mengatasai rasa laparnya. Semua kekuatan terbebut mendorongnya untuk mendapatkan solusi menyimpang ykanik makan permen Hallowen edikit demiki sedikit. Solusinya ini menunjukkan cara menganalisa motivasi manusia seperti ide Kurt Lewein. Kita akan menguji teornya nanit.
Bab-bab sebelumnya berkonsentrasi pada penjelasan motivasi perilaku yang biasanya tidak memerlukan organisme yang berpikir. Beberapa tipe tertentu dari perilaku termotivsi relatif tetap dan mekanis, tapi motif-motif lainnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan organisme rasional dan berpikir. Pendekatan-pendekatan ini disebut teori-teori kognitif.
Sepreit dijelaskan Bolles (1974) menyatkan bahwa penjelasan-penjelasan kognitif perilaku bukanlah hal baru. Beberapa filsuf Yunani awal menggunkan pendekatan kognitif untuk memahami dunia dis ekitar mereka. Plato misalnya berpendapat kita melakukan apa yang kita anggap benar berasarkan ide kita tentang apa yang benar. Secar amotivasi, plato berpikir kita berusaha memaksimalkan kebaikan kita yang kita tentukan lewat pikiran-pikiran kita. Para psikolog mengartikan kognisi sedikit lebih sempit daripada para filsof yunani awal tersebut. Meskid efinisi-definisi ini beragam, istilah kognisi digunakan secara umum untuk menjelaskan proses-proses perspetual atau intelektual yang terjadi di dalam diri kita ketika menganalisa dan mengitenrpretasikan dunia di sekitar kita dan pemikiran-pemikiran sreta tindakan-tindakan kita. Karena sifat aktif dan interpretatif dari proses-proses tersebut, istilah pemrosesan ifnoramsi seringkali digunakan bersama dengan konsep kognisif. Fokus bab berikutnya adalah pada teori dan riset yang mengjelaskan bagaimana proses-proses kognitif bisa memotivasi kita. Dalam bab ini setelah melihat singkat dua teori kognitif awal, kami akan berfokus pada pendekatan kognitif yang dikenal sebagai teori nilai-ekspektansi.

Perilaku berutjuan Tiolman
Tolman (1932) berpendapat untuk memahami perilaku kita harus mempelairnya sebgai fenomena. Dia berpendapat perilaku memiliki sifat deskriptif dan menentukan dan lebih dari sekadar rangakaian-rangkaian dari pelin\tiran otot. Sehignga Tolman mendukung studi perilaku wholistik, berbeda dengan pendekatan reduksionistik (misalnya karya Clark Hull) yang berusaha memahmi perilakud engan menurunkannya menjadi bagian-bagian komponen terkeil. Menurut Tolman perilaku ini bersifat molar (dipelajari secara keseluruihan dan tidak direduksi menjadi komponen-komponennya).

Karakteristik perilakumolar
Tolman percaya perilaku molar memilikis ifat-sifat penentu tertentu. Pertama, perilakus elalu diarahkan menuju atau menjauh dari tujuan tertentu. Sehingga perilaku tikus lapar yang berlari lewat maze bisa digolongkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan makan pada ujugn maze. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh beragam karakteristik tujuan di yang ditujunya. Perilaku yang diarhakan pada tujuan juga persisten, cnederung terus berlanjut hingga tujuan diapai.
Karakterisitk utama kedua dari perilaku molar adalah perilakuyan gmenyebabkan sebuah tujuan membentuk pola respon konsisten. Perilaku tidak random, tapi merepresentasikan di maan orgnaisme berusaha mencapai tujuan. Misalnya, saat mengemudi untuk bekerja saya membuat pola respon tertentu yangberhasil membawa saya ke pintu kantor saya. Pola respon in irelatif kosnatn dan cukup berbeda dari pola respon yang saya buat ketika bekerja kmenuju tujuan lain (seperti menonton film),.
Akrakterisitk utama pketiga dari perilaku molar adalah slektivitas terhadap periaku, sehingga jalur terpendek atau termudah menuju tujuan akan diambil. Beberapa jalan berbeda akan membawa saya dari rumah ke kkantor tapi saya biasanya memilkih jalur yang paling langsung.
Menurut Tolman, kita harus tahu ke arah mana perilaku menuju, cara di mana orgnaisme bertindak untuk mencapai tujuan dan rute-rute yang mungkin diambil untuk mencapai tujuan. Jika kita tidak tahu ketiga hal ini, pemahaman kita tentang perilaku yang diamati tidak akan sempurna.

Tujuan dan kognisis
Tiga karakteristik perilakumolar mengimplikasikan sebuah organisme memiliki pengetahuan tentang tujaun-tujuan di maan perilaku menujju. Sehingga perilaku dipandang oleh Tolman sebagai purposif. Bagi Tolman, apakah perilaku yang dimaksud merupakan periaku tikus atau manusia, ini ditandai oleh kognisi dan tujuan.
Tolman dengan hati-hnati mengartikan apa yang dia sebut sebagai kesengajaan. Pertama, kesengajaan perilaku ditentukan scara obyektif oleh perilaku-perilaku yang diamati dan bukan oleh dugaan pada sesuatu yang subyektif. Bahwa sebuah orgnaisme akan mempelajari serngkaian perilaku untuk mencapai suatu tujuan terbukti. Sebagai contoh pertimbangkan kucing saya. Ketika masih kecil kucing ini akan mncakari furniture. Dalam ara psikologsi tertentu saya mencoba untuk menghentikankebiasaannya ini dengan cepat-cepat menaruhnya di luar sebagai epriode non penguatan. Perilaku mencakar perabotan rumah berhenti tapi tidak hilang. Ketika kucing ini, sekarang dewasa ingin keluar, dia mencakar-cakar perabotan agar saya mengeluarkannya..nampak sulit disangkal (setidaknya dari sudut pandang Tolma) bahw perilaku mencakar bertujuan mencapai tujaun agar dikeluarkan.
Contoh dari kucing kognitif saya ini mungkin merupakant empat yang tepat untukmenyebut poin lain yang dibuat oleh Tolman yang berkaitan dengaperbedaan atanra belajar dan performa. Kucing saya pada awalnya tidak belajar mencakar furniture untuk dikelaurkan. Mencakar sesuatu merupakanperilaku yang biasa dilakukan kucing; meski demikian karenaa saya menciptakan sebuahkotningensi I antar aperilaku ini dan menepatkan di luar, kucing belajar (dan dari sudut pandang Tolman) bahwa perilaku tertentu di masa menfatang akan emndorong pada tujuan untuk dikeluarkan. Ketika kucingi ini tidak ingin ada di luar, tidak ada bukti bahwa dia megnetahui hubungan ini;kucing harus dimotivasi untuk keluar sebelum perilaku tertentu ini dilakukan. Sehingga pembelajaran bisa terjadi tanapa danya perubahan perikau; motivasi perlu agar pembelajarana diubah menjadi performa.
Dalam proses mempelajari bahwa perilaku tetentu menyebabkan hasil tertentu, tolman menyatakan ekspektansi dibentuk. Ini melubatkan ekspektansi bahwa set perilaku tertentu akan emgnhasilkan tujaun tertentu dan ekspektansi bawh ptujuant ertentu bisa ditemukan di lokasi tertentu. Eksperimen Tinklepaugh (1928) yang disebutkan dalam bab 7 merupakan contoh yang bagus dari pandangan ekspekntasi kognitif Tolman. Sehingga bagi Tolman, orgniasme tidak mempelajari koneksi respon-stimulus tertentu; mereka belajar perilaku mana yang menghasilkan tujuan. Konsep peta kognitif menyatakan bahwa orngaisme seperti tikus mendapatkan ekspektasi bahwa perilaku akan dihargai dan penghargaan ini bisa ditemukan di lokasi tertentu. Tolman berpendpat bahwa pembelajaran tempat merupakan cara yang lebih lazim bagi binatang untukbelajar. Beberapa eksperimen oleh Tolma, Ritchie dan kalish (1946, 1947) mengungkapkan ekmudian bagi terjadinya pembelajaran tempat. Maze ningkat dalam bentuk menyilang digunakan untuk menjalankan dua kelompok tikus (Gambar 9.1). satu kelompok, kelompk pembelajaran-respon dimulaid ari kotak start 1 dan kadng dari kotak start 2 , tapi dalam kedu kasus kembali untuk mendapatkan makanan. Sehingga jka tikus memulai dari kot ak 1 mereka menemukan makaan dalam kotak tujuan 1 (gambar 9.1). sementara jika meulai dari kotak 2 mereka menemukan makanan dalam kotak tujuan 2. kelompok kedua, kelompok pemebnlajran-tempat juga memulai eecara cacak dari kotak star 1 atau kotak start 2 tapi tanpa memperhatikand arimana tikus tersebut memulai, mereka slalu menemukan makanan di tempat yang saa. Jika misalnya makanan berada pad kotak tujuan 1, respon yang benar dari kotak awal 1 adalah belok kanan, tapi jika tikus mulai dari kotak start nomor 2, respon yang benar adalah belok kiri. Untuk menyelesaikan problem ini dengan efisien, tikus dalam kelompok 2 harus belajar di mana makanan ditemukan daripada mempelajari respon membelok saja.
Hasil-hasil eksperimen menunjukkan bahwa kelompok pembelajran tempat belajar lebih cepat daripada kelompok pembelajran respon. Temuan ini mengindikasikan bahwa pembelajaran di maan reward bisa ditemukan lebnih mudah daripada mempelajaris erangkaianr espon tertentu, dan ini mendukung gagsasn bahwa binatang mengembangkan ekspektasi tentang lingkungan yang memiliki karakterisitk peta kognitif.
Seperti dalam kasus psikologi, hasil ini juga ditentang, beberapa eksperimen emnemukan abwah pembelajaran respon lebih mudah daripada pembelajran tempat. Restle memberikan solusi bagi studi-studi yang bertentangan ini dengan menyarankan bahwa pembelajaran respon dan pembelajaran tempat bisa terjadi dan tipe pembelajaran mana yang muncul akan bergantung pada ciri khas petunjuk dalam stiausi tersebut. Dalams tudi awal oleh Tolman dan rekan, misalnya, banyak metunjuk maze ekstra tersedia yang membuat pembelajran tempat menjadi mudah; ketika petunjuk tempat berkurang, respon pembelajaran menjadi lebih domiann. Nampak jelas pada pin ini bahwa baik pembelajaran respon dan pembelajaran tempat bisa terjadi. Petri dan Msihkin emnyarankan bahwa sirkuit-sirkuit yangberbeda di dalam otak memediasi pembelajaran kognitif di satu sisi dan pembelajaran respon stimulus di sisi lain. Mereka juga menyatakan bah di mana sirkuit itu berada dan bgaimana sirkuit ini bekerja. Poin penting bagi tujuan kamia dalahj ketika ini terjadi, pembelajran tempat menunjukkan bahwa ekspektasi berkemabng berkaitan di mana reward bisa ditemukan. Satu eksperimen final yang dilakukan oleh Tolmand an Honzik (1930b) jug amendukung konsep ekspektasi. Dalam eksperimen ini ada tiga jalur alterantif dari kotak awal ke kotak tujuan (gambar 9.2).
Selama bagian wal training, tikus diberi pengalaman dengan ketiga jalur ini. Jika jalur 1 dihambat pada A, tikus mengembangkan preferensi untuk rute 2 atas rute 4, sehingga urutan preferensi untuk tiga rute adalah jalur 1, diikuti olehj jalur 2 dan akhirnya jalur 3., dalam training berikutnya jalur 1 sekali lagi diblok tapi pada posisi B. seperti yang bisa dilihat, menghambat jalur 1 pada posisi B juga menghambat jalur 2 karena blok merupakan titik yang umum bagi kedua rute. Apa yang dilakukan oleh tikus setelah emnemukan jalur s1 diblok di B? setlah mel;acak kembali langkah-langkahnya balik ke kotak awal, akankah tikus ini memilih jalur 2 dan sekali lagi diblok, atau akankah diamemahami hubungan antara jalur 1dan 2 dan memilih jalur 3 untuk sampai ke tujuan?
Tikus-tikus dalam ekspeiremn Tolmand an Honzik memilih jalur 3 yang menunjukan bwha mereka memiliki suatu jenis peta kognitif hubugnana tnara beragam jalur meski eksperimen ini juga dikritik, bersamad engan eksperimen mze silang, eksperimen Tinklepaugh, dan banyak studi lainnya, konsep ekspektansi nampak berguna dalam meahami bagaimana binatang bertindak dalam lingkungan merek a dan bagaimaan motivasi mereka dipengaruhi.
Tolman menulis apa yang dia sebut sebgai motif-motif primer. Ini meliputi motif mencari makanan, ari dan seks, membuang sampah, menghindari nyeri, beristirahat, mengalami tipe kotnak tertentu, menjadi agresif, mengurangi keingintahuan, dan memenuhi rasa lapar motor sensoris tertentu. Motif-motif primer ini dibangkitkan oleh perubahan-perubahan itnernal. Tolman juga mencatat beberapa kondisi motif sekunder yang dibangkitkan oleh kondisi eksternal. Motif-motif sekudner ini meliputi afiliasi, dominasi ketergantungan, dan ketundukan. (yang menarik, Tolman peercaya bahwa motif primer dan skeundr ini bersifat bawaan.
Sumber ketiga dari motivasi adalah motif yang dipelajri, yang dipercaya Tolman bisa dibuktikan dalam aspek-aspek tertentu perkembagnan kepribadian. Misalnya, tujaun-tujuan t kultural tertentu seperti motif untuk mendapatkan kekayaan atau sukses bisnis dipelajari. Motif tersier tersebut kadang mengontrol perilakur elatif indpeenen dari motif-motof awal.
Tolman menekankan bahwa motivasi awal harus dipahami menurut istilah kognitif. Organisme apakah tikus atau manusia memiliki kelas-kelas kebutuhant ertentu. Motif-motif ini mendorong pad represntasi kognitif dari beberapa tujuan yang akan meredakan kondisi motif aktif dan mendorong pada lokasi tujaun-tujuan tersebut. Selain itu, melalui pembelajaran organisme ini mengembangkan ekspektasi kognitif bahwa perilaku-perilaku tertentu akan mendorong pada tujuan-tujuan tersebut. Karena sifat kognitif dari perilaku, Tolman percaya bahwa mempelajari respon-respon tertentu kurang penting dibandingkan mengidentifikasi tujuan yang menyebabkan perilaku. Meski perilaku yang diugnakan oleh sebuah organisme bisa beragam, tujuanya tetap konstan.
Sebagai contoh pendekatan Tolman, pertimbangkan rute yang anda ambil untuk sampai ke kelas. Ada beberapa rute, yang berbeda dalam hal mileage, waktu dan kondisi jalan dan setersunya. Anda memiliki represtnasi kognitif (peta kognitif) di maan anda berada. Jika rute normal anda dihambat oleh kecelakaan lalu lintas atau pohon yang tumbang, anda bis ameneysuaikan diri dan mengambil rute yang berbeda – karena anda memiliki represnatsi kognitif yang berbeda tentang lokasi sekolah dan rute altenratif yang anda ambil. Jika saya ingin mempelajari kodisi motif anda saya akan belajar sedikit dari megnamati rute yang anda ambil ketimbang dari mengamati di aman anda akhirnya pergi (ke sekolah). Inilah esensi pendekatan Tolman
Teori Tolman juga dikritik. Sebagian besar ahli teori stimulus-respon di eranya membahas penekananya pada apsek kognitif perilaku. Kritik utama terhadap teori Tolman berpusat pada tidak adanya detail, karean teori ini tiadak bersifat persis, prediksi tertentu tidak bisa selalu dibuat. Bagaimanapun riset Tolman terbukti sulit dijelaskan oleh teori-teori stimulus-respon. Dia membawa reevaluasi pendekatan stimulus-respon yang menyebabkan meningkatnya penekanan pada proses kognitif sebagi penjelasan untuk perilaku.

Teori Medan Kekutan Kurt Lewin
Kurt Lewin (1936, 1938) menjelaskan odel kognitif homeostatik motivasi periyang menekanakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bekerja memulai perilaku berubah secara konstan. Dia menyebtukan beberapa gaya mungkin secara simultan menimbukan engaruh terhadap perilaku; seingga perilaku yang diamati merupakan hasild ari kekuatan-kekutatan total yang bekerja pada individu.
Pendekatan Lewin dipertimbangkan dis ini bersama dengan pendekatan-pendekatan kogntifi lain setidaknya karena dua alasan, pertama pemikirannya sanga dipengaruhi oleh aliran psikologi Gestalt. Pendekatan Gestlat menekankan probklem solving aktif dan sifat perilaku yang berwarwasan bukanya koneksi-konesi mekanis dari pendekatan stimulus-respon. Kedua gagasan motivasional Lewis meliputi kebutuhan-kebuthan psikologis yang nampak bersifat kognitif.
Untuk menekankan keyakianya bahwa perilaku bisa dipahami hanya sebagai hasil dari semua kekuatan yang bekerja pada individu, Lewin menjelaskan perilaku menruut teori medan. Teori medan menekankan ide bahwa reaksi terhadp sbeauh obeyk merupakan hasil dari semua gaya yang bekerja pada obyekt ersebut di dalam medan yang mengandungnya. Medan laamteori medan adalah sebuah medan kekuatan-kekuatan yang bertentangan. Misalnya, reaksi sebuah layangan bergantugn pada medan gaya yang bekerja atas layangan itu. Perubahan kondisi angin, gravitais, dan gaya yang berlawanan yang dipakai peerbang layanan berfungsi menentukan perilaku layang-layang.
Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia bisadipahami berasal dari semua gaya yangbekerja pada seseoragn pada saat periaku itu terjadi. Lewin menjelaskan perilaku (B) sebagai fungsi (f) dari ruang hidup (L) yang pad aakhirnya terdiri atas orang (P) dan lingkungan psikologis (E). sehingga kitabisa menuliskan rumus-rumus yang ditemukan pad gambar 9,3a,b, dan c.
Orang (P) dipengaruhi oleh dua tipe kebtuhan yang menciptakan kondisi ketegnagan motivasional (E) yang akan kami uraikan setlah pengujian orang tersebut, mengandung tujuan (G) yang mepengaruhi perilaku. Kekuatan perilaku (F) bisa dianggap sebagai fungsi (f) dari kondisi ketegangan internal (t) dan tujuan (G) yang terdapat dalam lingkungna psikologi yang menyebabkan rumus yang dilihat pada gamabr 9.3d.,e dan f.
Gaya perilaku (F) juga diubah oleh jarak psikologis (e) dia ntara orang dan tujuan; semakin besar jarkanya, semakin kecil gayanya, sehingga kita sampai pada persamaan yang dijumpai pad agamabr 9.3g. pernyataant erkahir ini menunjukkan bawh gaya akan menjadi fungsi kondisi ketegangan sesoerang yang berasal dari kebutuhan-kebuthan internal karakteirstik tujuan yangbisa memuaskan kebuthan dan jarak psiklogis antara orang dan tujuan.
Seperti dibicarkaan oleh Lewin, kekuatan perilaku memiliki akrakteirsitk sebuah vektor; yaitu ini memilikih arah dan besar. sehingga Lewin menggambarkan panah dengan panjagn yang berbeda-beda dan menunjuk pada beragam arah untuk menjelaskan gaya-gaya berbeda yang bekerja pada individu pada waktu tertnetu. Medan gaya yang bekerja pada orang ini menentukan perilaku yang dihasilkan. Untuk lebih memahami sistem Lewin, kita harus menguji gagan-gagsaan orang dan lingkungan psikologis. Kami akan mulai dengan konsep orang ini.

Orang
Gambar 9.4 menggambarkan daerha-daerah orang. Cincin luar yang diberi label S-M merepresntasikan bagian individu yang beritneraksi dengan lingkungan psikologis. Informasi Sensoris (S) sampai pada orang melaui daerah ini dan outout motor (M) melaui daerah ini. Bagian tengah dari individu dibagi menjadi beberapa daerah terpisah, masing-masing mepreresnetasikan kebuthuan potensial idnvidi. Daerah yang terdekat dengan area S-M diberi label p (untuk periferal) kurang kursial; yaitu ini kurang sentral bagi kesejahteraan orang. Bagian dalam merepresntasikan kebuthuan yang lebih kursial dari idnvidiu. Sebagai contoh seseorang mungkin emmikirkankebuthan untuk makanan atau air sebagi kebutuan sentral dan kebutuhan untuk memotong rumput leih periferal. Inti sentral dari derah dalam-pesonal dipandang oleh Lewin memiliki pengaruh besar terhadp perilaku karena daerah-daerah inti berhubungan dengan banyak derah lainnya. Dalam model Lewin ini ditunjukkan olehbatas-batas umum daerah sentral dengan banyak derah lain. Di sisi lain, kebutuhan-kebuthuan itni sentral dipandang kurang mungkin dinyatakan scara langsugn dalam perilaku karena paling jauh dari daerah-daerah motor. Atbas-batas daerah dalam-personal tidak tetap; daerah inti kadang bisa menjadi tepi, dan seblaiknya. Juga diferensiasi ke daerah yang lebih terbagi terjadi. Beberapa daerah juga bisa jatu bersama ke dalam satu daerah melalui restrukturisasi. Yang terakhir, Lwein menyampaikan batas-batas di antara daerah memiliki kapsitas yang berbeda yang memungkinkan tensi d mengalir dia taranya (disebut permeabilitas).
Ciri-ciri motivasional dari daerah dalam-personal (Tensi). Tensi adalah gagasan motivasional yang dipakai Lewin untuk motivasi internal bagi orang tersebut. Tensi muncul ketika kebutuhan ptoensial menjadi sebuah kebutuhan aktual. Misalnya, beberapa daerah dalam area dalam-personal mungkin merepresntasikan kebutuhan potensial untuk air; ketika tubuh terdehidrasi, daerah tertentu akan dalam kondisi tegang (ditunjukkan pada gamab 9.4 oleh tanda plus).
Ketika terdapat ketegnagan, individu menjadi termotivasi untuk menguranginya; sehingga model Lewin berkarakterir homeostatik. Reduksi ketegnagan bis aicapai dalam saalh satu dari dua cara berikut: ini bis adisebarkan secar merata ke seluruh daerah personal-=dalam, atau bisa diredakan melaluis ebauh proses yang disebut lokomosi, di mana daerah tertentu dari lingkungan psikologis mengikis keteggnan. Misalkan di dalam ddaerah pribadi-dalam saya sebuah daerah ketegangan muncul karena saya butuh /ingin soft drink. Jika saya berada pada diet, ketegangan yang berasal dari kebutuhan ini ahrsu menyeabr secar amerata keseluruh daerah personal dalm saya, menimbulkan ketagnaangan keseluruhan tapi merestporasi darah total untuk seimbang. Di sisi lian saya mmungkin menghilangkan ketegangan dengan mencari fakta-fakta psiklogsi saya yang meliputi memori bahwa 1) ada mesin soft drink di lantai ketiga, dan 2) saya mungkin mengubah membeli minuman. Dalam kasus kedua ini lokomosi terjadi jika isaya menggunakanf akta-fakta psiklogis untuk mengurangi ketegangan.
Jika jalan pertama yang dipilih, ketengan akeseluruhan dari daerah personal dalam akan meningkat, tapi setiap daerah di dalam daerah personal dalam akan sama. Pada poin ini kondisi-kondisi batas menjadi penting. Jika beberapa bats tidak bisa ditembus, peningkatan tensi tidak bsi disebarkan secara merata keseluruh daerah personal dalam dan motivasi akan terus menimbukan pengaruh agar setara dengan tensi. Jga, jika daerah di mana tensi ada memiliki batas tak tembus, tensi tidak bisa dikurangi dengan menyebarkannya ke luarata udengan lokomosi ke daerha yang tepat dalam lingkungan fisik. Kasus terakhir ini mirip dengan konsep represi Freud. Lewin berpostulat dua tipe kebutuhan yang menyebabkan produski ketengan: kebutuhan fisiolgosi dan kebutuhan psiklogis (juga disebut kuasi kebutuhan), kebuutuhan fisiologis meliputi faktor=faktor seprerti rasa lapar dan rasa haus, sementar akebutuhan-kebutuhan psikologis bisa sama beragamnya dengan kebutuhan untuk dansa di sbatu malam atau kebutuhan untuk meneyelsaikan tugas yang belum rampung. Motivasi, menurut Lkwein adalah bersifat spesfiik, bukannya umum. Setiap kebutuhan menciptakan kekuatan motifinya sendiri (energi) dalam bentuk ketegangna. Bersama dengan setiap kondisi ketegnan, kelas-kelas tertentu dari tujaun-tujuan obyek dalam lingkungan psiklogsi muncul yang akan memauskan kebutuhan dan mengurangi ketegangna. Mencapai salahs atu tujaun tersebut menyebabkan penurunan kondisi ketegangan meski tujuan itus endiri bukanlah entitas fisik. Tujuan bisa menjadi obyek fisik spesifik atau kognitif yang bekerja s seperti mengingat namas eseoragn atau memecahkan problem matematika.

Efek Zeigarnik. Lewin percaya bahwa kondisi ketegangan akante rus meotivasi perilaku hingga perilaku yang berkaitand engan tugas dirampungkan. Jika Lwein benar, seseroang mungkin menduga ada perbedaan di antara tugas yang rampung dan tugas yang tertunda. Bluma Zeigarnik, seorang Rusia yang belajar bersama Lewin di Universitas Berlin menguji hipotesis ini. Zeigarnik (1927) menemukan bahwa tugas yang tertunda sebelum rampung seringkali lebh diingat daripada tugas yang dibairkan rampung. Ingatan yang lebih baik dipandang sebagai bukti ide-ide LWEin tentang keteganan. Selama tugas tidak rampung, ketagangan akan tetap ada, dan keteganana kan memberi informasi tentang tugas lebih banyak kepada memori.
Setahun setlah Zeigarnik menerbitkan hasil-hasilnya orang Rusia lain yang belajar bersama Lwein melakukan riset ini lebih lanjut. Maria Ovsiankina (1928) menemukan subyek yang diberi peuang merampungkan seuah tugas yang tertunda melakukannya dengan frekuensi besar. riset Vosianskina memberi dukungna lebih lanjut bagi iDe Lewinbahwa sistem-sitem yang tegang terus memotivasi perilaku hingga tugas rampung dan memuaskan idnviidu.
Tensi dari kebutuan fisik atau kuasi-kebutuhan diangagp sebagai perilaku yang memotivasi. Jika tugas tidak dirampungkan karena suatu alasna, ketegngan akan tersu memotivasi individu untuk merampungkan tugas dan beragam aspek tuga akan lebih tersedia bagi memori daripada aspek-aspek dari tugas-tugas yang dirampungkan.

Lingkungan psikologis
Untuk memahamid engan penuh model motivasi Lewin, kita harus melihat secara singkat pada struktur lingkungan fisik yang dianggap sebagai terdiri atas daerah-daerah dan batasan-batasan. Lingkungan psiklogis ini tidak identik dengan dunia nyata tapi terdiri atas semua fakta psikologis yang disadari oleh seseorang. Fakta-fakta psikolgois ini membentuk total pengethauan kita yang ada di dalam memori. Misalnya, sebuah fakta mungkint erdiri atas pengetahuan bawha makanan berada dalam refrigerator atau pengetahuan tentang serangkaian pergerakan akan mendorong kita mendekati refrigerator.
Lewin mengkonseptualisaiskan kepuasan dari kondisi ketegangan ke hasil dari sebuah lomosi dari area personal-dalam, dalam kotdisi tegang, pada fakta psikolgois yang tepat yang memuaskan kebutuhan. Batas daerahd-aerah dalam lingkungan psikologsi, seperti daerah personal-dalam memiliki permeablitas pemebda sehingga gerakan-gerakan tersebut lebih mudah melalui beberapa derah darpada dearh lain. Ini berarti bawah meski ada beberap arute bagi fakta psikologis, satu rute akan lebih mudah karena kondisi-kondisi batas dari daerah-daerah pengintervensi (gambar 9,.5), MENuru tLEwin, ketika sebuah kebutuhan muncul dalam daerah adalam sesorang, daerah dalam lingkungan yang memenuhi kebutuhan inakan mendapatkan nilai (disebut valensi) yang berkaitan dengan kebutuhan ini. Valensi ini bisa postiif atau negatif sehingga sebuah fakta bisa menarik atau aversif sebagai cara untuk mengurangi kebutuhan tertentu. Valensi itu sendiri tidak memiliki sfiat memperkuat, tapi menentukan fakta-fakta psikolgois alternatif mana yang paling menarik sebagai cara memenuhi kebutuhan.
Pemilihan cara memenui kebutuhan bergantung pada gagasan kekuatan. Kekuatan ada ketika aderah dalam-seseorang berada dalam kondisi tegang. Kekuatan memiliki dua sifat: besar dan arah. Shengga bukan hanya suatu kekuatan itu lebih kuat dibandingkan yang lain, tapi kekuatan-kekuatan yang berbeda juga bisa menimbulkan arah yang berbeda bagi perilaku. Karena beberapa kekutan/gaya bisa menimbulkan pengaruh terhadap individu pada waktu tertentu, jalur perilaku terkahir yang dipilih oleh seseorang akan menjadi hasil dari besarnya arh dari semua gaya yang bekerja pada orang tersebut. Perilaku dianggap berada dalam medan gaya yang pada akhirnya menentukan arah yang diambil perilaku. Gambar 9.6 merepresentasikan sebau medan kekuatan/gaya.
Amri kembali pad acontoh Sarah dan Doris pada awla bab ini. Diagram gambra 9.7 dalam situasi ini. Rasa lapar Sarah menimbukan ketegangan pada erah dalam-personal yang memotivasinya untuk mendapatkan makanna. Serangan jantungnya, anak perempuannya Doris, dan perintah dokter untuk menurunkan berat badan menimbulkan hambatan bagi keinginannya untuk makan. Dia memecahkan problem ini dengan makan permen Hallowen yang tersembunyi di basemen karena ankanya tidak akan mencuragi dia pergi ke bsemen untuk makan. Perilaku Sarah bisa dilihat sebagai akibat dari semua gaya yang bekerja atas dirinya dan ini cocok dengan konsep motivasi Lewin.
Satu cara untuk meringkas pendekatan lewin adalah mencaat bahwa untuk memahami perilaku seseorang harus memahami semua gaya yang berkaitan dengan perilaku (Korman 1974). Bagi Lewin, seperti halnya bagi Tolman ini bearti perilaku harus diphamai scara keseluruan bukanya dari komponen-komponen periaku yangkecil.
Meski analsis perilaku Lewis unik, ini masih belum memuaskan. Pertama, istilahnya tidak menjelaskand engan benar dan bisa menimbulkan interpretasi yangberberda. Misalnya fakta-fakta psikologi dalam bberap aksus seperti perilaku sengaja (membuka pintu) sementar di lain waktu merka merupkan pemikiran subyektif (mengingat ultah ke limamu). Tipe-tipe fakta psikologi yang bbereda tidak diejalskan dengan benar, jadi konsep ini tetap tidak jelas. Kedua, fakta-fakta psikologis bisa berubah dari waktu-ke waktu tapi Lewin tidak memberitahu kita kondisi-kondisi yang menyebabkan perubahan itu. ,ketiga, beberapa ahli teori menyebutkan bawha analsis lewis itu psot hoc (setelah fakta). Dia menduga kodnsi-kodnis iapa setelah perikau terjadi. Yang terkahir karnea sifat konsepnya yang samar, kit aitdak bisa membuat prediksi tentagn perilaku dari modelnya. Meski dia melakukan eksperimen untuk menguji idenya, eksperimn Lewin seringkali tidak memiliki kelompok kontrol yang ebnar, sehingg amembuat database bagi ide-idenya lemah (Arkes &Garske, 1977; Weiner 1972).
Meski teori Lewin memilki kekurangan serius, teori ini penting karena sperti Tolman, Lewin menekankan sifat kognitif dari motivasi. Yang pentig, kebutuhan psikologi(kuasi)nya seringkali sama dengan pemikiran-pemikirann dan sama pentingnya dengan kebutuhan-kebutuhan fisik dalam memotivasi perilaku.

Teori-teori ekspektnasi-nilai
Sekarnag kita menguji sebuah pendekatan kognitif yang lebih modern tentang pemahaman motivasi yang dikenal sebagai teori ekspektansi-nilai. Pendekatan-pendekatan ekspektansi nilai bisa ditelurusi lagi pada teori-teori Tolman (1932) dan Lewin (1938) dan juga peneliti lain,. Ide dasar dari teori ekspetansi nilai adalah perilaku termotivsai berasla dari kombinasi kebutuhan individu dan nilai tujuan-tujuan yang tersedia di lingkungan. Teori-teori ekspektansi nilai juga menekankan ide bawha peluang perilaku tidakhanya bergantung apad anilai tujuan abgi idnvidu tapi juga pada ekspektnasi orang tersebut untuk mencapai tujuan.
Model ekspektansi-nilai umum memberi altenratif bagi penjelasna respon-stimulus yang lebih ketat ari motivasi isnentif yang dicatat dalam bab 7. sehngga daripada menganlaisa efek-efek obeyuk tujuan dalam hal respon konsumatoris fraksional dan umpan balikan, teori ekspektnasi nilai membahas represntasi kognitif dari obyek-obyek tujuan. Represntasi kognitif ini mleiputi ekspektasi bahwa perilakut ertentu akan mendorong padatujaunt ertentu dan nilai tujuan ini bagiorganisme.
Konsepekspektnasi penting karen berasumsi bawha eprilaku merupakan fungsi dari estimasi seseorang mendapatkan tujuan yang bernilai. Sehignga meski tujuan yang bernilai tinggi mungkint idak menimbulkan banyak perilaku jika ekspektansi mecapai tujuan sangat ekcil. Ekspektansi umumnya dianggap dibangun lewat pengalaman. Motif-motif yang ingin dijelaskan oleh teori ekspektnasi-nilai biasanya bersifat psikologis (Korman 1974) dan meliputi mtif-motif sperti pretasi, dominasi, kekuasaan dan afiliasi.
Teori ekspektansi nilai telah diterapkan dalam berbbagi bidang psikologis, termasuk teori pembelajarana sosial, pressasi dan motivasi kerja. Kami akan menguji pendekatan ekspektnasi-nilai terhadap rpesasi; liath Patri untuk diskusi lebih lengkap.
Teori pembelajaran sosial menguji dan berusaha menjelaskan faktor-faktor internal dan eksternal (sosial) yang empengaruhi pnguasan dan regulasi perilaku. Faktor-faktor internal yang penting antara lain ekspektnasi dan nilai subyektif yang kita berikan pada tujuan, semtnara faktor-faktor eksternal meliputi situasi-situasi sosial tertnetu yang kita alami. Baik faktor eksternal dan itnernal berkotnribusi pada cara perilakukita. Teori pembelajaran sosial juga mengusulkan bahwa pembeljaran bisa terjadi scara lansung lewat ineraksi dengan lingkungan atau secara tidak langsugn lewat observasi tindakano orang lain dan konsekwensi-konsekwensi yang timbul dari tindakan tersebut.
Rotter (1954) msialnya mencatat empat konsep daasr teori ekspektnasi-nilai di dalam analisis pembelajaran sosial perilakunya. Pertama, menurut Rotter, prefernesi kita atas sbauh peristiwa ditentukan oleh pnilai penguatan dari peristiwa tersebut. Nilai sebuah perstiwa relatif; kita membandingkan satu situasid engan situasi lain yang sampai pada nilai tertentu. Kedua, kita membuat esimasi subyektif dari peluang kita untuk mendaptakan penguat tertentu, atau menempatkannya dalam istilah ekspektansi nilai, kita mengembagnkan ekspektansi tentang mencapai tujuan. Ketiga, ekspektansi kita ditentukan oleh faktor-faktor situasional. Ekspektasi-ekspetaisi ktai tentang situasi tertentu akan didasakan pad asituasi-situasi yang sama yang kita hadapi sebelumnya. Keempat, reaksi-raksi kita dalam situasi-stiausi baru akan didasarkan pada ekspektasi genraslirid ari masa lalu. Meski kitatidak pernah menghadapi situasi tersebut sebelumnya, ekspektasi umum ini akan memandu perilaku. Ini dirumuskan:
B = E x V
B adalah pirlaku, E adalhe skepntasid an V adalah nilai. Sheingga menruut Rotter perilakut erjadi akibat ekspektasi kita mencapai tujaund annilai dari tujauten rsebut untuk kita.
Teori ekspektasi nilai memprediksikan abwah dalam situasi-situasi di mana lebih dari satu perilaku bisa terjadi, kita kaan memilih perilaku dengan kombinasi terbesar sukses dan nilai yang diharapkan. Misalkan anda mencoba memutuskana ntar amenghabiskan 6 dolar untuk nonton film baru yang inign anda tonton atau membeli kaet grup favorit anda. Bagaimana anda akan emmbelanjakan uang? Menurut teori ekspektansi-nilai anda akan memilih alternatif yang memberikan kombinasi terbesar sukses dan nilai yang diharpakan. Misalkan peluang mendapatkan tiket film baru tersebut hanya 0.75 karena banyak orang lain yang ingin menontonnya dan biasanya tiket terjuaal habis. Selanjutnya nilai vfilm tesebut anda dari skala 1 hingga 10 adalah 7. potensi perilaku untuk membelanjakan uang pada film tersebut adalah 0,75 kali 7 atau 5.25. suskes yang diharakan untuk mendaptkan kaset adalah 1.00 (100%) karena anda melihta beberapa kopi di toko kemarin, tapi nilai bagi anda hanya 6 pada skala 10 poinnya. Ekspektasi 1 kali nilai 6 adalah 6, sehingga teori memprediksikananda harus memutuskan membelanjakanuang tersebut untuk kaset karena 6.000 lebih besar dari 5.25.
Kita menghadapi pilihan-pilihan tersebut setiap hari, dan teori ekspektansi nilai memprediksikan kita berusaha memaksimalkan nilai yang dipekrirakan,. Sayangnya kita seringkalit idak serasoional teori ini. Meski kita kadang menimbang pro dan kontra membuat pilihan tertentu, kita juga sering bertindak impulsif, tanpa mempertimbangkan keurgian potensial dan peluang suukses dari perilaku kita. Beberap amanajer menggunakan sfiat perikau manusia ini demi keutnugna mereka dengan melakukan penjualan pad item-item gar kit amasuk toko, di mana kita kemudian emmbeli item-item lain yang ditampilkan denganharga lebih tingi.
Rotter mengambil konsep ekspektasi ini satu langkah lebih maju. Dia berpendapat kita memiliki ekspektasi yang berbeda tenang kontrol penguatan. Beberapa orang merasa perilaku mereka bertangggungjawba atas penguatan yang emreka rasakan sementara beberapa lagi peracya bawha penguatan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka.
Rotter (1966, 1975) berpendapat individu bisa ditematpkan di sepanjagn kontinum internalitas-eksternalitas berkaitan dnganbagaimana mereka memahami perikau diperkuat. Individu-idnviidu internal menganggap reward dan hukuman berasla dari perilaku mereka sendiri, yaitu mereka percaya mereka mengontorl perilaku mereka sendiri. Individu eksternal percaya reward dan hukuman yang mereka teriam diluar kontrol mereka. Bagi individu eksternal, baik peristiwa buruk dan jelek diatributkan ke keberuntungan, nasip, zat kuat lainnya atau kondisi yang tidak mampu mereka hadapi.
Rottter mengembangkan 20 item uji pilihan-paksa yang mengukur itnernalitas-eskternalitas sesroang yang disebtu skala lokus kontrol. Kuesioner inis udah dipakais ecara luas dan perspesi kontrol itnernal varersus eksternal terbukti berkaitan dengan sjeumlah variabel lain (Lefcourt 1966).misalnya, subyek yang emndaigngi pad pengarahan eksternal terbukti lebih menyesuaikan diri dan performanya lebih buru pad atugas yang broirentasi prestasi (Nowicki & Barnes, 1973). Duke dan Lancaster (1976 menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan tanpa ayah lebih esksternal daripada jika dibesarkan bersama ayah.
Lokus internal-eksternal Rotter dar gagasan ini tidak selalu motivasional (Lefcourt, 1966). Lokus kontrol diangap sebagai ekspekntasi umum tentang kemapuan mengotnrol penguatan agn diterma sesorang.
Riset lokus kontrol menekankan pentingnya persepsi sesoerang yang mengontrol epngutan. Itnernal mereka mengontrol penguatannya sendiri sematntara eksternal mlelihat orang lain dikontrol pleh penguatan. Pentingay asall penguatan juga dicatat oleh para penelit dan ahli teori yang emnguji konsep motivasi intrinsik versus ekstrinsik, seperti yang dibicarkaan dalam bab 12.
Albert Bandura, yang juga dikenal dengan teori pemeblajarna sosialnya, menyatakan pentingnya proses-proses kognitif dalam teori pembelajarana sosial sebagai berikut (1977 hal 10); ”Sebuah teori yang menyangkal bahwa pemikiran-pemikiransbia mengatur tindakan tidak serta-merta menjelaskan perilaku kompleks.” Bandura percaya bawha penjelasna kognitif perlu untuk memahami perilaku manusia dan dia memberi penekanan khussu atas pentingnya ekspektnasi dalam pembelajaran sosial.
Satu carabagi ekspektansi berkemabng adalah meallui pemasngan dua stimuli. Anak muda yang diberi sebuah hadiah oleh paman kesayanganya etiap kali berkunjung akan bemengharap kunjungan paman berikutnya akan membaw hadiah. Bandura (1977) berpendapat bawha kognisi perlu bagi berkembagnnya ekspektansi ini karena beberapa studi menunjukkan bahw ketika stimuli dipasangkan bersmaan, sedikit pemeblajaran terjadi kecuali orang ini sadar akan hubungan di antara stimuli. Ekspektansi mungkin juga dipelajari oleh obervasi, dan menurut Bandura pembelajaran obseravasional ini (sering disebut modeling) meruakan cara utam pembelajaran terjadi pada manusia. Jika kita melihat sesorang mendapatkan tujaun bernilai dengan bekerja keras, kit amungkin menduga bahwa kerja keras tersebut terbyarkan demikian uga jika kita melihat sesoerang menjadisa ngat takut terhadap ular, kita juga akan mengembangkan ekspektasi bahwa ular itu patut ditakuti. Pembelajaran observasional tersebut bisa kuat selama masa kanak-kanak dan akibatnya anak-anak bisaberbagi omtif danemos yang sama dengan orang tuanya. Bandura dan rekan (Bandura 1973) menampilkanbanyak data yang menunjukkanbawha perilaku agresif bis dipelajari lewat observasi. Satu aspek pemeblajaran adalahe kspetansi bahwa tujuan-tujuan yang bernilai bsi didapatkan akibat keagresifan.
Ekspektasni mencapai tujuan-tujaun bernilai merupakan aspek penting dari teori pembelajaran sosial. Ekspektansi dan tujuan-tujaun bernilai juga berperan pentingn dalam perkembangan teori-teri motivasi berprestasi. Kami akan membahas peran ini dalam bagian berikutna.

Teori Ekspektansi Nilai dan Kebutuhan akan prestasi
Banyak karya sebelumnya tentang motif-motif psikologi dilakukan oleh Henry Murray (1938) yang eprcaya bawha rposes-proses motitivasional berasal dari kebuthan-kebutuhan idnvidu yang bisa diamati dalam setign alam atau situasi klinis. Lebih lanjut Mruray berpendapat orang-orang bisa dikelompokkan menurut kekuatan-ekkuatan dari beragam kebuthan yang dia identifikasi (Steers & Porter, 1983). Murray mendefinisikan kebutuhans ebagai persoalan kambuhan karena kodnis itujuand an percay akebutuhan ini memiliki dua komponen. Komponen pertama bersifat direskional dan meliputi obyek yang akan memuaskan kebuthuan. Komponen kedua terdiri ats energi yang mendorong perilaku dan bisa dianggap sebagi intensitas kebutuhan. Murray dan koleganya di Harvard mempelajari kebutuhan sekelompok pria usia kuliah dan mengembagnkan daftar sekitar 20 kebutuhan dasar (kebutuhan manfies) dan juga beberap akebutuahn laten tambahann, keadaan dalamdan ciri-ciri umum. Sdikit kebutuhan manifes Murray aldalah ekbuthaan berprestasi, otonomi, dominasi, pemahaman dan kebutuhan untuk mengasuh. Setiap individu bisa dianggap memiliki beberap akebutuhan yang mengarahkan dan memperkuat perilakunya kebutuhan ini dianggap dipelajri dan dianggap diaktivasi oleh petunjuk-petunjuk lingkungan.
Dari semua kebutuhan yang diuraikan oleh Mruray, sebagian bisar riset dicurahkan untuk memahami kebutuhan berprest asi. Murray mengaritkan kebutuhan akan prestasi sebagai berikut: ”untuk menyelesaikans esuatu yang sulit. Untuk menguasai, memanipulasi atua mengorganisir obyek fisik, manusia atau ide. Untuk melakukan ini decaepat dan seindependen mungkin. Untuk mengatasi hambatan dan mencapai standar tinggi. Untuk menjadi unggul did alam diri seseorang. Untuk menyaingi dan melampaui yang lain. Untuk meningkatkan rasa hormat diri dengan menggunakan bakat.” seperti yang anda lihat, Mruray mengngap motivasi prestasi sebagai kebuthan kompleks yang bisa dipenuhi dengan cara yang berbeda oleh orang yang berbeda; meski demikian juga dibuktikan dari kutipan itu kebutuhan berprestasi berkatian dengan melakukan tugas-tugas suli dengan cepat dan melakukannyad engan baik.
Pengukuranmotivais prestasi dimulai dengan dua peneliti di Wesleyan University, David McClelland dan John Atkinson. MCClelland menerapkans ebauht eknik yang pernah digunakan oleh Murray (1936) yang meminta subyek menyusn sceirta atau menealskan sitasui yang digambarkand alam gamabr. Teknik ini yangd iekenal sebagi Thematic Apprerception Test (TAT) dipakai scar klinis tapi McClelland dan rekan nya merasa ini bisa dilakukan untuk menetukan motif-motif individu. Mereka merasa bahwa motif-motif penting ydari seseorang bisa diukur dengan menganlisa kisah TAT untuk tema-tema tertentu. Pednekatan ini disebut analisis konten.
Untuk menguji validitas asumsi mereka McClelland an Atkinson (1948) meminta oarng-orang di basis submarine pergi tanpa makanan dalam waktu hingga 16 jam. Tak satupun dari subyek tersebut tahu mereka berpartisipasi dalam sebuah studi tentang efek-efek rsa lapar. Subyek diminta percaya mereka diuji untuk akuitas visual. Pria ini diminta mencari slide beragam adengan yang mungkinmenunjukkan pencarian mkanan atua makan dan menulis kisah yang menjawab pertanyaan seperti ”apa yang terjadi ”apa yang menyebabkan situasi itu? Aoa yang diinginkan? Apa yang akan terjadi. Sistem scoring dicurahkan sehingga membuat klasifikasi kisah-ksiah dari individu yang kekurangan pann dan tidak kekurangan pangan dalam hal kotnen kisah. Hasil-hasilnya menunjukkan bawha sejumlah deprivasi makanan (1,4, atau 16 jam) berkaitan dengan bayangan makanan yang ditemukand alam kisah-kisah ini. Studi ini memberibukti bawha kondisi motif direfleksikan dalam fatansi yang diberikan idnvidiu ke gambar-gamabr TAT itu.
McClellanda dan rekan (1949) mengembagnkan sebuah situasi ekspeirmental di mana kebutuhan brerpresstasi bis adibangkitkan dengan cara yang sama speti studi dperivasi, mengembagnkan sistem scoring berasarkan pada gambar-gamabr terkait prestasi dalam TAT sebagai sebuah ukuran kebuthan berprestasi.
Dalam eksperimen ini satu kelompok mahasiswa diberi beberap atugas untuk dikerjakand alam kondisi stani. Para mahasiswa ini diberitahu tiugas ini akan sudah diberikan oleh bebepra mahasisaw paca sajana dalam dpartemn mereka dan kelompok ini dimitan berpartisipasi untuk mengevalusi tugas-tugastersebut. Insturksi dirancang untuk menimbulkan keterlibatan ego minimal di pihak subyek karena penekanannya pad pengujian tugas itu sendiri bukannya para mahasiswa. Kelompok subyek kedua disebut ”kondisi gagal. Subyke dalam kelompok inidiberi tugas pertama setlah scoring tugas-tugas mereak sendiri, diberi kuesioner yang menannyaakan ifnormasi persoal seperti kodis kelas yang diperkirakan, IQ dst. Tujuan dari kuesioner ini adalah meminta subyek melibatkan ego dengan membuat skor sendiri ygn diketahui oleh setiap subyek berkaitan dengan prestasi mereka yang ditanyakand i dalam kuesioner.
Pengeksperimen meminta subyek percay abwha tugas yang mereka kerjakan sudah adalah uji intelegensi, dan pengekserimen mengutip norma-norma ygn sangat tinggi bawah setiap roang dalam kelompok gagl (diberi skor ternedah). Sisa tugas mkemduain diberikan. Subyek bkerja dengan rajin pada tugas sisanya. Isntruki untuk kelompok yang terlibat ego nampak memiliki efek yang diharapkan, karena subyek napak bersungguh-sungguh ketika norma yang sangat tinggi duiumumkan. Yang terakhir subyek pada kedua kelompok diberi apa yang emreka anggap sebagai ujian pencitraan kreatif tapi aktualnya gmabr-gamabr TAT yang dipakai untuk memberi skor pencitraan presasi (beberapa kondisi lainya juga terjadi). Sistem scoring untuk menganlisa konten kisah TAT dikembangkan dan hasilnyamenunjukkanbawha skor-skor kebtuahn untuk berprestasi lebih tigngi bagi kondisi gagal daripada untuk kondisi santai. Misalnya, kodnis gagal mencitpakan pencitraan yang secara signifikan lebih sering melibatkan perhatian untuk melakukan tugas dengan baik dalam kaitannya dengan stnadar kesempuranaan awal. Hasil-hasil yang menunjukkan peningkatan pencitraan prestasi sebagai fungsi keerlibatan ego dan kondisi orientasi prestasi telah dilakukan berulang kali V(eroff Wilcox & Atkinson 1953).

Motif untuk sukses. Peluang sukses dan nilai insentif. Teori motivasi prestasi bagi Atkinson adalah sebuah teori ekspektnasi nilai karena dia berasumsi kecendeungan untuk terlibat dalam aktivitas tertentu dikaitkand engankekuatan ekspektasi (keyakinan) bawha perilaku akan menyebabkan kosnekwensi tertentu. Selain itu, nilai konsekwensi bagi roang ersebut pentign (Atkinson & Birch, 1978). Sehingga orang-orang berasumsi untuk terlibat dalam situasi terkati prestasi akibat dari keyakiann mereka bahwa jika melakukannya akan mendorong pada tujuan-tjuan bernilai tertentu.
Dalam teori presasi Ts digunakan untuk menandai kecnedeurgan untuk mendekati sebuah situasi terkait prestasi. Meski kecenderunganini dipengaruhi oleh reward eksternal (uagn, persetujuan)s ebagian besar riset berfokus pad variabel intrinsik (itenrnal) seperti kebangaan yangberkatiand engan rpesasi atau rasa malu yang berkaitan dengan kegagaglan.
kecenderungna untuk mendekati situasi presasi dianggap berasal dari tiga variabel: motif untuk seuks (Ms), peluagn sukses (pS) dan nilai isnentif (*Is) untuk mencapai sukses. Msdianggap sebagai karakteristik kepirbadians tabil, mungkin dipelajari pada awla kehidupann melalui asosiasi dengan reward parental dan di maan petunajuk terkait rpesasi muncul pad saat rward didapatkan. Ms bisa kuat pada idnvidiu di mana petunjuk presasi dipasnagkan dengan emosi postiif di mas alalu. Ms akanberbeda-beda kekuatannya dari satu orang ke orang lain tapi akanr elatif permanen did alam idnviidu di antara situasi-situasi yangberbda.
Ps dianggap berbeda-beda dari satu situasi ke stuasi lainnya karena merupkan stimasi siubyekstif keberhasilandalams itasui tetentu (mendapatkan tujaun yang diinginkan). Nilai isnentif sukses(Is)a dlanh nilai mencapai tuajuan dan emreprsentasikanf akta bawa beberapa tujuan lebih bernilai daripada tujuan lainnya. Untuk tujuan-tujuan itnrinsik diyakini bahwa semakin mudah suatu tugas, semakin kecil nilai yang didapatkand aritujaunt ersebut, sementara semakin sulit tugasnya semakin besar nilai suksesnya. Ini dinyatakans ecara matematis dengan mencatat bawha nilai insnetif sukses sama dengan 1 dikurngi pelaung sukses subektif.

Kecenderungan untuk mendekati sitasui yang berkaitand engan prestasi (Ts) dianggap sama dengan motif untuk sukses dikalikan peluang sukses dikalikan nilai insentif sukses itu,


Teori ini menjadi lebih rumit karena kita tahu beberapa orang tidak mendekati situasi-situasi terkait prestasi sama sekali tapi cenderugn menghindarinya. Ts tidak bisa mencakup orang-orang ini karena hanya menjelaskan kondisi-kondisi di mana situasi prestasi didekati. Para hlit eori prestasi berasumsi bawha ada juga kecenderungan untuk menghindari situasi prestasi; mereka menyebut kecnederungan untuk menghindari kegalan dan menyimpulkannya sebagai Taf. Jika usaha seseorang dalamberprestasi dikaitkand engan kosnekwensi emosional negatif di mas alalu, orang ini akan menghindari petunjuk-petunjuk yang menandakanbahwa situasi prestasi akant erjadi. Taf terdiri ata smotif seseorang untuk menghindari keggalan dikalikan peluang subyektif kegagalan dikalikan nilai insentif kegagalan. Sehingga

Nilai insnetif keggalan negatif dan sering dianggap memalukan bagi orang yang emrasa gagal dalams ebuah tugas prestasi. Juga diasumsikanbahwa peluang sukses dan peluang gagl ottal 1:
Ps + Pf = 1

Sehingga jiakpeluang subyektif sukses kita dalam situasi prestasi adalah 0.75, peluang subyektif gagal kita adalah 0,25. karena nilai isnentif mencapai tujuan berkaitand engan peluagn subyektif untuk situasi sukses dan gagal, kemuungkan akant erdapat lebih banyak nilai isnentif untuk sukses pada tugas-tugas yang berat dan rasa malu yang lebih kecil jika gagal. Di sisi lain, tugas-tuas yang mudah akan punya nilai yang lebih kecil ketika dirampungkand engan sukses tapi nilai negatif tinggi jika gagal.

Prestasi dan masyarakat
LIni penelitian kedua yang berkembang dari teori prestasi berkaitan dengan hubungan motivasi presasi dengan perubahan masyarkat. McLeland alam The Achieving Society menguraikanbeberap ahubungan yang terjadi di atanr akebutuhan individu untuk berpresasi dan kodisi-kondisi ekonomi negara di mana individu itu tingal. misanya, McClelland (1965) menunjukkan bawha pria muda yang memiliki pekerjaan preneurial tinggi (enterpreneur mengambil resiko terlibat dalam megnatr dan mengelola bisnis untuk mendapatkan profit dari bisnis tersebut). JIka sebuah negara mengandung cukup bnyak orang yang sangat membutuhkan prestasi dan mereka memasuki situasi bisnis enterpreneuiral, maka seseroagn harus memperkirakan pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat di negara tersebut.
sebagai cara untuk mencoba menguji ide ini, McClelland (1961) mengumpulkan mitos, cerita rakyat dan kisah anak-anak dari sejumlah engara dan menerapkan metode analisis kotnen untukmenentukan level motivasi prestasi yang muncul dalam kisah-kisah tersebut. dalam satu stidi terhadap kultur pra sejarah, dongeng lisan dianalisa untuk kebutuahn akan pencitraan prestasi. dua puluh dua dari kultur tersebut dianggap memiliki pencitraan kebutuhan yang tinggi.

Latihan prestasi. David McClelland (1978) mengambil konsep prestasi kebutuhan dan memberikan aplikasi praktesnya. Berkaitan dengan perbedaan-perbedaan individu di dalam kebutuhan untuk berprestasi, dia menemukan perilaku prestasi bisa diajarkan. Misalnya, dalam satu proyuek McClellanda dn rekan melatih par pebisnis di Hyderabad India untuk berpikir, berbicara dan bertindak seperti orang-orang yang punya kebutuhan tinggi untuk berpresasi. Par bisnisman ini diajari ciri-ciri tersebut karena McClelland (19610 sebelumnya menemukan hubungan kuat antara kebutuhan tinggi akan prestasi dan perilaku entrepenerual.
Sekitar 50 pria dilatih untuk memiliki kebutuhan brestasi tinggi, dan aktivitas bisnsi mereka difollow up selama dua tahun setelah training. McClelland menemukanm bawha para pebisnis yang mendapatkan pelatihan jauh lebih aktif daripada mereka yang tidak mendapatkan pelatihan. Orang-orang yang terlatih untukberprestasi ini memulai lebih banyak bisnis baru berivnestasi uang lebih banyak dalam bisnsi mereka dan mempekerjakan dua kali lebih banyak pekerja selama periode follow up daripada kelompok yang tidak terlatih. McClelland mengkalkulasikan bahwa program pelatihan ini (yang hanya berlangsung 40 hari0 menghasilkan peningkatan permanen standar hidup bagi 4000-5000 orang.
Sehingga pelatihan presasi bisa menjadi perangkat yang berguna untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi di negara-negara yang kurang berkembang atau bahkan dalam kelompok-kelompok etnis tertentu. Miron (1976) misalnya menunjukkan bawha pelatihan motivasi prestasi bisa digunakan secara efektif untuk meningkatkan lapangan kerja dalam kelompok-kelompok minoritas. Beberapa konsep dan teknik yang dikembangkan dalam studi motivasi berpresasi bisa diterapkan.

Pengembanga Motivasi Berprestasi. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana kebutuhan untuk berprestasi berkembang dalam diri seseorang. McClelland (1961) pada awalnya berpendapat bahwa kebutuhan untuk berprestasi pada anak laki-laki usia 6-10 tahun dikaitkan dengan stres ibu mereka terhadap kemandirian dan penguasaan. Penekanan untuk melakukan semuanya sendiri selama masa kanak-kanak mungkin menyebabkan perkembangan sebuah kebutuhan untuk melakukan hal-hal dengan benar kemudian. McClelland dan Pilon (1983) melaporkand ata baru yang menyatakan ada hubungan antar akebutuhan untuk berprestasi pada masa dewasa dan praktek-praktek pengasuhan anak tertentu yang terjadi sebelum usia 5 tahun. McClelland an Pilon merelokasi sampel anak yang ibunya sudah diwawancarai oleh Sears, Maccoby dan Levin (1957) tentang praktek-praktek pengasuhan anak. Anak-anak ini diuji untuk motivasi berprestasi dan skor-skor mereka berkorelasi dengan ratign Sears, Macoby dan Levin tentang praktek pengasuhan anak yang dilaporkan oleh para ibu mereka. Dua praktek pengasuhan anak – penjadwalan makan dan tingkat keparahan pelatihan toilt – terbukti berkaitan dengan kebutuhan orang dewasa ntuk berprestasi.
Para ibu yang menjadwalkan memberi makan anak-anak mereka (memberi makans teiap empat jam saat bayi) menghasilkan anak-anakd engan kebutuhan berprrstasi lebih tingi daripada para ibu yang tidak menajdwalkan makan (makan saat diminta). Selain itu para ibu yang lebi parah dalam prosdur pelatihan toilet mereka menghasilkan anak dengan kebutuhan berpresasi yang lebih tinggi daripada ibu yang kurang parah. Kedua korelasi ini terjadi di antara jenis kelamin anak dan kelas sosial. Hasil-hasilnya mengejutkan dan seperti dicatat oleh McClelanda Pilon, bukan sebagian dari gaya pengasuhan anak umum yang menekankan keteraturan dan kontrol: hubungan spesifik dengan dua praktek pengasuahn anak dan ketika dipertimbangkan bersama-sama mereka mencakup sekitar 30 dari varian kebutuhan orang dewasa untuk skor-skor prestasi. Saat ini tidak jeals bagiamana hasil-hasil ini sesuai dengan temuan-temuan awal McClelland bahwa sebuah penekanan terhadap independensi dan penguasaan penting bagi pengembangan kebutuahn untuk berprestasi. Mungkin, seperti yang dicatat oleh McClelland dan Pilon (1983), praktek pelatihan pemberian makanan dan toilet awal mengembagnkan kebutuhan untuk berprestasi pada anak-anak, yang menyebabkan ibu menyusun tujuan-tujuan kienrja kemudian yang mendorong pada kemandiran dan penuasan. Hasil McClelland dan Pilon menuntut studi lebih lanjut tentagn hubungan antar apengalaman-egnalaan awal dan kebutuhan untuk berprestasi.

Ketakutan akan suskes. Perbedaan-perbeadan jenis kelamin mereprestnaikan satu area studi di dalam riset motivasi berprestasi yhagn emndapatkan perhatian serius selama 1970an. Diketahui bahwa pria dan wanita kuliahan tidak beraski secara sama terhadap petunjuk-petunjuk berprestasi. Misalnya Ceroff, Wilcox dan Atkinson (1953) tidak menemukan perbedaan pada pencitraan TAT di antara kondisi rikes dan kkondisi yang berorientasi presasi pad wanita. Sebuah studi oleh Field (1951) tidak menemukan meningkatnya penvitraan presasi pada wanita antara kondisi gagal dan rileks, sementar apria menunjukkan per bedaan besar. Field menentukan bahwa meski peruebahan-perubahan dalam penerimaan sosial tidak berdampak terhadap pencitraan prestasi pria sehingga perubahan-perubahan ini menekankan efek terhadap pencitaran presasi pada wanita. Hbasil-hasil Field menyatakan bawah poersepsi wanita atas peran masyarakat mereka tidak menganggap prestasi dalam situasi-situasi kompetitif sebagai sifat feminin yang mencakup tidak adanya perubahan pada pencitraan prestasi di bawah kondisi sukses atau gagal.
Horner (1986) memperluas analisis ini dnegan menyatakan abwah wanita memiliki karakteristik kepribadian stabil yang bersifat motivasional dan mirip dengankonsep Ms dan Maf. Horner menyebut gagasan ni sebagai ketakutan akan sukses. Ketakutan akan suske sidkonseptualsiasikan oleh Hroner (1972) sebagai represntasi itnernal stereotip masyarakat bahwa kopetensi, idnependi, komeptisi dan prestasi intelektual tidk akonsisten dengan femininitas. Wanita yang memiliki ketakutan suskes tinggi percaya sukses akan berdampak negatif bagi mereka. Aspek-aspek ngatif dari sukses ini dianggap melibatkan prasaan penolakan sosial atau dianggap tidak feminin. Konsekwnesi-kosnekwensi negatif dari prestasi ini dianggap menghambat perilaku berprestasi dan diangagp sebagai satu penjelasan bagi fakta bahwa wanita tidak berekasi terhadap situasi yang membangkitkan prestasi seperti halnya pria.
Untuk menguji ide ini Hroenr menambahkan item verbal yangmengindikasikan tingkat prestasi tinggi pada akhir sebuah kelomok gambar TAT yang diugnakan untuk megnukur motivasi berprestasi. Bagi wanita item verbal adalah: “Setelah ujian first-term, Anne mendapati dirinya pada rangking teratas dalam kelas sekolah kedotkerannya.” Bagi wanita dalam eksperimen nama Anne diganti dengan nama Johns. Subyek kemduian diminta melengkapi cerita Anne atau John berdsarkan kalimat tersebu.t. sebuah sistme scoring dikembangkan sehingga motif untuk menghindari sukses diberi skor seperti jika subyek diintikasikan; konflik dalam kisah emereka yang berkaitan dengansukses; antisipasi atau kejadian kosnekwensi negaitf akibat sukses; penyangakalan suaha atua tnggugnajawba untuk sukses; penyangkalan kalimat itu sendiri; atau respon yang aneh atau tidak tpaepat. Dalam eksperimen awal, yang dilakukan di University of Michigan pada 1965, 90 wanita dan 88 pria berpartisipasi. Hroner menemukan sekitar 65% dari wanita menulis kisah tentang aen adanya petunjuk yang mengindikasikan hilangnya feminitas, penolakan sosial atau konsekwensi negatif lainnya. Tipe kisah takut sukes inis ering enyebabkan Anna secara sengaja menurunkan posisi akademisnya, berhenti kuliah di kedokteran dan menikah. Pria dalam sampel umumnya tidak menulis kisah yang mengindikasikan takuit akan sukses. Dari 88 pria yang diteliti hanya 6 yang menuliskan kisah takut sukses (9.1%).
Pola perbedaan pencirraan takut suskes antar apria dan wanita ini telah direpliaski dalam beberap astudi lainnya (diebutkan olehHroner, 1972) dan nanmpak dibuktikan pada anak perempuan usi seusia kelas tujuh. Hroenr juga menemukan wanita dengan ketakutan suskes yang tinggi bekerja lebih buruk dibandingkan sebayanya (laki atau perempuan), situasi kompetitif, yang menyatakan bawha ketaktuan sukses menghambat perilaku wanita.
Hasil-hasil Hroner menghasilkan riset banyak tentang konsep ketaktuan suskes. Misalnya, Hoffman (1974) berusha menentukan aspek mana dari situasi sukss yang mendorong atkviais motif untuk menghidnari sukses. Dia menguji tiga kemungkian: sukses pad usaha maskulinmemicu ketakutan akan suksess; pengetahuan publik tentang sukses memicunya; atau situasi kompetitif memicunya. Hoffman menemukan abwah taktu akan suskes pada wantia tidak berbeda dia ntara tiga kondisi ini. Seperti dalam studi Hroner 65% dari wanita yang diuji mengidikasikan ketakutan akan sukses. Hasilphasil Hfofman untuk pria sangat berbeda. Tidak seperti Hroner, yang hanya menemukan 9.1% dari pria yang menunjukkan ketakutan akan sukses, Hoffman menemukan 77% dari pria dalam stgudinya menunjukkan ketakutana kan sukses. Sebenarnya tidak ada perbedaan seks signifikan pada kektaun akan suskes pada sampel Hoffman. Konten kisah pria dan wanita sedikit berbeda. Kisah wanita 42% berpusat pad kehilangann afiliaif akibat dari suksesnya sementara hanya 15% dari kisah pria berkaitan dengan kebutuhan afiliatif. Di sisi lain, 30% dari kisah pria tersebut melibatkan pertanyaan nilai suskes, sebuah tema dominan yang ditempatkan pada prestasi akademik. Hanya 15% dari sampel wanita melibatkan pertanyaan tetnagn nilai sukses. Akhirnya, speerti dicatat oleh Hoffman, pencitraan rpesasi seluruhnya kuran signifikan pada pria dan wanita di dalam sampelnya daripada pada sampel Horner (lihat juga Hoffman 1977).
Studi-tudi lain menemukanbawah ketaktuan akan suskes lebih besar dalam situsai-situasi yang melibatkan suskes pada peeran feminin non trradisional daripada tradisional. Dari subyek yang diberi petunjuk Anna, 70% merespon dengan pencitraan takut sukses, sementara hanya 49% dari subyek yang terpapr pada sukses dalam sebuah epran tradisional menulis kisah-kisah takut akan suskes.
Brown, Jennings, dan Vanik (1974) memberi petunjuk Anne dan John tentang pria dan wanita yang menjadi mahasiswa sekolah tinggi dan universitas. Meerka menemukan bawha pria dan wanita dalam sampel sekolah tinggi emrespon dengan penctiraan lebih negatif tentang petunjkuk Anne daripad petunjuk John. Pria dsampel universitas juga merespon dengan lebih negatif pencitaraanpada petunjuk Anne, tapi wanita universitas, berbeda dengan hasil-hasil Horner tidak. Hasil-hasil studi ini menyatakanbawha pencitraan negatif yangberkaitan dengan petunjuk Anne bisa mengidikasikan ekspektasi masyarkaat umum tentang peran feminin daripada contoh ketakutan akan suskes. Karena pria merespon pada petunjuk jenis kelamin yang berbeda, ketaktuana kan suskes nampak dihilangkan. Brown juga berpendapat bahwa kriteria Horner untuk ketakutan akan sukse smungkinmemasukkan ketakutanakan gagal. Misalnya, Horner memberi skor jawaban-jawaban aneh mengidikasikan ketakutan akan suskes. Brown menyatakman jawaban aneh lebih cenderung sebagai reaksi terhadap isituasi tes daripada sebagai wujdu ketakutan akan sukses. Horner juga memberi skor penyangkal (suskes Anne disbebakan oleh kecurangan) sebagai ketakutan akan suskes, tapi Brown menyatakan bawha penynagkalan bisa dianggap sebagai idniaksi ketakutana kan gagal.
Yang terakhir Brown mencatat hanya 17% dari wanita universitas dalamstudinya menunjukkan penctiraan takut akans ukses, sementara 22% dari pria menunjukkan pencitraan tersebut. Mungkin ketakutan akan suskes menjadi faktor yang lebih kecil bagi wanita usia kuliah karena perubahan sikap tentang wanita. Ketaktuan sukses pria di sisi lain nampak menignkat. Ketakutan akan suskes pada pria bisa dikaitkan dengan ketakutan akan penolakan atau ketidaksetujuan dari para anggota keluarga dan teman (Balkin, 1986).
Peplau (1976) menyatakanabwah ukuran ketakutan akan suskes Horner keguananya terbatas. Riset Peplauy menyatakanbawha citra wanita yang mednapat skor tinggi dalam ketakutan akan suskes sebagai tidak mampu secara intelektual tidak didukung. Peplau menyatakan pencitraan takut akan suskes merepresnetsikansensitivitas oelh wanita terhadap dampak peran seks dari situasi prestasi itu, dan sikap-sikap peran seks merupakan determinan yang lebih kosnsiten dari performa wanita daripada ketakutan akan suskes. Coook dan Chandler (1984) berusaha meguji secara langsung ide bahwa ketakutan akan suskes meurpakan motifs tabil seperti yang diusulkanHorner.hasil-hasil Cook dan Chandler tidak mendukung sifat motivasional dari ketakutan akan suskes tapi lebih menyarankan bawha wanita bereaski terhadap ekspektasi dan permintaan situasi tertentu. Mereka menyatakan abwah perilaku presstasi wanita dipengaruih oleh keyakiann wanita tentang perilaku tipe seks yang tepat dalam situasi prestasi. Penjelasan peran seks dari perbedaan-perbedaan rpestasi mengimplikasikan bahwwa wanita belajar bahwa daya saing dalam situasi- adalah stereotip pria. Wanita mungkin bereaksi negatif terhadap situasiu berpresasi bukan karena mereka takut akan suskes tapi karena mereka tidak megnangapnya sebagai bagian adari peran seks feminin.
Dalam mendukung Peplau, Williams dan King (1976) mendapatkanbukti yang menyatakanbawha sikap peran seks berkorelasi lebih baik dengan GPA, mata kuliah, karir dan rencana pernikahan daripada pencitraan ketaktuana kans uskes. Mereka juga menyatakanbawha ketakutan akan suskes mungkintdak lagi berguna sebagai variabel dalam menjealskan perilaku berprestasi wanita. Karabenik (1977) dan Marshall dan Karabenik (1977) juga mendapatkanhasiul-hasil yang berbeda dengan prediksi Horner.
Zuckerman dan Wheeler (1975) dalam sebuah tinjauan pustaka tentang ketaktuana kan suskes, menyimpulkan abwah konsep ini merupakan konsep yang bagus tapi data tentangnya tidak konsisten. Sehingga jawaban atas pertanyaan mengapa wanita bereaksi secara berbeda dalam situasi yang berorientasi prestasi dibandingkand engan pria tetap terbuka. Ketaktuan akan suskes bisa mampu menjembtatani kesenjangan ini; di sisi lain, penekanannya bergeser ke arah sikap peran seks sebagi determinan penting perilaku presasi pada wanita.

Gaya-gaya prestasi
Pada 1980an trerdapat ayuann menjauh dari miant dalam konse-pkonsep speperit ketakutana kans uskes ke pengujian tema-tema laindi wilayah motivasi presasi. Topik ini berkaitan dengan cara-cara kita menjalankan peirelaku berprestasi subyek yang disebut gaya prestasi. Lipman-Blumen, HandleyIsaksen, dan Leavitt (1983) emngembagnkans ebauh model yang menyebutkan tiga gaya presasi dasar yang dipelajari pada awla kehidupand an mengarahkan perilaku orang dalam situasi presasi. Tiga gaya prestasi dasar ini langsung, instrumental, dan realsional, masing-masign memiliki tiga sub-gaya.

Gaya langsung. Orang-orang menggunakan gaya langsung menghadapi situasi prestasi secara langsun dan berusaha mencapai sukses dengan usaha-usahanya sendiri. Dalam katgori ini gaya langsung-intrinsik menejalskan orang-orang yang menyukai tuntutan dan tantangan sebuah tugas dan mengukur performa mereka terhadap standar kesempurnaan internal. Orang-orang yang menggunakan gaya langsung-kompetitif membandingkan diirnya dengan orang lain dalam hal pencapaian. Orang-orang yang menggunakan gaya ini bukan hanya ingin suskes, mereka ingin melakukan pekerjaan lebih baik daripada orang lain. Bagi orang-orang ini, persaingan merupakanaspek penting dari tugas prestasinya. Subkategori ketiga di dalam gaya langsung inia dalah gaya langsung-kekusaaan, yangmelibatkan mengontrol orang lain, sumberdaya atau situasi untuk mencapai sbuah tugas. Orang-orang yang menggunakan gaya ini pada saat ygn sama juga memelihara kontrol dan menangani seluruh situasi.

Gaya-gaya instrumental. gaya instrumental ditandai oleh orang-orang yang memnaipulasi orang lain untuk mencapai tujuan mereka. Manipulasi ini baisanya dilakukan dengan kesadaran penuh; meski demikian beberapa orang bertindak demikian sehingga mereka menjadi tidak sadar akan perilaku manipulatif mereka. Orang-orang ygn menggunakan gaya ini secara terus-menerus mengevaluasi keuntungan potensial dari kotnak sosial meerka dan juga pencapaian meerka. Sheinga memiliki teman yangberpengaruh dan merampungkan tugas di masa lalu bisa digunakan untuk mendapatkan suskes pada tugas-tugas baru. Orang-orang yang menggunaan gaya personal-instrumental menggunakan status, reputasi, presasi prhibadi, pendidikan, pekerjaan, kekuatan politik atau keuangan, dan kharisma untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Gaya ini seringkali digunakan seacra sadar oleh idnviidu yang menilai tinggi persetujuan eskternal. Gaya sosial-isntrumental, di sisi lain, menekankan penggunaan hubungan personal atau orang lains ebagai cara untuk suskes. Hubugnan dieevaluasi untuk digunakan dalam mendapatkan hasil yang diinginkan. Orang-orang yang menggunakan gaya ini memiliki keyakiann dalam kemampuan mereka ntuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dg menggunakan orang lain, dan mereka biasanya memanfaatkan orang-orang secara sadar. Orang-orang yang menggunakan gaya pengandalan-instrumental dari prestasi juga menggunakan orang lain, tapi orang-orang ini lebih bergntugn pada orang lain untuk memecahkan problem bagi mereka. Ketika mencapaisusks, mereka melakukannya sebagai hasl dari batnuan at dari orang lain. Tidak sperti orang yangmenggunakan gaya sosial-isntrumental, orang-orang yangmenggunakan gaya reliant-isntrumental memilki sdikit keyakian tenatng kemampuan memereka untuk suskes dan mengharpakanorang lain mencapai tujuan mereka bagi dirinya.

Gaya-gaya relasional. Gaya relasional bisa ditandai oleh individu yang mencapai sukses emlalui asosiasi dengan presasi orang lain. Sehingga orang mungkin mendapatkan suatu ukuran suskes denganbekerja bersama orang yang suskes. Gaya relasional kolaboratif ini menjelaskan orang-orang yang suka mendekati tugas sebagai angota sebuah kelomok. Gaya ini menandakan pemaintim yang megnambil tanggungjawabnya dan berharap mendapatkan reeward yang sama. Orang-orang yang menggunakan gaya ini berujuanguntuktujaun kelompok daripada berjuang demi tujuan pribadi. Gaya kotnributoris-relasional inidigunakan oleh idnviidu yangmemenuhi kebuthan prestasi mereka sendiri dengan berkontribusi bagi suskes orang lain. Orang-orang ini biasanya berperan sekunder tapi meemnuhi kebutuhan mereka denganmembantu orang lain. Yang terakhir, gaya vicarious relasional digunakan oleh orang-orang yang tanpa berpartisipasi aktif di dalamnya, memandang sukses orang lain sebagai suksesnya sendiri. Orang yang menggunakan gaya ini terpuaskan untuk dikaitkan dengan prestasi sukss dan mendompleng kesuksesan orang lain.
Seperti dicatat oleh Lipman-Blumen dan rekan (1983), tidaklah beanr berasumsi bawha seseorang hanya menggunakan salah satu dari sembilan gaya prestasi ini. Sebagian besar orang menggunkan lebihd ari satu gaya tapi menunjukkan rpefrensi untuk satu atau dua gaya. Misalnya individu mungkin menggunakan gaya isntrumental-sosial dan perosnal-iosntrumental untuk mencapai tujuan.studi gaya prestasi ini merupakan satu arah baru dalam riset prestasi, satu arah yang bisa membantu kita menjelaskan perbedaan-perbedaan yang kita lihat dalam cara-cara orang mendekati tugas-tugas prestasi. Sebelum kami akhiri diskusi kami tentang pendekatan nilai-ekspektansi terhadap motivasi prestasi, kitaha us menguji beberap akritik yang sudah dimunculkan.

Kritik terhadap teori kebutuhan berprestasi
Teori kebutuhan berprestasi dikritik atas beberapa faktor. Entwisle (1972) meninjau pustaka tentang prestasi dan mencatat ada beberapa problem. Pertama, Entwwisle memberi bukti bahwa reliabiloitas gambar-gambar TAT itu rendah, mulai antara 0,3 hingga 0,4. Estimasi reliabilitas bahkan lebh rendah bagi wanita daripada untuk pria dan mungkin menjelaskan perbedaan seks dalm situasi prestasi yang dibicarakan sebelumnya. Reliabilitas tes-retest juga rendah, berarti bawha gambar yang sama tidak memicu kisah yang sama dari satu sesi testing ke sesi lainnya. Ada juga problem validitas; yaitu apakah prosdur pencitraan benar-benar mengukur motivasi prestasi? Klinger (1966) menyatakan abwah skor-skor kebutuahn prestasi tidak memberi ukuran adekuat motivasi dan ini menyebabkan validitas predikitf rendah bagi skor-skor tersebut. Meski kritik ini penting, Spangler (1992) dengan menggunakan teknik meta analisis terhadap 106 artikel riset yang dipilih secara acak menunjukkan bawha TAT nampak menjadiukuran valid bagi aspek-aspek tertentu kebutuhan berprestasi.
Problem lain yang juga penting adalah bahwa motgivasi presasi mungkin bersifat multidimensional. Jackson, Ahmed dan Heapy (1979) mengidentifikasi paa yang mereka yakini sebagai enam dimensi berbeda dari motivasi presasi. Untuk memahami perilaku presasi idnvidiu jika motivasi prestasi bersifat multidimensional, kita harus memahami bagaimana skor-skor individu tersebut terhadap bragam diemnsi presasi.
Akhirnya, beberapa peneliti mempertanyakan apakah kebutuhan akan rpestasi bersifat motivasional. Misalnya, Entwisle (1972) mencatat bahwa bagi subyekkelas sembilan jumlah kata dalam kisah TAT berkorelasi lebih baik dengan kelas meerka daripad dengan skor kebutuhan prestasi! Ini sulit dipahami jika kebutuhan berpresasi merupakan aktivtator perilaku berprestasi yang mungkind irefleksikan dalam kelas. Dmeikian juga, Klinger (1966) menyatakanabwha skor-skor kebutuhan berprestasi sebagian besar situasional. Sehingga situasi-situsi spesifik bisa menyebabkan peningkatan pencitraan prestasi (sperti diukur oleh TAT) dan pada perilaku berprestasi yang meningkat; yaitu meski pencitraan rpesasi dikaitkan dengan kinerja prestasi, ini mungkin bukan hubungan kausal.
Meski ada banyak problemn dengan teori prestasi, seperti ditunjukkan oleh kritik tersebut, teori ini menghasilkan banyak riset yang bernilai praktis. Kemungkinan juga teori ini merupakan contoh yang paling cermat menentukan pendekatan-pendekatan ekspektansi-nilai bagi motivator. Riset prestasi berasumsi bawh ekspektansi dan nilai bersifat kognitif dan menyatakan bawha orang-orang megnemabngkan represntasi metnal lingkungan di mana mereka berinteraksi.

Ringkasan
Karya Tolman dan Lewin memberi dsar bagi teori-teori kognitif motivasi. Keduanya menekankan sfiat kognitif dari banyak motif dan pentinngya tujuan-tujuan dari perilaku.
Tolman menekankan konsep kesengjaaan perilaku. Dia meneybutkan tujaun megnarahkan perilaku kita dan organisme mengembangkan representasi kognitif yang dia sebut sebagai peta kognitif. Risetnya menekankan perkebangan ekspektansi dankontrol perilaku oleh ekpsektansi-ekspektansi tersebut. Dienya berbeda tajam dengan fomrulasi respon stimulus yang lebih mekanis yang masih baru saat dia menulisnya.
Lwin dipengaruhi oleh aliran psikologi Gestalt. Dia berpendapat untuk sifat dinamis kmerilaku dan menyarankan bahwa perilaku yang diamati berasl dari semua kekuatan yang bekerja pada individu pada momen tertentu. Banyak motif yang menghasilkan perilaku menurut Lewin bersifat kognitif. Motif-motif kognitif ini mempengaruhi seperti halnya kebutuhban fisiologis.
Konsep utama kedua yang diuji dalam bab ini adalah pendekatan ekspektansi nilai, yang menganggap motivasi sbagai hasil dari ekspektasi bahwa sesoerang bisa mencapai tujuan tertentu dan nilai atau insentif yang diberikan oleh tujuan tersebut. Riset yang menyebutkan motivasi prestasi menyederhanakan teori ekspektansi-nilai. Atkinson dan kolega mengembangkan sebua model untuk perilaku prestasi yang menekankan karakteristik kepribadian stabil dari kebutuhan untuk berprestasi (atau motif untuk sukses dan takut akan ekgagalan). Selain karakteristik stabil ini, perilaku berprestasi diangagp bergantung pada ekspektasi suskes seseorang pada situasi tertentu, yang diindeks oleh peluang sukses subyektif individu. Yang erakhir, nilai mencapai tujuan dalam hal kebanggaan berprestasi atau ras malu akan kegaglaan juga diangagp pentign dalam menentukan perilaku berprestasi.
Prestasi biasanya dipelajari menurut variabel-variabel intrinsik. Tapi Feather meneybutkan perlunya memepalajri variabel ekstrinsik atau eksternal untuk memahami secara penuh faktor-faktor yang mengatur perilaku prestasi.
Salah astu temuan yang paling menonjol dalam literatur tentang motivasi berprestasi adalah wanita seringkali tidak bereaski sepertipria dalam situasi berorientasi prestasi. Horner mengusulkan bahwa wanita memiliki karakteristik kepribadian stabil yang disebut takut akan sukses. Takut akans ukses dianggap sebagai kondisi motivasional negatif yang cenderung menghambat wanita untuk terlibat pada situasi kompetitif yangberoreintasi presasikarnea takut akan suskes meneybabkan kosnekwensi negatif. Kosnkwensi negatif iniumumnya diapndang sebagai ketakutan akan penolakan sosial karnea suskes atau merasa kehiloangan feminitas. Riset tentang konsep ketaktuan akan suses mendorong pada hasil-hasil campuran. Lebih banyak riset diperlukan seblum tingkat konfidensi bisa ditemaptkan pad agagasan takut akan suskes.
Pada dasarnya para ahli teori kembali ke kgagasan bahwa kita adalah organism epembuat keputusan rasional, dan pemikir. Untuk memahami pola-pola perilaku kompleks manusia, kita harus memperhitungkan ekpsektasi indviidu, pengalaman di masa lalu, nilai, sikap dan keyakinan. Kita juga harus memahami bagaimana beragam struktru kognitif tersebut berinteraksi dan proses-proses yang memandu perilaku. Mengabaikan komponenkognitif dari perilaku termotivasi bisa menyebabkan pemahaman yang tidak lengkap tentang gaya-gaya yang membentuk kehidupan kita.

Bab 10
Motivasi Kognitif: Motivasi Sosial dan Konsistensi
Tinjauan bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana kehadiran orang lain mempengaruhi perilaku kita?
2. Apa yang ditemukan berkaitan dengan motif untuk menyesuaikan diri atau patuh?
3. Bagaimana pengaruh-pengaruh situasional seperti memberi bantuan orang yang mengalami tekanan memodifikasi perilaku kita?
4. Apa yang dimaksud dengan konsistensi kognitif dan bagaimana tidak adanya konsistensi kognitif menciptakan motivasi?
5. Apa yang dimaksud dengan teori keseimabngan, dan apa itu disonansi kognitif?

Tim berjalan menuruni tangga dari lantai ke lima ketika dia mendengar seseorang jatuh pada tangga beberapa lantai di bawahnya. Terdengar suara wanita menjerit, dan ada banyakbuku, pensil, notebook bersrakan di lantai. Saat membungkuk, tim bisa melihat wanita itu tergeletak di anak tangga and bisa juga mendengar suaranya lemah meminta pertolongan.
Tim merasakan dorongan kuat untuk berhenti di lantai keempat, meski dia bermaksud untuk menuju ke lantai pertama. Lagipula ada banyak orang yang membntunya. Di samping itu dia berpikri, saya tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama, jadi saya tidak bisa memberi banakbantuan. Dengan pemikiran itu dia kembali dari tangga dan masuk ke lantai keempat, dan senang bisa bebas dari kondisi darurat yang terjadi di dua lantai di bawhanya.
Mengapa orang-orang tidak membantu dalam situasi darurat? Dalam bab ini kami akan menyelidiki beberapa alasannya. Studi intervensy bystandr, sebagi riset tenatng perilaku membantuy meurpakan bagian yang berkaitan dengan bagaimana orang-orang dipengaruhi oleh situasi-situasi sosial.
Dalam bab ini kami juga akan emnguji teori dan riset yang melibatkan efekk-efek motivasional satu orang terhadap orang lain. Selain itu kami akan melihbat bagaimana beberapa situasi bisa mencitpakan kondisi tidak konsiten dalam pemikiran seseorang yang pada gilirannya menciptakan kondisi motivasional yang menyebabkan orang tersebut mengatasi ketidakkonsistenan itu. Banyak yang kami pelajari dalam bab ini masuk dalam wilayah psikolgi sosial; meski demikian kami hanya membicarakan riset yang menguij peran situasi sosial dalam aktivasi dan pegnarahan perilaku. Meski banyak topik tambahan yang dimasukkan di sini, topik yang ditampilkan ini akan membantu para pembaca memahami pentingnya perilaku yang termotivasi secara sosial.
Refleksi sejenak bisa meyakinkan anda bahwa kita bertindaks ecara berbeda ketika sendiri daripada ketika ada orang lain; perilaku kita dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Kita akan melihat secara singkat efek penguatan dari kehadiran orang lain, lalu menguji bagiaman akehadiran orang lain bisa menimbulkan konformitas dan kepatuhan terhadap otoritas. Selanjutnya kami akan emnguji efek yang dimiliki oleh kehadiran orang lain terhadap perilaku menolong.

Efek ko-aksi dan audiens
Pada sekitar 19000 ditemukan bahwa kehadiran orang lain berdampak kuat terhadap perilaku individu (Zajonc 1973). Ditemukan bawha para pengemudi sepeda berperforma lebih abik ketika bersaing satu sama lain daripada sat melawansebuah jam. Fasilitasi sosial perilaku ini mungkin merupakans atu alasan mengapa rekor baru dibuat dalam game olimiade atau dalam situasi kompetitif. Pkeahdiran orang lain memperkuat perilaku konsenstan pad alevel yang lebih tinggi.
Penguatan perilaku sebagai akibat dari orang lain bersaing dalam tuas ygn sama di sebut efek ko-aksi dan didokumentasikand engan baik bukan saja pada manusia tapi juga pada binatang lain. Kita tahu bahwa ayam yang kenyang akanmulai makan jika ditaruh di kadang dengan ayam lain yang sedang makan. Seekor ayam akan menghabiskan 60% biji lebih banyak ketika dibesarkan dengan ayam lain dibandingkan jika dia dibesarkan sendiri (Zajonc, 1972). Ayam akanmakan lebih abnyak ketika terpapar pada videotape ayam lain yang seadng makan (Keling dan Hurnik 1993) dan monyet akan minum lebih banyak jus oange ketika ditampikan gambar yang mencemrinkan dirinya (Straumann dan Anderson, 1991). Manusia juga menunjukkan efek fasilitasi sosial dari kehadiran orang lain. Redd dan deCastro (1992) menemukan bawha para mahsiswa mengkonsumsi lebih banyak makana, air, sodium dan alkohol ketika ada orang lain. Mirip dengan ayam, asupan mkann 60% lebih tinggi pada mahasiswa universitas tersebut ketika makan bersama orang lain. Dalam studi lain, deCastro dan Brewer (1992) menemukan bawh kelompok-kelompok besar meningkatkan ukuran makan individu sebanyak 75%. Fasilitasi perilaku ini juga diamati pada biantang lain mulai dari anjing hingga armadilo dan terjadi tidak hanya dalam perilaku makan tapi juga minum, berlari dan perilaku seksual. Fasilitasi sosial juga terbukti terjadi dalam sitasui berbelanja.
Bahkan cocroach tidak kebal terhadap efek ko-aksi! Zajonc, Heinagartner dan Herman (1969) membangun sebuah jalur roach dan mengukur kecepatan roach berlari untuk leaps dari cahaya (roaceh adalah fototaksisk negaitf dan setiap orang tahu ayg memiliki roacoaorach dan menyalakan lampu dapur di malam hari). Roachers yang berpasaingan dalam jajlur berlari lebihc epat dari pada mereka yang berlari sendiri.
Yang menarik, sebagian besar efek yang diamati dari individu yang lekakukan ko-aksi juga terjadi jika satu anggota bertindak dan yang lain bertindak sebagai audiens. Efek audiens ini juga terjadi pada cockroach. Dalam sebuah eksperimens eperti lari dari ccahaya tersebut, Zajinc, Heingartner, dan Herman (1969) menjalankan roach dengan atau tanpa audienc croach yang mengamati performanya. Roach yang memiliki audiens berlari lebih cepat daripada mereka yang tidak.
Memahami efek ko-aksi dan efek audiens tidak sesederhana contoh tersebut. Efek orang lain terhadap perilaku kita b tidak selalu fasilitastif. Kadang-kadang kehadiran orang lain menyebabkan perilaku kita memburuk dan kita bekerja lebih buruk dariapd ajika sendirian. Ini seringkali terjadi pada olah raga profesional. Kehadiran kerumunan besar seringkali emnyebabkan “old pros” untuk bermain, sementara perilaku penantang usptart memburuk.
Penjelasan psikolgis ini kadang diberikan untuk efek-efek yang nampak bertentang dengan adanya orang lain ini adalah bahwa koaktor dan audiens akan memfasilitasi performa jika respon benar dari performer sangat mungkin (dominan, dalam terminomlogi psikologinya)s eentara kehadiran orang lain akan menyebabkan perilaku memburuk jika respon yang benar dari performer ini peluangnya rendah ini terjadi karena adanya oragn lain membangkitkan kita dan kegariahan ini cenderung memicu apapun respon yang dominan. Jika respon dominan benar (karena praktek atau hasil belajar), perilaku akan difasilitasi; jika respon domiann tidak benar, perilaku akan dikurangi. Sehingga pada contoh old pros dan upstadr challengers tersebut, old pros bisa diharpkan memiliki respon yang benar karna pngalaman yang lebih besar dan akan menunjukkan fasilitasi sosial sementara penantang upstard akan cenderung menunjukkan penruunanperilaku akibat kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain membangkitkan tindakan kita. Perilaku kita mungkin diperbaiki atau diperburuk oleh keahdiran orang lain, bergantung pada berapa mungkin respon benar untuk situasi tersebut ada buat kita.
Ini membawa pada poin akhir. Perilaku kita mungkin dibantu oleh orang lain dalam beberapa situasid an diperburuk dalam situasi lain. Kita mungkin berperforma cemerlang di lapangan tapi buruk dalam sebuah tes; dalam kedua kasus performa kita mungkin berasal dari kehadiran orang lain.
Sekarng kita kembali pada pengujian pengaruh kuat bahwa kehadiran orang lain bisa mempengaruhi perilaku etrisd an individualitas kita. Studi-studi di dalam kategori umum ini melibatkan pengujian perilaku konformitiss dan kepatuhan pada otoritas.

Konformitas
Kebanyakan dari kita menemukan diri dalam situasi di mana motivasi kita untuk bertidnak dalam cara tertentu terjadi di bawah tekanan kelompok. Misalnya, kita mungkin menemukan diri kita minum alkohol atau bereksperimen dengan obat akibat tekanan kelompok, meski secara pribadi kita tidak ingin minum atau memakai obat. Orang yang pernah berada alam situasi ini tahu bawha motivasi untukbrsama kelompok bisa sangat kuat. Brown (1965) mencvatat bawaha keberadaan sebuah kelompok nampak memicumotivasi untuks epakat atua menyesuaikan diri dengan keinginan kelompk. Setiap kita, baik sengaja tau tidak adalah kofnormist. Tentu saja kita tidak selalu menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yangsama tapi dalam situasi-situasi kelomok kita sangatt mungkin sepakat dengan kelompok ketika keputusan harus dibuat.
Kekuatan konformitas kita terhadap tekanan kelomok ditunjukkan dalam sejumlahs tudi. Sherif (1947) men ilaisejumlah gerakan yang mereka anggap sebagai titik gelap di sebuah ruang gelap. Subyek berbeda dalam estimasi individu tentang jumlah gerakan yang mereka rasakan, namuns etiap individu konsisten secara internal. Yang menarik, ketika serif mengumpulkan orang-orang ini dalam kelompok dua atau tiga orang meminta mereka menilai jumlah gerakan, estimasi mereka beragam. Sehingga meski subyek konsisten secara indivdu mereka mengubah penilaian ketika dimasukkan pada situasi kelompok untuk sepakat satu sama lain. Eksperimen sherif menebut kekuatan kelompok memepngaruhi penilaian, meskipun penilaian itu sendir merupakan ilusi.
Mungkins tudi yang paling dikenal tentang konformitas adalah studi Solomon Asch (1952, 1965). Ashch meminta subyeknya membuat penilaian perseptual sederhana yang berkaitan dengan panjang garis. Seperti ditunjukkan dalam gambar 10,1 setiap subyek diberi aris standar dan tiga garis pembanding, di mana subyek diminta mengambil satu dari panjang yang sma pad standar. Dalam eksperimen dasar tujuh hingga sembilan subyek memandang garis kper bandingan danstandar secara bersamana. Kemudian secara bergantian mereka diminta memberi jawaban keras-keras kepada pengekserimen. Perbandingan garis bisa dibuat engan mudah dan kelompok ontrol subyek yang menulis jawabannya membuat sangat sedikit eror (7,4%). Apa hasil-hasilnya?
Bayangkan pertama anda adalah subyek dalam eksperimen ini. Ditempatkan dalam kelompok, anda ditunjukkan garis perbandingan dan standar pertama. Karena anda di giliran terakhir, adna punya peluang untuk mendengarkan sebgian besar jawaban yang lain sebelum anda memberikan jawaban sendiri. Pada dua percobaan pertama setiap rang spakat dan anda sedikit rileks dan mulai menduga apa y tujuan dari ekspeirmen absurd ini!
Pada percobana ketiga situasinya berubah. Ketika garis perbandingan dan standar ditunjukkan anda dengan cepat mengetahui garis yang sama; tapi anda erkejut, setiap oran di depan anda mengambil garis yang berbeda dari yang anda anggap benar. Gilirananda tiba, dan anda berada dalam situasi konflik. Apakah anda menjawab seperti yang anda lihat, atau apakah anda menyesuaikan diri dengan jawaban yang diberikan oleh kelompok?
Secara subyektif anda mungkin menduga anda tetap pada apa yang anda yakini sebgai jawaban benar. Ini hanya eksperimen psikologi di mana anda beerpartisipasi karena anda perlu uang dan sedikit konsekwnesi real bagi anda. Observasi subyek real dalam eksperimen ini mengidnikasikan bahws merek amenjadi sagnat tidak nyaamn ketika ditaruh pada posisi melawan keputusankelompok, meski jelas keputusan itu salah.
Asch menemukan perbedaan indivdiu yang besar dia ntara jumlah perilaku konformis yang ditemukan pada subyek dalam eksperimennya. Beberapa subyek tidak menyesuaikan diri dengan keputusan kelompok, sementara beberapa lagi menyesuaikan diri. Secara keseluruhan 80% dari subyek menyesuaikan diri setidaknya sekali selma 12 percobaan eksperimen.
Dalam wawancara post eksperimental,s ubeyk emrsakan keraguan diri dan ekinginan untuk sepakat dengan kelompok yang juga menarik adalah subyek biasanya tidak menyaakan penilaian kelompok tapi mencari di dalam dirinya sendiri alasan-alasan nonkonformitas mereka dnegna kelompok. Yang jelas seseroang biasnya berasumsi bawha mayoritas itu benar, meski mayoritas tidak sepakat dengan penilaian pribadi individu.
Asch menemukanbahwa subyek yang cenderung menghasilkan tekanan kelompok melakukannya dalam satu dari tiga cara. Sejumlah kecil subyek megnalami apa yang Asch sebut sebgai distrosi perspetual ;yaitu mereka mengindikasikan dalam wawancara post eksperimental bawha mereka benar-benar melihat respon kelompok benar-benar cocok dengan standar. Sehingga subyek tersebut, untuk menyesuaikan diri dengan respon kelompok menyimpangkan perspesi mereka sendiri pada garis-garis utuk menyelesaikan konflik motivasional yang mereka alami.
Cara yang lebih umum di mana subyek mengubah situasi menyesuaikan diri dengan respon kelompok disebut distorsi penilaian oleh Ach. Dalam situasi ini subyek menyadari bawha penilaian mereka berbeda dari penilaian kelompok tapi menyesuaikan diri karena berasumsi bahwa penilaian mereka tidak benar. Keberadaan kelompok mendorong distorsi penilaian diividu sehingga mereka akan menyesuaikan diri dengan penilaian kelompok.
Yang terakhir, beberapa subyek menyesuaikan diri akibat apa yang sAsch sebut sebagai distorsi tindakan. Untuk para subyeki ini, tidak nampak berbeda dari kelompok dianggap sangat penting. Mereka kehilangan wawasan tujuan eksperimen (untuk menilai garis) agar tidak terlihat berbeda. Subyek-subyek ini tidak berasumsi bawah kelompok benar. Yaitu tidak ada distorsi penilaian; mereka hanya merasa dipaksa menyesuaikan diri dengan respon kelompok. Subyek ini mencatt bahwa konflik yang mereka rasakan daintara penilaian mereka dan penilaian kelompok seringkali memcium rasa inferior atau menjadi orang luar di dalam kelomok. Orang-oorang ini menunjukkan distoris tindakan tapi bukan perspesi atau penilaian.
Untuk mengurangi konformitas yang ditunjukkan individu pada tekanan kelompok, Asch menignaktkan disparitas di antara respon standar dan respon kelompok (7 inci dalam beberapa kasus) dan masih mendapatkan respon konformitas keseluruhan 28%. Untuk kelompok kontrol masing- bukan subyhek terhadap tekanan kelompok, angka eror hanya 2%. Kehadiran orang lain mencitpakan kondisi motivasional di dalam diri kita untuk meneysuaikan diri dengan norma-norma kelompok.
Ukuran kelompok tidak nampak kursial dalam efek konformitas ketika terdapat tiga orang atau lebih. Dalam serngkaian eksperimen yang ukurannya bereda, Asch menemukan bawha efek konformitas hilang jika satu orang lain di samping subyek muncul. Sebaigan besar oragn mengasumsikan penilaian mereka sama akuratnya dengan penilaian orang lain dalam situasi berpasangan. Ketika dua orang ini selain subyek ditambahkan, respon konformitas naik menjadi 12,8% dan dengan tiga orang selain subyek, respon menyesuaikan diri tidak berbeda secara signifikan dari kelompok yang lebih besar (sekitar 33%). Perilaku menyesuaikan diri dipicu oleh kehadiranorang lain keitak lebih dari satu orang hadir. Berkaitand engan lingkungan urban di mana prporsi poulasi kami tinggal, kesipulannya nmpak aman bawha semua orang secara kosntan tenggelam dalam situasi sosial yang cenderung mengaktivgvasi perilaku menyesuaikan diri di dalam diri kita. Akan sagnat berguna unttuk menyelidiki kondisi-kondisi dimana tekanan ditimbulkan oleh kelompok untukmeneysuaikand iri bisa dilanggar. Sekali lagi Asch memberi kita beberapa jawaban.
Dalam versi yang dimoidifkasi dari eksperimens ebelumnya, Asch mendapati salah satu kelompok memberikan jawbaan yangbeanr sementara sisanya menyesuaikan diiri dengan jawaban yang tidak benar. Efek hanyas atu orang yang menyimpang dari respon kelompok menimbulkan efek liberlaisasi terhadap subyek dalam eksperimen ini. Respon-respon kofnormis dikurangi dari 33% menjadi sekitar 5-10%. Obervasi subekuek selama eksperimen mengungkapkan bahwa mereka sering mel melihat penyimpang dan mpak mendapatkan dukungan moral untuk menyimpang juga. Dalam hal ini Asch menyebutkan bahwa nonkonformer memberikan dukungan bagi subyek dan juga melanggar ketidaksepakatan dengan kelompok. Adanya satu orang lain yang berbeda dari kelompok menimbulkan efek disinibtasi yang besar terhadap subyek, sehingga penilaian lebih cenderung pada apa yang dirasakan oleh indivdu daripada respon konfromis terhadap tekaan kelompok.
Kemungkinan ada sedikit pertanyaan bahw kelopok mengeluarkan pengaruh kuat terhadap individu untuk meneysuaikan diri dengan ekspektasi kelompok. Bagaimana kelompok menggunakan pengaruh ini? Mereka menghasilkan efek-efek ini dengan perilaku subtil yang ditujukan pada penyimpang.
Asch menguji hipotesis ini dengan membalik peran-peran subyek dan kelompok dalam eksperimen sebelumnya. Dama variasi ini kelompok ini naif dan satu subyek diminta memberi jawaban salah. Sperti diduga, kelompok tidak dipengaruhi oleh penyimnang tapi meragukan penyimpangannya dan tersenyum dan kadang tertawa. Sseseorang menduga bahwa perilaku yang diamati oleh penyimang tersebut dalam situasi normal akan menimbulkan keinginan kuat untuk menyesuaikan diri. Ostracisme sosial adalah kekuatan utama bagi konformitas.
Faktor-faktor yang mengontrol konformitas sangat rumit. Seperti disebutkan Moscovici dan Faucheux (1972), bahkan nonconformer dalam studi Asch mungkin menyesuaikan diri tapi pad aserangkaian aturan yang bereda, seperti keyakinan tentang pentingnya individualitas dan indepenensi. Dariis udut pandang praktis, kita tidak pernah bisa myhakini sepenuhnya bawha sesoerang tidak meneysuaikand iri karena kita tidak tahu semua kelompok referensi, sikap dankeyakinan yang memepngaruhi orang tersebut. Sangat jelas bahwa kelompk-kelompok menimbulkant ekanan besar terhadp individu untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi kelompok. Dari sudut pandang individu, kelompok nampak memicu kondisi motivasional yang cenderung memabwa individu untuk sesuai dengan kelompok.
Sesoerang bisa menganggap keapatuhan terhadap otoritas sebagai tipe konformitas terhadap aturan-auran masyarkaat dan tokoh-tokoh berkausa yang membuat dan menegakkan peraturan. meski kita semua suka menganggap diri kita independen dan mampu memilih antara yang benar dan salah tanpa mempehrtikan siapa yang meminta kita melakukannya, kita sebenarnya jauh lebih taat terhadap tokoh-tokoh otirtas dalam masyuarkaat kita daripad yang kita akui secara umum.
Meski konsep konformitas dan kepatuhan secara umum sangat mirip, seseorang bisa membuat perbedan di antara keduanya. Pertama, situasi kofnormitas biasanya menimbulkan pengaruh mereka secara implisit. Kita ingin menyesuaikan diri daripada diminta untuk patuh. Kedua, sesorang bisa memebdakan antara sumber-sumber pengaruh. Perilaku meneysuaikan diri seringakli merupakan hasil dari tekanan kelompok, sementara kepatuhan (atua pemenuhan) biasanya merupakarne sponterhadap perintah sesorang. Yang terakhir seringkali terdapat status perbedaan kekuasaan di antara situasi konformitas dan kepatuhan. Konfromtais biasanya merupakan respon yang berasal dari pegnaruh rekan yang satusnya sama seperti individu yang menyesuaikan diri. Kepatihan di sisi lain terjadi akibat tekanan yang diberikan oleh sesorang dengan status yang lebih tinggai atau kekusaaan yang lebihbesar daripada orang yang diminta untuk patuh.

Kepatuhan
Dalam serangkian stdi Stanley Milgram (1963, 1965, 1975) menguji kesediaan subyek untuk mematuhi peirntah yang bagi sebagian besar kita tidak meneyangkan dan secara moral tidak bisa dibenarkan. Eksperimend asr Milgrammemerlukans atu subyek mengajari suybeyk lain dengan memberikan seturman menyakitkan atas jawbaan yang tidak benar dalam tugas memori verbal. Di depan guru adalah konsol seturm dengan saklar yang menunjukkan beragam voltase dari 15 hingga 450 volt dalam langkah 15 volt. Di atas saklar adalah label-label yang menjelaskan karakteristik seturm. Pada ujung akhir deskripsi menunjukkan shock ringan dan sedang, sementara pada bagian atas menunjukkan serom ekstirm, berbahaya: setrum parah, dan XXXX. Gambar 10,.2 menunjukkan layout dasar dari shock console.
Milgram tertarik tetangn seberapa jauh subyek bersedia mematuhi pengekseperimen yang meminta mereka untuk terus. Sebelum Milgranmenjalnakan eksperimen, dia bertanya kepada sekelompok roang sberapa jauh mereka anggap akan bersedia melanjutkan eksperimen dengan kondisi disetrum jika memberikan ajwaban yang tidak benar. Kelompok-kelompok ini (termasuk psikaitris, sophomer universita,s maahasiswa pasca sarjana, orang dewasa fakultas dalam ilmu perilaku) semuanya kosnsiten memprediksikan bawha subyek yang menjadi guru ini akan menolak megniktui perintah pengeksperimen jika seturmnya menyakitkan. Psikaitrist memprediksikan bawha sebagian besar subyek tidak akan kuat lebihd ari 150 volt dan hanya sekitar 5% akan mampu menahan 300 volt, dan kurang dari satu dalam seribu orang yang akan kuat menerima setrum hingga 450 volt.
Setelah mendapatkan data yang mengidikaikan bahwa sebagian besar orang percay aseba bawha mayoritas orang tidak kana menyakiti yanglain atas nama sains. Milgram menjalankan eksperimen ini. Dengan melempar koin, satu subyek dipilih sebagai guru dan yang lain menjadi pelajar yang akan meneriam setrus. Koin dilempar, dan terkejut karena subyek yang sama selalu menjadi pelajar, yang merupakan kesengajaan Miglram yang merupakan aktor dan menipu protestasi dan rsa sakit setrum tersebut (sebenarnya setrum tidak benar-beanr diberikan). Ketika pelajar melakukan eksalahan dalam tugas memori, guru dimitanoleh pengeksperimenter menaikkan tegangan setrum. Pada 75 volt pelajar muali membuat kebsiingan. Pada 120 volt dia mulai mengeluhkan tentang setrum tersebut dan pada 150 volt dia mulai menuntut untuk keluar dari ekspeirmen,. Protes pelajar terhadap seturm menjadi lebih besar dan lebih besar ketika seturm terus diberikan hingga pada 285 volt dia menjerit.
Bagiamana guru bereaksi terhadap tangisan kesakitan pelajar ini? Mereka hanya rileks. Keitak pelajar mulai memprotes, mereka melirik pengeksperimen, mempertanyakan apakah mereka harus melanjutkannya. Pengeksperimen dengan tegas menjawab bahwa mereka harus lanjut, dengan penggunakan prod seperti “Eksperimen menunttu anda lanjut. Sangat penting bagi kita untuk melanjutkan” dan seterusnya. Sehingga guru cukup sadar akan kelhan pelajar dan biasanya tertekan untuk terus memberikan setrum menyakitkanitu.
Bagiamanapun, dalam eksperimen pertama terhadap para mahasiswa pasca sarjana Yale, 60% penuh dari para guru tersebut sampai pada 450 volt. Ketika ekspeirmen selesai, banyak para guru yang menunjukkan rasa lega karena tidak lagi harus memberikan setrum. Dalam banyak seri ekspeirmen yang dilakukan oleh Milgram dan kolega, subyekd ari beragam latar lingkungan dan pekerjaan diuji, dan hasilnya sllau sama. Orang meatuhi pengksperimendan menetyrum pelajar lebihd ari yang diprediksikan. Temuan-temuan dasar telah direpliaksi dalam bergam belahan dunia dari Munich hingga Roma hingga Afrika Selatan dan Australia. Dalam beberapa situasi uji tersebut tingkat kepatuhan mencapai etinggi 85%.
Subyek dalam ekspeirmen in bukan orang sadistik yang senang menyakiti orang lain. Mereka adalah orang-orang seperit anda dan saya. Tapi ketika dihadapkan pad asituasi konflik di maan mereka harus memilih antara membelot dari tokoh otoritas dan mematuhi perilaku improalnya, mayoritas subyek memilih untuk patuh. Riset Milgram menyatakanbahwa sebagian besar dari kita memiliki motivasi kuat untuk mematuhi tokoh otoritas dalam masyarakat kita, mesmki kepatuhant ersebut nampak membahayakan standar tindakan kita sendiri.
Milgram berpendapat bahwa dasar dari kepatuhan adalah kemampuan seseorang untuk melihat dirinya hanya sebagai insturmen yang menjalankan keinginan orang lai. Dalam cara tersebut kita menyalahkan pendeirtaan pelajart esebut pada orang lain (dalam kasus ini pengeksperimen). Butki dari tipe analisis kepatuhan ini berasal dari banyak sumber. Misalnya,percakapan subyek dengan pengeksperimen selama eksperimen seringkali terdiri atas guru yang tidak menglaim tanggungjawab untuk penderitaan pelajar dan seringkali melihat apakah pengekspeirmen akan meneirma tanggungjawab atas apa yang terjadi.
Dalam satu variasi eksperimen guru hanya dimitan membaca keras-keras label deskrtiptif di atas saklar, bukan melempar saklar pada seturm yang diberikan., di bawha kondisi ini 37 dari 50 subyek melanjutkan hingga kahir. Ekitak ditanya tentang penderitaan pelajar, mereka menjawab bahwa orang yang mengganti saklar itulah yangbertanggungjawab.
Konsep tanggungjawab terpisah untuk perilaku seseorang menyatakan bahwa meningkatnya rasa tanggungjawab subyek harus menimbulkan perubahan tingkat kepatuhan. Sejumlah studi mendukung konsep ini. Misalnya dalam satu eksperimen (Milgram 1975) ketika subyek diizinkan memilih tingkat seturmnya sendiri, rata-rata hanyamemilih 60 volt.
Dalam eksperimen awal guru berada dalam satu ruangan seementara pelajar di ruangan lain. Ketika guru di tarudh I ruagnan yangsama dngan pelajar sehignga tanggungjawab untuk perilaku guru tidak bisa disangkal dengan mudah, tingkat kepatuhanmenrun. Zimbardo (1969) menyatakanbawha kemapuanmenghindari tanggungjawbatas perilakus eseorang yang dia sebut deindividualisais merupakan komponen pentnng dari banyak pelanggaran yang dilihat dalam masyarakat modern.
Meski demikian tanggungjawab pribadi guru dalam ekspeirmen Miglram bukan satu-satunya faktor; karakteirstik tokoh otoritatif – msainya kehadiran fisik pengeskperimenjuga penting dalam meningkatkan kepatuhan. Ketika Milgram meminta pengeksperimenmeberikan instruksi kepada guru lewat telepon, tingkat kepatuhan subyek untuk sampai pada 450 volt menurun hingga sekitar 30%. Ini menunjukkan bawha sebagian besar orang sulit menolak otoritas secara langsung, meski ketika moral mereka terganggu. Juga penting untuk dicatat bahwa bahkan kepatuhan 30% ini merupakan jumlah yang tinggi.
Konteks di mana ekpserimen dilakukan juga merupakan faktor penting (Milgragm 1965). Ketika eksperimen dilakukan di Yale, tingkat kepatuahn tingg; ketika eksperimen ditemaptkan jauhd ari konteks unveisritas dan dilakukand I bagian kota bawha, tingkat kepatuan menurun. Hasil-hasil ini menunjukkanabwha kepatuhan juga berkaitan dengan oksnep kita – kit amungkin berasumsi bawha ebertindak dengan cara-cara tertentu demi kebaikan iilmu da atau negara semuanya beanr, meski perilaku bisa melanggar kode-kodoe moral kita sendiri.
Milgram juga menemukan bnahwa tidak adanya otoritas yang jeals menurunkan tingkat kepatuhan. Dalam variasi ekspeirmend asar ini dua pengeksperimen hadir dan tidak sepakat untukmelanjutkan setrum. Di bawah kondisi in iguru dengan segra menghentikan menyetrum pelajar.
Yang terkahir Miglram menemukan bawha kepatuahn orang laint erhadap tokoh otritas menyebabkan meningkatnya kepatuhan subyek, sementar apemberontakan yang lain menyebabkan pemberontakan subyek yang menolak memberikan setrum lebih lanuut. Efek ini ditemukan pada penyimpang dalam eksperimen Asch dan menyatakan bahwa konformitas terhadap tekanan kelompok juga dilibatkan dalam kepatuhan terhadap otoritas dengan pengertian bawha tokoh otoritas mewakili sebuah kelompok yang diterima.
Milgram percaya bahwa kepatuhan terhadap otoritas merupakan usnru dasar dari kehidupan sosial. Tanpa kepatuhant erhadap otoritas yang diterima, masyarkaat akan bubar. Bagaimanapun, kepatuhan yang sama membantu manusia bertahan dalam kelompok sehingga bisa menyebabkan atrocitas seperti yang terjadi pada kamp kosnetnrasi PD II dalam insiden seperti My Lai selama konflik Vietnam. Cukup menakutkan untuk menyadri bawha sebagian besar dari kita mampu melakukan tindakan kejam di bawah kondisi-kondisi yangbenar. Meski kitatidak suka melakukannya, kepatuhan terhadap otoritas bisa mengesampingkan simpati, moral atau ketika kita terhadap manusia lain. Proses-proses kognitif kita memungkinkan ktita merasioaliasi jauh dari tanggungjawab ktai hingga kitabisa mengatakan “kiat ahanya mengikuti perintah.” Yang terkahir, struktru masyarkat kita, dengan beragam pembagian tenag kerja, bekeraj melawan perasaan tanggungjawab pribadi atas tindakan kita, seperrti juga disebutkan dengan jelas oleh Milgram (1975). Orang yang memerintahkan eksekusi bisa mensdisklaim tanggungjawab untuk ematian karena dia tidak menarik pemicunya,s emntar apengekskusi bisa mendisklaim tanggungjawba karena dia hanya mengiktui perintah. Juga, ketika keputusan dibuat olehnegara, tidak ada seorangpun yangmerasa bertanggungjawba karena tangung jawab masuk pada entitas non hidup. Dalam beberapa hal mungkin emgenjutkan bahwa kekejaman tidak lebih sering.

Penjara Mock Zimbardo
Seperti diketahui, penajra tidak berhasil mengurangi kejahatan di mas amendatang meski kita menyebut penjara sebagai pusat rehabilitasi, namun sama sekalit idak merehabilitasi. Residivisme (yang dikembalikan ke penjara setelah dipelasjkand an direhabilitasi) terjadi sekitar 75% di penjara-penjara USA. Sangat mudah bagi kita untuk percaya bahwa karakteristik kepribadian yang stabil (konssiten) dari kriminal daripada faktor-faktor situasional merupakan penyebab kembalinya mereka ke kehidupan kriminal setelah kembali ke masyarakat; meski demikian asumsi ini terlalu sederhana.
Phillip Zimbardo dan koleganya menysuun lingkungan penjara mock dalam basement departemen psikologid I Stanford University untuk menentukan sberapa banyak perilaku penjara bisa diatributkan pada karakteristik kepriabndian dan sberap besar faktor-faktor situasional yang biasanya terjadi dalam penjara.
Subyek relawan dibayar $15/herhari untukbermain peran sebagai tahanan dan penjaga. Subyek ditunjuk secara random pad asatu dari dua peran ini dan discreening dengan cermat sebelum eksperimen untuk mengetahui stabilitas emosional dan fisiknya. 22 subyek pria adalah mahasiswa yang shat dan normal dari rumahruamh kelas menengah. Subyek yang dipilihs ebagai penjara ditahan oleh Palo Alto Police Departemen di rumahnya, dituntut karena dugaan penggelapan atau peramokan besenjata, dibacakan hak-hak mereka, dicari, diborgol dan dibawa ke staisun polisi. Di stasun polisi tuduhan disiapkan pada setap subyek; mereka diambils idik ajrinya dan ditaruh dis el. Subyek kemudian dibawa ke Penjara Stanvord (situasi kesperimental Zimbardo), di mana mereka diperlakukan sebagai tahanan.. subyek ahrus tinggal dalam sitasui penjara 24 jam/hari selama 2 minggu. Permulaan eksperimen cukup sama dengan yang diperkirakan dalam sitasui penahanan nyata.
Subyek yang dipilih sbagai penjaga diberi meeting orientasi di mana mreka diminta memelihara ketertiban dalam penjara simulai tersebut. Para penjaga, yang juga diisntruksikan tidak melakukan kekerasna fisik terhadap par atahanan bekeraj pada 8 jam shift dan pulang ke rumah saat tidak bertuga.s para penjaga ini diberi useragam khaki, sebuah peluit dan tongkat malam untuk mempertegas identiatas mereka. Meski para penjaga ini percaya bawha studi ini dirancang untuk mengamati periaku para tahanan, studi ini sebenarnya menelitpi perilaku tahanan dan penjaga.
Hasil-hasil dari ekspeirmen penjara simlasi ini sangat mengejutkan. Pada akhir hanya 6 hari, studi ini harus dihentikan karena terjadi perubahan cepat pada perilaku tahanan dan penjaga. Gamabnr 10.3 menunjukkan jenis-jenis perilaku yang melibatkan tahanan dan pnenjaga. Seperti bisa dilihat, perilaku penjaga ditandai dengan memberi perintah, kmenyerang dan megnncam tahanan, dan terlibat adlam agresi fisikd anv erbal terhadap mereka. Par aptahanan ditandi dengan kurangnya perilaku umum, tapi ketika perialku intie rjadi init erdiri terutama bertanya atau menjawab pertanyaan. Agresi fisik dan verbal dari para penajaga menjadi lebih besar keitak studi berlanjut. Eski steiap penjaga s bersifat abusif, beberap apenjaga begitu kerasnya sehingga Zimbardo menyebutnya sebagai sadistik.
Emosionalitas para tahanan menjadi semakin engatif, dengan episode depresi, kecemasan ekstrim, penyakit psikosomatis dan pikiran untukmelukai orang lain. Emomsionalitas mereka menjdadi sangat parah dan separuh dari subyekhrsu dikeluarkan dari eksperimen. kondisi ini begitu memburuk di penjara ini saat “parole haering” 3 dari 5 subyek yang menjadi tahanan bersedia menyerahkan $15 per ahri agar bisa keluar dari eksperimen – dan ini terjadi hanya dalam 4 harti. Situasi ini menadji sangat real bagi para tahanan yan dibutkikan oleh fakta bahwa 90% dari persakpan pribadi mereka berkaitan dengan kondisi penjara daripada dengan kehidupan real di luar eksperimen.
Sehingga baik penjaga dan tahanan menjadi sangat terbawa oleh peran mereka, yang sebagian besar menentukan perilaku mereka. Para penjaga bertindak dengan cara yang mereka anggap perlu untuk mengotnrol para tahanan dan para tahanan bertidnak dnegna ara yangsam seperti para tahanan real dalam sistem hukum kita.
Sebuah baterei uji psikologi telah diberikan pad penjaga dan tahanan sebelum ekspeirmend imulai. Tak satupun uji yang memrediksikan perbnedaan ditemukan dia ntara perilaku tahanan dan penjaga juga di atanra penjaga kejam dan luank. Sitauisi dari penjara model ini bertannggungjabwa utnks ebagian besar perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh pria kulihaan kelas menegah,s ehat dan normal ini. Kelompok penjaga semuanyakuat dan para tahanan tak berdaya. Akibatnya perilaku mereka berubah sebagai beuah fungsi situasi di mana mereka terjebak. Tabel 10.1 menggambarkan beberapa perasaan yang dinyatakan oleh penjaga dan tahanan yang berkaitan dengan eksperimen.
Zimbardo percaya bahwa motif untuk berkuasa adalah variabel terpenting dalam psikologi (Zimabrdo 1975). Penjara terdiri atas kelompok-kelompok rang dengan ekkasuana besar (penjaga) dan lainnya tidak punya kekuasaan (tahanan). Untuk memelihara struktur kekasuaan, penjara mendehumansiasi tahanan dengan menjauhkan pakiand an item-item pribadi dan memberi orang inis regam dan nomor. Nada standar untuk makan, tidur, latihan dan seterusnya memeprkuat strutkur kekausaan. Tahanan tidak punya kontrol atas lingkungan. Di bawah kondis ini bisa diduga bahwa orang menjadi pasif, merasa mundur, menaadi depresi dan ingin menyrang balik masyarakat yang menempatkan mereka di sana.studi zimbardo menyatakan bawha tingginya tingkat kejahtan dalam lembaga penal kita bis adisebabkan oleh struktur dari situasis osial yang terjadi di penjara. Jik apara mahasis wayang normal dan bisa meneysuaikand iri dengan baik bisa menjadi sadisd an brutal atau pasif dan terdepresi dalam sbauh situasi penjara hanya dalam 6 hari, bagiamana dengan orang-orang yang dipenjara selama bertahun-tahun?”
Studi tetnagn motivasi sosial mednorong kami mempertimbangkan faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku kita. Seperti faktor-faktor situasional dalam studi penjara Zimbardo semakin penting, situasi ini juga bisa terjadi saat kita memberi bantuan bagi orang yang mengalami tekanan. Kehadiran orang lain nampak menghambat kita bertindak dalam situasi darurat. Studi perilaku membantu ini sudah diuji secara detail oleh Bibb Latane dan John Darley. Buku mereka The Unresponsive Bytandr: Why Doesn’t HE Help? (1970) menjelaskan banyak tentang topik itnrevensi bystander.

Intervensi bystander
Jika anda pernah melihat sebuah mobil terguling di sebuah jalan raya (dan anda tidak punya ponsel atau radio CB) anda tahu beatapa sulitnya membantu korban. Seperti disebutkan oleh Latane dan Darley, ini bukan pertanyaan orang-orang tidak membantu orang lain – karena kadang mereka membantu – tapi pada kondisi di mana perilaku membantu terjadi. Ini menunjukkan bawha perilaku memabntu bergantung lebih sdikit pada karakteristik para calon penolong daripada pada kokaraktersitik situasi emergensi. Pertimabngkan tiga contoh berikut dari Latane dan Darley.
Andrew Mormille memeagan perutnya saat naik kerita A pulang ke Manhattan. Sebelas penumpang lain melihat anak laki-laki usia 17 tahun berdarah hingga mati; tak satupun yang membantunya meski sipenyerang meninggalkan mobil. Dia mati.
Seorang opeator switchboard usia 18 tahun sendiri di kantornya di Bronx, diperkosa dan disrang. Setelah bisa kabur dia belrari telanjang danberdarah di jalanan dan berteriak minta bantuan. Kerumunan 40 penumpang berkupul dan melihat kejadian itu, si pemerkosa mencoba menariknya kembali ke tangga; tak satupun yang menolong. Akhirnya dua polisi muncul danmenahan peneyrangnya.
Kitty Genovese diseran oleh seorang maniak ketika pulang kerja jam 3 pagi. Tiga puluh delapan tetangganya di Kew Garden menengok ke jendela ketika dia berteriak; tak satupun memberi bantuan meski si penyerang butuh satu setengah jam untuk membunuhnya. Tak satupun yang memanggil polisi. Dia mati.

Latane dan Darley mempelajari kondisi-kondisi yang menyebakan perilaku membantu atau tidak adanya perilaku membantu. Salah satu temuan pertama mereka adalah perilaku memabntu bergantung pada apa yang diminta oleh si penolong. Dalam studi awal yang melibatkan situasi non darurat, mereka memiliki para mahasiswa di Columbia Uniersity New York City berjalan ke orangprang di jalan dan bertanya jam berapa, arah, bertukar dompet, atau menanyai nama mereka.
Hasil-hasil dari ekspeirmen emnunjukkan ab wha bantuan minor (waktu, arah atu berutkar) jarang ditolak dan 85% dari mereka memberikan bantuan. Kurang dari 40% dari merek ayang diminta memberikan nama mereka, dan hanya sekitar 30% memberikan dime ketika diminta.
Cara pemrintana dibuat juga berdampak signfikan terhadap penerimaanbantuan. Misalnya, dalam satu kondisi meminta dime, orang-orang cenderung memberi bantuan jika si peminta memberikan nama mereka (sekitar 50% memberikan) atau menjelaskan alasan mereka butuh uang (sekitar 60% memenuhi syarat. yang menarik jenis kelamins I peminta tidak berdampak terhadap menerima bantuan kecuali dalam kondisi dime. Dalam kondisi ini wanita lebih cnderung diberi aung yang mereka minta.
Studi-studi awal ini mengindikasikan bahwa satu faktor yang menentukan perilaku membantu adalah jumlah komitmen yang harus dibuat oleh si penolong. Pemrintana kecil atau umumbiasanya diberikan. Permintaan yang lurang umuma tau permintaan yang menutut Isi penolong membuat komitmen yang lebihbesar (memberikan uang ataunama) kemungkinan diberikan kecuali ada penjelasan yang masuk akal untuk diberikan.
Dalam situasi darurt komitmen oleh calon penolong akanr elatif besar, mungkin menyebabkan suatu keengganan calon penolong untuk ikut campur. Laane dan Darlye menyebutkanbawha karakteirsitk stiausi emergensi membuat mereka berada pada istuasi “no-win:” bagi penolong. Ada juga sedikit reward yang jelas untuk membantu perilaku.
Problem kedua dengan situasi emergensi situasi ini merupakanperisiwta tak lazim di mana calon penolong kurang siap. Orang-orang enggan untuk melakukan perilaku jika mereka tidak yakinc aranya. Karakteristik ketiga dari emergensi adalah mereka terjdi tiba-tiba; jika kita bereaksi, kita harus melakukannya dengan lagnsung, tanpa berpikir apa cara terbaik untuk merespon. Kit amungkinenggan dalam kondisi tidak punya keputusan semetnatara waktu kursial untuk bertindak lewat. Akhirnya karena kita tidak akrab dengan situasi darurat, tidak ada dafar di tangan teantg cara bertindak atau apa yang harus dilakukan dalam emergensi tertentu dan kita mungkin tidak membantu hanya karena kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sebuah Model Intervensi
Latene dan Darley mengusulkan apakah seseorang ikut campur atau tidak dalams ebuah situasi darurat bisa dipahami dalam lima faktor, sperti ditunjukkand alam flowchat gambar 10. 4. Tekanan orang lain mempengaruhi proses keputusan di seitap tahap tapi penting dalam tiga tahap pertama.
Kita harus mencatat situasi ini; jelas sekali kita tidak bisa beraksi terhadap kodisi darurat yang tidak kita sdarai. Laten dan Darley menemukanbahwa kehadiran orang lain dis ekitar kita, khsusunya orang asing, mengurangi perhatian kita pada lingkungan sehingga kita butuh waktu lebih lama untuk mengetahui adanya situasi darurat.
Dalam satu eksperimen subyek diminta melaporkan ke sebuah ruangan untuk berpartisipasi dalam wawancara tentang kehidupan urban. Par mahasiswa pria diberi nomor ruangan dan diminta mulai mengisi formulir pendahuluan sementara mereka menunggu untuk dipanggal wawnacar.a stelah subyek bekerja sendiri selama beberap amenit, asap mulai asuk k erungan levwal tengtilasi di satu dinding. Subyek yang menunggu sndiri biasanya mengetahui asap tersebu seltelah muncul, dengan depat menyelidikinya dan tidak menemukan penjelasan yang masuk akal, meningalkan ruangand an melaporkannya. Dari subyek dalam kondisi ini, 50% melaporkan asap dalam 2 menit sejak masuk, dan 75% melaporkannya dalam 4 menit. Sehingga subyek yang menunggu sendirian melaporkan kondisi darurat ini dengan cepat.
Dalam kondisi kedua, subyek saat datang di ruang yang ditunjuk menemukan dua subyek lain di sana dan sibuk mengisi formulir (dua subyek yang sudah muncul adalah suruhan pengeksperimen). Ketika asp masuk k erunangan ,stoges diminta melihat dan memberitahu asp tapi terus beekrja. Di bawah kodnsi itersbuet hanya 1 dari 10 subyek meninggalkan ruangan untuk melaporkan asap tersebut, sementara sembilan lainnya tetap mengerjakan kuesioner mereka ketika asap memenuhi ruangan. Observasi yang cermat mengungkapkan bahwa 63 persen dari subyek dalam kodnis isndiri memberitahu asap dalam 4 detik sejak asap itu masuk sementara hanya 26% drai subyek dalam ruangan ini dengan orang lain bersama mereka memberitahukan asap dalam 5 detik.
Data ini mengidikasikanbaha stu efek dari kehadiran orang lain adalah berkurangnya jumlah eprhatian yang kita berikan pad alingkungan. Hasil-hasil ini menyatakan bawh ketika sebuah kondisi darurat terjadi, kita akan lebi lamban memberitahukannya jika ada orang lain. Bnerkurangnya perhatian pad alingkungan kami ini bis aberasal dari kecenderungan memelihar ajarak psikologis tertentu dari roang lain dengan menghindari kontak mata. Dengan menghndari melihat orang lain, kita juga menghindari emgnamati lingkungan kita dan memberitahu situasi emergensi ini lebih lamban.
Ekspeirmen ruangna yang diisi asap juga meniunjukkan adanya faktor lain yang terlibat dalam penghambatan perilaku membantu. Situasi-situasi emergensi seringkali ambigus, etidaknya pada awalnya dan kita tidak yakin apakah akan emgnangap situasi ini sbagai emergensi ssungguhnya. Ketika kit atidak yakin kit acenderung melihat orang-orang di sekitar kita untuk menguji ideu-die kita tentang siutasi ini. Problemnya aldaah orang lain juga mealukan hal yang sama (melihat orang lain). Karena kita tidak inign mmpermalukan diri kita sendiri dengan emnyatakans ebuah kondisi darurat ketika tidak aada orang lain, kita cenderung memiliki ekspresi tenang dan non emosional ketika melihat sekliling dan kita juga melihat orang lain tenang. Oleh karena itu kita pasti salah; sebuah emergensi tidak semestinya terjadi. Latane dan Darley menyebut perilaku ini pengabaian pluralistik. Dengan tetap tak berekspresis dan tak emosional, kita “saling membodohji” untuk percaya bawha kondisi daruirat tidak ada. Pengabaian pluralistik nampka mencakup fatak bwha hanya 1 dari 10 subyek dalam kondis ieksperimental kedua melaporkan asap selama 6 menit uji. Dengan merujuk kembali pada gambar 10.3. kehadiran orang alin menghambat kita untuk memberitahu situasi, tapi kehadiran orang lain juga menicptakan pengabaian pluralistik yang menahan kita untuk menentukans itausi ini sebagai situasi darurat.
Dalam eksperimen lainnya, subyek megnisi kuesioner di ruangna sendiri atau bersama orang alin. Beberap apasangan subyek adalah orang asing, beberapa lagi teman, dan dalam satu kondisi satu subyek merupakan suruhan pengkspeirmen dalam ekspeirmen asap yang sama.
Latane dan Darley percaya bahwa hasil eksperimenini bisa dipahami dalam hal pengabaian pluralistik.d alm kondisi orang asign dan kofnderat pasif, subyek elihat satu sama lain semetnar tetap tenang. Merka menciptakan pengabaian pluralistik yang mengurangi peluang menentukan siuasi sebagai daruarat.
Latane dan Darley percaya bahwa tidak adanya intervensi bisa dipahami berasla dari difusi tanggungjawba karena kehadiran orang lain. Dalam sebuah situasi di mana orang enggan turut campur, kehadiran orang lain akan emgambil tanggungjawab dari pundak seseorangproblem innya aldaha setiap orang sama dipengaruhi oleh difusi tanggungjwab ini sehingga berkali-kali orang tidak melakukan inrtervensi, seperti yang tterjadi pad pembunuahn Kitty Genovese di atas.
Latene dan Darley mendesain sebuah eksperimen yang mirip dengan pembunuhan Kitty Genovese. Subyek dirkekurt untuk berparitsipasi dalam disksui tentang problem-problem pribadi yang berkaitand engan kehidupan di univesritas. Untuk mengurangi rasa malu, apra paritsipan ditaruh di booth idnividu dngan headpon dan mikropon untuk berkomunikasi satusama lain. Stelah eksperimen dimuali subyek mendengar salah atu partisipan mengalami epilepsi. Dalam satu kondisi setiap subyek diminta percaya bawha dia alaah satu-satunya orang yang tahu kejadian itu sementara kondisi kedua berpikir bwha empat paritsipan lain bisa juga mendengar emergensi ini. Episode pingsan dibuat leawt tape rcording untuk menentukan berapa persentase orang yang mencoba membantu korban ini.
Latane dan Darley menemukan 85% dari subyek yang dianggap sendirian mmbantu korbans ebelum tape berakhir sementara hanya 31% dari subyek yangemngngap emapt orang ini bisa mendengar rsizuer meresp[on ke situasidarurat ini.
Subyek yang tidak emlarpokan seizure adalah subyek apatetik. Mereka sangat grogid an memperhatikan krobanseizure ini. Apati dan deprsonalisasi yang berasal dari kehidupan kota tidak menjadi penejlsanyang adekuat untuk non ntitenrvensi apd situasi darurat. Malahan keahdiran orang laint idak hanya emgnuragni scanning lingkungan tapi juga mencitpakan pengabaian pluralistik dan akhirnya menyebarkan tanggungjawab yang dirasakan oleh seseorang hingga tidak ada bantuan yang diberikan.
Kaaraktersitik kepribadian ini tidak menjadi aturan yang e brhubungan dengan peluang perilaku membantu. Latane dan Darley tidak menemukan adanya kroealsi antara lima skala kepribadian yang berbeda dan perilaku membantu dalam studi seizure. Latar belakang biografis juga tidak rpedikitf dengan pengecualian hanya orang-orang yang tumbuh di komunitas kecil yang kemungkinan mebntu daripada mereka yang dibesarkan di area metropolitan besar. Perbedana rural-urban dalam perilaku membantu ini sudah ditunjukkan di beberap anegara.
Hasil=hasil Latene dan Darley menyatakan abwah faktor-faktor situasional (kehadiran orang lain) merupakand etermiann pentingn dalam perilaku memebantu sepemntar karakteirsitk disposisional individu kurang penting. Ini paling jeals terlihat dalam sebuah eksprimen oleh Darley dan Batson (1976)para manashsiwa smeianrid I PRIncdeton University diminta berparrtisipasi dalam studi tentang pendidikan dapn pekerjaan relijius. Subyek memulai ekspeirmend alam atu ruangan lalu diminta pergi ke gedugng sebelah untuk meneleesaikan eksperimen dengan berbicara singkat tentang pekejraan relijus atau parabel Samaritan yang baik. Tiga kondisi dijalankan. Dalam kondisi pertama subeykd iberitahu bahwa mereka termambat untuk bagin kedua eksperimen dan harus terburu-buru untuk menunju ke gedung berikutnya. Kelompok subyek kedua diberitahu mereka punya waktu yang cukup untuk pergi ke gedugn sebeluah dan kelompok ketiga diberitahu bawha mereka punya waktu banyak untuk pergi ke gedung sebelah untuk bagian ekdua kesperimen.
Subyek diarahkan ke gedung sebelah. Dengan mensyartkan mereka melalui alley yang menghubugnkan kedua gedung ini, pada alley ini konfederate eksperimen diamsukkan pad adinding dan diminta batuk dua kali berdehem ketika subyek melewatinya.
Perilaku yang menarik adalah apakah apra siswa dalam pelatiahn untuk kepentiran ini aka berhenti dan memabntu korband an apakah tipe pembicaraan mereka adalaha tentang memberikan (pekerjan reliijzsu versus prabel Samaritan yangbagus) dan tingkat keterburu-bruan (akhir, teapt waktu atau awal), akan mempengaruhi peluagn mereka memberikanbantuan.
Teori Konsitensi Kognitif
Teori konsistensi kognitif motivasi dimulai dengan ide bawha hubungan antara pemikirna, keyakinan, sikap dan perilaku bisa menciptkan motivasi. Motivasi ini seringkali disampaikan sepertri dalam okndisi tegang. Ini bersifat aversif dan mengaktivasi perilaku yang dirancang untuk mengureangi tensi. Teori-teori kosnsitensi meruapkant eori-teori homeostatis. Seperti dicatat oleh McGuire (1966) tentang setengah lusin teori konsistensi berkemabng selama 1950an, semuanya memiliki ide dasar yang sama bahwa orang-orang akan berusaha meminimalkan inkonsistensi internal. Sehnga kondisi optimal bagi idnvikdiu adalah kondisi di mana pikiran, keyakian, sikap dan perilaku konsisten satu sama lain.

Teori keseimabngan
Teori konsistensi kognitif biasanya dianggap dimuali oleh karya Fritz Heider (1946) ,heider percaya bahwa ekecenderungan muncul untuk hubungan antara orang, obyek atau keduanya agar seimbang, dan karena itu pendekatan ini sering siebtu teori seimbang.
Dalam teori seimabng, hubungan antaara orang dan obyek bisa positif atau negatif. Misalnya hubungan positif mungkin melibatkan kesukaan (John suak Gail) atau kepemilikan (Robert anggota partai Demokrat). Hubungan engatif bisa dipahami (Gail tidak suka John; Bill Republikian, tidak termasuk partai Demokrat). Heider menganalisa perilaku triadik ini dalam kmeseoimbangna. Gamabr 10.5 menmapilkan empat hubungan tak sempinabg dan empat hubungan seimbang.
Hubugan positif dan negatif yang dibicarakan oleh teori keseimabngan semuanya ada di dalama kepala orang yang membuat penilaian. Ini menyatakan abwah keseimbangan bisa terjadi akibat distorsi perseptual subyek. Misalnya Levinger dan Breedlove (1966) menemukan bahwa pasangan yangmenikah menganggap sikap mereka lebih mirip daripada sebelumnya, apsangan ini mungkin menyimpangkan perspesi meerka terhadap msikap satu sama lain untuk memelihar hubungan seimabng. Cara termudah untuk menentukan apakah sebuah hubungan seimbang adalah engan megnalikan tiga tanda ini secara bersamaan.
Riset tentang toeri seimbang mendukung konsep bahwa hubugan tak seimbang e brsifat motivasional. Misalnya Jordan (1953) menemukan bawha orang-orang menilai hubungan tak seimabng hipotesis lebiht idak meneyangnkan. Lebih lnajut Zajonc dan Burnstein (1965) menemukan bahwa hubugnans eimbang dipelajari lebih cepat; yang menarik ini berlaku hanya jik ahubungan yang diuji relvan untuk idnividu. Hubungna yang tidak relevan yang tak seimbang dipelajari lebih scepat. Sentis dan Burnstein (1979) juga mendapatkan hasil-hasil yang menunjukkan abwha keseimbangan penting dalam organisasi memori.
Meski riset umumnya mendukung teori keseimbangan, teori ini tidak menjadi penjelasan umum motivasi yang dihasilkan oleh ketidakkopnssitenan kognitif. Ini karena ada beberapa probnlem pada teori ni. Selain itu, teori keseimbangan dibayangi oleh teori lain yang dseibut teori disonansi kognitif.

Problem-problem teori keseimbangan. Dalam contoh kami tentang Bob dan Shyerley dan rumah abru kita mencatat beberapa cara bisa diambil Bob untuk mengembalikan situasi seimbang. Pertama, benar bahwa poorang-orang mengatasi ketidakkosnistenan kognitif dalam beragam ara, tapi teori seimang seidkit mengatgakan tentang bagiamana seseorang akan mengatasai ketidakseimbangan. Kit aitdak bisa memprediksikand ari treori keseimbangan bagaimaan situasi spesifik bisa diatasi.
Kedua, teori siembang tidak memperhitungkatn tingkat hubungan di antara item-item y agn tidak seimbang. Jika Bob sangat dekat dengan Shirley hubungan di antara merek tidak akan berubah mungkin akibat dari ketidaksepakatan tentang urmah yang disukai. Beberapa hubungan menjadji lebih oenpenting dari ayng lain dan teori seimabngns edikit menyatakan tentang bagiamaan perbedaan ni mempengaruih eprilaku mekrea.
Problem ketiga melibatkan pertanyaan seberapa besar ketidakseimangan bisa terjadi sebelum perilaku dipicu. Beberapa ketidakseimbanganr elatif tidak penting sementara lainnya s angat penting. Teori keseimabngan tidak memberi kita cara langsugn emngukui tingkat ketidakseimbangan dan tetap tidakpasti tentang seberapa besar ketidakseimbagnan diperlukans ebelum perilaku dipicau.
s\beberpaa usaha dilakukan untuk mengatasi problem kedua dan ketiga. Tiga problem yang dia\atat semuanya merupakan problem umumk – kidak adanya kekhususan teori ekseimbangan. Teori kesiembangan, meski bergundna dalam menyebutkan sifat motivasi umumd ari kondisi tidak seimbangn, belum diuraikan secara cuikup detail sehehingga prediksi akurat bisa dibuat.

Disonansi kognitif
Tidak meragukan banyak problem pada teori keseimbanmgan yang sudah berhasil. Dan pada saat yang sama teori keseimabngan dipelajari dimana Leon Festinger (1957) emngusulkan teori yang mencakup jauh yang mendominasi riset tentang motivasi kosnitensi kognitif. Teori Festinger diekanl sebagai disonansi kognitif.
Disonansi kognitif sebagai sebuah kosnp menekankan ide abhwa kita berusaha memeliahra konsistensi keyakinan, sikap dan opini kita dengan perilaku overt kita (Abelson et al 1968). Selama konsistensi dipertahankan, tidak ada motivasi yang dipicu.
Kognisi kita tentang diri sendir dan dunia di sekitar kita bisa dihubugnkan satu sama lain dalam tiga cara. Kognisi bisa disonan (kosnisten), tidak releevan atau disonan. Menurut teori disonansi, hanyau ketika kognitisi disonan adalah motivasi diaktivasi untuk menyelesaikand isonansi. Ketika kognisi sdisonan, menrutu Festinger (1957), kondisi motivasional negatif dihasilkan yang bersifat aversif, yang memicu k mekanisme khusus untuk menguragni disonansi. Dalam hal ini disonansi sering diangap menyerupai kondisi ketegangan dan memiliki beberapa ciri dorongan (seperti dibicarakan dalam bab 5).
Dua kognisi dipanggap disoann jika merepresntasikan ketidakkonsistenan. Misalkan kita suka makan makanan berkolesterol tingi tapi tahu bahwa makanan in iakan menignkatkan kemungkian strok. Ektidakkonsistenan dari dua pikiran ini akan menciptakan disonansi, yang akan mencitpakan pemikiran atau perilaku lain yangd irancang untuk mengurangi ketidakkonsistenan. Kita mungkin mengurangi disonansi dalam contoh kita dnegan mengubah asupan mkanan kita yang tinggi kolesterol.
Festigne rmencatat bawh disonansi bisa muncul karena bebearpa hal. Pertama, diosonansi bisa terjadi ketika peristiwa yangd iperkirakan berbeda daripada yangdipikrikan. Dengan mengharapkan A pada uji dan meneriam C aalah situasi yang menghasilkan diosonansi, m krena pemikiran tidak konsisten dengan aturan-atruan kultural. Misalnya, kita mungkin berusaha keras untuk cujrang pada ujian di mana kita tidak belajar sebelumnya. Masyarakat kita tidak menyukai kecurangan dan orang yang terpernagkap dia ntara godaan untuk curang dan mengetahui aturana-turan masyarakat berada dalam kondisi tegang. Disonansi bisa juga terjadi akibat ketidakkonsistenan dia ntara
Sikap dan perilaku tapi hany jika jutifikasi perilaku ytagn bertentangan dengan sikap seseorang tidak mencukupi. Untuk melanjutkan contoh curang, orang yang curang dan mengangagp curang sebagai transgresi dari aturan masyarakat akan mengalami disonansi yang laur biasa jika dia percaya ada justufikasi yangt idak cukup untuk berbuat curang. Ini bisa terjadi ketika seorang mahasiswa melewati k kuiliah tapi lali belajar untukt s tertentu. Di sisi lain tidak ada disonansi ayng akan terjadi jika siswa tersebut bisa menjustifikasi perbedaan dia ntara sikap dan perilaku secara itnernal. Sebu kasus tersebut bisa tejradi jika siswa percay abawha ujian profesior tidak adil atau ujian tersebut tidak mengukur kemampuan siswa.
Disonansi diyakini terjadi ketika terjadi ketidakonsistenan atau konflik di antara kognisi. Disonansi total yangd iaalmi individu bergantugn pada jumlahusnru yang bertentagan didalam ka\itanyah dengan sejumlah unsur konsonan. Deh seihgngga unsurdisonan sama dengan unsur kosnonan dibagi dengan jumlah unsur konsonan dan disonan. Semakin banyak unsurk yangd isoann, smekan beasr disoann kesleuruhannya. Kekuatan dcisoannsi yang diciptakan jgu dianggap bergantung pada pentingya unsur kognitif dalam konflik. Semakin penting unsurunsur tersbuet bagi seseorang semakin beasr disonansinya.
Seperit halnyad engan teori kesiemabngan, ada beberapa cara untuk menghasilkan disonansi/. Pertama, kita mengubah satu kognisi untuk mengurangi disonansi. Misalnya, disoannsi yang diciptakan oleh sikap seseorang terhadap kecurangan dan tahu bawha curang pada sebuah tes bisa direduksi dengan mengurangi sikaps eseprang. Cara reduksi disonansi ini menarik karena menyatakan bawha jika orang-orang terlibat pada perilaku yang bertentangan dengan keyakin atau sikap mereka, sikap mereka kaan berubah. Beberaa linibukti menunjukkan bahwa membujuk orangorang untuk terlibat daam perilakui yang berttentangan dengan sikap mereka akan menyebabkanperubahan sikap.
Cara kedua kitabisa menguangi disonansi adalah dengan megnubah perilaku untuk mengubah ketidakkosnistenan di antar akognisi. Misalny saya tahu bawha kelebihan berat badan itu berbahyaa dan meningkatkan peluang srngan jantung dan tekanan rii. Saya suka mkan. Men guabh perilaku makan saya dan berolahraga untuk menurunkan berat badan dan makan seadanya akan emngihalngkan disonansi.
Cara ketiga kita bisa mengurangi disonansi adalah dengan memperkenalkan unsur ketiga yang mengurangi disonansis cara efektif tanpa mengubah unsur-unsur yang bertentangan. Di dalam konsep ketiga ini muucullah mekanisme poertahanan rasionalsiasi. Dalam rasionalsais kita menguangi kecemasan dengann mendevaluasi situasi asal yag menyebabkan kecemasan atau menemukan reward tambahan dalam situasi yang berbeda dari yang diapatkan.
Bagaimana seseorang mengurangi disonansi? Para ahli teori disonansi menyatakanabwah metode yang dipilih adalah yang termudah. Misalnya, sesoerang yang bersedia melakukan tidankan yang berbeda dari sikap yang diteriam seseorang kemungkinan mengubnah sikap daripada perilaku untuk mengurangi disonansi. Dis isi lain jika perilakunya terjadi lagi, mengubah perilaku ketika bertentangan dengan sikap bisa lebih mudah daripada mengubah sikap itu.

Riset tentang disonansi
Disonansi kogntif menciptakan lebih banyak riset dan kontrofersi daripada teori kosnistensi kognitif lainnya. Kami tidak berusaha membahas semua riset ini tapi akan berfoksu pada sedikit riset yang paling sering disebutkan sebagai bukti disonansi positif.

Kepatuhan paksa
Salah satu contoh yang paling sering disebutkan dari disonansi kognitif adalah situasi di mana sesoeran bertindak dengan cara yang berbeda dengan pendapat orang lain (Festinger, 1957). Situasi ini akan mendorong produski disonansi jika sesoerang terlibat dalam perilakut ersebut tanpa jsutifikasi yang cukup untuk melakukannya. Misalnya sesorang mengaku setia kepada seroang diktator karena takut kaan hbukuman tapi memiiki pendapat pribadi yang cukup berbeda dari kepatuhan publik. Di bawha kondisi ini sedikit disonansi harus terjadi karena ada justifikasi diri yang cukup .meski dmeikian jika seseorang dipaksa untuk bertidnakd engan cara tertentu tapi tidak bisa membenarkan konflik perilaku dengan keyakianns eseorang, disonansi mestinya terjadi dan perubahan sikap akan mengikuti. Situasi ini disebut kepatuhan paksa.
Festinger dan Carlsmith (1959) menguji fenomena kepatuhan paksa dengan meminta tiga kelompok subyek melakuykant ugas repetitif dan membosankan). Memidnah paku di papan). Setleah satu jam melakukant uas tersbet subyek dari dua kelompok ini diminta oleh pengeksperimenter untuk meyakinkan subyek yang menunggu bawha ekspeirmen ini menarik. Subyekd alam satu kelompok dibayar $20 untuk bericara pad aindividu yang menunggu semntara subyek di kelompok kedua hanya diberi $1. kelompok ketiga berfungsi sebagai kontro; para anggotanyat idak diminta meyakinkan bahwa ekspeirmen ini menarik.
orang-orang yang par asubyeknya diminta meyakinkan sementara konfederat pengeksperimen, dan tujuan meerka adalah memsatikan subyek benar-benar mencoba meyakinkan emreka bahwa eksperimen itu menarik. Setelah subyek merampungkan penipuan mereka, mereka diminta menulis sberap amenarik ekspeirmen itu bagi mereka.
Kelompok kontrol menilai tugas ekserimen ebagai membsoankan. Para subyek yang dibayar $20 juga menilai ekspeirmen membosankan sementara subyek ygn dibayar $1 merasa lebih menikmati daripada dua kelompok lain.
Menurut teori disonansi kelompok $1 memilki jsutifikasi yangtidak cukup untukt erlibat dalam perilaku yang berbeda dengan sikap-sikap mereka tentang eksperimen; yaitu mereka percaya bahwa ekspeirmen ini tumpul dan hanya mencoba meyakinkan sesoerang bahwa ini menarik. Justifikasi yang tidak cukup untukperilaku mereka mendorng mereka mengubah sikap meerka tnentang eksperimen sehingga mereka percaya eksperimen iru benar-benar menarik danmeneyangkan.s ubyek yang dibayar $20 di sisi lain bisa dnegna mudah membenarkan perilaku kontra-atitudinal ini berdasarkan ada uang; sehingga sikap mereka tidak berubah.

Usaha. Dalam eksperimen lain yang dilakukan oleh Aronson dan Mills (1959), wanita kuliahan diminta menjadi relawan untuk srangkaian diskusi tentnang. Seks.s ebelum mereka diizinkan bergabung dalmd kelompok diskusi, mereka pertama-tama harus lulus tes untuk menentukana pakah emreka cukup dewasa untuk emnangani materi diskusi. Satu kelompok wanita diminta untuk membaca keras-keras daftar kata-kata yang berhubugand engan seks dan beberapa membuat grafik deskpriksi aktivitas seksual denganadanya pegnesperimen pria. Kelompok ekdua diminta membaca agak keras saja mmateri seksual. Kedua kelompok subyek diizinkan mendnegarkan tap e apa ygn eremaka anggpa sebagai diksusi aktual. yang terakhir, subyekdalam dua kelompok diminta menilai diskusi yang sudah mereka dengar.
Teori disonansi menyatakan bawha kelompok awal parah mengalamid isonansi pa yang berbeda di antara apa yang diminta mereka untuk melakukannya dan sifatt tak tertarik terhadap diskusi. Untuk mengurangi disonasni mereka percaya bahwa diskusi itu menarik dan mereka menyebutkan keinginan untuk berpartisipasi lebih lanjut.

Disonansi pasca-keputusandan pemaparan selektif terhadap informasi. Area ketiga penelitian tentang disonansi berkaitan dengan perliku di mana orang-orang terlibat setelah memilih di antara beberapa altenratif. Misalkan anda mencoba memtusukan memilih ddi antara dua mobil. Piliahan yang anda buat di antara dua altenratif postiif ini mestinya menciptakan disoansi yang akan mendorogn anda merevaluasi dua mobil ini. Anda akan merevaluasi mobil yang dipilih untuk mengurangi disoannsi pilihan yang diciptakan dan anda akan merevaluasi ke bawah mobil yang tidak dipilih. Dengan kata lain, stelah membuat pilihan anda akan menyukai mobil yang anda pilih. Selain itu, teori disoansi memrediksikan anda akan secara selektif memaparkan diri anda pada informasi baru yang memperkuat pemiliahn awal anda; yaitu anda akan sensitif terhadap iklan atau informasi yang emndukungpilihan anda dan akan berusaha menghindri informasi yagmn mengidniaksikan bahwa piliahn anda salah. Perilaku-perilaku ini mengurangi disonansi yang dicioptakan oleh pilihan anda.
Irset tentang perilaku pasca keputusan mendukung teori disonansi ketika faktor-faktor tambahan tertentu diperhitungkan. Sebuah studi oleh Brehm (1956) menemukan bahwa jika wanita diminta menilai produk yang disukai setelah mereka diizinkan memilihs alahs atu, rating untuk obyek yang dipilih meningkat, sementara rating untuk obeyk yang tidak dipilih menurun. Sehingga dalam studi ini, memilih di antara dua produk yang sama menciptakan perubahan sikap tentang produk di mana produk yang dipilih tersebut akan lebih dinilai tinggi. Dalam studi Berm kelompk kedua wanita dimitan memilih di antara dua produk dengan nilai yang sangat berbeda. Karena alternatif ini memilki nilai yang berbeda dan pilihannya mudah; sedikit disonansi yang dihasilkan dan akibatnya, perubahan-perubahan sikap pasca keputusan kecil seperti diprediksikan oleh teori disonansi.
Wicklund dan Brehm (1976) menyebutkan abwah banyak studi tentang pemaparan selektif terhadap infroamsi yangemngikuti pilihan belum menghilangkan beragam alasan altenratif (seperti keingintahuan dan kegunaan)untuk pemaparan tersebut. dalam sebuah tinjauan terhadap pusatka pemaparna selktif para peneliti ini menemukan bahwa keitak alaasan-alasna altneratif untuk pemaparan dikontrol atau dihilangkan, dukungan bagi pemaparna selektif yang mengikutis ebauh pilihan didapatkan. Wicklnd dan Brehm juga menyebutkan data tersebut, meskipun kuat untuk pemaparna selektif bagi ifnoramsi suportif, dianggap lebih lemah untuk penghindaran infomrasi non suportif. Kaita mencari informasi yang mendukung pilihan kita tapi tidak mencoba menghindari informasi non suportif.
Studi menarik oleh Lord, Koss dan Lepper (1979) membantu kita memahami mengapa ini tejradi. Par apenleti ini memaparkan dua kelompok subyek pada informasi yang sama tenang hukuman modal. Subyek dalm am satu kelompokm, yang berbeda dari hukuman modal, memandang informasi emreka mendukung posisi mereka sementara mereka di kelmpok lain mendukunghukuman modal, melihat bahan ygn sama yang mendukung sudut pandag mereka. Subyek dalam setiap kelompok mengekstraksi item-item spesifik informasiyang mendukung posisi mereka tapi sedikit dipengaruhi oleh item-item non suportif. Kita nampak untuk lebih menimbang bukti sebaliknya. Hasil-hasil studi Lord, Ross dan Lepper mungkin membantu kita menjelaskan mengapa kita tidak nmapak menghindari informasi non suportif; kita tidak memberi informasi non suportif tersebut perhatian penuh. Seperti yang dsiebutkan oelsh tudi di atas, hasil-hasilnya memiliki dampak penting bagi kebijakan sosial.

Ketika Ramalan Gagal. Salah satu aspek yang paling menarik dalam teori disonasni adalah dalam kasus yangmelibatkan seebuah studi lapangan terhadap sekelompok orang yang percaya bawha kota mereka akan dihancurkan oleh banjir besar. Pemimpin kelompok ini menerima pesan dari dunia luar yang memberitahukannya bawha kota ini akan dihancurkan pada 21 Desember. Festinger dan kolega mengetahui kelompok ini dari laporan koran. Berdasarkan formualsi disonansi kognitif, mereka memprediksikan ketika ramalan didiskonfirmasi, kelompok yang percaya ini tidak akan mengorbankan keyakiannya tapi mecoba untuk mendapatkan lebih banyak orang untuk memberikan dukungan tambahan bagi keyakinan awla mereka. Festinger dan kolega menyusupi kelompok ini sehingga mereka bisa mempelajari paa yang terjadi ketika bencana yangd iprediksikan ini tidak terjadi. Hasil-hasil mereka dilaporkan dalam buku When Propheci Fails.
Ketika jam menunjukkan tengah malam, setiap orng berharap-harap cepas, tapi setelah beberapa menit tak ada yang terjadi. Dengan memastikan waktu di jam itu benar, setiap orang duduk kebuingunga. Kemudian dengan putus asa mereka mulai melihat pesan-pesan itu lagi untuk mencari penjelasan lain. Saeosernag menduga bahwa pad apoin ini, disonansi yang besar muncul di semua orang yang peraya tersebut, karena banyak yang mengorbankan pekerjaan dan menghabiskan banyak uang demi keyakiann itu.
Selain disonansi yang besarkemungkiann juga terdapat keenganan untuk mengakui diskonfirmasi. Dengan tingkat komitmaend an dukugan sosial yang diberikan oleh orang yang percay alainnya, disoannsi mestinya lebih muda direduksi oleh suatu metode sleain menyatakan seluruh pengalaman itu tidak real.
Perilaku kelompok memberikand ukugan kuat bagi rpediksi Festinger. Pada 4.45 pagi, pemimpinmemberitahukan kelompok bahwa dia menerima pesan lain. Pesan ini menyebutkan bahwa keyakinan kelompok inilah yang menyelamatkan kota dari banjir. Studi lapangan Festinger menyebutkan disonansi bisa diciptakan oleh diskofnrimasi keyakian kita dan seberapa serign kita mencari solusi termudah untuk mengurangi disonansi. Untuk kelompok oran gyang percaya tersebut, menolak keyakinanya dalam bencana tidak mudah, dengan keterlibatan waktu, uang an stgerusnya. Untuk kelompok in kan lebih mudah menemukan alasan baru untuk diskonfriamsi daripada menyerah pada keyakinan lama.
Teori disonansi terus menstimulasi riset, meski demikian ini juga menimbulkan kritik besar. Dalam bagian berikutnya kami akan menguji beberapa kritik tersebut.

Kritik terhadap toeri disonansi
Sementara teori disonansi menciptakan banyak riset, teori ini juga mencitpakan kotnroversi yang besr. Mungkin kritik yang paling penting dari teori adalah kesamarannya yang meneybutkan abwah teori ini primitf dan tidak presisi. Ketidakpresisian dari toeri ini membuat prediksi apakah dua kognisi kanan beretntangan pada seseorang menjadi tidak mungkin. Iniberarti bawha kita tidak bisa dengan akurat memprediksikan di bawha kondisi apa sebuah konflik dalam kognisi I akan terjadi. Dalam hal ini Aronson (9168) menyarankan aturan ibu jari umum baahwa pelanggaran ekspektasi seseroang biasanya menyebabkan disonansi.
Problem kedua adalah yang sering kita lihat sebelumnya, disonansis eeprti kesiembangan bisa dikurangi dalam bberapa cara. Teoriini tidak memberikan pernyatan deifiniti ftentang cara tertentu mana yang akan dipilih dalam suatu sitasi atau oleh idnviidu tertentu,.
Kritik ketiga dari teori disoannsi adalah bahwa penejalasan-penjelasna altenratif belums elalu dihilangkan. Misalnya Chapanis dan Chapanis (1964) mencatat bahwa pada peksperimen pemrulaan parah oleh Aronsond an Mills (1959) anak peremuan yang dipaparkan pada kata-akta dan kalimat-kalimat jelas kemungkinan merasa menemukan diskusi tersebut berbeda dengan diskusi sebelumnya, sehingga lebih merasakan kesenangan daripada disonansi.
Meski dengan kelemahan teori disonansi, teori ini berdampak beasr terhadp teori-teori konsistensi kognitif motivasi. Teori ini menciptakanbadan penelitian yang besar dan mendorong pada pengujian eprtanyaan yang mungkin tidak akan ditanyakan tanpa peneitian ini.

Teori persepsi Diri. Daryl Bem (1967) mengusulkan sebuaha alternatif bagi teori disonasni yang menekankan die bahwa kita mengamati perilaku kita sendiri seperti halnya orang luar dan membuatpenilaian berdasarkan osbervasi tersebut. Alternatif Berm disebut teori perspesi diri. Bem berpendapa tbahwa banyak hasil ekspeirment al yang dianggap mendukung pendekatan disonansi bisa dijelaskan lewat konsep persepsi diri. Dia mencatat bawha perilaku yang diukur dalam hampir semua studi disonansi merupakan deskripsi diri dari sebuah sikap atau keyakinan.
Bern berpendapat bahwa hasil-hasil dari tipe pemenuhan eksperimen dan replikasinya menunjukkan bahwa subyek hanya membuat penilaian sendiri berdasarkan jenis-jenis bukti bukti yang tersedia bagi semua orang bukan sebagai hasil dari motivasi aversif yang dihasilkan oleh ketidakkosnsitenan antara siap (eksperimen membsoankan) dan perilaku (saya baru diberitahu subyek baru ini benar-benar menyenagnkan).
Analisis Bern tidak memerllukan pengaembbangan kondisi motivasi ketegangan yang emneyabbkan perubahan pad sikap atau perilaku tapi hanya meminta seseorang mengalisa perilakunya seperti seseorang mengamati perilaku orang lain. Pendekatan ini disebut teori atirbusi dan kami akan melihat lebih dekat pendekatan ini pada bab 11.
Apakah teori perspesi diri akan menggantikand isoannsi sebagai penjelaasan utnk perilaku speerti dicatat dis ini masih diperdebatkan. Bebeap lini penelitian menyatakan abwah teori persepsi diri mungkint idak mencakup perilaku yangd iamati pada beberapa paradigma disoannsi dasar. Riset nampak memnyatakan bawha disonansi dan prosses persepsi diri bisa terjadi di bawah kondisi-kondisi yang berbeda (Fazio, Zanna & Cooper 1977).
Saat ini model-model konsistensi motivasi menjadi kurang populer untuk menjelaskan motivasi kognitif.

Problem-problem umum teori konsistensi
Menurunnya popularitas teori kosnsitensi eb rasla dari problem-problemyang berkaitan dengan pendekatan umum bukanya dari teori-teori kosnitensi spesifik seperti teori Festinger. Petama kita memilki problem konseptual tentang mengapa ketidakkonsistenan harus memotivasi (Singar, 1966). Sangat sedikit teori kosnstensi menyebtukan mengaapa ketidakonsitenan memotivasi. Pengecualiannya adalah teori disonasi kognitif Festinger, yang mengkonseptualisasikan disoanansi mencitpakan dorongan,. Konsp dorongan itu sendiri mengalami banyak problem (lihat bab 5).

Pepitone mencatat teori-teori kosnistensi tidak mempertimbangkan problem-problem ktidakpatian. Msailkan kita tidak yakin akan sikap kita tentnag serangkaian kognisi tertentu, meski kita mungkin menduga ketidakpastian menyebabkan toleransi pemikiran tak kosnsiten yang lebih besar, teori kosnsitensi tidak memperhitugnkan situasi ambigu atau tidak pasti.
Singer (1966) menyebutkan abwah motivasi yang dihasilkand ari ketidakkonsistnena kognisi tidak begitu kuat sehingga mengabaikan perilaku normal. Kita tidak berhenti makan hingga kita mengatasi ketidakkonsistenan di di antara sikap kita tentang permaiann tenis kita dan fakta bahwa kita hbaru lkalah tiga straights ett, jiak amotivasi kosnistensi penting, mengapa pikiran kita sangat konsistens? Bem (1970) menyarankan bawha ketidakonsistnean mungkin tidak terlalu penting bagi beberapa orang; sehingga motivasi yang dihasilkan oleh ketidakonsistenan mungkin lingkupnya lebih terbatas daripada yang diperkirakan oleh para ahli teori.
Teori-teori kosnistensi yang berkembang untuk membantu kita menjelaskan kosnekwensi motivasional kognisi kita, terbukti kurang berhasil daripada yang diharapkan. Problem dasarnya adalah speisfikasi; teori-teori ini terlalu samar untuk digunakan. Banyak penjelasan alternatif. Kita harus mencatat bawha kompelsktasi moitasvasi kosistensi merupakan bagian dari alasan bawha toeri-toeri tidak bekeraj seperti yang diahrpakan. Mungkin kita harus mempertimabngkan hubungan di antara beberap akognisi dalam sebagian besar situasi untuk emahami perubahan-perubahan dalam perilaku. Juga masuk akal untuk megnanggap bawah menguabhs atu hubungan di antara dua kognisi bisa mengubah hub ungan kognisi tersebut dengan unsur-unsur lain; satu hubungan yang yang berubah mungkin mengubah seluruh hubungan lainnya. Menganalisa hubungan kognisi satu sama lain dan dengan perilaku sangat kompleks dan layak dipelajari lebih lanjut.

Ringkasan
Kita sudah melihat dalam bab ini bahwa motivasi sangat dipengaruih oleh kehadiran orang lain,. Efek terhadp kita mungkin adaptifd an membantu dalam itenraksi sosial spesies-spesies tersbuet (seperti manusia) yang tinggal dalam agregasi. Dalam bab ini kita menguji tekana-tekananan motivasional yang diberikan pada setiap diri kita untuk meneysuaikan diri dengan dengan aturan-aturan masyarakat. Data seperti data Asch mengindikasikan sangat sulit untuk melawan tekanan kelompok.
Eksperimen Milgram menyebutkan kesultian yang kita hadapi saat menolak melakukan isnturksi , karena nsturksi ini mungkinte rcela menurut moral kita. Data tentang konformitas dan pkepatuahn penting karena membantu kita memahami bagaimana kekejaman bisa terjadi. Karena kecenderungan kita untuk mematuhi tokoh-tokoh otoritatif, sebagian dari kita berpotensi bertindak dengan cara yang dipandang tak brmoral oleh orang lain. Studi penjara Zimbardo cukup mengejutkan karena cdepatnya mahasiswa universitas normal diubah oleh kondisi menjadi tahanan brutal dan tahanan pasif.
Bahkan kemungkinan membantu sesoerang yang mengalami stres dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Latane dan Darlhye menemukan bahwa dengan adanya orang lain akan mengurangi scanning kita pada lingkungan sehingga kita menjadi lebih lamban untuk memberitahukan kondisi darurat tersebut. Kita juga cenderung menutupi perasan kita yang sebenarnya saat mengamati ekspresi orang lain dalam sebuah situasi ambigu. Menutupi emosi menyebabkan timbulnya pengabaian pluralistik, di mana kita “saling membodohi” untuk menentukan situasi sebagai sesuatu yang tidak darurat, sehingga mengurangi peluang intervensi atau meningkatkan waktu hingga intervensi terjadi. Yang terakhir, kehadiran orang lain menyebarkan tanggungjawab untuk tindakan, sehingga individu tertentu mungkin merasa kurang bertanggungjawba untuk bertindak. Faktor-faktor situasional *seperti terburu-buru) jgau mengurangi kemungkian intervensi tdalam kondisi darurat, sementar keyakian agama nampak sedikit berdampak.
Dalam bab ini kita juga menguji konsepsiu utam motivasi yang menekankan struktur-struktur kognitif penting dalam menenutkan perilaku. Teori-teori konsistensi kognitif seperti teori keseimabngan dan disonansi kognitif berasumsi bawha ketidakkonsistenan di antara sikap, keyakinan dan perilaku menyebabkankondisi ketgangan yang menciptakan motivasi untuk mengurangi atau menghilangkan ketidakkonssitenan. Teori disonasi menjadi teori kosnistensi yang paling populer saat ini.





BAB 11
MOTIVASI KOGNITIF: PENDEKATAN-PENDEKATAN ATRIBUSI

Pada Juli 1985 seorang pria yang baru dipecat dari pekerjaannya menyerbu sebuah restoran McDonald di surburb San Diego dan mulai menembaki orang-orang yang makan disana. Seluruh keluarga meningal dalam serangan tersebut – pria, wanita dan anak-anak. Yang paling muda meninggal berusia 8 bulan; yang tertua berusia tuju belas tahun. Seorang polisi mengakhiri tragedi ini dengan membunuh pria ini. Par apenyelama yang memasuki zona pertempuran ini menemukan 22 orang meninggal dan 19 orang luka, salah satu tragedi terparah dalam sejarah.
Setelah tragedi tersebut dikenal, pertanyaan pertama yang terucap adalah mengapa? Apa yang mendorong pria ini membunuh orang-orang yang bahkan tidak dia kenal? Penjelasan apa yang membantu kita memahmi bagaimana peristiwa ini terjadi? Kita mungkin tidak benar-benar paham mengapa pria ini merasa terpaksa untuk bertindak demikian, tapi inti dari bab ini adalah kit asemua berusaha memahami dan mengerti peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita, bukan hanya tragedi-tragedi seperti di atas tapi juga peristiwa-peristiwa sehari-hari seperti mengapa koran terlambat datang pagi ini atau mengapa John berkata itu kepadaku.
Studi tentang bagaimana kita membuat keputusan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang kita alami disebut teori atribusi. Para psikolog sosial sudah menguji bagamana kit amembuat atribusi-atribusi tentang peristiwa; bagian-bagian berikut ini menjelaskan apa yang sudah mereka temukan.

Teori Atribusi
Satu aspek perilaku yang dimotivasi seara sosial yang mendapkan perhatian besar adalah teori atribusi yang erutama memperhatikan faktor-faktor yan goleh publik umum dianagp menyebabkan perilaku orang-orang. Orang-orang mengatributkan perilaku orng lain ke faktor-faktor tertentu – biasanya karakteristik kepribadian konsisten atau pad aspek-aspek situasi sosial orang yang terliba.
Teori atribusi menguji penjelasan-p;enjelasan yang kita dapatkan ketika kita mengamati perilaku seseorang dan menghubungkan pnjelasan-penjelasan tersebut dengan karaktersitik-karakteristik yang bisa diamati dari indiidu dan situasi.
Meski dperdebatkan apakah atrbusi yang kita buat besifat motivasional, nampak jelas bahwa atribusi berfungsi menguabh perilaku di masa mendatang, seperti variabel-variabel motivasional. Mari perhatikan beberapa teori atribuisi utamayangdiusulkan peneliti/
Jones dan rekan (1972) menyebutkan bwh studi proses-oses atribusi berkaitan dengan aturan-aturan yangdigunakan orang rata-rata untuk menduga sebab dan akbat. Heider (1958) menyebut analisis atribusi in isebagai psikologi naïve untukmenekankanbahwa atribusi-atirbusi ayng dipeljajadri adalah atribusi yang dbuat oleh orang-orang normal, bukan pada apa ayng bisa disimpulkan oleh pengmat terlatih.
Teori atribusi terletak padatiga asumsi dasar (Jones et al 1972). Pertama, diasumsikan bahwa kita berusaha menentukan sebab-sebab perilaku kita sendiri dan perilaku orang lain. Sebagai bagian dari asumsi ini, sebagianbesar ahli teori percaya kita termotivasi untuk mencari informasi yang membantu kita mebuat atirbusi-atrbusi tentang sebab dan akibat. Catat bahwa asumsi ini tidak menuntut kita menunjuk seab-sebab pada semua perilaku kita atau pada semua perilaku orang lain. Kit anampka mengatributkan perilaku-perilaku yang penting bagi kita. Yang menarik, Pittman dan Pittman (1980) memberi bukti bahwa motivasi yang mendorong kita membuat atribusi adalah kebutuhan untuk mengontro llingkungan kita. Kita memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang motivasi kontrol pada bab 12, tap perlu dicatat bahwa membuat atribusi akurat tentang peritiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita harus memungkinkan kita mengontrol peirstiwa-perisitwa tersebut dengan lebih baik. Kecuali kita tahu sebab-seab peristiwa, kita tidak mungkin mampu secara signifikan mempngaruhi mereka. Sehingga proses-proses atribusional bisa dipandang sebagai adaptif; mereka membantu kita memahmai dan selanjutnya mengontrol lingkungan kita.
Kedua, teori atribusi terletak pada asumsi bawha penunjukkan sebab-sebab perilaku dilakukan secara acak; yaitu ada aturan-aturan yang bisa menjelaskanbagaimana kita menyimpulkan apa yang kita lakukan tentang sebab-sebab perilaku. Dalam hal ini Beck (1978) menyebutkan kemirpan konseptual di antara ekspektansi dan atirbusi. Sebuah ekspektansi, seperti dicatatnya, adalah keyakinan (kognisi) y bahwa suatu hal akan mengiktui hal lain. Sebuah atirbusi adalah sebuah keyakinan tapi merupakan kebalikan dari espektaksi; yaitu sebuah atribusi adalah keyakinan bahwa stu hal mengikuti akiab hal lain. Sehingga ekspektansi dan atirbusi pada umumnya adalah sama. Yang memebdakannya adala waktu kita menganggap peristiwa-peristiwa yang berhubungan itu. Sebelum sya menaruh uang ke dalam mesin, saya mngharapkan uang akan menyebabkan munculnya soda. Ketka saya memilki soda, saya mengatirbusikan ini sebagai akibat dari uang.s emua perbedaan tersebut berada pada waktu yang saya anggap sabgai hubungan uang-soda; tidak ada hal lain yang berubah.
Tentu kita juga memiliki ekspektnasi yang tidak melibatkan sebab dan akibat. Misalnya, saya mengharapkan mobil saya ada di garasi ketika saya membuka pintu; tapi saya tidak percaya bahwa saya membuka pintu garasi menyebabkan mobil ada di sana. Sehingga tidak semua ekspektnasi sama dengan atribusi.
Bagaimanapun, analisis Beck menyatakan bahwa banyak riset yang dilaporkand alam bab 9, di mana ekspektansi ditekankan sebagai faktor penting dalam perilakus eperti prestasi, bisa dianalisa sama mudahnya dari sudut pandang atribusi. Inilah yang nampak terjadi dan dalam bab ini kami akan mempertimbangkan secara singkat analisis atribusional motivasi prestasi yang disarankan oleh Weiner.
Asumsi akhir di mana teori-teori atribusi berada adalah sebab-sebab yang ditujukan pada perilaku-perilaku tertentu akan mempengaruhi perilaku emosioal dannon emosional selanjutnya. Atribusi yang kita buat bisa mengaktivasi motif-motif lain. Teori-teori atribusi menyatakan bwha kita termoitasi untuk mencoba memahmai lingkungan di mana kita berkecimpung. Lingkungan ini meiputi orang-orang yang bernteraksi dengan kita dan situasi-situasi di mana interaksi tersebut terjadi. Kemudian dengan mendapatkan informasiyang cukup, kita scara kognitif memprosesnya menurut aturan-aturan standar (sebagian besar tidak diketahu) dan membuat keputusan-keputusan (atribusi) yang berkaitan dengan bagaimana sebuah perisitwa berkaitan dengan peristiwa lain.
Teori atribsi mulai dengan karya Friz Heider yang teorinya akan kami selidiki.

Psikologi Naif Heider
Asal dari teori atribusi adalah dari Frizt Heider yang juga bertanggungjawab atas teori keseimbangan. Heidr (1944) pertama kali menjelaskan beberapa pemikirannya pada atirbusi perilaku dalam sebuah makalah ulasan. Kemudian dia memformulasikan pemikirannya menjadi apa yang disebut sebagai psikologi naif (1958). Heider memilih istialh naif untuk menekankan intid ari mnat utamanya – bagaimana orang rata-rata memutuskan apa yang menjadi penyebab perilaku. Sehingga dia tidak tertarik pada bagaimana seorang pengamat yang teerlatih scara obyektif bisa mengatribusikan perilaku tapi bagaimana anda dan saya dalam urusan sehari-hari mengatributkan kausalitas.
Heider menyebutkan bahwa seseorang bisa mngatributkan perilaku pad akekuatan-kekuatan di dalam indiidu (disposisi) atau kekuatan-ekkuatan kesterna;l bagi individu (faktor-faktor situasional). Disposisi meliputi faktor-faktor seperti kebuthan,.harapan dan emosi dan juga kemapuan mamaksud dan keinginan seseorang untuk bekerja. Disposisi-disposisi baisanya dibagi menjadi kemampuan dan motivasi, dengan motivasi disub bagi lagi menjadi tujuan dan eksersi .
Atribusi-atribusi situasional meliputi keberuntungan dan kesultian tugas. Sehingga ketika kita menilai perilaku orang lain (atau perilaku kita), kita bisa mengatributkan perilaku yang diamati tersebut padakemampuan atautidak adanya tujuan, eksersi, keuslian tuga atau keberuntungan. Kita mungkin mengatributkan sbuah perilku pada setiap hal tersebut, tapi Heider menyarankan bahwa sebagai sebuah aturan kita cenderung mengatributkan perilakukepada sebab-sebab internal bukannya eksternal. Menurut Heider, aturan-aturan atirbusi dibiaskan ke arah sebab-sebab prsonal. Kecendeurngan untuk mengaributkan perilaku pada karakteirstik stabil dan intenral disebut eror atribusi fundamental karena atrbusi-atribusi kita cenderung dibiaskan kepada penjelasan-penjelasan situasional. Gamabr 11.1 menunjukkan model Heider. Poin pilihan atribusi merepresentaskan poin di mana seseorang mencoba memutuskan bagaimaan mengatributkan perilaku.
Panah berat yang menuju ke arah atribusi-atribusi disposisional mengindikasikan bias yang terjadi ke arah memilih alternatif tesebut
Satu saran (deCharms 1968) adalah bias rata-rata kita ke arah atribusi dipsosisional bisa beasal dari usaha kita untuk mempengaruhi perubahan; yaitu kita secara sadar berusaha mengontrol situasi-situasi pribadi kita dan masuk akal bagi kita untuk mengasumsikan bahwa perilaku orang lain disebabkan oleh hal yang sama. Perlu disebutkan bahwa usaha kita untuk mengontrol lingkungan tidak bearti sebagian besar perilaku kita disebabkan secara disposisional; sebenarny ini serngkali situasional meski demikian usaha kita untuk mengonrol masih cenderung membaiskan kita ke arah penjelasan-p;enjelasan disposisional untuk diri kita dan orang lain
Bias ke arah atribusi-atribusi disposisional ini berarti kita cenderung menyalahatributkan perilaku-perilaku yang ditentukan secara situasinal. Misatribusi tersebut bisa menimbulkan dampak-dampak di masa mendatang karena akan membentuk cara kita bertindak dalam situasi-situasi yang sama nanti. Misalnya, mahasiswa yang menyebutkan kegagalan di uniersitas sebagai tidak adanya kemampuan bisa berakhir dalam situasi kerja yang membosankan – ketika nilai jelek bisa timbul dari beban kuliah ayngburuk atau leh mononukleosis. Ketika para mahasswa berperilaku di sekitar kita, kita harus hati-hatiuntuk tidak membuat atribusi-atribusi disposisional tentang diri kita atau orang lain dengan bkti yang sedikit – khususnya karena atribusi-atribusi yang dibuat sangat sulit untuk brubah.
Pendekatan Heider merupakan awal dari penelitian tentang teori atribusi. Problem utama dengan pendekatannya adalah pendekatan ini tidak menghasilkanhipotasis khusus yang bisa diuji dengan mudah di lboratorium. Pendekatannya adalah kerangka umum yangmeningalkan determinan-determinan spesifik dari atribusi-atribusi yang tidak ditetapkan.

Teori Korespondnsi Jones dan Davis
Jones dan Davis (1965) memperluas pendekatan Heider untuk membuat komponen-komponenatirbusi disposisional menjadi lebih spesifik. Mereka menyatakan bawha orang-orang yang membuat atribusi kausal melihat perilaku dalam kaitannya dengan perilaku-perilaku lain oleh individu tersebut; yaitu orang-orang mengamati sebuah perilaku, membuat dugaan tentang tujuan dari perilakut ersebut lalu membandinkan tujuan terhadap perilaku lain yang dibuat oleh individu saat diamati dimasa lalu. Dalammembuat sebuah atribusi, Jones dan Davis percaya bhwa kita mencari korespondensi antara perilaku yang diamati dan tujuan yang diduga dari perilaku tersebut. Misalnya, orang yang bertengkar dengan marha dengan seorang klerk toko dan yang bertindak sama dengan orang lain di masa lalu kemungkinan memiliki perilaku permusuhan yang ditujukan pada karakteristik disposisioal – akren inferensinya adalah perilaku orang tersebut berasal dari karakteristik internal. Dengan kata lain, jika korespondensi di antara perilaku yang diamati sebelumnya tinggi, Jones dan Davis percaya kita cenderung menduga atribusi-atribusi disposisional.di sisi lain ketika korespondensinya rendah, kita cenderung membuat atirbusi-atribusi situasional.
Beberapa faktor bisa mempengaruhi interpretasi kita tentang korespondensi di antara beberapa perilaku. Misalnya, perilaku yang diharpakan secara sosial diberi bobot yang lebih rendah ketika kita membuat atribusi-atribusi disposisional. Desirabilitas sosial (bertindak dengan cara=cara yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat dari anda) ketika diduga oleh seorang pengamat, mengurangi peluang perilaku tersebut akan diatributkan pad disposisi. Satu cara berpikir tentang desirabilitas sosial adalah pengamat memiliki penjelasan yang bergantian untuk perilaku tersebut.
Di ekstrim lain dari perilaku yang diharapkan secar asosial adalah perilaku non normatif. Perilaku eksentrik atau tidak konfromis lebih cenderung diatributkan pada karakteristik disposisional daripada pada pengaruh-pengaruh situasional. Jikaperilaku ini bertentang dengan apa yangdiharapkan secara sosial. Pengamat biasanya mengatributkan perilaku tersebut dengan karakteristik konsisten individu (pad adisposisi).
Analisis Jones dan Davis tentang proses-proses atribusi yang disarankan kepada mereka bahwa satu cara bagi kita membuat keputusan tentang sebab-sebab perilaku adalah dengan mengamati apa yang disebut efek-efek tidak lazim/. Beberapa bagian dari sebagian besar perilaku yang kita amati umum bagi beberapa atribusi alterantif. Bagian-bagian lain dari perilaku yang diamati akan unik dan aspek-aspek unik inilah yang membuat kita membuat atribusi. Dalam istilah Jones dan Davis, korespondensi tak lazim memberikan informasi kepada kita tentang sebab-sebab perilaku. Misalkan sejenak anda berdiri di sebuah bank dan anda melihat seorang pria masuk. Dia berjalan pada lini teller terpenek dan menunggu dengan gugup. Pad poin ini, perilaku pria tersebut umum bagi beberapa atribusi alternatif; dia terlambat untuk mendaftar, dia memiliki parkir dobel, dia memiliki cek dan seterusnya. Ketika dia mnarik senjata dan meminta uang dari teller, atribusi untuk perilaku ini menjadi cukp jelas. Perilaku tak lazim memungkinkan kita mengatributkan kausalitas (seperti kita mundur dengan gugup). Faktor lain yang dilibatkan JEOns dan Davis dalam atribisi adalah keterlibatan pribadi kita dengan perilaku yang diamati. Kita biasanya bukanlah pengamat pasif dari duna di sekitar kita; kita mengamati dan berinteraksi secara bersamaan. Keterlibatan kita dalam perilaku yang kita buat atribusinya akan cenderung meningkatkan korespondensi yang kita amati dan juga atribusi disposisional yang meningkat. Jones dan Davis mengidentifikasi dua kategori keterlibatan pribadi yang mereka percaya penting; relevansi hedonik danpersonalisme.
Relevansi hedonik mengacu pada tingkat efek hukuman atau penghargaan terhadap kita dari perilaku orang yang diamati. Misalnya setelah kelas anda berjalan ke lot parkir dan mendapati ban mobil anda kemmpes. Satpam universitas menawarkan untuk mengganti ban. Karena ini situasi yang memberi reward bagi anda, anda akan mengatributkan perilaku stpam tersebut pada suatu karakteristik disposisiona seperi “dia orang yang baik.”
Personalisme melibatkan fakta bawha perilaku kita mempengaruhi perilaku orang yang kita amati. Cara orang bereskai terhadap kita menyebabkan tingkat korespondensid an atribusi disposisional tinggi. Ketika saya memberi kuliah, misalnya, saya mengamati wajah-wajah mahasiswa saya. Beberapa tersenyum dan mengangguk atas apa yang saya ucapkan, sementara beberapa lagi memandang ke jendela atau nampak bosan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman saya sebelumnya, saya biasanya mengatributkan perilaku mahasiswa yang perhatian dan mengangguk pada minat intelektual dan pemahaman sementara mengatributkan ekspresi melihat jendela atau bosan sebagai ktidaktertarikan pada hal-hal akademi. Atribusi-atribusi disposisional saya seringkali didiskonfirmasikans etelah ujian pertama. Bukannya tak lazim menemukan bahwa mahasiswa yang bosan merusak kurva dan mahasiswa yang perhatian nampak mengkonformasi ekspektasi saya dan tidak memahami kata yang saya ucapkan. Intinya adalah cara-cara orang bereaksi terhadap perilaku kita mempengaruhi aribusi-atribusi yang kita buat dan reaksi-reaksi emreka cdnderugn diafsirkan sebagai karakteristik konsisten mereka.
Jones dan Davis berusaha menentukan beberapa faktor yang erlbat dalam membuat atribusi-atirbusi disposisional. Kelemahan utama dari teori merka dalah teori ini tidak menentukan bagaimanakita membuat atribusi-atribusi tentang perilaku kita sendiri.

Teori Kelley
Kelley megnembangkan sebuah teoiratrinusional yang bisa mencakup atribusi yang kita buat berkaitan dengan perilaku kita dan perilaku orang lain. Dia percaya kita punya kebutuhan untuk mengontrollingkungan di mana kita berinteraksi. Untuk mendapatkan kontrol, pertama-tama kita harus mengumpulkan informasi dan menentukan apa yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tertentu. Dengan kata lain, atribusi-atribusi adalah usaha-usaha untuk menentukan bagaimana peirsitwa-peristiwa saling berkaitan.
Atribusi-atribusikausla dianggap sebgai akibat dari itneraksi kompleks diantara beberapa agen kausal. Kelley berpendapat ketika kita membuat atribusi tentang peristiwa, kita memilih penjelasan yang paling cocok dengan observasi. Benar apakah kita membuat atribusi tentang perilaku kita sendiri atau perilaku orang lain. Bagi Kelley, membuat atribusi bisa dihubugnkand engan menciptakan serangkaian hipotesis yang berkaitan dengan sebab-sebab perisitwa tertentu, kemudian, melalui osbervasi dan proses logis kita, menghilangkan alterantif-alternatif hingga kita mencapai penjelasan terlogis atas perisiwa tersebut. Kelley membandingkan proses atribusi dengan cara seorang ilmuwan menguji sebuahpertanyaan eksprimental. Baik atribusi dan hipotesis ilmiah didasarkan pada eliminasi logis dari beberapa alternatif.
Kelley berpendapat bawha beberapa prinsip memandu keputusan-keputusan atirbusi kita. Prinsip utama yang dipakai dalam proses atribusi adalah kovariasi. Kovariasi lintas waktu adalah cara penting kita mampu membuat penilaian tentang kausalitas. Kita mengetahui sebab-sebab dikaitkand engan hasil-hasil tertentu atas perioe waktu tertentu. Karena ada beberapa sebab yang mungkin untuk suatu hasil, hanya perisitwa-peristiwa yang secara konsisten berkaitan dengan hasil tertentu yang bersifat kausal. Misalnya anda mendapatkan A untuk sebuah test. Nilai yang bagus mungkin hasil dari keberuntungan, test yangmudah atau fakta bahwa anda belajar. Jika anda mengambil test lain stelah tidak belajar keras dan mendapatkan C, atribusi kausal “nilai bagus berasal dari belajar” akan menguat karena belajar dan nilai baik dihubungkan. Menurut Kelley, kita sensitif terhadap kovariasi hasil dan sebab ini. Sepanjang waktu hipotesis alternatif (keberuntungan) akan dihilangkan karena tidak berhubungan secar akonssiten dengan hasil. Dalam banyak situasi kita hanya satu kasus yang dinilai. Di bawha kondisi-kondisi tersebut Kelley (1972) berpendapat bahwa kita mengandalkan pada skemata kausal untuk membantu kita mengatributkan peirstiwa-peristiwa. Sebuah skema adalah srangkaian keyakiann atau ide-ide yang dimiliki indviidu tentang seberapa pasti sebab-sebab menyebabkan jenis-jenis hasil tertentu. Skemata berkembangakibat kita menglami hubugnan sebab dan akibat di masa lalu.
Skemata kausal memiliki lima karakteistik dasar. Pertama skemata kausal mencerminkan ide-ide dasar kita tentang realitas. Misalnya jika kita tidak percaya pada hantu, retakan dirumah tua akan lebih ditujukan pada stres=strs pada rumah terebut oleh angin atau pohon daripada oleh roh halus.
Kedua, skema memberikan kerangka yang didalamnya operasi-operasi tertentu pada informasi bisa dilakukan. Misalnya, jika skema kita mengatakan bahwa mesin gas tidak berjalan denganbaik akibat filter udara kotor kita bisa menganti filter udara pada mobil kita dan melihat apakah ini akan berjalan dengan baik. Tanpa kerangkayangdiberikan oleh skema itu, atribusi kita tentagn mengapa sebuah mobil berjalan buruk, akan sangat berbeda.
Ketiga, skemata memberi stributur bagi informasiminimal atau ambigu. Sehingga ketika dihadapkan pada informasi yang membingungkan, kita berusaha mencocokkannyad engan skema apapun yang membuat kita memahaminya dengan cara terbaik. Imnilah mungkin mengapa melihat UFO dijadikanbukti bagi mahluk ekstraterstrial atau ditulak sebagai fenomena alam. Dalam kasus pertama indivdiu memiliki skema yangmemberikan krangka bagi cahaya-cahaya ambigu di langut sebagai pengunjung dari dunia lain, sementara dalam kasus berikutnya individu memiliki skema untuk menjelaskan cahaya ambigu sebagai peristiwa-peristiwa alam.
Yang berkaitan dengan karakteristik skemata ketiga adalah yang keempat, yaitu skemata mengandung asumsi-asumsi tentang bagaimana dnia diatur. Bagi beberapa orang UFO tidak diiznkan dalam organisasi dunia yang dia asumsikan, sementara bagi oran lain UFO bisa dimasukkan dnegan mudah.
Yang terakhir Kelley percaya bahwa skemata memungkinkan kita mengisi data hlang. Osbervasi kita tentang sebuah peristiwa seringkali tidak lengkap. Skemata membantu kita menggambarkan apa yang mungkin terjadi yang tidak diamati, sehingga memungkinkan kita membuat atirbusi-atribusi berdasarkan pada informasi yang tidak lengkap. Akan menguntungkan bila kita bis alemakukannya; jika tidak kita mungkin kkesulitan mengatributkan sebab-sebab dari beragam perilaku.
Dalam situasi di mana hanya satu observasi yang mungkin danbeberapa penjelasan muncul sebagai atribusi yang mungkin, Kelley mengidentifikasi dua prinsip skematik yang membantu kita memutuskan di antara kemungkinan-kemungkinan tersebut. Yan gpertama disebut prinsip discounting, yang mengatakan bahwahs ebuah penyebabakan didiskon sebagai penghasil efek jika sebab-sebab masuk akal lainnyamuncul. Misalkan lampu di rumah anda padam. Kemungkinan anda meniup asap, tapi anda juga mendengar petir dari sebuah badai. Atirbusi asap akan cendeurng didiskon karena adanya alternatif yang lebih mungkin – badai yang mndekat menyambar stasiun daya dan rumah anda.
Prinsip discounting nampak penting dalam keputusan-keputusan yang melibatkan atirbusi disposisional versus situasional.. misalnya, jika perilakus eseorang bisa diatributkan ke desirabilitas sosial, hipotesis eksternal masuk akal ini akan berhasil mengurangi kemungkinan perilaku tersebut dianggap disposisional. Ini tentu saja apa yang disarankan oleh Jons dan Davis, tapi teori Kelley memprediksikan efek desirabilitas sosial sebagai salah satu aspek dari prinsip discounting. Prinsip discounting bisa juga bekerja menciptakan atribusi-atribusi disposisional. Jika hipotesis disposisional yang masuk akal muncul sebagai sebuah alternatif, penjelasan-penjelasan situasioal akan kurang diperhitungkan.
Prinsip kedua yang diidentifikasi oleh Kelley disebut prinsip augmentasi. Augmentasi terjadi ketika perilaku terjadi meski d kondisi-kondisi eksternal yang ada menghambat perilakut ersebut. Ini bisa terjadi ketika idnividu menyatakan sebuah keputusan kelompok, meski orang tersbut tahu bahwa melakukan hal itu akan menyebabkan kelompok pecah. Adanya kondisi penghambat memperbesar 9meningkatkan)kemungkinan perilaku tersebut akan diatributkan ke karakteristik disposisional. Dalam contoh tersebut, kita cenderung beasumsi bahwa orang-orang bersedia berbicara tentang keputusan kelompok akan merasakan isu tersebut dengan kuat.
Teori-teori atirbusi Heider, Jones, Davis dan Kelley menekankan aspek-aspek pemrosesan ifnoramsi perilaku manusia.kkita mengakumulasi informasi dan berdasarkan informasi tersebut, mengaributkan sebab-sebab perilaku dalam beagam cara. Penting untuk disadari bahwa kita mendsarkan atribusi-atribusi kita pada apa yang kita anggap sebagai sebab-sebab perilaku daripada pada sebab-sebab obyektif perilakut ersebut. Keduanya tidak selalu sama. Dalam mencoba memahami proses atribusi, kita harus hati-hatiuntuk memahami bagaimana individu memahami siuasi.

Riset tentang atribusi
Banyak riset yang sudah dilakukan tentang teori atribusi dan kami tidak akan membahasnya semua. kami akan menguji bebeapa riset yang menyatakan bahwa atribusi disposisional dan situasinal bergantung pad asudut pandang kita. Lalu kami akan menguji secara singkat teori atribusi yang berkaitan dengan motivasi prestasi.
Aktor-aktor dan pengamat
Banyak bukti menunjukkan bahwa aktor cenderung mengatributkan perilaku mrek pada tuntutan-tuntutan situasi, sementara para pengamat perilaku yang sama lebih cenderung mengatributkannya ke karaktersitik disposisional aktor (JOnes & Nisbett, 1972). Dalam satu studi Jones dan Harris (1967) meminta para mahasiwa menilai opini-opini real mahasiswa lain yang sudah diminta untuk membaca pidato tentang topik-topik tertent (misalnya pidato positif Castro). Subyek diminta menyatakan bahwa para pembaca tidak punya pilihan dengan pidato yang mereka baca. bagaimanapun, subyek masih menilai para pembaca pidato menyukai posisi bahwa mereka telah diminta untuk tampil.
Para mahasiswa yang mengamati nampak mengambil perilaku yang mreka lihat di nilai permuakan mengindikasikan disposisi-disposisi konsisten dari pembaca, meski fktanya para pengamat periaku cenerung membuat atribusi disposisional. par aktor mungkin diharapkan menilai perilaku mereka secara situasional. mengapa aktor dan pengamat menilai perilaku yang sama secara berbeda? Jones dan Nisbett menyebutkan bahwa meski perilaku slalu dinili dalam kaitannya dengan konteks situasional, konsep ini berbeda untuk aktor dan pengamat. perbedaan utamanya terletak pada fakta bahwa para aktor sadar akan latar belakang dan pengalaman masa lalunya sementara pengmat harus menilai perilaku hanya dari apa yang diamati. Dalam aksus para pembaca pidato, para aktor tahu sedikit tentang apa yang mereka rasakant entan Vastro dan mereka juga tidak memilih membaca pidato ini. Ara pengamat tahu bahwa orang-orang biasanya berbda pendapat mengenai posisi yang mereka yakini; oleh karena itu pngamat membuat atribusi-atribusi disposisional meski diberitahu bahw para aktor tidak memilh pidato.
Jones danNisbett mencatat bahwa bagian dai perbedaan antara atribusi-atribsi dari aktor dapn pengamat beasal dari perbedaan dari apa yang dibahas oleh masing-masing. Aktor memfokuskan perhatian pada petunjuk-petunjuk lingkungankarena itu harus diketahui untuk berintarksi dengan suskes. Pada saat yang sama aktor akan relatif tidak menyadari responnya sendiri karena dia tidak bisa secara langsung mengmati mereka. Pengamat memfokuskan perhatian pada aktor karena aktor merkana tiitk focal perilaku yangdiamati. Sehingga pengamat mungkin cukup tidak sadar akan petunjuk-petunjuk yang diperhatikan aktor.
Perhatikans eorang pemain tenis dan seorang pengamat. Pemain ini mengonsentrasikan perhatiannya pada pemain lain, bola, garis lapangan dan sterusnya karena ini menentukan apa respon selanjutnya,. Pada saat yang sama pemain biasanya tidak menyadari jarkanya, gerakannya dan penampilannya. Pengmat lapangan tenis melihat pemain bergerak maju mundur, dan nampak selalu tahu di mana bola berada dan menympulkan bahwa para pemain adalah ‘atilit alami” (yaitupengamat membuat atribusi disposisional). Pemain sebenarny harus mempelajrai semua gerakan dan me belajar memfokuskan perhatian pada mata, kakai dan raket lawan untuk mengantisipasi gerakan berikutnya. Para pemain akan cenderung melihat perilaku mereka sendiri berasal dari petunjuk-petunjukt ersebut daripada dari karaktersitik disposisional.
Analisis Jones dan Nisbett menyatakan bahwa para aktor dan pengamat mengatributkan perilaku secar aberbeda karenamereka merasakan perilaku dari sudut pandang yang berbeda. dalam serangkaian studi oleh Nisbett dan rekan (1973) mereka menemukan bahwa par amahasiswa berasumsi subyek yang sukarela membantu dalam satu situasi kemungkinan akan melakukannya lagi di masa mendatang. Para relawan, di sisi lain, tidak menilai diri mreka sendiri sebagai cenderung membantu di masa mendatang. Nisbet dan rekan jug amenemukan bahwa para mahasisw amenjelaskan pilihan teman mereka dari mata kuliah dan teman mereka menurut karakteristik disposisional teman, sementara itu menjelaskan pilihan utama mata kuliah dan pacar mereka menurut situasi. Sehnga bahkan seorang yang mengamati perilaku orang lain nampak beralih dari penjelasna disposisional ke situasional bergantungpad asiapa yangdiamati. Sekali lagi perbedaan ini berasal dari perbedaan perspektif dan jumlah informasi yang tersedia. Kita lebih cenderung mengatributkan perilaku kita pada petunjuk-petunjuk situasi karna kita mengatahui perilaku kita di masa lalu.
Storms (1973) secara langsung menguji pertanyaan perspetual dalam eksperimen ingenious. Subyek diminta terlibat dalam serangkian percakapan pendek tak terstruktur atau menonton orang lain melakukannya. Subyek yang berpartisipasi dalam percakapan mengatributkan perilaku merekal ebih pada situasi daripada pada pengamat yang mengawasi mereka. Storm juga mencatat percakapan tersebut dari sudut pandang berbeda. satu sudut pandang adalah aktor melihat selamat perakapan, sementara yang kedua adalah apa yang dilihat pengamat. Dalam bagian kedua eksperimen, sekelompok aktor melinat diri mereka sneiri dari sudut pandang pengamat, dan sekelompok pengamat melihat perackapan dari sudutpandang aktor. Di bawah kondisi-kondisi tersebut aktor mengatributkan lebih pada perilaku mereka pada karakteristik disposisional. Sudut pandang aktor dan pengamat penting dalam atribusi yang kita buat.

Prestasi. Teori atribusi juga muncul dalam literatur tentang motivasi berprestasi. Seperti yang kita lihat pada bab 9, banyak riset dilakukan untuk memahami motivasi beprestasi. Teori atribusi diterapkan terutama pada motivasi berprestasi oleh Bernard Weiner dan rekannya. Weiner berpendapat bahwa setidaknya empat unsur utama penting dalam interprtasi kita tentan perisiwa yang berkaitan dengan prestasi. Unsur-unsur tersebut adalah kemapuan, usaha, kesulitan tuas dan keberuntungan. Ketika kita terlibat dalam perilaku yang berkaitan dengan prestasi, kita menyebut sukses atau gagal kita pada tuas disebabkan oleh satu atau beberapa kombinasi dari empat unsur tersebut.
Pendekatan Weine rberasumsi bawha inferensi ang kita buat tentang kemampuan-kemampuan kita terutama berasal dari pengalaman-;engalaman sebelumnya. Sukses-sukses di masa lalu menodorng kita menyimpulkanbahwa kita memiliki kemampuan-kemampuant ertentu di bidagn-bidang tertentu, sementara kegagalan di masa lalu mengurangi keyakiann kita terhadap kemampuan kita. Inferensi-infernesi kita tentang keampuan kita tidak dinilai dalam vakum tapi dalam kaitannya dengan kinrja orang lain. Jika kita sukses pada tugas yang gagla dilakukan oleh orang lain, kita cenderung menganggap diri kita sebagai orang yang cakap.
Kita menilai usaha yang kita lakukan berasal dari faktor-faktor speti waktu yang dihabiskan, usaha oot dan sterusnya. Yang menarik, kita cenderung mengangap diri kita menghabiskan usaha lebih besar ketika kita sukses pada suatu tugas. Ini menunjukkan kita menghubungkan usaha dengan hasil yang suskes karena cenderung bersamaan dalam pengalaman kita. Kemampuan dan usaha bisa dianggap sebagai karaktersitik internal. Sehingga kita cenderung mengngap kemampuan kita dan usaha yang kita habiskan dalam bekerja pada suatu tujuan sebagai karakter disposisional.
Kita menilai kslitan tugas terutama dari norma-norma sosial, meski karakteristik obektif tugas juga beperan. Kita menduga kesulitan sebuah tugas dengan mengamati persnetase orang-orang lain yang sukses. Keika banyak orang lain yang sukses, kita menilai tugas tersebut mudah; mengamati orang lain gagal mendorong kita mendugabahwa tugas tersebut sulit.
Keberuntungan dianagp terlibat dalam tugas ketika kita tidak punya kontol aas hasil tugas. Misalnya kita cenderung menyebutkan pencapaian tujaun tertentu pada keberuntngan ketika kita bisa mndeteksi tidak adanya hubungan di antara perilaku kita dan pencapaian sukses dari tujuan tersebut. Demikian juga kalau kita gagal pada suatu tugas tapi kegagalan tersebut tidak berhubungan dengan apa yangkita lakukan, kita cenderung menyebutnya sebagai kesialan.
Kesulitan tugas dan kberuntungan bisa dianggap sebagai faktor situasional (eksternal bagi individu). Sehingga atribusi-atribusi yang berkaitan dengan perilaku kita yang melibatkan kesulitan tguas atau keberuntungan akan cenderung situasional ketimbang disposisional.
Weiner juga berpendapat bahwa kita cenderung menganalisa perilaku kita berkaitan dengan dimensi yang disebutnya stabil-tidak stabil. Kemampuand an kesulitant ugas bisa dianggap sebagai relatif stabil. Kemampuan tidak berayun secara drastis dari mkomen ke momen, demikian pula kesulitan tugas. Usaha dan keberuntungan adalah tidak stabil. Kita mungkin bekeja denganrajinpada suatu proyek tapi kurang berusaha pada proyek lain. Keberuntungan berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Empat askripsi kausal dan dua dimensinya bisa divisualisasi sebagai persegi pangkat empat seperti pada gambar 11.2. dimensi internal-eksternal berbeda-beda di sepanjang atas persegi, sementara dimensi stabil-tak stabil berbeda-beda di sepanjagn sisi ini. Sehingga kemampuan dianggap sebagai internal dan stabil, sementara keberuntungan dianggap eksternal dan tidak stabil. Analisis Weine tentang kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntungan meruipakan faktor-faktor penting dalam atribusi kausal perilaku yang menyatakan bahwa pergesran dalam ekspektansi sukses (atau gagal) harus bergantung pada sumber yang diatributkan pada suskes atau gagal. Misalnya, sukses yang diatributkan pada kemampuan harus mendorong pada menimngkatnya ekspektansi sukses di masa mendatang, sementara sukses yang ditujukan pad akeberuntungan harus mendorong pada sedikit perubahan. Juga mengatributkan sebuah hasil pada karakteristik stabil (kemampuan dan kesulitan tugas) mendorong pada pergeseranekspektansi yang lebih bsar daripada ketika diaributkanpada faktor-faktor tak tabil seperti usaha atau kberuntungan (Weiner, 1974).
Frieze (1976) menyelidiki kemungkinan bahwa kategori-kategori lain di samping empat yang diusulkan oleh Weiner relevanbagi atribusi perilaku berprestasi. Frieze menemupkan empat dukunga untuk kemampuan, usaha, kesulitan tugas, dan keberuntungan sebagai atribusi kausal bagi suskes dan gagal; meski demikian dia juga menemukan bukti untuk faktor-faktor mood, efek orang lain, dan isnentif. Data Frieze menyatakan bahwa suskes atau gagal pada sebuah tugas bisa diatributkan pada faktor-faktor selain yang disarankan oleh Weiner dan membuat proses atirbusi menjadi lebih kompleks.
Sebagian karena hasil dari studi Frieze, Weiner memodifikasi model atribusinya. Satu perubahan utama adalah inklusi dimensi ketiga dalammodel ini yang dia sebut sebagai intensinalitas. Dimensi intensionalitas memperhitungkan bahwa beberapa penyebabperilaku bisa intensioal (bias guru), sementara beberapa lannya (mood) bersifat non intensional. Seperti dicatat weiner, intensionalitas diusulkn sbagai sebuah faktor dalam proses atribusi oleh Heider pada 1958 tapi tidak dimasukkan ke dalam model atribusi-prestasi hingga 1972 oleh Rosenbaum. Sehingga Weiner memperluas model atribusi-presasinya untuk menunjukkan faktor-faktor selain kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntungan. Beberapa askripsi kausal tambahan untuk sukses dan gagal dalam situasi-situasi prestasi bisa meliputi kelelahan, mood, penyakit danbias orang lain (Weiner Russel (Lerman, 1978).
Mungkin petunjuk yang paling menarik dari riset atribsi Weineer adalah nvestigasi label-label emosional tertentu yang berkaitan dengan suskes atau gagal dari faktor-faktors eperti kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntunga
Dalam satu studi, Weiner, Russel dan Leman (1978) memberi subyek sebuah kisah tentang suskes atau gaga yang juga menyebutkan alasan-alasan sukses atau agagl tersebut. Berikut ini adalah salah satu dari kisah sukses yang dipakai Weiner: “Francis belajar keras untuk sebuah ujian yang dia ambil. Sangat penting bagi Francis untuk mendapatkan skor tinggi pada ujian ini. Francis mendapatkan skor yang sangat tinggi pada test tersebut. Francis merasa dia mendapatkan skor tinggi ini karena belajar keras. Bagaimana menurutmu perasaan Francis setelah mendapatkan skor ini?” (WEIner Russell & Lerman 1978, hal 70).
Subyek diminta menyebutkan reaksi emosional individu dalam kisah ini dengan meiolih kata-kata yang bernada emosioal dari dafatr yang dibuat oleh Weiner. Dia menampilkan sepuluh kisah berbeda dengan sepuluh alasan berbeda atas suskes tersebut. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa beberapa kata muncul kembali pada sebagian besar dari sepuluh atirbusi kausal sukses. Contoh-contoh seperti senang dan bahagia muncul pada kesepuluhnya, semntara puas menunjukkan pada delapan dan tidak puas muncul pada tujuh. Enam atribusi nampak menciptkan emosi khusus, seperti dibuktikan oleh kata-kata deskriptif yang dipilih. Misalnya, sukses yang ditujukan pada usaha tak stabil (kuat) mendorong pada pilihan kata-kata seperti uproarious, delirious, delighted, ecstatic, dan leated sementara sukses yang ditujukan pada keberuntungan mendorong pada pilihan-pilihan seperit terkejut, heran, kagum.
Dengan cara yang sama, 11 kisah tersebut ditujukan pada kegagalan atau beragam penyebab seperti kemampuan, mood, keberuntungan kelelahan dan seterusnya. Beberapa kata muncul pada beberapa dafatar, tapi sekali lagi dimungkinkan mendiskriminasi di antara atribut-atirbut oleh kat-kata yang dipilih. Misalnya, kegagalan be karena tidak adanya kemampuan menyebabkan subyek memilih kata-kata seperti tidak kompeten, tidak adekuat, dan panik, sementara kegagalan yang ditujukan pada keberuntungan mendorong pada pemilihan kata-kata seperit terkejut, kagum dan heran.
Hasil-hasil studi Weiner nampak mengindikasikan bahwa beberap aemosi yang berbeda dikaitkand engan atribusi yang berbeda untuk sukses dan juga untuk gagal. Sehingga pandangan bahwa sukses pada aktivias yang berkaitan dengan prestasi mendorng pada rasa bangga dan kegagalan mendorong pada rasa malu nampak telalu sederhana. Seseorang mungkin p merasa percaya diri dan senang ketika sukses ditujukan pada kemampuan sementara rasa terkejut dan kagum ketika sukses ditujukan pada keberuntungan. Demikian juga kegagalan tidak selalu menimbulkan rasa malu. Gagal yang berasal dari tidak adanya usah akuat (usaha tak stabil) menibulkan rasa malu dan rasa bersalah sebagai asosiasi yang bernada emosional, tapi gagal sebagai akibat dari usaha-usaha lain mendorong pada sikap agresif, seperti dibuktikan oleh kata-kata seperit freocious, revengul dan furious.
Pada 1985 Weigner mengusulkan teori atribusional yang dimodifikasi dari motivasi prestasi yang memperluas karya sebelumnya. Dalam model ini dia mngusulkan bawha penilaian yang dibuat orang-orang tentang sebab bisa dipahami termasuik dalam tiga dimensi utama: lokus, stabilitas, dan kontrolabilitas.
Setelah menguji beberapa studi, Weine rmenyimpulkan bahw akontrolabilitas diperlukan untuk mnejelaskan cara orang-orang menyebutkan kausalitas pada suskes dan gagal meerka, karena sebab-sebab yang masuk dalam dimensi lokus dan stabilitas bisa juga dikategorikan di bawha kontrol volisional. Sehingga usaha-usaha yang sebelumnya digolongkan sebagai intenral dan tidak stabil bisa juga dikontrol semtnara mood dan kelelahan yang juga bersifat internal dan tidak stabil, tidak bisa dikontrol secara biasa.
Model weiner berusaha menghubungkan askripsi kausal yang dibuat orang-roagn tentang ekspektansi sukses atau gagal di masa mendatang. Prinsip ekspektansi Weiner menyatakan ”perubahan-perubahan pada ekspektansi sukses yang mengikuti sebuah hasil dipengaruhi oleh stabilitas yang dirasaan dari sebab peristiwa (Weiner 1985, hal 559). Menurut Weiner, hal tersebut berasal dari prinsip ekspektansi.
Corollary I. Jika hasil sebuah peirsitwa ditujukan pada sbeab stabil, maka hasilnya akan diantisipasi dengan meningkatnya kepastian, atau dengan meningkatnya ekspektansi di masa mendatang.
Corollary 2. Jika sebuah hasil ditujukan pad asebba yang tidak stabil, maka kepastian atau ekspektansi hasil tersebut mungkint idak berubah atatau masa depan bisa diantisipasi berbeda dari masa lalu.
Corollary 3. Hasil-hasil yang ditujukan pad asebab-sebab stabil akan diantisipasi berulang pada masa mendatang dengan tingkat kepastian yang lebih besar daripada hasil-hasil yang ditujukan pada sebab-sebab tak stabil (Weiner 1985, hal 559).

Mari ambil contoh askripsi kausal dan lihat bagaimana prinsip ekspekannsi Weiner bekerja. Misalkan anda baru saja menerima A pada lalpoan laboratorium pertama anda untuk sebuah kelas dalam psikolgoi eksperimental. Anda hanya mengira mendapatkan ”C+” sehingga anda senang dan terkejut dengan hasil ini. Prinsip ekspektansi mngatakan bawha bagaimana anda mengatributkan ”A” anda akan membuat perbedaan bagi ekspektasi anda di masa mendatang. Jika anda mengatributkan nilai pada sebuah sebab stabil seperti kemapuan anda, maka anda lebih cenderung mengharapkan nilai lab yang bagus pada laporan selanjutnya. Di sisi lain jika anda mengatributkan nilai yang anda peroleh pad sebab tak stabil seperti keberuntungan,. Corollary 2 mengatakan anda tidak akan menguabh ekspektasi masa mendatang anda tentang nilai lab anda (anda masih menduga mendapatkan C untuk lab berikutnya) atau anda mungkin mendugamasa mendatang akan berbeda dari masa lalu (anda tidak akan mengira mendapatkan A lagi). Sehingga menurut Weiner, askripsi kausal bisa menyebabkan perubahan-perubahan ekspektansi yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku di masa menadtang.
Beberapa studi tlah dilakukan berdasarkan model Weiner 1985. misalnya, Weiner, Perry dan Magnusson menguji reaksi-reaksi subyek terhadap sepuluh stigma. Stigma ini biasanya diartikan sebagai nilai atau tanda yang menunjukkan penyimpangan dari norma. Sepuluh stigma tersebut adalah: AIDS, penyakit Alzheimer, kebutaan, kanker, kekerasan pada anak, kecanduan obat, penyakit jantung, kegemukan, paraplegia, dan sindorm Perang Vietnam. Dalam dua studi pertama mereka menemukan bahwa stigma-stigma yang berbasis fisik dianggap sebagai onset-tak terkontrol, dan meniublkan penilaian yang membantu. Stigma yang bisa dianggap sebagai perilaku dianggap sebagai onset-terkontrol dan menimbulkan kemarahan dan penilaian tak terbantu.
Para peneliti tersebut juga tertarik menentukan bagaimana reaksi orang-orang dan ekspektasi dengan bantuan akan merubah jika informasi diberikan seh9ingga mengubah dimensi kontrolablitas stigma. Dalam yang kedua dari dua eksperimen tersebut mereka memberi alasan-alasan untuks tigma seperti separuh waktu dari stigm adipandang bisa dikontrol dan separuh waktu dari stigma yang sama tersebut dianggap tidak bisa dikontrol.
Studi ini konsisten dalam menunjukkan bahwa kontrolabilitas merupakan dimensi penting dari atribusi-atribusi yang kita buat dan atribusi-atribusi tersebut beerdampak pada perilaku di masa mendatang seperti menolong.
Atribusi-atribusi yang kita buat tentang sebab-sebab suskes atau gagal kita sangat mempengaruhi ekspektasi suskes kita di masa menadtang; mereka juga nampak mempengaruhi emosi yang kita alami akibat dari suskes dan gagal. Dweck dan rekan mempelajari atribusi-atribusi yang dibuat oleh orang-orang setlah pengalamnasukses dan gagal. Studi-studi Diener dan Dewck cukup menarik.
Dalam studi pada 1978, anak-anak diuji untuk orientasi penguasaan dan ketidakberdayaan dan diminta menjelaskan apa yang mereka pikirkan. Sebelum mengerjakan sebuah tugas, tidak ada perbedaan atanra atribusi-atribusi yang ditawarkan oleh dua tipe anak. Dengan mengikuti pengalaman gagal, atribusi-atribusi yang dibuat oleh duakleompok ini hampir sepenuhnya berbeda. Anak-anak yang digolongkan sebagai tak berdaya menyebut kegagalan mereka pada faktor-faktor yang tidak bisa dikontrol; anak yang berorientasi pada penguasaan tidak nampak mengarrtikan diri mereka gagal sama sekali, tapi dari verbalisasi mereka, mereka nampak mencari solusi atas kegagalan mereka.
Emosionalitas yang dihasilkan oleh tugas yang gagal jug abbereda untuk kedua kleompok ini. Anak-anak yang berorientasi penguasaan memeliahra sikap positif tentang tuas dan terus percay abahwa mereka bisa bekerja dengan baik di masa mendatan.g anak-anak yang putus asa, di sisi lain, mengembangkan sikap-sikap negatif tentang tugas dan berusaha keluar dari situasi ini.
Dalam studi mereka pada 1980, Diener dan Dewck menguji atribusi-atribusi anak yang berorientasi penguasaan dan putus asa terhadap pengalaman-pengalaman sukses dan sekali lagi menemukan perbedaan-perbedaan di antara atribusi-atribuisi yang dibuat oleh dua kelompok ini. Perbedaan-perbedaan dasar ini beraitan dengan bagaimana sukses ditafsirkan. Anak-anak yang putus asa nampak kurang mengingat sukses mereka daripada anak-anak yang berorientasi pada penguasaan karena mereka secara konsisten mengabaikan jumlah maslaah yang sudah mereka pecahkan dengan baik. Selain itu, anak-anak yang putus asa itu menilai sukses mereka lebih rendah daripada apa yang mereka harapkan dari anak-anak lai, sementara anak-anak yang berorientasi pada penguasaan menilai sukses mereka leih tinggi daripada sebagian besar anak lainnya. Temuan terakhi rini menyatakan bahwa anak-anak yang putus asa megnatributkan suskes mereka bahwa hal tersebut bukanlah even yang patut dihargai. Diener dan Dewck mengusulkanbahwa anak-anak yang putus asa bisa membandingkan diri mereka bukan pada anak rata-rata dari kelompok rekan meerka tapi pada anak-anak terbaik. Jika ini terjadi, maka untk menjadi benar-benar sukses anak-anak tersebut harus bekerja lebih baik daripada anak-anak terbaik dalam kelompok referensi mereka, sebuah tugas yang sangat sulit.
Mungkin perbedaan yang paling menarik di antara anak-anak ayng putus asa dan yang berorientasi pada penguasaan adalah anak-anak yang putus asa tidak menganggap sukses mereka saat ini memprediksikan sukses di masa mendatang. Diener dan Dewck menyatakan bahwa perbedaan ini bisa berasal dari atribusi-atribusi yang berbeda tentang sebab-sebab sukses. Sementara anak-anak yang berorientasi penguasan cenderugn mengatributkan sukses mereka pada kemapuan, anak-anak yang putus asa tidak. Lebih lanjut, ketika anak-anak yang putus asa mengaami suskes yang diikuti oleh kegagalan, mereka mendiskon sukses lebih besar daripad aanak-anak yang berorientasi penguasaan. Anak-anak ayng putus asa dalam studi lebih cenderung mengatributkan sukses awal mereka pad akemudahan tugas ketika ditanya tentang sukses-sukses tersebut setelah kegagalan. Selain itu, anak-anak ayng utus asa menurunkan ekspektansi sukses di masa mendatang mereka setelah gagal, sementara anak-anak yang berorientasi tetap berestimasi tinggi. Anak-anak yang putus asa dan yang berorientasi penguasaan nampak memandang sukses dan gagal secara cukup berbeda. Anak-anak yang putus asa nampak lebih menitik beratkan pada kegagalan dalam membuat atribusi, sementara anak-anak yang berorientasi penguasaan lebih memperhatikan pengalaman-pengalaman sukse.s
Riset selanjutnya oleh Dweck dan kolga mendorogn pada hipotesis bawha anak yang putus asa dan berorientasi penguasaan berbeda dalam hal tujuan yang mereka usahakan. Menurut Dweck dan Leggett (1988), anak-anak yan gputus asa mencari tujuan-tujaun performa (diartikan sebagai mendapatkanpenilaian yang bagus atas performa mereka) sementar aindividu yang berorientasi penguasaan mencari tujuan-tujaun pembelajaran (diartikan sebagai meningkatkan kemampuans eseorang). Riset mereka menyatakan tujuan-tujuan yang berbeda tersebut mendorong pada pola-pola respon agn berbeda, dengan kegaglaan pada usaha tujuan-tujaun performa meningkatkan kerentanan seseorang pada keputusasaaan, dan kegagalan pada tujuan-tujuan pembeljaaran mendukung startegi-startegi perilaku untuk mengubah kegaglaan menjadi sukses.
Dweck menyarankanbahwa usaha dua tipe tujuan tersebut berasal dari membedakan teori-teori implisit tentang intelegensi seseorang. Beberapa orang percaya bahwa kemampuan intelektual mereka tetap, sementara beberapa lagi melihat kemampuan intelektual mereka mampu tumbuh. Riset Dewck mengindikasikanbahwa subyek yang memandang intelegensi mereka etap cenderung menggunakan tujuan-tujuan performa untuk membuktikan kemampuan mereka. Individu yang memandang intelegnsi mereka bisa ditempa cenderung menggunakan tujuan-tujuan pembelajaran seabagia cara untk mengembangkan intelegensi tersebut lebih lanjut.
Dalam pengertian model atribusi Weiner yang menekankan usaha sebagai satu kompoenn atribusi yang kita buat, juga menarik untuk dicatat bawha Leggett dan Dweck menemukan bahwa anak yang putus asa dan berorientasi penguasaan memandang usaha secara berbeda. Anak-anak yang putus asa megnanggap usaha sebagai mengindikasikan tidak adanya kemampuan (jika saya harus bekerja keras saya pasti tidak terlalu pintar), sementara anak-anak yang berorientasi pada penguasaan memandagn usaha sebagai satu startegi untuk menunjukkan kompetensi mereka.
Riset Dweckd anr ekan nampak menunjukkan bahwa perilaku berorientasi penguasaan dan putus asa bisa dilacak pada pandnagna mereka yang berbeda tentang kemampuan yang pada akhirnya mendorong pada fokus tentang tujuan-tujuan yang berbeda. Ketika tujuan-tujuan tersebut tidak dipenuhi persepsi individu akan sangat berbeda, menyebabkan rasa putus asa pada beberapa orang atau problem solving yang lebih aktif pada orang lain.
Dweck, Hong, dan Chiu (1933) memperluas ide tersebut lebih lanjut dengan menyatakan bahwa orang-orang tertentu memandang diri mereka dan orang lain bertindak berdasarkan sifat-sifat tetap (orang-orang terebut disebut para ahli teori entitas oleh Dweck et al 1993) sementara orang-orang lainnya memandang diri mereka sendiri dan orang lain sebagau bertindak berdasarkan sifat-sifat yang bisa ditempa (disebut ahli teori inceremetal oleH Dweck et al 1993). Dua tipe individu tersebut memandang dunia secara berbeda. Misalnya, para ahli teori nentitas cenderung mebuat ifnerensi-infernesi yang lebih global, dan cenderung lebih mengandalkan pada bukti disposisional ketika membuat penilaian. Para ahli teori incremental di sisi lain membuat inferensi-inferensi yang leih spesifik konteks. Analisis Dewck et al (1993) menyatakan bahwa orang-orang yang berbeda memandang perilaku dengan cara yang berbeda dan perbedaan ini bisa mempengaruhi perilaku di mas amendatang. Orang-orang yang percaya bahwa sifat-sifat itu tetap akan menganalisa perilaku mereka snediri dan perilaku orang lain bbereda dari orang-orang yang percaya bahwa sifat-sifat tersebut bisa diubah. Perbedaan-perbedaan atribusi ini akan mempengaruhi perilaku di masa mendatang.
Riset Dewck dan rekannya menyebutkan pentingnya proses atribsui dalam mengevaluasi sukses dan agal – orang-orang yang berbeda bisa megnatributkan peirsitwa-peristiwa yang sama dengan cara-cara yang sangat berbeda. Lebih lanjut, atribusi-atribusi tersebut akan mempengaruhi ekspetkasi sukses dan gagal di masa mendatang dan kemungkinan akan mengubah motivasi id ma samendatang. Riset Dweck juga memilki implikasi penting bagi pendidikan. Dia menunjukkan bahwa melatih kembali atribusi-atribusi kegagalan diri anak-anak yang putus asa menyebabkan membaiknya kinerja (Dweck, 1975). Demikian juga Diener dan Dewck menyatakan bahwa melatih kembali anak-anak yang putus asa untuk mengatributkan sukses pada karakteirstik stabil (seperti kemampuan) juga berguna.

Ketakutan akan sukses. Seperti kita lihat pada bab 9, riset tentang ketaktuan akan suske smengindikasikan orientasi peran-seks sebagai calon yang bagus bagi perbedaan-perbedan dari citra sukses yang dianggap beasal dari sebuah motif untk menghindari sukses (Horner, 1968, 1972).
Orientasi peran seks dan ketaktuan sukses bisa diuji dari kerangka atribusional. Dalams atu studi Erkut menemukan bawha pria universitas lebih cenderung mengatributkan rata-rata poin mereka pada kemampuan, sementara wanita kuliah lebih cenderung mengatributkan dari nilai rata-ratra mereka pada usaha. Dalam studi kedua, di mana atirbusi-atribusi yang berkaitan dengan hasil ujian midterm disleidiki, baik pria dan wanita mengatributkan nilai ujian mereka pada usaha. Pentingnya usaha dalam atribusi wanita menunjukan bahwa ekspektansi sukses mereka lebih ditentukan secar asituasional daripada untuk pria. Erkut menyatakan bahwa ketika wanita dan pria memasuki sebuah situasi prestasi, mereka biasanya berharap sukses – pria berdasarkan kemampuand an wanita berdasarkan usaha. Akibatnya wanita merasa paling percaya diri ketika mereka percay amereka punya kemampuan untuk bekerja baik dan bersiap diri dengan baik.
Yang lebih penitng, Erut menemukan bahwa orientasi peran seks seperti dukur oleh Bem Sex Role Inventory, dikaitkan dengan nilai aktual yang diterima pada ujian midterm, dengan skor femnitas tinggi berhubungan negatif dengan nilai (yaitu nilai rendah dikaitkand engan skor femnias tinggi adnnilai tigngi dikaitkand engan skor femininitas rendah) bagi pria dan wanita. Atribusi-atirbusi juga dikaitkan dengan orientasi peran-seks. Wanita feminin diperkirakan mendapatkan nilai lebih rendah, mengkalim merek atidak empunyai kemampuan untuk bekerja dengan baik dan mengira ujuan tersebut sulit. Atribusi pria feminin juga meliputi kesulitan tes sebagai alasan untuk nilai yang diterima; meski demikian, seperti dicatat oleh Erkut, ria feminin tida nampak menginternalisasi informasi kegagalan pada tingkat yang sama dengan wanita (seperti ditunjukkan oleh fakta bahwa atribusi pria tentagn kemampuan tidak berubah).
Satu alasan bahwa skor-skor feminitas tinggi pad aBem Sex Role Inventory bisa dikaitkand engan nilai rendah dan atirbuso-atribusi yang melemahkan merupakan sifat dari inventaris ini. Adjektif-adjektif inventaris yang mengindikasikan feminitas tidak memasukkan item-item yan g dikatikand engan orietnasi prestasi. Sehingga Erkut menyebutkan kemungkinan lebih baik mempertimbangkan skala feminiitas, daam konteks studinya sebagai hal yang mengindikasikan orientasi non prestasi.
Hasil-hasil Erkut menarik dan menyatakan bahwa perilaku prestasi dan atribusi yang berhubugnan dengan prestasi dihubungkan dengan orientasi peran seks bagi pria dan wanita. Orientasi feminin dibandingkan dengan maskuli, setidaknya seperti yang diukur oleh Bern, dikaitkan dengan nilai yang lebih rendah dan ekspektasi-ekspektasi yang berbeda. Riset lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan hubungan-hubungan yang disarankan oleh Erkut. Secara khusus, akan berguna untuk menggunakan klasifikasi kelipatan-empat yang disarankan oleh bern (1977), yang membagi skor-skor inventaris menjadi emapt kelompok – maskulin, feminin, androgini dan tak terdiferensiasi. seseorang bisa menguji perilaku prestasi dan respon-respon atribusional seperti Erkut untuk masing-masing dari empat kelompok tersebut.
Zuckerman dan rekan (1980) menguji hubungan dia ntar aketaktuan sukses, motivasi intrinsik dan atribusi. Subyek dibagi menjadi kelmpok takut suskes tinggi dan rendah dengan menggunakan Far of Success Scale (FOSS) yang dikembangkan oleh Zuckerman dan Allison (1976). Subyekd iberi serangkaian teka-teki bewaktu untuk dipecahkand an diberitahu bahwa mereka bisa sukses atau tidak menurut norma-norma yang sudah ditetapkan. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa subyek yang diberitahu mereka sudah sukses dan yang mendapatkan nilai rendah untuk FOSS menunjukkan motivasi intrinsik yang lebih besar untuk tugas dan membuat atribusi-atribusi yang lebih internal untuk sukses daripada subyek yang mendapatkan skor tinggi pada ketakutana kan sukses. Bagi subyek yang dibertahu bahwa mereka telah gagal, tidak ada perbedaan muncul antara subyek FOSS rendah dan tinggi. Pola hasil-hasil dalam studi ini menyarankan kepad Zuckerman dan rekan (1980) bahwa orang yang memiliki skor FOSS tinggi menggunakan strategi mengalahkan-diri dalam menangani situasi-situasi prestasi. Orang-orang dengan skor FOSS tinggi lebih kecil kemungkinannya daripada orang lain untuk berjuang bagi sukses dan ketika sukses, lebih kecil kemungkinannya mengatributkan sukses tersebut pada faktor-faktor internal. Sehingga sukses nampak memiliki efek yang berbeda terhadap individu yang memiliki skor FOSS tinggi. Berbeda dengan karya Dweck, Zuckerman dan rekan tidak menemukan perbedaan antara subyek dengan ketakutan sukses rendah dan tinggi ketika subyek-subyek tersebut yakin mereka sudah gagal. Zuckerman melihat tidak adanya perbedaan setelah kegagalan ini sebagi bukti yang melawan ide tersebut, yang kadang diusulkan bahwa ketakutana kan sukses dan ketakutan akan gagal adalah hal yang sama. Yang menarik, Zuckerman dan rekan tidak menemukan perbedaan seks pada studi mereka, menyatakan bahwa ketakutan akan sukses tidak lagi menjadi fenomena feminin saja, seperti yang pada awalnya disarankan Homer.

Atribusi dan Ketidakberdayaan yang dipelajari
Dalam bab 6 kami menguji konsep ketidakberdayaan yang dipelajari, yang oleh Seligman dan rekannya diyakini beranalog dengan depresi pada manusia. Seligman memodifikasi teorinya (yang berkaitan dengan depresi) untuk memperhitungkan pentingnya atribusi yang dibuat olehs eseorang tentang mengapa perilaku seseorang tidak efektif (Abramson et al 1978).
Model lama dari ketidakberdayaan yang dipelajari berpendapat bahwa ketidakberdayaan dan depresi beasal dari non kontingensi yang dirasakan dia ntara tindakan-tindakan pribadi dan lingkungan; yaitu orang-orang menjadi putus asa ketika mereka peray amereka tidak bisa mengotnrol atas apa yang terjadi pada diri mereka. Model awal ketidakberdayaan memiliki sejumlah probem. Slah satunya ini tidak bisa harga rdiri yang rendah dari individu yang terdepresi; problem kedua adalah orang yang depresi umumnya menyalahkan diri mereka sendiri atas tidak adanya kontrol ini. Teori depresi dari ketidakberdayaan yang dipelajari juga tidak bisa menjelaskan mengapa bebeapa deprsi berumur pednek dan beberapa lagi berlanjut, juga bukan mengapa pada beberapa kasus ketidakberdayaan yang diamati besifat spesifik sementara pada beberapa saat lain ini cukup umum
Model ketidakberdayaan yang dipelajari mengandalkan pada tipe atribusi yang dibuat oleh orang untuk mngatasi problem tersebut. Mislanya, Abramson dan rekan berpendapat bahwa individu bisa mengatributkan tidak adanya kontrol dirinya pada peristiwa-peirsitwa eksternal atau itnernal. Beberapa stiausi yang tidak bisa kita kontrol bersifat universa; yaitu tidak ada hal lain yang bisa mengontrolnya. Sebuah tornado yang mursak rumah kita adaah di luar kontrol kita dan kontrol orang lain, semntara mengerjakan tes dengan buruk bisa berasal dari karakteristik internal kita (tidak adanya intelegensi) yang bisa dikontrol oleh orang lain. Dalam situasi terakhir ini kita menganggap diri kita tak berdaya (orang lain OK mengerjaan tes), sementara dalam kasus tornado kita tak berdaya. Seligman dan rekan berpendapat bawha tipe atribusi yang kita buat tentang tidak adanya kontrol dari diri kita mempengaruhi harga diri kita (Abramson et al 1978). Jiak kita percaya bahwa kita tidak memiliki karakteristik yang dimiliki oleh roang lain ayng memungkinkan mreka mengotnrol situasi, atribusi ketidakberdayaan pribadi ini akan menyebabkan harga diri lebih rendah.
Dalam atribusi-atribusi ketidakberdayaan personald an univesal, terdapat defisit motivasional, tapi hanya ketika atribusi-atribusi ketidakberdayaan personal dibuat maka harga diri akan terpengaruhi. Menurut Abramsond an rekan, individu yang depresi cenderung menyebtu tidak adanya kontrol karakteristik pribadi merka, dan atribusi ini menyebabkan rasa harga diri yang rendah. Harga diri yang rendah dan sifat menyalahkan diri sendiri oleh individu yang depresi bisa dipahami. Seligman berpendapat bahwa ini dsiebabkan oleh atribusi ketidakberdayaan pribadi.
Dengan cara yang sama genralitas depresi putus asa bisa dipahami disebabkan oleh tipe atribusi yang dibuat oleh seseorang. Ketika orang-orang menemukan bawha perilaku mereka tidak menimbulkan efek berarti trhadap hasil-hasil yang inginmereka capai, mereka mungkin mengatributkannya pada kondiis-kondisi khusus atua pada situasi yang lebih global. Jika atribusinya adalah pada kondisi kusus (saya tidak bekerja baik di sekolah) individu cenderugn menunjukkan ketidakberdayaan hanya pada situasi-situasi spesifik tersebut. Meski demikian jika penemuan ketidakterkontrolan menyebabkan sebuah atribusi global, banyak perilakud i masa menadtang akand ipengaruhi oleh atribusi global ini.
Konsep atribusi spesifik vesus global yang berkaitand engan tidak adanya kontrol terhadap peristiwa bisa membantu menjelaskan mengapa beberapa depresi ditandai oleh upaya kecil dari individu untuk mengubah perilaku mereka; orang yang terdepresi cenderugn membuat atribusi global dan percaya bahwa tidak ada yang mereka lakukan akan berdampak pada lingkungan mereka.
Terjadinya depresi bisa dipahami, menurut Seligman, dengan merujuk pada dimensi stabil-tak stabil dari atribusi, yang dicatat sebelumnya dalam analisis prestasi atribusional Weiner. Seseorang, ketika mrasa tidak bisa mengontrol periitwa, bisa menyebut tidak adanya kontrol ini pada faktor-faktor stabil (intelegensi) atau pada faktor-faktor tak satbil (saya sudah mengalami kesialan). Keptusasaan yang dirasakan akibat faktor-faktor stabil akan memperluas jalannya waktu ketidakberdayaan, sementara atribusi sebab-sebab tak stabil akan lebih transient. Menurut Seligman, atribusi individu yang terdepresi cenderugn stabil dan kronis.
Seligman adalah oarng pertama yang menyatakan ada sebab-sebab laind ari depresi selain ketidakberdayaan. Menurutnya depresi ketidakberdayaan adalahs atu tipe depresi yang terjadi ketika orang-orang merasa perilaku mereka bebas dari hasil-hasil yang mereka cari. Dia menyatakan bahwa atribusi-atribusi yang dibuat oleh tipe orang depresi ini akan menentukan apakah depresi berumur panjang atau pendek, spesifik pada situasi tertentu atau lebih umum, dan apakah dia mengekpresikanr asa harga diri dan menyalahkan diri sendiri atau tidak emiliki karakteristik-karkatersitik tersebut. Seligman menyatakan bahwa individu yang terdepresi cenderung membuat atribusi pribadi (internal), global dan stabil berkaitan dengan tidak adanya kontrol terhadap peristiwa. Atribusi tipe ini akan menyebabkan penyalahan diri sendiri, ahrga diri yang rendah dan depresi umum dan kronis.
Model atribusi dari ketidakberdayaan yang dipelajari menghasilkan banyak kontroversi. Meski lingkup teks ini tidak menguji semua riset saat ini tentang ketidakberdayaan yang dipelajari, melihat sedikit dari beberapa studi tersebut akan berguna.
Wortman dan Brehm (1975) mengusulkan bahwa reaksi awal terhadap hilangnya kontrol bukanlah ketidakberdayaan tapi reaktansi (resistensi terhadap hilangnya kontrol dengan meningkatnya usaha). Jika kontrol tidak bisa didapatkan lagi akibat reaktansi, maka ketidakberdayaan yang dipelajari akan terjadi. Raps dan rekan menguji proposal ini dengan memberikan kepad aorang-orang sejumlah tugas kognitif. Rasional yang mendasari prosedur ini adalah hispotalisasi menandakan sebuah situasi di mana sesoerang memilki sedikit kontrol. Jika hipotesis Wortman dan Brehm benar, makap eruabahn pada performa pada tugas-tugas kognitif akan terjadi. Pasien yang dirawat inap untuk jangka waktu pendek akan menunjukkan reaktansi dan meningkatkan performa, sementara pasien yang dirawat inap lebih lama akan menunjukkan peningkatan jumlah ketidakberdayaan yang dipelajari, seperti dibuktikan oleh pnenurunan performa pada tugas-tugas kognitif. Hasil dari studi ini menunjukkan penurunan kuat pada performa pada tugas-tugas kognitif sebagai lama masa tingal di rumah sakit meningkmat tapi tidak ada bukti reaktansi. Hasil-hasil tersebut mendukung hubungan yang diusulkan antara hilangnya kontrol dan ketidakberdayaan yangdipelajari tapi bukan antara hilangnya kontrol dan reaktansi. Meski Raps dan rekan menyatakan bahwa populasi pasien yang mereka pelajari mungkin sensitif terhadap manipulasi ketidakberdayaan yang dipelajari, mereka berpendapat hilangnya kontrol merupakan faktor operatif pada perubahan-perubahan yang diamati.
Meski Raps dan rekan tidak menemukan dukungan bagi model reaktansi, Mululincer (1988) mendapatkan bukti reaktansi dan ketidakberdayaan yang dipelajari. Dalam studi ini beberapa studi dipaparkan pada suatu problem yang tak terpecahkan sementara beberapa lagi dipaparkan pada empat probelm yang tak terpecahkan. Bagi subyek-subyek yang memiliki sebuah gaya atribusional internal, pemparn pada problem tak terpecahkan tunggal mendorong pada reaktansi dan performa yang lebih baik pad atugas selanjutnya jika dibandingkan dengan subyek ayng memiliki gaya atribusioal eksternal. Subyek gaya internal yang dipaparkan pada empat problem tak terpecahkan menunjukkan perasaan tak kompeten yang lebih kuat danmenunjukkan penurunan performa pada tugas berikutnya. Sehinggag studi Mikulincer nampak mendukung model reaktansi Wortman dan Brehm.
Dalam studi lain, Mikulincer dan Nizan (1988) menemukan bahwa atribusi-atribusi kegalanglobal mendorong pada penignkatan kognisi off-task. Pemikiran-pemikiran kecemasan tersebut mengganggu performa selanjutnya. Ketika instursi diberikan yang menghambat kognisi off-task, efek menurunnya perofrma dari atribusi global dihilangkan. Para peneliti tersebut menyatakan bahwa defisit performa yang ditemukan pada atribusi global bisa berasal dari kecemasan daripada dari perubahan kondisi motivasional sebagaimana diusulkan oleh model ketidakberdayaan yang dipelajari.,
Baltes dan Skinner (1983) mengambil pengecualian kuat pad astudi oleh Raps dan rekan. Para peneliti trebut menyebutkan bawha sementara studi Raps tidak mendukung model Wortman-Brehm tentang ketidakberdayaan yang dipelajari, ini juga tidak mendukung model yang sama dari Seligman dan kolega. Baltes dan Skinner menyatakan bahwa setidaknya dua model lain bis amenjelaskan defisit yang diamati pada pasien awat inap – pembelajarana operan dan teori peran.
Dari perspektif operan, rawat nap menampilkan sutasi di mana kontingensi-kontingensi adalah perilaku megnambil kontrol, aktif dan independen tidak didorong semetnar aperilakud emenden didorong. Jika reward secara konsisten diikatkan pada sifat pasif dan hukuman terhadap pengambilan kontrol aktif, maka tidak mengejutkan bila lama tinggal di rumah sakit menjadi lebih besar, perilaku putus asa meningkat.
Teori peran mengusulkan ekspektasi dalam bentuk aturan yang berkaitan dengan perilaku yang tepat bisa mendorong pada perilaku yang tepat untuk peran yang dimainkan. Akibatnya, keitak orang-rang memainkan pasien, ekspektasi merka tentang perilaku pasien yang tepat mendorong mereka bertindak secar apasif dan dependne. Sehingga subyek dalam studi Raps bisa bertindak secar apasif karena inilah yang mereka anggap diharapkan dari mereka.
Pada 1989 Abramson, Metalsky dan Alloy merevisi model ketidakberdayaan yang dipelajari pada 1978 dan menyebtu model barui mereka sebagai teori keputusasaan dari depresi. Model terbaru ini mengusulkan menjelaskan subtipe depresi yang mereka sebut depresi keputusasaan. Model yang lebih baru ini juga memainkan peran atribusi dalam memahami subtipe depresi ini. Depresi keputusasaan ditandai oleh dua ekspektasi dasar: 1)hasil-hasil yang dinilai tinggi tidak bisa didapatkan atau hasil-hasi yang sangat aversif tidak bisa dihindari, dan 2) individu tidak berdaya mengubah situasi tersebut. Sheinga ketidakbeddayaan menjadi komponen keputusasaan dalam model baru ini.
Karena model ini tidak menekankan peran dasar atribusi dalam mendukung depresi, kami tidak akan membahas lebih lanjtu di sini. Riset lebih lanjut akan menentukan kegunaan model ini.
Seperti yang bisa anda lihat, model atirbusi dari ketidakberdayaan yang dipelajari bersifat provokatif dan kontroversial. Saat ini riset yang lebih definiti fdiperlukan sebelum kita bisa menentukan kegunaan teori ini. Pendekatan-pendekatan atribusional secara umum sangat populer. Seperti kita lihat, pendekatan ini sudah diterapkan pad abanyak fenomena psikolgois, di mana prestasi dan ketidakberdayaan yang dipelajari adalah dua contohnya. Pendekatan-pendekaatan atribusional menyebutkan kita harus memahmai bagaimana orang-orang memahami sebab dan akibat jika kita inginmemahami mengapa orang bertindak dengan cara tertentu. Ini problem yang sulit dipecahkan, tapi ini meurpakan problem yang banyak diteliti.

Ringkasan
Salah satu hal terpenting yang kita lakukan adalah membuat penilaian tentang sebab-sebab perilaku. Teori atribusi, yang berasal dari Heider untuk menjelaskan penilaian tersebut, diperluas dan disaring oleh Kones, Kelley dan lain-lain temua utamanya adalah kita mengabaikan pentingya karakteirsitk disposisional dan mengabaikan faktor-faktor situasional ketika membuat penilaian kausal, khususnya ketika kita menilai perilaku orang lain. Eror atribusi fundamental ini bisa berasal dari perbedaan pada apa yang kita temukan ketika mengamati perilaku orang lain, yang berbeda dari mengamati perilaku kita sendiri.
Teori atribusi dikaitkan dengan prestasi. Weiner, misalnya, menyelidiki beragam askripsi emosional yang diberikan pad asuskes dan gagal dalam situasi-situasi prestasi. Dweck menunjukkan bawha atribusi-atribusi anak yang berorientasi penguasan dan ketidakberdayaan berbeda, dan Seligman dan rekan merumuskan kembali teori ketakberdayaan yang dipelajari mereka dengan memasukkan jenis-jenis aribusi yang dibuat oleh orang-orang ketika menemukan bawha perilaku tidak berkaitan dengan hasil. Atirbusi tersebut bisa mempegnaruhi genrlaitas, jalannya waktu, dan penyalahan diri yang sering diamati pada depreis.
Teori atirbusi menekankan pemrosesan informasi kogntif sebagai hal penting untuk pemahaman perilaku. Meski dalam pengertian non motivasional, pendekatan-pendekatan atribusi umumnya mengakui pentingnya motif-motif dalam menciptakan atribusi dan yang lebih penting peran atirbusi dalam arah perilaku di masa mendatang. Sehingga atribusi sukses di masa lalu terhadap kemampuan tinggi mungkin berfungsi memotivasi perilaku prestasi di masa mendatang.
Jika kita ingin memahami mengapa orang-orang bertindak dengan cara tertentu, kita harus memahami proses-proses di mana orang-orang mengatributkan sebab-sebab kejadian, baik did alam diri mereka sendiri dan di dalam diri orang lain. Teori atribusi berusaha membantu kita mendapatkan manfaat dari pemahaman tersebut.

BAB 12
MOTIVASI KOGNITIF: KOMPETENSI DAN KONTROL

Anak usia 15 bulan mencoba untuk kelima kalinya menarik dirinya ke atas kursi ruang makan. Alas kursi tegrsebut, pada level mata anak, terbukti menjadi lawan yang tangguh. Pada akhirnya, setelah berjuang keras, anak tersebut mampu menaruh lututnya ke alas kursi dan mampu menekan dengan satu kaki sambil menarinya dengan lengan. Manuver ini suske smenaruh anak ke kursi Ayah.
Anak ini tersenyum puas. Dalam beberapa menit, dia mulai berdesis, meminta untuk turun dari kursi. Sang ayah, yang membaca oran sore, megnabaikan tangisan anak tersebu thingga menjadi lebih keras dan persisten – dia sudah memainkan game ini sebelumna. Setelah mnaruh kertas dan berjalan ke ruang makan dia menenangkan sang anak dan membantunya turun. Anak tersebut kini sudah berjalan di lantai dan mencobanya lagi. Setelah berjuang dia kembali menaruh dirinya ke kursi dan sekali lagi dia tertawa puas dan mint a diturunkan. Permainan ini terus berlanjut hingga anak lelah tapi memulainya lagi keesokan harinya. Kadang-kadang menaiki kursi yan gbesar menjadi mudah bagi anak ini, dan dia membutuhkan tantangan yang lebih besar.
Jenis “kehidup;an sehari-hari” dari anak usia 15 bulan ini menggambarkan keyakinan utama bab ini. Banyak peneliti dalam pendekatan humanis psikologi mencatat motif persisten di dalam individu untuk mampu menangani lingkungan. Perampungan tugas yang suskes seringkali menyebabkan tugas ini kehilangan nilainya, dan tantangan yang lebih sulit akan diambil.
Para ahli teori dan peneliti dalam bidang ini menjelaskan motif persisten ini untuk menguji dan memperluas kemampuan seseorang dalam beberapa hal. Rogers menjelaskan kondisi motif ini sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mencapai pemenuhan, yaitu menjadi individu yang berfungsi penuh. Maslow menggambarkan proses ini sebagai gerakan menuju aktualisasi diri, sebuah usaha untuk menjadi semua hal yang bis adia capai. White menyatakan ada motif kompetensi dalam setiap diri kita, sementara deCharms menekankan ide bahwa orang-orang berjuang untuk mengontrol lingkunganya. Rotter mengembangkan konsep lokus kontrol dan Deci menyelidiki konsep motivasi intrinsik/
Menurut semua pendekatan tersebut setiap kita, sperti anak dan kursi tadi, berjuang untuk mencapai potensi kita. Sebagian besar teori yang diuji dalam bab ini mengambil sudut pandang bahwa perilaku manusia tidak bisa dipahami secara penuh tanpa sutu refereksi terhadap perjuangan menuju aktualisasi atau fungsi penuh ini
Kita akan melihat bahwa meski banyak teori yang nampak mirip, masing-masing mendekati pertanyaan dari sudut pandang yang berbeda. Kami mulai dari studi terhadap karya Carl Rogers.

Carl Rogers dan Positive Regard
Carl Rogers dikenal karena terpi berpusat klien.pendekatan terapeutiknya ini sangat didasarkan apad ide-ideenya tentang motif-motif individu.
Rogers menyebutkan bawha kehidupan itu sendiri merupakan suatu proses terus-menerus dan aktif di mana sebagian beasr karakteirstik perilaku manusia adalah berjuang untuk mendapatkan keutuhna. Konsep berjkuang ini penting karena mengimplikasikan bahwa proses mencpai keutuhan tidak pernah rampung; kita berubah saat kita tumbuh. Rogers menyebut perjuangan untuk berfgungsi secara penuh ini sebagai kecenderungan emngaktualisasi dan berpendapat ini bersifat bawaan bagi semua organisme hidup.
Menurut Rogers, hanya ada satu motif – motif dasar menuju pertumbuhan. Tapi motif ini bisa dianalisis terdiri atas usaha-usaha oleh sebuah organisme untu kmemelihara, meningkatkan dan mereproduksi diri. Motif-motif khusus yang dibicarakan oleh para ahli teori (lapar, haus, seks menghindari sakit) bisa dianggap sebagai aspek-aspek pemeliharaan atau reproduksi individu. Kita perlu tahu kondisi-kondisi perilaku apa yang terjadi dan kit amasih mendapatkan sedikit dengan mengasumsikan keberdaan kondisi-kondisi motif spesifik.
Rogers berpendapat bahwa perjuangan kita untuk pemenuhan diri dipengauhiruhi oleh lingkungan kita. Kita adalah organisme kognitif, dan pengalaman kita (dan interpretasi mereka) bisa membantu atau menghambat usaha-usaha kita untuk tumbuh. Dalam hal ini interaksi kita dengan orang lain sangat penting. Rogerrs berpendapat bawha pengalaman yang dipelajari dini pada masa bayi memepgnaruhi pertumbuhan psikologi kita. Dia melihat kecenderungan mengaktualsiasi sebagai menciptakan kebutuhan untuk positive regard dan kebutuhan untuk positive self-regard. Perasaan kita tentan positive regard dari orang lain berasal dari interaksi dengan orang tua kita pada apa yang disebut Rogers sebagai unconditional positive reagrd. Ide dasarnya adalah seseorang diterima dan dicintai tanpa memperhatikan perilakunya; sehingga kita menerima pengalaman yang memungkinkan kita melihat bahwa kita dicintai tanpa memperhatikan apa yang kita lakukan. Di bawha kondisi-kondisi tersebut, kecenderungan megnaktulasasi bekerja menuju pertumbuhan karena konsep diri seseorang (diri) konsisten dengan feedback yang diterima dari orang lain. Di bawha kondisi-kondisi ini orang terbuka terhadap perubahan dan tidak degfensif, sehingga diri bisa berubah dan tumbuh. Menurut istilah Rogers, orang ini adalah individu yang berfungsi penuh.
Terlalu sering positive regard dibuat kotningen atas perilaku tertentu; yaitu individu dibuat merasa mereka berharga hanya jika bertidnak dalam cara-cara terentu. Menurut Rvoers, regard positif kondisional menyebabkan perilaku maladaptif karena menciptakan kecemasan. Kita merasa dicintai hanya selama perilaku kita benar. Kecemasan memicu pertahanan, sehingga individu mulai menyangkal atau menyimpangkan kognisi karena mereka tidak konsisten dengan konsep diri.
Ketika positive regard dibuat kondisional, banyak energi dari kecenderungan megnaktualisasi diri disalurkan ke pertahanan-pertahanan yang dipakai untuk melindungi diri. Karena diri diancam, diri tidak bebas tubuh dan berubah dalam atmosfer penerimaan, dan menjadi statis. Tidak adanya pertumbuhan diri besifat maladjustif dan membatasi usaha-usaha individu untuk berfungsi penuh.
Pertumbuhan dan perubahan merupakan prinsip dasar bagi kesehatan psiologis. Menurtu pendekatan Rogers, motif dasar yang mendasari semua perilaku adalh kecendeungan mengaktualisasi. Agar menjadi individu yang berfungsi penuh, kita harus memiliki unconditional positive regard sehingga kita bisa mengendorkan pertahanan kita dan memungkinkan diri kita berubah dan tumbuh. Ketika kita melonggarkan pertahanan diri kita, kit amenjadi sadar atas apa yang terjadi di dalam diri kita dan bisa berubah. Kita juga bisa belajar menerima diri kita apa adanya tanpa kecemasan yang diciptakan oleh conditional positive regard.

Individu yang berfungsi penuh
Lima karakteristik dasar menentukan konsep fungsi penuh Rogers:
1. Keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang berfungsi penuh tidak harus membela diri mereka terhadap pengalaman-pengalaman tertentu; sehingga perspesi mereka atas peristiwa-perisitwa menjadi kurang terdistorsi. Mereka sadar akan karakteristik diri mereka sendiri dan lebih fleksibel tentang apa-apa yang menguabh mereka. Individu yang berfungsi penuh biasanya lebih emosional daripada oran lain,. Mengalami rentang meosi yang lebih lebar dan mengalaminya dengan lebih sering.
2. Kehidupan eksistensial. Individu yang berfungsi penuh tinggal setiap secara optimal dan tidak berkonsentarsi pada masa lalu dan masa depan. Orang yang berfungsi penuh juga memiliki minat yang umum dalm hidup dan semua aspek kehidupan dialami sebagai hal yang baru dan kaya. Rogers percaya kehidupan eksistensial merupakan itnid ari kepribadian yang sehat.
3. Kepercayaan terhadap organisme seseorang. Rogers menjelaskan individu yang berfungsi penuh sebagai orang yang bertindak dengan cara-cara tertentu karena merasa benar daripada kelihatan benar secara intelektual. Sehingga orang-orang yang berfungsi penuh seringkali intuitif karena mereka terbuka dan bersetnuhan dengan perasaan-perasaan terdalam mereka. Kepercayan terhadap reaksi-reaksi perut seseorang bisa menyebabkan perilaku impulsif danspontan tapi tanpa mengorbankan orang lain. Sementara keputusan-keputusan inteletkual bisa dikurangi kadar kepentinganya, tapi tidak diabaikan.
4. Perasaan Bebas. Orang yang berfungsi penuh merasakan kebebasan pribadi dalam memilih apa yang terjadi terhadap mereka. Mereka melihat diirnya memilii kekuatan pribadi untuk menentukan seperti apa masa depan mereka. Mereka menganggap diri mereka mengontrol hidup mereka.
5. Kreativitas. Seperti diduga, orang-orang yang berfungsi penuhs agnat kreatif. Kreativitas ini juga dibuktikan oleh meningkatnya kemapuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan dan bertahan meski terjadi perubahan drastis pada lingkungan mereka.
Orang-orang yang berfungsi penuh, seperti dijelaskan Rogers, memiliki kekuasaan untuk mengontrol kehidupan mereka sendiri karena mereka bebas dari penyangkalan dan distrosi yang menyebabkan perilaku kaku. Orang yang berfungsi penuh bukan bearda dalam suatu kondisi tapi tercerlup di dalam sebuah proses yang menyebabkannya berjuang untuk memperbaiki diri.
Menjadi berfungsi penuh tidak berati bahwa kita berada dalam kondisi ekstase terus-menerus. Meningkatkan diri adalah sulit dan menyakitkan saat kita tumbuh. Berfungsi penuh tidak menjanjikan kebahagiaan, meski kebahagiaan nampak sebagai produk samping dari proses ini. Orang yang berfungsi penuh bisa diharapkan lebih nyman dengan situasi-situasi hidup (baik senang atau tidak) dan menangani situasi-situasi dengan cara yang terbuka dan fleksibel.

Kritik-kritik terhadap pendekatan Rogers
Pandangan Rogers tentang motivasi mausia jauh lebih opitmistik. Dia memandang manusia termotivasi oleh kebutuhan untuk berfungsi penuh untuk mencapai potensi tertinggi mereka. Ketika kita gagal mencapai potensi kita, itu karena pengalaman yang kita miliki dalam itneraksi dengan orang tua kita atau orang lain dibuat kondisional
Teori Rogerr dikritik karena beberapa hal. Pertama, banyak istilah yang dipakai Rogers tidak diartikan secara operasional. Misalnya, apa yang dimaksud dengan kecenderungan mengaktualisasi diri dalam hal operasional? Dari mana ini beasal dan bagaimana ini mendukung perilaku seseorang dan tidak mendukung perilaku yang lain? Meski kritik valid terhadap model Roger, tidak adanya definisi operasional untuk istilah tersebut merupakan problem umum dalam psikologi.
Kedua, lingungan diangagp sebagai sumber perubahan motivasi yang penting; tidak jelas kondisi-kondisi lingkungan mana yang meningkatkan pertumbuhan dan mana yang menghambatnya. Dalam hal ini perbedaan jelas antara situasi yang menyebabkan regard postiive kondisional dan nonkondisional akan memabntu menjelaskan peran lingkungan dalam motivasi.
Kritik ketiga dari pendekatan Rogers adalah ini mengimplikasikan psikologi “saya dulu. Rogers menyebut sedikit tentang bagaimana rasa tanggungjawba terhadap orang lain bisa mendornong pada perutmbuhan. Dalam pandangan Maslow tentang aktualsiasi diri, ini nampak sangat diabaikan.
Keempat, pendekatan Rogers nampak tidak terlalu menekankan tujuan-tujuan yang dituju oleh idnviidu. Sementara dia menekankan peruangan, dia sangat mengabaikan produk akhir dari perjuangan itu sebagai detgermiann penting perilaku. Seperti yang kita lihat dalam karya Klinger (bab 7), tujuan-tujuan yang kita perjuangkan bisa jadi penentu perilaku yang penting.
Sebagai ringkasan, teori Rogers lemah secara empiris. Dia belum menentukan komponen-kopmponen teorinya dengan cara yang bisa diuji dengan mudah. Kita juga mempertanyakan generalitas conditional positive regard. Kita mungkin membuat perbedaan di antara situasi-situasi di mana orang tua tidak menyetujui perilaku tertentu anak. Ketidaksetujuan terhadap eprilaku-perikau tertentu tanpa penolakan individu tidak akan menyebabkan terhentinya proses pertumbuhan. Garis pembeda antara ketidaksetujaun perilaku-perilaku tertentud an penolakan sulit ditentukan – kshuusnya dari sudut pandanga anak.

Abraham Maslow dan Aktualisasi Diri
Abraham Maslow juga mengembangkan sebuah teori motivasi yang menekankan perjuangan untuk mencapai potensi penuh seseorang sebagai hal dasar bagi motivasi mausia tapi juga meliputi motif-motif tambahan selain aktualisasi-diri.
Maslow menyebutkan bahwa meski urutan empat langkah embuthan tersebut benar bagi sebagian ebasr orang, ada bebearapa pengecualian. Pengecualian paling umum adalah bagi beberapa orang kebutuhan akan harga diri mengawali kebutuhan akan cinta. Bagi orang-orang ini pelru untuk merasa berharga sebelum bisa memenuhi kebutuhan akan cinta.
Maslow percaya bahwa sebelum ada kebutuhan kuat pada level psikolgois tertentu, kebutuhan yang lebih tinggi mungkin tidak akan muncul. Bagi orang-orang tersebut, cukup mudah untuk bisa makan. Di sisi lain, Maslow percay abahwa orang-orang yang selalu tepruaskan kebutuhan dasarnya akan kurang dipengaruhi oleh kebutuahn-kebutuhan tersebut kemudian jika kebutuhan tersebut tidak lagi dipenuhi. Ini mugnkinmeneaslkan perilaku amrtir yang mengalami deprivasi karena ideal yang terlalu tingi. Maslow menyatakanm bahwa Martir mampu emnaahn dperivais ini lebih baik karena kebutuhan mereka sudah dipenuhi dngan baiks ebelumnya, sehingga memaksa mereka untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Seperti disebutkan sebelumnya setiap level hirarki tidak perlu tdipuaskan secar asempurna. Keitak kebutuhan yang lebikh rendah dipenuhi, kebutuhan yang lebih tinggi akan muncul. Ketika kebuthuan yang lebihr endah menjadi smeakint erpuaskan, kebutuhan yang lebih tinggi menadji lebih menonjol dalm mengotnrol perilaku. Yang terakhir, Maslow menyarnkan menyatkan abahwa sebagian besar orang tidak tidak menyadari hriarki kebutuhan ini, kebutuanmereka sebagian besar tidak disadari.

Aktualisasi-diri
Ketika kita memenuhi emapt elvel kebtuahn sebelumnya level tertin ggi dari perkembangan manusia – yang disebut aktualisai diri – bisa iacpai. Pada level aktualsiasi diri ini perilaku seseorang dimotivasi oleh kondisi-kondisi yang berbeda daripada kondisi yang lebih rendah.
Idnvidiu yang mengalami aktualisais diri metelah memauskans emau kebuthuan deprivasi dari empat model pertama dalam hirarki. Perilaku pada orang yang mengalami aktualisasi diri ad dimotivasi oleh serangkaian kebutuhan baru, yang Maslow sebut sebagai kebutuhan menjadi (motivasi B atau metamoitasi). Mtoivasi B tersebut adalah nilai-niali sebperti kebenara, kejujuran, keidahan, dan kebaikan dan memberikan mkana bagi kehidupan individu yang mengaktualisasi diri.
Gambaran Maslow tentang orang yang emgnaktualsiasi diri sagnat postiif. Idnvidiu yang mengaktulassi diri tidak lagi dimotivasi oleh kekurangan tapi dimotivasi untuk tumbuh dan menjadis emau yang dia mampu untuk menjadi. Aktualisais diri secara kosntan menstimulasi orang-orang untuk menguji kemampuan mereka dan memperluas horison mereka.
Maslow menyatakan bahwa proses pertumbuhan yang menyebabkan aktualsasi diri membutuhkan waktu alma dan sebagian besar orang yang mengaktualisasi diri berusia 60 tahun atau lebih. Maslow juga percaya sedikit orang dalam masyarakat kita mencapai aktualisais diri, diperkirakan kurang dari 1% dari populasi bisa dianggap mengaktulaisasi diri (Goble, 1970).

Karakterisitk orang yang mengaktualisasi diri
Maslow menghabiskan banyak usaha untuk menentukan karakteirsitk utama individu yang mengaktualsais diri (Lowry 1973). Dia mendasarkan kesimpulannya pada studi formal tentang kenalan pribadi, tmemand an tooh sejarahd an tokoh masyarakat (Lincoln, Jefferson). Subyeks tudi iini dianggap calon kuat jika ciri kepribadian enurosis, psikosis, a taupsikpatik tidak muncul dan ada bukti positif aktualisasi diri. Meski Maslow cukup menyadari kelemahan dan dasar subyektif dari metode yang digunakan, dia percaya informasi yang dia dapatkan bernilai sehingga dipublikasikan emski ada kelemahan. Karakteirsitk utama yang dia identifikasi adalah:
1. Persepsi yang lebih efisien tentagn realitas dan lebih nyaamnd engannya
2. Menerima dirisendiri, orang lain dan alam.
3. Sponbtan
4. berpusat pada problem
5. Terpisah (kebuthan akan privasi)
6. Bebas dari lingkungan dan kultur
7. Kesegaran apresiasi
8. Pengalaman msitik atau perasaan oaseanik
9. Simpati terhadap orang lain
10. struktur karakter demokratis
11. tujuan dan hasil
12. filosofis, ramah dan selera humor
13. Kreatif

Kami akan membicaraan pemustan problem, kesgaran apreisasi, pengalaman msitik dan proses dan akhir untuk membantu menjelaskan konsep Maslow tentang orang yang mengaktualisasi diri.

Pemusatan problem. Individu yang megnaktualissi diri berbicara tentang proble-problem penting yang ingin mereka pecahkan. Problem-problem ini di luar diri mereka dan mereprtesntrasikans esuatu yang mirp dengan suatu msii dalam hidup yang menurut mereka wajib untuk dijalankan. Seringkali misi yang mereka jelaskan bukan hal-hal yang ingin mereka lakukan tapi hal-hal yang menurut mereka harus dilakukan. Tugas-tugas ini tidak berpusat pada ego tapi berakitan dengan beberapa problem yangberkaitand engan kebaikan umat manusia. Misalnya, orang yang megnaktualisasi diri mungkin mencoba menemukan oat uintuk kanker dan menghabiskan berjam-jam di laboratorium meski dia memiilh untuk melakukans esuatu yang lain.
Satu aspek dari pemusatan problem ini juga ditunjukkan oleh fakta bahwa roagn yang mengaktualsiai diri biasanya menetapkan diri mereka dengan apa yang meerka lakukan. Kerja mereka menjadi abgiand ari identitas mereka; akibat dari pekerjaan ini adalah seringkali tidak bergantung dari reward eksternal ygn emreka terima. Misalnya orang yang mengaktualisais diri mungkin memilih emgnajar anak kelas empat daripada mengambil pekerjaan beggaji tinggi hanya karena mengajar merupakan abgian dari rasa misi dan identitas pribadinya./

Kesegaran apresiasi terus-menerus. Orang yang mengaktualisais diri memilki ekmampuan untuk mengalmai peristiwa secara intens. Meerka menyukai pengalaman-pengalaman hidup dasar dan tidak bosan dengan keindahannya.
Pengalaman msitik atau peasaan osoeanik. Individu yang mengaktualisais dirii biasanya memiuliki pengalaman yang bersifat mistik dan luar biasa, disebut pengalaman puncak. Maslow percaya bawha pengaktualisasi diri lebih sering mengalaminya.
Pengalaman-pengalaman puncak melibatkan kehilangan sementara – atau transedensi – diri, sehingg aslemaa pengalaman ini orang merasa tanpa mengkaitkan perasaan tersebut dengan konsep diri. Selama pengalaman puncak roang ini merasakan horisn tak berbatas terlihat olehnya, secara bersamaan lemah dan kuat, dan kehilangan waktu dan ruang dan mengalami ekstasi luar biasa.
Pengalaman ini juga baisanya menimbulkan keyakinan terjadinya sesuatu yang penting yang kaan berdampak besar terhadp perilaku di masa mendatang. Contoh berikut ini diambil dari Chiang dan Maslow (1977) yang menggambarkan pengalaman puncak.
Dua tahu yang lalu ketika saya mencoba menyelesaikan PR kalkulus saya, saya mengikuti prosedur panjang untuk menbemukan drivatif fungsi persis seperti yang diajarkan guru. Saya tiba-tiba melihat sebuah cara cepat untuk menemukan jawaban. Saya mencoba metode baru saya yanghanya ememrlukan pemeriksaan daripada kaklkulasi, mendaptakan jawaban untuk problem beriktunya dan selalu berhasil. Saya me ndapatkan ajwaban yangs ama yang menunjukkan bahwa hubungan yang saya rrasakan di antara fungsi dan derivatif itu benar.
Suatu haris etelah perisitwa ini saya melihat penjelasan mengapa saya menemukannya. Menemukan metode ini sebelumny sangat menyenangkan. Saya merasa bangga pad aidir saya seniri karena sebelumnya saya bermasasalah dengan matematika selama semingu sebelum pengalaman ini.
Saya berlari keliling rumah hingga mendapati orang tua saya dan saya tunjukkan temuan-temuan saya dan saya duduk sendiri dan melihat karya saya lagi. Saya merasa saya kreatif. Saya merasja seperti saya memiliki. Sekarang saya melihat diri saya berhak ada di kelas matematika lanjutan. Saya tidak merasa bersalah lag.
Maslo mencatat bawha pengamaan mpucnak nampak dipicu oleh situasi-situasi tertentu, msailnya subyek-subyeknya menunjukkan bawha pengalamn puncak bisa dipicu oleh orgasmme seksual atau bahkan oleh musik klasik. Maslow menemukan bahwa pengalamn puncak bagi orang tua kadang dikaitkan dengan mengamati kelahiran anak. Meski pengala,man puncak bisa lebih umum karena situasi-situasi tertentu.

Tujuan dan hasil. Idnividu yang mengaktualisais diri tertarik pada tujuan-tujuan di mana mereka bekerja, tapi dalam banyak hal cara tujuan itu dicapai itulah tujuannya. Mereka mengambil keuasan dalam melakukanny dan produk dari pekerjaan ini.
Maslow menemukan sebagian besar individu yang mengaktualisais diri yang dia pelajari sbai dijelaskan sebagi relijisu meskit idak dalam pengertian agama formal. Hanya satu orang yang menggambarkan dirinya ateis. Bagi orang yang mengaktualisasi diri, proses dan akhir dengan etika pribadi dankeyakinan agama.
Yang terakhir, teori Maslow dikritik karena bahasanya yang abstrak dan konsepnya yang abstrak dan tidak adanya bukti umum (Cofer & Appley 1964).

Kegagalan untuk emgnaktualsiasi diri
Jika aktualisasi diri merupakn level tertinggi perkemabngana, mengapa banyak orang yang gagal mencapai tujuan ini? Maslow percaya kecnderungan kea rah pertumbuhan lebih lemah daripada motif-motif defisiensi dan bisa dihambat oleh lingkungan yang buruk atau pendidikan yagnburuk. Maslow juga percaya bawha kultur barat yang menekankan sifat negatif motivasi manusia bekerja melawann kepercyaaan kita terhadap sifat bawaan kita. Kultur kita menekankan sifat dasar kita adlah jahat (teori Freud msialnya) dan membahasnya di dalam mekanisme kontrol. Ini mendoorng beberapa orang menolak pengalalam dalam ini.
Ketiga, Maslow mencatat bawha pertumbuhan memerlukan peluang, langkah yang menjauh dari rasa aman dan nyaman. Tidak mudah untuk mengalmbil langkah ini, yang harus kita lakukan lagi- dan lagi untuk tumbuh, dan banyak orang lebih memilih rasa aman ketimbagn kesempatan ntuk tumbuh. Maslow percaya kebanyakan orang takut akan kemampuannya sendiri. Untuk menjadi apa saja yang diinginkan seseorang perlu berpikri panjang dan banyak yang menolak peluang untuk tumbuh. Maslow menggambarkan fenomena ini dalam kompleks Jonah setleaeh kisah Perjanjian Lama tentang Jonah yang mencoba melarikan diri dari rencana Tuhan untuk untuknya.

Kompetensi dan Sebab-akibat Personal
Konsep Roger tentang fungsi penuh dan gagasan Maslow tentang aktulaisasi diri mengandung ide bahwa aktualisasi diri mengandung ide bawha individu yang mengaktualisasi diri bebas mengontrol apa aygn tterjadi atas diri mereka. Konsep kontorl penting bagi tori ini dan sesuai dengan ide-ide yang dihasilkan oleh ahli teori lain tentang motivasi manusia. Aspek-aspek kontorl dari perilaku manusia disebut kompoeentesi dan disebut juga sebab akibat personal. Teori-teori ini menunjukkan dasar bagi sebagian bssar perilaku manusia adalah kebutuhan untuk menjadi efektif dalam mengontrol lingkungan seseorang.

Kompetensi
Robert White (1959) memberikan pandanganya tentang konsep motivasi kompetensi. Seprti dia sebtukan, kompetensi merupakana kemampuan unteuk beerintaski secara efektif engan likngkugans eseorang. Dalam pandangan tentang tori-teori yang populer pada 1959, dia menunjukkan bagaimana beberapa lini bukti dari perilaku binatang, psikolanalsisi dan area-area psikolgoi terkait menunjukkan motif yang mengaktivasi perjuangan untuk kompetensi. White mncatat bawha motivasi efektansi ini sering dijumpai pada perilaku anak-anak.
White menyatakan motivasi efektansi biasanya terlihat ketika motif-motif homeostais lainya berada pada level rendah. Msialnya ketika anak haus atau kedinginan, dia akan bermain untuk meningkatkan kontrol atas lingkungannya.
Tujuan dari motivasi afektansi adalah merasa mampu yang memenuhi kebutuhan fisik. White juga berpendapat perilaku kompetensi itu bersifat adaptif. Sementara tujuan dari motiavasi efektansi adalah menimbulkan efek terhadap lingkungan dan memahami bagaimana lingkungan mempengaruhi kita, hubungan yang kita pelajari ini akan bermanfaat nantinya.

Sebab-akibat personal
Konsep kontrol yang disarankan oleh White diperluas oleh deCharms (1968). DeCaharms berpendapat bahwa motif utama pada manusia adalah utnuk menadi efekti dalam menimbulkan perubahn dalam lingkungan mereka. Dengan kat lain kita berjugan utnuk sebab-akibat personal.
Sebab akibat eprsonal bukanlah motif tapi prinsip pemandu di aman seua motif dibangun. Seprti dicata CdeCharms ami menjelakan motivasi dalam katiannya dengan tujuan yang menuntun perilaku.

Teori Deci
Edward L Deci mengusulkan sebuah model motivasiintrinsik yang berkaitan erat dengan konsep kopetensi yang disarankan oleh White dan kosnep sebab akibat personal yang disarnakan oleh deCharms (1968).
Teori Deci menekankan tema ganda kompeensi dan kontrol. Dia menyarankan bawha ktai tidak hanya perlu mengontrol lingkungankita tpai juga merasa kompeten dalamm kontrol kita. Menurut Dxeci, motivasi intrinsik menghasilkan perilaku yang menyebabkan seseorang merasa kompeten. Model Deci ini kognitif karena mnekenakan bahwa kita membuiat pilihan dari inforamsi aygn ada buat dari lingkungan maupun dari ingata kita. Kita mendasrkan keputusan buakn pada informasi obyektif tapi juga pada kondisi subyektif seperti sikap dan perasaan. Bekerja dengan represntasi kogntif kondsi ni kita membuat pilihan yang berkaitan dengan perilaku mana yang akan terjadi. Pilihan kita tentang perilaku bergantung pada tujuan dari perilaku itu. Tujuan itu sendiri merupakan ekspektasi kognitif.
Dalam model Ddeci motivasi dipicu oleh representasi kognitif dari kondisi di masa mendatang. Sehingga ekspektasis eseorang menerima gelar sarjana akan memotivasi perilaku (belajar) yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Menurut Deci, energi yang mendorong perilaku kita adalah kesadaran kita bahwa tujuan bisa dicapai, sehingga menghasilkan reward.
Reward itu ada tiga: ekstirnsik, intrinsik atau fektif. Reward iekstrinsik terdiri ats suatu obyek eksternal atau situasi yang memenuhi suatu ekspektasi. sehingga mendaptakan pekerjaan bergaji sebagia akibat dari empat tahun kuliah bisa menjadi reward ekstrinsik.
Konsep kontrol yang dirasakan mendukung dan didukung oleh riset tentang ketakberdayaan yang dipelajari seperti dibicarakan pada bab 6 dan 11. seperti yang anda ingat dari data yang ditampilkan dari bab-bab tersebut, ada banyak bukti bahwa binatang dan manusia “menyerah” ketika merasa bahwa mereak tidak sbia megnotnrol lingkungan mereka. Dalam sebuah pengertian, ketidakberdayaan yang dipelajari dan kontrol yang dirasakan adalah dua sisi dari koin yang sama: tidak ada kontrol memilki efek mendemotivasi terhadap perilaku, smeentar kontrol yang dirasakan memilki efek meotivasi. Usaha untuk mengontrol lingkungan sesorang bisa menjadi karakteristik umum banyaks epsies dan merupakan sumber motivasi penting. Pada manusia kebutuhan untuk mengontrol kehidupan bisa sangat kuat.

Ringkasan
Dalam bab ini kami meninjau data dan teori yang menyatakan bahwa satu motif yang sangat dasar dari perilaku manusia adalah kebutuhan untuk mengontrol lingkungan kita. Beragam teori mendekati ide ini dengan cara yang sedikit berbeda tapi memiliki keyakinan yang sama bahwa individu yang sehat merasa mereka bisa mempengaruhi lingkungan mereka. Dalam banyak hal data dan teori tentang ketakberdayaan yang dipelajari juga mendukung pentingnya persepsi kontrol.

BAB 13
EMOSI SEBAGAI MOTIVATOR
Tinjauan bab
Bab ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana konsep emosi dijelaskan oleh para ahli teori psikologi?
2. apa peran faktor-faktor biologi dalam ekspresi emosi?
3. apa peran kognisi dalam emosi?
4. adakah emosi-emosi universal?

Sebagai atlit amaitr, saya telah menyaksikan beragam peristiwa olimpiade dengan aktusiasme yang besar dan mengalami beberapa dmapak emosional dari gagal dan sukses para partisipan. Saya meliht apra atlit menerima medali emas dnegna air mata berderai. Apakah mereka sedih? Emosional? Tentu saja.
Bab ini tentang emosi. Bagaimana kita bisa mnejelaskan emosionalitas atlit yang sukses dan reaksi-reaksi emosional kita sendiri? Apakah emosi berasal dari perubahan-perubahan visceral intenral, seperti disarankan oleh james dan Lange (lihat bab 3), atau apakah bersal dari penghargaan kognitif atas peristiwa-peristiwa yang berlangsung? Apakah emosi bersifat bawaan dan jumlahnya terbatas, atau apakah emosi dipelajari dan berlipat-lipat jumlahnya? Ada sedikit pertanyaan riset tentang emosi yang harus dijawab. Seperti yang akan kita temukan, jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut sulit didapatkan dan opini-opini sangat berbeda.
Pada awalnya kata emosi berarti bergerak, seperti dalam beprindah dari satu tempat ke tempat lain; meski demikian istilah ini kemudian bearrrti sebuah gerakan atau agitasi dalam pengertian fisik. Penggunaan ini diperluas hingga meliputi agitasi politik dan sosial. Yang terakhir istilah ini berati sebuah kondisi teragitasi atau terbangkitkan pada seseorang (Young 1975). Sehingga ide emosi nampak mengimplikasikan seseorang itu digerakkan – yaitu diubah – dari satu kondisi ke kondisi lain, seperti berubah dari senang ke sedih atau dari non emosional ke emosional.
Para peneliti yang tertraik pada konsep ini telah memberikan banyak definisi emosi, tapis eperti dicatat oleh Mandler (1984), tidak ada definis iyang diterima secara umum. Ketika kami menguji beberapa model emosi yang ada dalam bab ini,akan menjadi jelas bahwa emosi bisa dikonseptualisasikan dalam beberapa cara yang berbeda, dari perubahan-perubahan fisiologis hingga penilaian kognitif hinggag ke ekspresi fasial fundamental. Setiap pendekatan menawarkan sesuatu, dan tidak adanya definisi yang diteima secara umum tentang emosi mungkin berasal dari fakta bawha emosi itu multifast.
Selama beberapa tahun tadisi berkembang dalam tudi emosi. Satu tradisi adalah bioplogis. Dimulai oleh Darwin (1872), pendekatan biologis dikemabngkan lebih lanjut oleh James, Lange dan Cannon dan lebih baru oleh para ahli ethologi (dan juga oleh banyak peneliti lain). Dalam bagian pertama bnab ini kami akanmenguji emosi dari perspektif biologis ini.
Tradisi kedua menekankan peran proses-proses pembelajaran dalam emosi. Kalitas-kualitas emosi seperti dorongan sudah dicatat oleh Bandura. Dalam bagian kedua bab ini kami akan meninjau secara singkat beberapa cara di mana pembelajaran dilibatkan dengan emosi.
Pada bagian ketiga bab kami akan menguji pendekatan-pendekatan kognitif terhadap emosi. Para ahlit eori dalam tradisi ini menekankan penilaian kognitif penting bagi pengalaman emosi. Beberapa model kognitif akan diuji.
Dalam bagian terakhir bab ini kami menguji ide bahwa sejulah emosi bersifat iuniversal. Teori-teori biasanya mengusulkan seumlah keicl emosi bawaawn berkmebang karena nilai adaptifnya bagi individu. Lebih lanjut, perubahan-perubahan muskulatur fasial sering disarankan sebagai cara mengkomunikasikan emosi ke orang lain dan kepada diri kita sendiri. Emosi-emosi fundamnetal bisa dicampur menghasilkan rentangpengalaman emosional tak terbatas.
Seperti dibuktikan dari pendahuluans ingakt ini, riset tentang meosi tidak memberi jawaban mudah, dan perselisihan dia ntara para ahli teori kadang-kadang begitui parah. Sebenarnya, satu penjelasan yang cenderung menggantikan penjelasan lain terjadi sekitar setiap 20 tahun (Averill 1983). Dalam bab ini kami akan menguji banyak pendekatan yang disebut kan oelh Averill yang berpengaruh terhadap konsep-konsep kita tentang emosi. Mari mulai dari awal pendekatan modern tentangtopik ini, yaitu pada teori darwin.

Emosi dari perspektif biologis
Darwin
Jika anda membaca buku Darwin The Expresion of the Emotions in Man and Animlas (1872), anda akant erkejut pada betapa modernnya ini terdengar. Misalnya, dia sadar bahwa gerakan-gerakan tubuh dan ekspresi badah (saat ini disebut bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal) mengkomunikasikan mana di antara para agnggota sebuah speiss. Dia berpendapat bawha banak jkomunikasi non verbal ini menyampaikan informasi tentang kondisi emosional organisme.
Darwin percaya bahwa empis dan kespresinya bersifat bawaan, meski d kemungkinan bberpara tipe ekspresi emosioal bisa dpelajari. Banyak dari analisis emosi berkembang dis ekitar cara emosi diekspreiskan. Dia mengusulkan tiga prinsip untuk memahami ekspresi emosi pada manusia dan binatang.

pRinsip-prinsip serviceable yang berkaitan dengan kebiasaan, antitesis, dan kerja langsung sistem saraf. Pada prinsip kebiasaan serviceabel, Dariwn mengusulkan cara organisme menyatakan emosi memiliki nilai survival di masa lalu. Sehingga sekor anjing bisa memkerkan giginya ketika membela tuannya karena dalam masa lalu evolusiiner gigi taring anjing,. Perilaku ini meningkatkan nilai survival anjing jika bertindak demikian. Memamerkan gigi bernilai adaptif karena beberapa alasan; misalnya, ini menandakan kesiapan motivasional untuk menyerang, yang pada akhirnya bisa menyebabkan binatang pengancam pergi, dan kedua, perilaku ini merupakan persiapan bagi anjing untuk menggigit jika diperlukan.
Darwin percaya bahwa ekspresi-ekspresi emosional pada awalnya dipelajari tapi menjadi bawaan selama beberapa generasi; sehingga kebiasaan yang berkaitan dengan serviceable merupakan perilaku ygn dipeljari yang menjadi bawaan karena kegunaannya. Karena dia tidak tahu karya genetik Mendel, Darwin tidak tahu bagaimana karakteristik tersebut diawriskand aris atu generasi ke genrasi berikutnya sehngga dia mengusulkan bawha ekspresi emosi berkembang dari kebiasaan yang dipelajari terhadap ciri-ciri turunan selama beberapa genrasi. Saat ini kita tahu evolusi gagal dengan cara tersebut. Meski demikian, untuk memasukkan prinsip Darwin ke dalam pengetahuan genetik modern, kita perlu mencatat bahwa gen-gen tertentu mengontrol perkembangan perilaku emosi tertentu dan ekspresi emosi tersebut (anjing yang memamerkan giginya) memiliki nilai survival bagi organisme yang memiliki gen-gen tersebut.
Dalam prinsip antitesis Darwin mengusulkan bahwa ekspresi emosi yang bertentangan (kemarhaan dan ketenangan) melibatkan jenis-jenis perilaku yang berbeda.Kucing yang marah akan mengerang, meratakan telinganya dengan kepala, memperpanjang cakarnya dan membuka mulutnya untuk menggingit. Kucing yang ramah dan tenang menggosek-gesekkan punggungya pada kaki anda dan telinganya berdiri, mulut tertutup dan cakarnya teratrik. Ekspresi perilaku dari dua kondisi emosional tersebut angat berbeda dan bertentangan. Sehingga prinsip antitesis menyatakan bahwa perilaku yang berkaitan dengan jenis-jenis perasan seingkali dinyatakan pada jenis-jenis perilaku yang berbeda.
Darwin sadar dia tidak bisa mengkategorisasikan semua perilaku emosioal menurut dua prisnip tersebut karena beberapa perilaku emosioal nampak tidak berguna bagi organisme. Dia mengusulan prinsip kerja sistem saraf langsung, yang menyatakan bawha beberapa ekspresi emosional terjadi hany a karena perubahan pada aktivitas sistem saraf.
Dua prinsip pertama Dawrin nampak lebih relevan hari ini daripada prinsip ketiga. Umumnya diyakini bahwa emosi dan ekspresinya bersifat adaptif dan munculk saat ini karena berfungsi mengkomunikasikan kondisi-konidis intenral dari satu individu ke individu lainnya. Misalnya, seberapa sering anda melirik sseorang, tanpa ata yerucap dan mengetahui ada sesuatu yang salah? Pengenalan anda terhadap sesuatu itu mungkin berasal dari sinyal-sinyal emosioal yang anda amati pada ekspresi fasil orang tesbut. Banyak ahlit eori modern yanng mengikuti Darwin juga percaya emosi bisa dipahami terdrii atas beberapa kutup yang berlawanan seperti seanng-sedih, marah-sabar, bergairah-bosan dn aseterusnya. Seperti yang akan kita lihat, terdapat banyak debat tentang dimensi unipolar versus bipolar dalam emosi. Prinsip ketiga Darwin saat ini tidak terlalu popular.

Pengenalan kondisi-kondisi emosional.
Satu cara bagi perilaku emosional untuk mmpertahankan nilai survival adalah jika perilaku ini memberi petunjuk tentang kondisi emosional individu pada anggota lain spesiesnya. Dawrwin percaya bahwa gerakan-gerakan ekspresif dikenali berkaitand engan kondisi emosional tertentu oleh para anggota sebuah spesies dan pengakuan ini bersifat bawaan. Dengan kata lain, kita mengenali perilaku-perilaku tertentu mengindikasikan bahwa seseorang berada dalam kondisi emosional tertentu dan kita bisa mengubah perilaku kita berdasarkan hal ini. Yang menarik Darwin mencatat bahwa gerakan-gerakan alis, dahi dan mulut merupakan sinyal penting dari kondisi emosional.

Ethologi
Dalam bab 2 kami menguji ujsulan bawha motivasi bisa dipahamis ebagia akumulasi energi yang berkaitan dengan pola-pola perilaku instingktif, yang dilepaskan oleh stimuli kunci yang tepat. Pendekatan ini dalam bentuk modernnya sudah disebutkan oleh para ahli etologi. Ketika para ahli etologi sudah menekankan sifat bawaan dari proses-proses motivasional, mereka juga menentang sifat bawaan dari emosi.
Dengan mengikuti Darwin, para ahli etologi berkonsentrasi terutama pada studi gerakan ekspresif organisme. Bagi par aahli etologi, motivasi dan emosi dianggap sebagai dua nama untuk konsep yang sama; sebuah bentuk energi spesifik tindakan.

Gerakan-gerakan sengaja. Riset etologi berfokus pada informasi yang disampaikan oleh gerakan-gerakane kspresi yang menyertai emosi. Misalnya, Eibl-Eibesfedlt memberikan definisi berikut: ”Pola-pola perilaku terdiferensiasi menjadi sinyal-sinyalyang disebut gerakan-gerakan ekspresif. Menurtu analisis etologi, ekspresi bawaan dari sebuah kondisi emosional binatang berkembagn dari gerakan-gerakan sengaja, yang bisa anda sebut sebagai indikator dari sebuah perilaku yang dibuat oleh organisme. Sehingga anjing yang memamerkan giginya merupakan gerakan eksresif yang mengindikasikan emosi dan persiapan untuk menggigit.perilaku eksresif ini seringkali terlihat ketika emosi-emosi yang bertentangan muncul dan cenderung menjadi perilaku-perilaku campuran yang terlibat dalam kondisi-kondisi ang bertentangan. Mislanya seekor kucing jantan yang membela wilayahnya terhadap pejantan penyusup bisa menaikkan buunya dan segera setelah itu menjauh dari penyerang. Gerakan-gerakan ekspresif ini mungkin mengidikasikan permusuhan yang dicampur dengan ketakutan.
Gerakan-gerakan bertujuan ini akan informastif selama anggota-anggota individu lain emngenalinya sebagai sinyal perilaku yang bisa tejradi. Pengenalan kemarahan, misalnya akan membatnus eseorang menghindari perkelahian yang merusak; respon ketakutan seperti menangis bisa dengan cepat membuat orang dewasa membantu bayi; dan sensitiitas terhadap petunjuk-petunjuk emosioal bisa membantu pria menghindari buang-buang energi dalam melakukan rayuan kepada wanita yang tidak tertarik. Gerakan-gerakan sengaja memiliki tujuan adaptif mengkoordinasikan perilaku di antara individu sehingga bisa ada bedekatan dengan orang laind ari spesiesnya dan berinteraksi dengan efisien. Binatang yanghidup dalam kelomok bisa mengembangkan cara-cara mengenali sinyal-sinyal emosional danbertindak dengan tepat. Karena manusia dan primata lainnya hidup dalam kelompok kecil, tidak mengejutkan jika kita dan monyet terbukti sensitif terhadap sinyal-sinyal emosional. Analisis petunjuk-petunjuk nonverbal ini akan dibahas lebih lanjut.

Petunjuk-petunjuk non verbal
Di atanra primata, ekspresi wajah vestur dan panggilan sering menyertai perilaku emosional (Buck 1976). Apakah ekspresi, panggilan dan gesture berfungsi sebagai petunjuk bagi kondisi emosional binatang? Robert Miller dan kolega menguij ide ini dalam serangkaian eksperimen. Kita kaan melihatnya secara singkat.
Miller menempatkan monyet resus pada sebuah situasi ekpserimen di mna mereka harus menghindari guncangan dengan menekan sebuah kunci ketika lampu menyala. Ini meurpakan situasi pembelajaran menghindar khusus dan monyet tidak bermaslah dalam belajar mengihndari guncangan. Setlah dia menunjukkan mereka bisa belajar menghidnari guncangan, Miller mengubah situasi sehingga satu monye tbisa melihat stimuluscahaya tapi tidak bisa menghindari guncangan scara langsung karena tidak ada kunci yang bisa ditekan. Monyet kedua punya kunci tpai tidak melihat stimulus tersebut. Monyet kedua ini bisa melihat monyet pertama lewat sebuah monitor TV bersirkuit tertutup yang menunjukkan wajah monyet pertama. Pertanyaannya adalah: Akankah monyet pertama mengubah ekspresi fasialnya ketika lampu menyala? Dan bisakah monyet kedua memahami perubahan tersebut, menekan kunci dan dengan demikian menghindari guncangan bagi keduanya?
Jawabannya adalah iya. Ekspresi wajah monyet pertama berubah ketika cahaya menyala, dan monyet kedua mengamati perubahan tersebut dan belajar menekan kunci untuk menghindari guncangan. Sehingga monyet-monyet tersebut bisamenirim ekspresi fasial yang tepat dan menerima ekspresi tersebut dan mengubah perilaku mereka.
Harus dicaat bahwa mengirim monyet bukanlah usaha sadar untuk mengirimkan informasi ke monyet pengamat. Monyet pengirim hanya bereaksi pada cahaya dengan perubahan ekspresi wajah karena cahay amengindikasikan guncangan akant erjadi. Monyet yang mengamati mampu menggunakan komunikasi ini untuk menekan kunci untuk menghindari guncangan. Demikian juga, monyet kedua tidak altruistik dengan menekan kunci sehingga keduanya bisa menghindari guncangan; hanya dengan menekan kunci keduanya tidak akant erguncang. Eksperimen ini menunjukkan bawha monyet-monyet resus sensitif terhadap gerakan-gerakan wajah yang bisa berupa ekspresi emosi dan bisa mengubah perilaku mereka. Jika mereka bisa menggunaan komunikasi emosional ini dalam lingkungan laboratoriums teril, mereka bisa juga menggunakan ekspresi wajah dalam lingkungan alami.
Dalam bagian lain eksperimen ini Miller, Caul dan Mirsky memasangkan monyet yang dibesarkan secara terpisah dengan monyet yang dipelihara secara normal dan melakukan semu akombinasi pengirim dan penerima. Kita sudah lama tahu bawha monyet yangdiisolasi dari anggota spesise mereka mengembangkan abnormalitas perilaku, termasuk memeluk diri sendiri, bergoyang, dan menghindari interaksi sosial. Miller menemukan bawha isolat tidak mampu bertindak sebagai pengirim dan pengamat yan gbaik. Satu efek dari isolasi aldaah gangguan kemampuan untuk menggunakan petunjuk yang dihasilkan emosi dan nverbal. Gangguan ini bisa dikaitkand engan perilaku aneh yang ditunjukkan oleh monyet yang terioslasi.
Kemampan mengirim dan menerima petunjuk-petunjuk emosional bisa melibatkan inreraksi antara pola perilaku b awaan dan yang didapatkan. Mason (1961) meyebtukan banyak perilaku yang digunakan oleh monyet dalam komuniaksi spesifik spesies (dan oleh akrena itu bawaan) tapi perkembangan yang tepat dai perilakup-perilaku tersebut bergantung pad apenglaman yang adekuat. Monyet-monyet yang terisolasi mungkin tidak memiliki komunikasi emosional karena kemampuan bawaan mereka tidak memiliki atmosver sosial yang tepat untuk berkembang. Jika monyet bisa mengkomuniaksikan kondisi emosionalnya dengan gerakan wajah, gestur dan panggilan, bagaimana dengan manusia? Apakah mengkomuniaskikan perasaan mereka melali petunjuk-petunjuk non verbal juga?
Ross Buck berusaha menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan metode sender-observer Miller untuk diterapkan pada manusia. Dalam eksperimen Buck subyek melihat serangkian slide yang masuk ke beragam kateogri yang berubungan dengan respon emosional ayng mungkin diraskan subyek saat melinhatnya. Kategori-ktgori ini bisa mleiputi slide skeusl, skenik, maternal, memalukan dan ambigu. Subyek lain mengamati reaksi-reaksi vasial orang yang melihat slide dan berusaha memprediksikan tipe slide apa yang dilihat oleh orang pertama dan apakah emosi yang dialami menyenagkan atau tidak menyenangkan. Jika manusia menyatkan emosi lewat gerakan-gerakan fasial, pengamat harus mampu memprediksikan dengan suatu akurasi tpe splide apa yang dilihat orang pertama dan apakah orang ini merasa senang atau tidak senang.
Dalam satu studi Buck menemukanbahwa seorang pengamat bisa meprediksikan pada level-level yang lebih besar daripada peluang kategori slide yang dilihat pengirim. Meski akurasi prediksi ini signifikan secara statistik, ini tidak banyak, mungkin karena orang-orang yang berbeda bereaski secar aberbeda terhadap stimuli yang sama. Misalnya sesoerang mungkin measa senang melihat foto-foto telanjang, sementara beberapa orang lainnya mungkin tidak tertarik. Akurasi memprediksikan kategori-kategori emosi bersifat marginal. Dalam hal menyenangkan dan tidak menyenangkan, prediksi jauh lebih baik. Kita sangat baik saat mengirim dan menerima sinyal yang merefleksikan mood umum kita tapi tidak terlalu bagis mengindikasikan secara verbal mengapa kita meras demikian (alasan-alasan untuk senang atau tidak senang).
Dalam semua studinya Buck menemukan wanita mengkomunikasikan emosinya secar anonverbal lebih baik daripada pria – mereka pengirim yan glebih baik – karena mereka lebih ekspresif secara fasioal (mereka membuat gerakan-gerakan fasial lebih banyak_. Buck menyatakan bahwa dalam masyarakat kita anak gadis diajari untuk menyatakan emosinya secar terbuka, sementara anak laki-laki diajari mereka harus menghambat eskpresi eprasasan mereka. Sehingga wanita bisa lebih baik dalam menyatakan emosinya secara nonverbal karena mereka diizinkan mengeksternalisasi perasaan mereka, sementara anak laki-laki diajari menginternalisasi perasaan mereka. Dengan cara yang sama seperti data monyet. Riset B uck mengimpliasikan ekspresi emosional bersifat bawaan tapi bisa diubah oleh pengalaman.
Bagaimana ekspresi emosi awal ini terjadi? Buck (1975) menemukan bahwa anak pada usia 4 bulan bisa mengkomunikasikan emosinya dengan bagus lewat ekspresi wajah. Pada usia ini tidak ada perbedaan-perbedaan reliabel yan gmuncul di antar kedua jenis kelamin ini dala hal kemampuannya mengirim informasi, meski anak perempuan masih sedikit lebih bagus. Buck juga menemukan bahwa ibu dari anak-anak tersebut paling akurat saat menilai ktegori-kategori dan juga kondisi menyenangkanemosi, meski pengamat ahli juga berhasil menginterpretasikan ekspresi fasial anak.
Dalam semua studi tersebut pengamat lebih baik sat menilai menyenangkan atau tidak menyenngkan dari emosi yang dinyatakan daripada saat menilai kategori emosi tertentu. Ekspresi emosional melalui gerakan wajah mengindikasikan mood emosional tapi tidak menyebabkan mood tersebut. Dalam bagian terakhir bab kami akan menguji bukti tambahan bahwa ekspresi-ekspresi wajah yang berbeda bisa denganakurat mengindikasikan emosi tertentu.
Robert Rosenthal jug atertarik memahami kopmunikasi non verbal. Roesental dan rekan di Harvadr mengembangkans ebuah alat yang mereka percaya memungkinkan mereka mengukur sensitiitas seseorang terhadap petunjul-petunjuk non verbal (Irosenthal et al 1974) merek amengukur reaksi pad petunjuk-petunjuk nonverrbal sebagai gerakan fasial, egrakan tubuh, nada suara dan seterusnya dengan meminta orang-orang memilih dari serangkaian jawaban yan gmereka anggap menyampaikan emosi. Riset ini mengidentifikasi beragam kondisi emosi bahkan ketika hanya dipaparkan secara singkat ke petunjuk-petunjuk non verbal (1.5 detik).
Sesuai dengan riset Buck, Rosenthal dan rekan menemukan bahwa wanita lebih sensitif darpada pria terhadap petunjuk-petunjuk non verbal, terutama petunjuk-petunjuk tubuh. Menurut temuan-temuan Buck dan Rosenthal, wanita lebih baik daripada pria pada saat mengirimkan informasi non verbal dan mendeteksinya pada yang lain. Meski para peneliti tersebut itdak menghilangkan pembelajaran, mereka menyatakan beberapa aspek kemapuan untuk mengirim dan mendeteksi –petunjuk non verbal emosional bisa berarti bawaan.
Sebuah studi terhadap b ayi juga menimbulkanpertanyaan apakah ekspresi emosional bersifat bawaan lahir (Halth Bergman, & More,977). Dalam eksperimen Halth fiksasi visual wajah oleh bayi duuji. Bayi usia 2 hingga 4 minggu memfiksasi wajah orang dewasa hanya 22% dari waktu selama pengujian, sementara bayi usia 7 minggu memfiksasi wajah lebih dari 87% dari waktu. Para peneliti juga menguji ciri-ciri fasial mana yang difiskasi dan menemukan bahwa mata menarik perhatian terbesar dari usia 7 tahun ke depan. Ini benar ketika orang dewasa berbicara (mungkin seperti diprediksikan bahwa bayi akan memfiksasidaerah muylut). Haith dan rekan menyatakan bahwa mata menjadi titik fiksai penting karena mereka berfungsi sebagai sumber sinyal atau petunjuk dalam situasi-situasi sosial. Meski studi ini tidak menunjukkan bahwa melirik wajah merupakan respon bawaan, ini menyatakan bahwa memifksasi wajah, khsusnya mata, dimulai pada usia yang sangat dini dan bisa memiliki beberapa komponen bawaan.
Studi-studi Haith, Rosenthal dan Buck mengindikasikan bahwa manusia sensitif terhadap ekspresi emosi non verbal dan sementara pembelajaran ti dilibatkan dlam kemampuan ini, beberapa komponen ekspresi dan pengenalan emosional yang sama kemungikinan bersifat bawaan. Seperti primata lain, manusia emngkomuikasikan afeks secara non verbal dan mmebaca sinyal-sinyal emosional non verbal ornag lain.

Mekanisme Otak untuk Emosi
Banyak perubahan tubuh berkaitan dengan emosionalitas (lihat bab 3 untuk tinjauan teori-teori awal emosionalitas oleh James, Lange,Cannon dan lain-lain). Anda juga bisa lihat dari bab 4, tentang mekanisme regulasi, di mana James Papez (1937) mengusulkan sebuah sistem struktur di dalam otak yang berkaitan dengan ekspresi emosional. Papez menyatakan bahwa hipotalamus, anterior thalamic nuclei, cingulate gyrus dan hippocampus terlibat pad emosi. Riset selanjutnya mengonfirmasikan banyak ide Papez dan menambahkan pentingnya sebuah struktur tambahan, amygdala. Struktur-struktur yang saling berhubungan terebut dikenal sebagai sistem limbik dan nampak memungkinkan integrasi komponen-komponen perilaku (Carlson 1994)yang menarik adalah apengujian struktur-struktur tersebut dan peran-perannya dalam produksi dan pengaturan ekspresi emosi. Tinjauan berikut didasarkan pada ringkasan riset terhadap struktur-struktru tersebut oleh Carlson (1994), LeDoux (1994), Kalat (1995) dan Plutchik (1994).
Menurut Carlson (1994), perilaku emosional terdiri atas tiga komponen: perilaku emosional, perubahan otonom, dan perubahan hormonal. Perilaku-perilaku emosional terdiri atas perubahan-perubahan muskular yang tepat bagi konteks lingkungan di mana perilaku terjadi. Misalnya seseorang yang sangat marah akan sering mengepalkan tinju. Perilaku ini bis adiangap sebagai persiapan untuk berkelahi jika situasinya meningkat. Perubahan-perubahan otonom menyediakan energi dengan cepat dan mempersiapkan individu untuk perilaku yang lebih kuat seperti gerakan cepat atau respon yang lebih kuat. Respon-repon hormonal seperti produksi epineprin dan norepineprine oleh adrenal medulla membantu menopang perubahan-perubahan otonom. Carlson meyatakan bawha itnegrasi perubahan muskular, otono dan hormonal dilakukan oleh amygdala.

Amygdala
Saat ini nampkak ada dukungan yang besar untuk peran amygdala dalam integrasi kompone-komponen emosi (Carlson, 1994; LEdeoux, 1994). Input-input bagi amygdala berasal dari thalamus, memberikan informasi visual dan audiotris langsung ke amygdala yang mungkin relevan secara esmional. Input-input ini scara langsung masuk ke amygdala. Dan memberi jalan di mana inforasmi sensoris bisa menstimulasi respon emosional tanpa pemrosesan kortikal. Input-input tambahan ke amygdala dari kortteks tempoiral memberi trute di mana asosiasi-asosiasi kortikal bisa juga mempengaruhi daya respon emosional. Sehingga circuitry muncul untuk ekspresi emosi langsung terhadap perisitwa-peristiwa sensoris dan juga ekspresi emosi akibat asoisasi. Yang terakhir, input-input dari orbital frontal cortex (daerah otak yang berdekatan dengan soket mata – sehinggag disebut orbital) memberi informasi ke amygdala yang bisa penting bagi emosionalitas yang dihasilkan oleh situasi-situasi sosial.
Pentingnya daerah-daerah orbital frontal sudah diketahui untuk beberapa waktu. Mungkin kasus terkenal dari sebuah perubahan dalam emosionalitas setelah kerusakan lobus frontal adalah Phineas Gage. Gage menderita kerusakan pad aotkanya ketika muatan bubuk yang dimsukkan ke sebuah lubang dalam sebuah batu meledak, menumpahkan besi tersebut ke pipi kirinya, mengenai otkanya dan keluar dari bagian atas kepalanya. Gage bertahan hidup dari kecelakan tersebut dan pu;lih. Meski kemampuan intelektula dan motornya tetap utuh, dia menderita perubahan kepribadian yang signifikan. Sebelum kecelakaan dia adalah orang yang sangat bertanggungjawab dan baik secara sosial. Setelah kecelakaan dia tidak bertanggungjawab dan tidak memperhatikan lagi aturan-aturan sosial. Analisis modern terhadap tengkorak Gage (yang meninggal pada 1861) oleh Damasio dan lain-lain (1994) mengonfirmasikan bawha daerah orbital frontal otkanya dirusak oleh batang besi itu. Perubahan kepribadian yang dimaati pada Gage juga konsisten dengan perubahan-perubahan perilaku yang dilaporkan oleh Damasio dan rekan (1994 lihat catatan 12) dalam sekelompok pasien modern dengan kerusakan orbital frontal. Para pasien tersebutbermasalah dalam membuat keputusan-keptusan rasional tentang persoalan person al dan sosial dan menunjukkan perubahan-perubahan dalam pemrosesan emosi mereka.
LeDoux (1994) meringkas sebuah badan penelitian yang cukup besar yang menunjukkan amygdala sebagai hal penting dalam pembelajaran respon-respon emosional yang berkaitan dengan rasa takut.
Amygdala juga nampak menimpulkan kontrol terhadap banyak perubahan yang ditimbulkan ketika emosi muncul. Misalnya amygdala memiliki hubungan ke hipotalamus yang bisa memberi jalur yang diperlukan bagi perubahan-perubahan otonom akibat situasi emosional (Kalat 1995). Selain itu Amygdala berhubungna dengan otak belakang pada level pons atau medula (atau mungkin keduanya – Kalat 1995); koneksi-koneksi ini bisa memberi jalan di mana amygdala mempengaruhi respon skeletal yang berkaitan dengan emosionalitas.
Sebagai ringkasan, butki riset yang ada saat ini konsisten dalam menunjukkan bahwa amygdala penting bagi perubahan perilaku, otonom dan hormonal yang terjadi dalam situasi-situasi emosional.

Emosi dari perspektif pembelajaran
Dalam bagian ini kami akan melihat secara singkat beberapac ara di mana pembelajaran bisa berkontribusi terhadap emosionalitas. Seperti dicata dalam ba 6, situasi-situasi pengkondisian klasik bisa menyebabkan berkembangnya emosionlaitas pada stimuli yang sbelumnya netral. Juga jelas bahwa emosi-emosi seperti ketaktuan bis amenyebabkan perilaku-perilaku instrumental baru yang mengurangi atau melepaskan organisme dari situasi yang menyebabkan emosi. Karena dalam bab 5 kami menguji ss ecara detail teori perilaku umum Hull, kami mulai lagi diskusi dengan melihat bagaimana para ahli teori dorongan ini menangani emosi.

Emosi sebagai dorongan
Clark Hull tidak tertarik pada emosi. Istilah emosi tidak muncul dalam indeks bukunya tahun 1943 dan 1951. Pada 1952, Hull scara singkat menyebutkan emosi terlibat dalam perubahan-perubahan perilaku yang mengikuti pergeseran dari reward besar k erward kecil (dan sebaliknya). Karena perubahan-perubahan perilaku tersebut beasal dari pengkontrasan perubahan-perubahan dalam nilai nisentif tujuan, Hull menganggap emosionalitas bertanggungjawab sebagian untuk efek-efek insentif terhadap perilaku.
Kenneth Spence mengembangkan sebuah pendekatan yang lebih sistematis pada studi emosi. Spence (1956, 1960) membagi peristiwa-peristiwa motoivasional menjadi dua kategori – apetiitf dan aversif. Kondisi apetitif (lapar, haus dan seks) melibatkan situasi-situasi yang mendorong pada perilaku mendekat. Kondisi aversif adalah situasi di mana organimse berusaha menarik diri atau lari. Rasa sakit merupakan kondisi aversif yang paling jelas dan juga yang paling sering dipelajari.
Berkatian dengan kondisi-kondisi aversif, Spence berpendapat bawha dorongan yang mengaktivasi perilaku berasal dari perkembangan respon emosional internal dalam organisme. Sehingga motivasi yang mengaktivasi perilaku dalam situasi aversif dianggap didasarkan pada perkembagnan emosionalitas. Spence juga berpendapat bawha emosionlalitas ini dibangkitkan oleh sebuah stimulus aversif (setrum listirk, cubitan pada ekor).
Spence juga meprediksikan individu memiliki perbedaan kekuatan respon emosi yang meerka timbulkan dalam adanya sebuah stimulus aversif. Ini menunjukkan bahw subyek-subyek yang sangat emosional harus bekerja lebih baik daripada subyek-subyek yang memiliki emosionalitas lebih rendah dalam sebuah situasi aversif, dengan syarat respon yang benar ini memiliki peluang terjadi tinggi, karena emosionalitas tingi akan menyebabkan doronga yang lebih tinggi dan perilaku yang lebih bagus. Janet Taylor Spence, murid dari Kenneth Spence, mengembangkan inventaris-diri untuk mengukur daya respon emosional individu. Dia memilih kecemasan sebagai proses dasar untuk studi dan mengembangkan Skala KEcemasan Manifest Taylor untuk mengukurnya (Taylor 1951m 1953).
Untuk menentukan efek kecemasan terhadap perilaku, Spence memilih mempelajari efek-efeknya tehradp pengkondsian klasik respon kelopak mata manusia terhadap hembusan udara. Seperti yang mungkin anda tahu, jika sebuah hembusan udara menerpa mata anda (ketika anda mengitari sebuah gedung dan kembali kearah sebelumnya dengan melawan angin kencang), anda secara otoamtis menutup mata. Ketika stimulus netral (mungkin nada0 dipasangkan dengan hembusan udar apad amata, orang akan mulai mengedip terhadap stimulus meski jika tiupan udara itu sudah dihilangkan pada beberapa percobaan. Spence ingon menguji ide bahwa subyek memiliki kecemasan tinggi, seperti diukur oleh Skala MEcemasan Manifest, akan menunjukkan persentase respon terkondisikan yang lebihbesar daripada subyek yang memiliki kecemasan rendah. Dia memprediksikan perhbedaan antar asubyek dengan kecdemasan tinggi dan rendah ini berdasarkan pada fakta bawha respon emosional kecemasan akan menghasilkan dorongan yang lebih pada subyek yang sangat cemas daripada subyek ayng ukurang cemas. Karena teori dorongan berasumsi dorongan memperkuat kekuatan kebiasaan, subyek dengan kecdemasan tinggi menunjukkan persentase menutup mata yang lebih tinggi sebagai respon terhadap stimulus yang terkondisikan.
Taylor (1951) yang pertama menguji ide ini. Dia memilih subyek untu kelompok kecemasan tinggi yang diberi skor pada 12% atas distirbusi Manifest Anxiety Scale, sementara subyek untuk kelompok kecemasan rendah dipiluh dari yang terendah 9% dari distribusi. Hasil-hasilnya ditunjukkan pada gambar 13.1. seperti diduga, subyek-subyek dengan kecemasan tinggi menunjukkan jumlah respon terkondisikan yang lebih besar daripada subyek-subyek kecdemasan rendah di antara percobaan-percobaan traioning/
Banyak eksperimen pengkondisian leompoak mata lain sudah dilakukan dan temuan-temuannya knsisten; subyek dengan keceamasan tinggi menunukkan persentase respon-respon terkondisikan yang lebih besar daripada subyek dengan kecemasan rendah. Data yang didapatkan dari situasi-situasi pengkondisian klasik mendukung interpretasi Spencetentang emosionalias yang ditambahkan pad level dorongan umum. Studi-studi pengkondisian kelompoka mata merepresetnasikan situasi khusus di mana respon yang benar (mengedipkan mata) adalah respon yang paling mungkin, seinga meningkatnya dorongan harus menyebabkan rpoduski responm yang lebih cepat yang diuji oleh eksperimen. Dalam situasi-situasi pembelajaran yang lebih kompleks di mana respon yang tepat mungkin bukan yang paling mungkin terjadi, tambahan lain bagi dorongan ditambakan oleh emosiaonlitas yang lebih cenderung mengganggu performa respon yang benar. Ini terjadi jika suatuyuagn tidak benar lebih kuat daripada yang dicari oleh pengeksperimen; meningkatnya dorongan akan memperkuat respon paling kuat dan ini akan menyebabkan subyek yang sangat cemas mempelajari respon yang benar lebih lamban daripada subyek dengan kecemasan rendah. Hasil-hasil dari beberapa eksperimen yang menggunakan bahan-bahan verbal yang berkaitan dengan respon dominan dan tidak benar cenderung mengonfirmasi hipotesis ini. Ketika item-item verbal tidak memilki asosiasi yang kuat sebelumnya, subyek-subyek dengan kecemasan tinggi mempelajari respon yang benar lebih cepat daripada subyek dengan kecemasan rendah; ketika material verbal memiliki asosiasi yang kuat sebelumya, respon yang benar pada awalnya dipelajari lebih lamban oleh subyek dengan kecemasan tinggi (Cofer & Appley 1964; Spence, 1956, 1960).
Hasil-hasil dari riset tentang cirri-ciri emosioanblitas yang menghasilkan dorongan menunjukkan bawha kecemasan seringkali bekerja seperti sebuah dorongan. Peningkatan dorongan yang berasal dari kecemasan menghasilkan eek-efek campuran. Dalam situasi-situasi yang relative sederhana di maan respon yang diperlukan memiliki peluang kejadian tingi, kecemasan Nampak amembnatu performa. Tapi ketika respon yang benar memiliki peluang kejadian yang rendah dibandingkan respon-respon lainnya, kecemasan mengganggu performa perilaku yang benar. Contoh dari fenomean ini adalah kecdemasanujian. Sedikit kecemasan sebelum suatu ujian membantu bebearpa mahasiswa, mungkin karena mereka mempelajari respon yang benar dan kecemasan cenderung mengatkviasi respon tersebut; kecemasan ini bias mengganggu performa mahasiswa lain karena memicu respon-respon yang tidak sebanding dengan pengambilan ujian. (moralnya jelas: semakin baik anda mempelajari materi, semakin kecil kecemasan akan ujuan bekerja melawan anda).
Konsep dorongan berbasis emsional Spcence bukannya tanpa masalah. Seperti kita lihat dalam bab 3, emosionalitas kadang-kadnag menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis kompleks di dalam tubuh. Jika Skala KEcdemasan Manifes mengukur kecemasan seperti yang dirancang, kita harus mednuga korelasi di antaranya dan ukuran-ukuran eaktivitas fisik tinggi dan positif. Hasil dari bberapa studi menunjukkan bahwa hubungan ini kecil. Temuan-temuan tersebut menimbulkan keraguan tentangasumsi bahwa kecemasan, yang diukur oleh skala, mengukur sebuah dorongan. Misalnya korelasi sering ditemukan dia ntara kecenderungan neurotic dan skala (Cofer & Appley 1964). Skala ini bias mengukur factor-faktor lain dis amping kecemasan yang menunjukkan bahwa factor-faktro tersebut bias menyebabkan perilaku. Kemungkinan ini Nampak lebih mempertimbangkan problem-problem yang ditemui oleh knsep dorongan.

Modeling emosional
Riset yang baru saja dibicarakan menyarankan abwha emosi seiering emiliki cirri-ciri yang menyebabkan produksi perilaku. Apakah emosionalitas itu bawan, seperti disebutkan Darwin dan ahli etologi, atau bisakah emosi dipelajari? Bandura (1971) berpendapat bahwa emosionalitas bisa dipelajari dengan mengamatai orang lain. Menurut Bandura, kita snsitif terhadap indiaksi fasial,. Focal dan postural dari kegairahan emosional orang lain dan kita mencatatnya. Jika kita nanti menemukan diri kita dalam kondisi-kondisi yang mirip dengan yang kita amati, kita cenderung bereaksi secara emional. Seperti diduga, kita Nampak dipengaruhi oleh emosionalitas model-mdel yang penting bagi kita – mungkin bagian dari pendekatan gambar-gmbar bererak, televise dan drama adalah kemampaun actor membangkitkan emosi dalam diri kita.
Bandura (1969) menyarankan bahwa orang-orang kadang mengalami pobia bukan dari pengalaman langsung tapi dari melihat seorang model bertindak takut atau diciderai oleh obyek lain. Bandura juga menyebutkan bawha orang-orang kadang mempelajari rpasangka terhadap kleompok-kelompok lain dengan mengamati seorang model yang menunjukkan meosionalitas negative kuat terhadap kelompok.
Meski kita bisa mempelajari perilaku emosional secar alangsugn melalui prosedur operant dan klasik, analisis Bandura juga menjelaskan bawha mlalui observasi perilaku emosional sederhana, kit abisa memasukkan emosionalitas ke dalam pola-pola respon kita. Kita sekarang akan menguji ide bahwa organism sudah diadaptasikan oleh evolusi untuk menghubungkan emosi dengan kelas-kelas peristiwa tertentu.

Kesiagaan Pembelajaran Emosional
Selama bertahun-tahun ahli teori beasumsi bahwa aturan-aturan di mana pembelajaran terjadi adalah sama di antara semua organism. Pendekatan ini, yang teori pembelajaran proses umum, berasumsi bahwa satu respon bisa dipeljari sama mudahnya dengan respon lain. Sekarng Nampak bahwa asumsi teori proses umum mungkin harus dimodifikasi. Respon bahwa kita meminta organism belajar Nampak memberikan perbedaan. Beberapa respon dipelajari dengan mudah sementara bebeapa lagi hanya bisa dipelajari dengan tingkat kesulitan tinggim dan beberapa lagi mungkin tidak bisa dipelajari. Pemikiran ini disampaikan oleh Breland dan Breland (1961); setelah bertahun0tahun mengkondisikand an mengamati ribuan binatang, para peneliti ini enggan menyimpulkan bahwaanda tidak bisa memahami, mengontrol atau memprdiksikan perilaku secar amemadai kecuali anda tahu sesuatiu tentagn pola-pola instingtifnya, sejarah evolusionernya dan niche ekologinya.
Seligman (1970) menyatakan bahwa asosiabilitas peristiwa-peristiwa dalam lingkungan bisa digambarkan sebagai sebuah kontinum. Pada atu ujung kontinum adalah peirsitwa-peirstiwa yang bisa diasosaissikan dengan cepat dan muda; ini disebut asoasisi-asosiasi yang dipersiapkan. Disisi lain adalah asosiasi-aosiasi yang tidakbisa dipelajari organisme; ini disebut asosiasi contraprepread. Di antara dua ekstrim ini adalah asosiasi-asosaisi yang tidak dipersiapkan; ini bisa dipelajari; tapi banyak pengalaman dengan peiritwa ini diperlukan bagi terbentuknya sebuah asosiasi. Hiptoesis kesiagaan menyatakan bawha sipesies yang berbeda akan mengembangkan asosiasi prepared, unpreapred dan kontraprepaed yang berbeda akibat tekanan selektif eovlusi. Sehingga satu spesies mungkin dengn cepat mempelarji respon pada satu set kondisi lingkungan tpi tidak pad set lkondisi lain karena evolusi memprsiapkan satu tipe asosaisi yang bisa dibentukd engan mudah dan pada saat yang sama membuat asoasisasi lain menjadisulit atau mustahil.
Seligman (1971) mengusulkan bahwa perkemabngan fase pobia merupakan contoh pembelajaran yang dipersiapkan pada mansuai. Pobia bisa diartikans ebagai ketaktuan tak beralasan terhadap obyek , situatsi yang pada dasarnya tidak berdasar. ADanya obyek pobia menyebabkan perilaku yang sangat emosional yang biasanya disebuts ebagai ektakutan irasional. Banyak ahli teori menganggap perkembangan perilaku pobia sebagai contoh pengkondisian klasik. Misalnya, stimulus netral seperti sebuah elevator bisa dikaitkand engan reaksi-reaksi kecemasan yang kuat yang dipicu oleh sebuah tes. Selanjutnya, elevator bisa menimbulkan reaksi kecemasan terkondisikan juga.
Seperti dicatat oleh Seligman, ada beberapa problem dengan tipe interpretasi ini. Pertama, pobia sangat resisten terhadap pemunahan, semneta rapengkndisian ketakutan laboratorium normal seringkali hilang dengan lebih mudah (Sleligman 1971), PEmaparan ke sebuah stimlus menimbulkan ketakutan terkondisikan di as lalu tanpa ketakutan yang saat ini muncul akan memperlemah ketakutan terkondisikan. Presntasi obyek-obyek pobik, dis isi lain biasanya tidak mengurangi kektutan dan bahkan meningkatkannya.
Problenm kedua dengan penjelasan pengkondisan pobia adalah bahwa kadang-kadang reaksi pobia nampak dipelajari seperti pada sebuah pemaparan, sementara ketakutan yang terkondisikan di dalam laboratorium biasanya tejradi di antara tiga dan enam percobaan. Sehingga beberapa pobia nampak didapatkan lebih cepat daripada reaksi-reaksi ketakutan yang terkondisikan tertentu.
Ketiga, stimuli terkondisikan dianggap arbiterre. Stimulus netarl bisa jadi stimulus terkondisikan jika dipasangkan dengan stimulus yang tak terkondisikan (UCS), dalam kasus ini UCS yang menimbulkan kecemasna. Tapi pobia yang paling sering mumemunculkan serangkaian kondisi non arbirer (takut ketinggian, takut gelap, takut ruang tertutup).
KEempat, sebagian besar reaksi pobia adalah ada obyek-obeyk alam. Alasannya adalah evolusi mengadaptasikan kita untuk sensitif membentuk hubugnanantar fenomena alam dan ketakutan seperti gelap dan tinggi atau organisme seperti laba-laba dan ular karenea ketakutan terhadap hal-hal tersebut bisa berguna (beberpaa ular dan laba-laba beracun, gelap dan tinggi meningkatkan peluang cidera). Ini bukan bearrti semua pobia merupakan contoh dari asosiasi yangdipersiapkan; beberapa orang pobia terhadap pesawat udara dan bahkan pada simbol, seperti angka 13 (White 1964).
Pobia memilki banyak akrakteristik perilaku yang dipersiapkan. Baik pobia dan perilaku yang dipersiapkan bisa dipelajari dalam satu percobaan; keduanya membahas serangkaian situasi non aribirer keduanya sangat resisten terhadp pemunahan; dan keduanya mungkin bersifat non kognitif. Overlap dalam karakteristik pobia dan perilaku yang dipersiapkan cukup kuat, dan pobia umum tertentu bisa berkembang karena manusia dipersiapkan untuk emmbuat asosaisi di antara ketakutan dan situasi tertentu. Karena pobia melibatkan situasi-situasi emosional, sesoerang bisa menduga akana manusia dipersiapkan untuk membuat asosiasi-asosiasi yang mengandung sebuah unsur emosional. Mungkin emosi menimbulkan dampkanya karena dikaitkan dengan mudah dengan peristiwa-peristiwa lain. Riset di masa mendatng mungkin memberikan beberapa jawaban.

Emosi dari perspektif kognitif
Pendekatan-pendekatan kognitif terhadap pemahaman emosi menekankan pentingnya penilaian kognitif (Lazarus, 1982, 1984). MEnurut pandangan ini, perubahan-perubahan tubuh tidak cukup untuk pengalaman emosi sebenarnya; kita harus mengukur sebuah situasi menimbulkan emosi sebelum kit amengalami emosi. Model Schachterad alah model yang pertama kali menyarankan pentingnya suatu jenis prsoes penilaian. Seperti yang anda ingat, Scahcater mengusulkan ketika kegairahan terjadi sebuah label kognitif disandangkan pada kegairahan tersebut, dan keduanya perlu agar emosi dialami. Sehingg aketika kita digairahkan dan petunjuk menunjukkan kesenangan maka kita akan senang; tapi kegirahan yang sama dengan adanya petunjuk-petunjuk yang berbeda bisa membuat kita merasa marah. Dalam model Scahcter unsur kritis yang menentukan emosi tertentu yang dialami adalah label kognitif; meski kegirahan dianggap perlu, ini bukan berarti berbeda dia ntara beragam emosi yangbisa dirasakan oleh seseorang. Model Scahcater dikritik karena beberapa alasan, dan para ahli teori konitif seperti Lazarus berpendapat bahwa kognisi saja bisa mencukup bagi pengalaman emosi. Misalnya mengubah proses penilaian subyek sebelum melihat film gruesome mengubah kuatlias dan intensitas emosi yang dihasilkan oleh film tersebut (Lazarus, 1968). Reaksi emosional terhadap film tersebut bisa diperkuat oleh sebuah soundtrack yangmenekankan dampak-dampak berbahaya atau dikurangi oleh soundrak yang menekankan keterpisahan intelektual. Data Lazarus menunjukkan keunggulan kognisi dalam perspesi emosi. Sebenarnya Lazarus (1982, 1984) sangat menentang poin ini dengan Zajonc (1980, 1984), yang sudut pandangnya akan kami bahas dalam bagian berikut.
Penekaan pad proses penilaian dalam pengalaman emosi sangat mirip dengan pendekatan-pendekatan atribusi terhadap motivasi sperti pada bab 11. Teori atribusi juga diterapkan pada studi emosi. Sebuah studi dari Valin akan menjadi contoh.

Atribusi Emosi
valins (1966) meminta para mahasiswa lak-laki melihat slide-slide wanita semi telanjang. Sementara melihat slide, pria tersebut diberitahu bahwa denyut jantung akan dipantau; selain itu, mereka bisa mendengar suara denyut jantung mereka ketika slide ditampilkan. Subyek tidak menyadari bawha feedback denyut jantung yang mereka dengar adalah salah; ini dikontrol pleh pengekserimen untuk menunjukkan peningkatan atau penurunan besar beberapa slide dan tidak ada perubahan pada lainya. Subyek kemudian diminta menilai slide menurut daya tariknya dan mereka menilai slide yang berkaitan dengan perubahan denyut jantung (naik atau turun) untuk lebih menarik daripada yang berkaitan dengan tidak ada perubaha. Selain itu, Valin membiarkan subyeknya membaw aslide tersebut pulang dan menemukan bahwa yang dipilih adalah yang dikaitkan dengan perubahan denyt jantung.
Data Vlians menyatakan bahwa setidaknya untuk rating suka kita membentuk sebuah hipotesis dan kemudian berusaha mengujinya dengan mencari petunjuk-petunjuk yang relevan did alam diri kita atua dalam lingkungan kita. Jika proses atribusi ini aktif, seperti disarankan Valin maka rating akan sampai sebagai berikut: Denyut jantung saya berubah. Mengapa karena orang dalam foto ini menarik.” Laam sudi berikutnya subyek dibriefing dan diberitahu bahwa umpan balik denyut jantung itu palsu. Bagaimanapun, setelah dberiefing, subyek masih menilai gambar-gambar yang berkaitan dengan perubahan denyut jantung lebih menarik. Sepeti pada riset lain tentang atribusi, setelah terbentuk, emosi sulit berubah.
Riset valins menghasilkanbanyak studi dan debat tambahan – karen data ini menunjukkan bahwa keyakinan seseorang digairahkan penting untuk pengalaman emosi. Meski Valins memberi feedback denyut jantung yang salah bagi para subyeknya, dia tidak benar-benar mengukur denyut jantung mereka.
Dalam sebuah studi yang mirip dengan studi Valins, Goldstein, Fink dan Mettee (1972) menunjukkan subyek pria telanjang dan memberi informasi denyut jantung salah, tapi mereka juga mencatat denyut jantung aktual.informasi denyut jantung salah yang diberikan oleh pengeksperimen tidak berkaitan dengan ketidaksukaan slide yang dinilai oleh sbyek tapi oleh denyut jantung aktual subyek. Hasil ini menunjukkan bahwa skor-skor daya tarik dalam studi-studi Valins bisa berasal tidak hanya dari feedback adalah tapi juga dari perubahan-perubahan fisiolgois aktual.
Selanjutnya, Beck dan Mtteson (1982) melaporkan hasil-hasil yang menunjukkan bahwa efek feedback salah tersebut bisa berasal dari petunjuk-petunjuk subtik yang diberikan oleh pengeksperimen yang menunjukkan kepada subyek cara merespon. Pengeksperimenter ini menuntut karakteristik bahwa sebuah atirbusi yang dibangkitkan, bisa bertanggungjawab atas efek-efek yang didapatkan dalam situasi-situasi feedback salah. Selain itu Parkinson dan Manstead (1981) memberikan bukti bahwa proses-porses atensional penting bagi efek Valins. Saat ini nampak paling bai meninggalkan pertanyaan terbuka apakah emosi bisa timbul hanya dari atribusi kegairahan atau apakah beberapa perubahan psikolgois diperlukan.
Teori atribusi menjadi semakin penting ketika para ahli teori berusaha mengembangkan model-model yang menunjukan bagaimana emosionalitas dipengaruhi oleh sebab-sebab yang kita tujukan pada peristiwa. Weiner misalnya memperluas teori atribusi asalnya untuk memasukkan emosi. Dalam teori yang direvisi ini dia berpendapat bawha stabilitas yang dirasakan dari sebab-sebab untuk sperilaku akan mempengaruhi ekspektansi seseorang tentang sukses di masa mendatang. Selain dimensi stabilitas, dimensi lokus dan keterkontorolan dari askripsi kausal yang kita buat akan mempengaruhi emosi yang kita rasakan. Yang terakhir, ekspektasi dan emosi dipandang sebagai memandu perilaku termotivasi.
Misalkan teman yang inign anda temui saat makan siang. Menurut teori Winner, alasan-alasan yang diberikan oleh teman untuk membatalkan janji mestinya akan mempengaruhi emosi anda terhadap orang tersebut dan perilaku anda di masa mendatang terhadap teman tersebut. Pemaafan “Aku merindukan saat makan siang kita karena aku makan bersama John Doe” menunjukkan bahwa alasan untuk kencan yang batal tersbuet berifat internal dan bis adikontrol (teman anda memutuskan dia lebih cenderung memilih makan bersama orang lain). Riset Weiner menunjukkan bahwa pemafaan terkontrol dan internal cenderung menimbulkan reaksi-reaksi emosional aversif (anda mungkin marah terhadap teman anda) dan keinginan untjk mengurangi kontek sosial (anda mungkin tidak akan mengajak teman anda itu lagi makan siang). DI sisi lain, pad apemafaan “saya tidak bisa makan siang bersamamu karena sebuah truk menabrak mobil saya dan merusak radiator.
Weiner dan rekan (1987) mempelajari maaf yang diberikan oleh orang-orang dan menemukan dukungan untuk analisis yang baru saja disebutkan. Kemungkinan teori atribusi bis amembantu kita memahami mengapa reaksi-reaksi emosional kita tehadap beragam situasi terjadi, dan bagaimana reaksi-reaksi emosional tersebut mempengaruhi perilaku kita di masa mendatang. Riset lain atau askripsi kausal dan emosional kemungkinan membantu kita memahami terciptanya emosi.
Beberapa peneliti menyarankan terapi atribusi sebagai cara membantu individu. Davison menggunakan pendekaan atribusi dengan penderita skizofrenik paranoid yang percaya bahwa kedutan pada satu mata disebbakan oleh roh jahat. Dia menunjukkan cara mengurangi kedutan tersebut dengan merelaksasi otot-otot yuang tepat dan secara bertahap menggiring orang tersebut mengatributkan spasma otot yang menyebabkan teksi terebut bukannya roh jahat.
Calins dan NisSbett (1972) yang mengikuti Maher (1970) mengusulkan bahw asistem-sistemdelusional bisa dianggap sebagai alat-alat penjelas di mana individu yang bermasalah mencoba memahami perilakunya sendiri. Maher menyatakan bahwa input sensoris skizofrenik terganggu. Informasi sensoris yang terganggu ini akan nyata bagi penderita skizofrenik yang kemudian bis amengalami sistem-sitem delusional yang berusaha menjelaskan sensasi tak lazim yang dialaminya.
Valins dan Nisbett menyatakan bahwa terapi atribusi harus menentang atirbusi-atribusi dasar yang dipercaya oleh orang yang terganggu. Pada saat yang sama, atribusi-atribusi yang lebih normal harus disarankan untuk peristiwa-peristiwa yang dimisatributkan. Atribusi-atirbusi baru ini mestinya lebih bersifat situasional dan harus mendorong pada perbaikan, karena interpretasi-interpretasi baru tersebut tidak akan mendukung kecemasan-kecemasan lama yang memelihara perilaku mengganggu. Sehingga pada kasus skizoferenik paranoid yang menganggap dirinya menganggap kedutan di matanya disebabkan oleh roh halus.
Terapi atribusi belum bebas sepenuhnya dari kritik (lihat Miller & Berman, 1983, untuk tinjauan); bagaimanapun ini memberikan kemungkinan teknik-teknik baru untuk penangan perilaku maladatif. Waktu akan menentukan kegunaan teknik-teknik tersebut.

Emosi sebagai hal primer dan universal
Robert Zajocn berpendapat bahwa untuk keunggulan afek; yaitu dia berpendapat bawha emosi bergantungdan bisa tejadi sebelum kognisi. Zajonc dan Lazaru membahas poin ini dalam beberpaa artikel yang diterbitkan dalam American Psychologist. Seperti yang akan kita lihat dlama bagian terkahir, lzarus mengusulkan bawha kognisi harus mengawali emosi, dan banyak riset mendukung ide bahwa kognisi sering dilibatkan dalam pengalaman emosi,. Zajonc mengusulkan abwhwa meski kognisi sering ikaitkan dengan emosi, emosi bisa terjadi tanpa kognisi dan sebelum pemrosesan kognisi.
Zajoc berpendapat bawha afek merupakan dasar, yaitu emosi ini bersifat universal diantara berbagai spesies binatang. Karena sulit mengetahui binatang mana selain manusia yang memproses informasi secara kognitif, Zacjonc berpendapt sistem yang menciptakan afek harus bebas dari pemrosesan kognitif. Sebenarnya seperti yang dicatat Zajonc, seekor kelinci punya waktu untuk mengukur semua taribut seekro ular untuk memutuskan apakah ular itu menakutkan; kelinci merasa katu dan bereaksi. Reaksi-reaksi bisa juga terajdi pada orang-orang. Misalnya anda bisa beraksi terhadap daun gelap yang jatuh di tangan anda dan mengira itu serangga menakutkan. Meski kita tidak bisa mengihlangkan kognisi pada contoh manusia, ketakutan dan perilaku selanjutnya yang ditimbulkannya sangat cepat, dan analisis yang lebih cermat terhadap situasi ini akant erjadis etleah emosi dipicu.
Argumen keduayang mendukugn keunguglan emosi adalah emosi tidak bisa dileapskan. Reaksi-reaksia fektif nampak terjadi apakah kita menginginkanya atau tidak. Seperti dicatat ioelh Zajonc, kadang-kadng kita belajar mengotnrol eskpresi emosi (dan masayrakat seringkali menutut kita dmeikian) tapi kitatidak mampu mengontrol perasaan kita. Ketiga, sekali sebuah reaksi afektif terjadi, contoh-contoh empsi berikutnya sangat sulit dibah. Zajonc menyatakan bawha kita mengalami eksulitan hebat dalam mencoba menuabh reaksi emosi karena penilaian emosional teras benar. Reaks-reaksiemosional nampak tidak logsi; jika kita itdak menyukai bagian musik tertentu kita hanya tidak menyuikianya. Menurut Zajonc, jika pemrosesan kognitif terjadi sebelum emosi, maka logika akan mempengaruhi penilaian emosional kita.
Zajonc juga mencatat bawha reaksi-reaksi emosional sulit diverbalisasi. Misalnya, ketika bertemu seseorang untuk pertama kalinya kita bisa tahu dengan sangat cepat bawha kita menyukai orang tesebut meski kita tidak bisa mengatakan mengapa kita emrasa demikian. Beberap alini riset menyatakan bahwa komunikasi emosi sebagian besar bersifat non verbal.
Pin yang disbeutkan dia tas merupakan represtnasi dari pandangan Zajonc yang diekspresikan dalam artikel tahun 1980njya. Pada artikel 1984 dia menampilkan poin-oin tambahan yang emdnukung ide bawha emosik bisa terjadi tanpa kognisi. Pada kedua artikel ini dia menampilkan banyak lini bukti yang mendukugn setiap poin. Pandangan Zajonc tentang meosi ditampilkan lebihd etail di sini karena merepresntasikan tinajauyn yang bagus tentang pendekatan tertentu untuk memahami emosi – ide bawha emosi merupakan reaksi adaptif, fundamental dan bawaan. Reaksi-reaksi ini dipangdang diprogram sebelumnya did alamorgnaisme dan terdiria tas sejumlah kondisi afektisf spesifik. Padnagna emosi ini bisa direpresentasikan oleh model-model yang dikembagnkan mooleh Tomkin, Izard, dan Plutchik.

Model Tomkin
Sylvan Tomkins (1962, 1963, 1979, 1981a) mengusulkan abwah ktai memiliki sedikit emosi terbatas, yang diprogram scara genetik ke otak dan dimulai oleh perubahan stimulasi. Perubahan-perubahan pada stimulasi mungkin meneybabkan perubahan apda pola pemnbangkitan sirkuit neural did alam otak. Pola-pola perubahan ini menimbulkan kondisi-kondisi emsioantle rtentu. Sehingga meningkatnya tembakan enrual akan mendorong pada minat, ketaktuan atau keterkejutan ketika tingkat penembakan meningkat, sementar aeksenangan dianggap terjadi ketika pola penembnangan neural mneuurun. Tkenaan dan kemarahan berasal dari level penembahkan di atas beberapa level optimum dengan kemarahan berasal dari level yang lebih tingi daripada stres (Tomkin 1979).
Meski perubahan-perubahan pada pola tembakkan neural merupakan mekanisme yang memicu reaksi emosional bawaan, komunikai dan pengalaman emosi kita berasal dari feedback dari eksrepsi fasial dan suara. Ada sebserangkaian repsn otot wajah yang diproram sebelumnya dnegan setiap emosi spsesifik demikian juga untuks etiap emosi ada serangkaian vaolisasi bahwa ada “tangis kebagiaan, tangis ketaktuand an sterusnya” (Tokins 1981a, hal 315). Sehingga kita mengomunikasian kondisi emsional kita kepada orang lain melalui eksrpesi fasial dan ifnleksi suara; meski demikian kita juga mengalami emosi akibat feedback dari responrespon lain. Meski dia pada awalnya menekankan muskulatur wajah sebagia hal penting bagi pengalaman emosi,. Tomkns baru-baru ini mengusulkan bahwa sinyal-sinyal fedback penting bagi emosi berasal dari perubahan-perubahan stimulasi reseptor sensoris pada kulit fasial, dengan cara yang beranalog dengan pengalaman organisme yang berasal dari perubahan-perubahan dalam stimulasi reseptor-resptor kulit pada daerah genital.
Salah satu aspek yang paling menarik dari teori Tomkin adalah usulannya bawha emosi berfungsi memperbesar dorongan. Meski kita sadar akan kebutuhan untuk kodnsi dorongan seperti lapar, haus dan kebutuhan uintuk seks, menurut Tomkisn desakannya diberikan oleh amplifiaksiemosionala tas kondisi-kondisi tersebut. Dalam pengertian yang paling real untuk Tomkins, emosi memberi faktor itnensitas dalam motivasi dan pelru untuk aktivasi perilaku.
Satu aspek akhir dari teoriini layak disebutkan. Tomkns membuat perbedaan antara emosi bawaan dan apa yang dia sebut sbeagia emosi backed-up. Poin yang kita bahas s di atas mengacu pada emosi bawaan; meski demikian menurut Tomkin setiap masyarakat memberikan batasan pada ekspresi bebas emosi krena kualitas menularnya dan kekuatannya untuk mkenciptakan perilakuj. Akibatnya,bnanyak reaksi memosional yang kita amati pada diri orang lain tidak bersifat bawaan tapi didukung – yaitu dimodifikasi secara sengaja dalam suatu cara. Seirngkali modifiaksi ekrepsi emlosional adalah supresi, tapi orang=orang juga merasakan kemarahan, tekejut, senang atau emosi lain keitak mereka tidak meraskannya.

Model Izard
Sebuah model yang berhubungan erat dengan model Tomkin dikembangkan oleh Crroll Izard yang sepakat dengan Tomkisn bahwa emosi fundamental diprogram secara bawaan. Teori emosional fdiferensial Izard menekankan ide bahwa emosi tertentu memiliki kuatlais eksperiensial berbeda. Speerti dicatat oleh Izard (1977), teoriini didasarkan pada lima asumsi.
Asumsi pertama ada sepuluhemosi fundamnetal: ketertarikan-kegirahan, kesenangan, terkejut, tertekan-marah, marah, menipu, merenung, takut, malu dan bersalah. Setiap emosi memiliki tiga komponen – substrat neuralnya, pola ekspresif khasnya dan kualtiassubyektif yang bkhusus atua persaanyang berkaitan denganya. Tak satupun dari komponen ini yang merpakan emosi; ketigany diperlukan.
Asumsi Izard bahwasetiap emosi secara inheren adaptif, yaitus etiap emosi memili ciri-ciri motivasional unik yang penting bagi survival idnivdu atau spesies. Ketiga, emosi-emosi yangebrbeda menghasilkan pengalaman dalam yang berbeda dan dikaitkand engan peiraku berbeda. Keempat, emosi beritneraksi satu sama lain. Asumsi ini penting karena ini bearrti bawh kondisi emnosi tertentu bisa terdiri atas campuran komplekss emosi dasar. Karena emosi dasar bisa berinterkasi sejumlah kondisi emosional subyektif sangat besar.
Yang terkahri, menuru tIzard, emosi berinteraksi dan mempengaruhi proses-proses tunbuh penting lain seperti homeostasis, dorongan, persepsi, kognisi dan respon motor. Ini membuat emosik dan sistem motivasional utama untuk perilaku. Sperit yang jelas dari kutipan berikut, emosi juga memberi dasar untuk kepribadian. Emosi dipadnagn tidak hanya sebagai sistem motivasional utama tapi sebagai proses-proses kepribadian yang memberi makna dan signifikansi bagi eksistensi manusia.
Teori emosi diferensial berpendapat bawha aktivaitas neurokimia, yang terjadi pada program-program bawaan di alam otak, menyebabkan perubahan fasial dan perubahan tubuh. Ketika perubahanperubahan tersebut diumpankan pada otak dan menjadi sadar.
Karakteristik lain yang disbutkan oleh Izard juga bisa membantu kita memahami konsepsi emosi ini. Pertama-tama, emsi besifat non siklis. Tidak nampak ada ritme emosi – msailnya kita tidak menjadi tertarik atau tidak. Kedua emosi memiliki generalitas yang hampir tak terbatas.
Dari tunjauan singkat terhadap pendekatan Iazard ini jelas bahwa Izard percaya emosi merupakan motivator perilaku utama. Emosi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistems-istemlain. Bagi Izard emosi bersifat dfudnamental dan adaptif. Campuran emoisi bisa dan seringkalit erjadi,s ehingga memungkinkan sejulah pengalaman emosional yang cukup besar dan beragam. Emosi dianggap penting bagi perilaku dan bagi pengidneraan, epgnalaman dan kemenjadian.
Izard (1993) memperluas idenya hingga memasukakn kondisi-kondisi di mana ekmosi diaktivasi. Dia mengusulkan emosi bisa diaktivias oleh empat sistem berbeda: sistem neural langsung, sistem sensorimotor, sistem motiaasional dan sistem kognitif. Tiga sisitem pertama bisa mengaktivasi emosi tanap kognisi, semetnarra sistem keempat bisa sebagai akibat dari kognisi.

Model Putchik
Pendkeatan ketiga yang berkaitand engan pendekatan Tomind an Izard diusulkan ooelh Plutchik (1962, 1880, 1983) yang berpendapat bnawha emosi diakitkand engan perilaku adaptif unviestasl yangpenting bgai survival. Delapan perilaky yang didientifiaksi pad level filogenik memiliki emosi primer atu fundamental. Delaapn emosi primer ini adalah ketktuan,kemarahan, kbahgiaan, kesedihan, penerimaan, jijik, ekspektansi dan kejutan.
Kondisi emosi yang kita amati pada diri orang lain dan pengalaman di dalam diri kita sendiri, meski dmeikain lebih kompleksd ariapda delama emosi fundamental, karena itu emosi bisa berbeda intenstias dan persistensinya bersama dengan campuran kompleks lainnya.
Berkaitand engan persistensi, emosi bisa berumur pendke atau berumur panajng. Studi laboratorium biasanya menguji situasi-istuasi emosional jangka pendke sementar emosi yan ditemuaknd alam situasi kliniss atau terapeutik lebish ering jangka panajg. Seperti dicatat Plutchik, efek-efek emosionaltias jangka pendek dan jagnka panajng cukup berbeda, jadi korespondensi atatara sutdfi klisi danlab emosi tidak setinggi yang diperkirakan.
Percampuran kompleskd arid elapan emosi fundamental ini menyebabkan ratusan kondisi emosi yang berbeda khususnya ketika sseorang menyadari bahwa itnenstaisd an persistensi yang berbeda juga terlibat. Menurut Plutchik, beragam perbedaan individu pada emosionalitas yang diamati pada perilaku manusia ebrasal dari campuran kompleks dari emolsi-emosi fundamnetal ini.
Seperti yang bisa anda lihat, teori Tomkin, Izard dan Plutcik memiliki eksamaan umum tentan gadanya sejumalh emosi fundamental, adaptif dan ditentukans ecara genetik. Ketiganya juga menekankan bawha kombinasid ari emosi primer ini bisa menghasilkan beragam emosi komplkes dari pengalaman manusia.
Bagi Tomkins dan Izard emosi adalah motivator utama, yang mengamplifiaksi dan berinteraksi dengan sistem-sistem lain untuk menciptakan perilaku. Plutchik (1980) mempertahankan perbedaan di atanra dua konsep ini. Model ini mencadangkan motivasi untuk perubahan itenrnal ritmik dan gradial yang beasal dari tidak adanya sesuatu dan menghemat emosi dari situas-istuasi yang normalnya dibangkitkan oleh kehadrian non ritmik beberapa stimuluis esktenrla. Teori Plutchik nampak berbeda dari tori Tomkins dan Izard dalam salah satu aspek nya..
Ide bahwa ada sejumlah terbatas emosi dasar dan emosi-emosi ini bersifat universal terus diperdebatkan. Ortony dan Turner berpendapt bahwa bukti terbatas untuk srangkaian emosi dasar tidak meyakinkan sementara Ekman, Izard dan Panksepp berepndapat ada banyak bukti untuk emosi dasar yang berbasis biologi. Kotnroversi yang berkaitand engan konsep “emosi-emosi dasar” seringkali dimainkan dalam area riset yang berkaitan dnegan peran ekspresi fasial dalam prdodksi emosi. Kita serkang kembali pada riset tersebut.

Ekspresi fasial dan Emosi
Teori-teori Tokin dan Izard menekankan pentingnya perubahan-perubahan fasial menekankan pentingnya peruabhan fasial apda pengalmaan dan komunikasi emosi. Tidak sepeti para ahli oteri yang menekankan feedback itonomsisebagai sumber diferensiasi di atanra beragam emosi, Tomkns dan Izard menyatakan bahwa perubahan-perubahan fasial menyatakn apa yang kita rasakan.
Baik menurut Tokins dan Izart, keberadaan serangkaian emosi fundamental menyatakan bahwa eksrpesi emsoional meskinya sama dia ntara beberapa kultur. Meski terdapat kontroversi yang berkatiand engan universalitas ekspresi wajah, saat ini jeals bawha beberapa ekspresi bersifat univrsal dan mendukung konsep emosi fundamental atau bawaan. Bukti awal untuk korespondensi emosi dan perubahan fasial diberikan oleh Tokmkins dan McCarter (91964) yang menemukan bawha pengamat bisa menunjukkan persetujuan tinggi dalam menilai emosi yang digambarkan dalam foto yang menampilkan emosi fundamental yang ditampilkan oleh Tomkins.

Hipotesis Feedback Fasial
Model yang kami uji dalam bagian ini menekanakn fwajnah sebagai sumber penting feedback bagi kita tentang apa yang kita raskan. Hipotesis feedback fasial mnengusulkan bawha emosi yang kita alami dipgnaruhi oleh feedback dari otot-otot fasial atau kulit. Tourangeau dan Elslsworth (1979) berusaha menguji hiptoesis ini tapi studi mereka dikriitk kareaa dasar toeritis dan metodologisnya. Untuk menguij hipotesis feedback fasial Kraut (1982) mendesain sebuah eskperimen di amana dia menampilkan bau yang menyenangkan dan bau yang menijikkan selama itu ekspreisifvasial direkam. Beberapa percobaan mencatat raksi spontan subyhek terbadahp bau. Pada percobaan lain subyek diminta menyusun wajah meerka seaakan-akan bau itu menyenagkan dan percobaan lain menunjukkan seolah-olah bau itu menyenangkan.
Analisis data menunjukan bahwa menunjukkan ekspreis menyeangnkan a tautidak menyenagnkan megnahsilkan evaluasi-evaluasi yang konsisten dengan ekspresi yangd iahdapi. Dengan akta lain ekspreis yang diahdapi mempengaruhi emosi yangd iaalmi, mendukugng hipotesis feedback fasial. Selain itu menunjukkan ekspresi yangmenyenagnkan menignkatkan evalusi sebuah bau atas evaluasinyas telah nonposed; .
Riset tentang hipotesis feedback fasial semakin popouler dalam beberapa tahun terakhir. Ketika kita membahas riset lintas bduaya yang menunjukkan universalitas dari eskpresi fasital tertentu, maka model Tomkisn, Izard dan Plutchik sangat mendukung. Karya Ekman yang nampak mengidentifiaski otot-otot tertentu yangterlibat dengan emosi seperti bahagia dan jijik mendukugn model ini studis-tudi yang memberikan bukti bagi hipotesis feedback fasial juga memperkuat gagasan bawah beberapa emosi bersifat bawaan dan universal.
Jelas bawah emosi rpimer ini dimodifikasi oleh pengaruh-pengaruh kultural yang dipelajari. Tomikin menyebut efek pembelajran ini sbagai efek backed up, sementara Ekman menyebut pembelajaran ini sebagai aturan-aturan tampilan. Emsi bisa ditekan, diperbesar, disembunyikan dan digabungkan untuk membentuk campruan emosi. Meski demikian peneliti mulai membahas vberagam faktor yang meneybabkan pengalaman emosi.

Ringkasan
Dalam bab ini kami telah emgnuji teori-teori dan riset tentang emosi. Seperti yang kami temukan, penekanan awal Darwin terhadap ekspresi fasial dan postur tubuh telah dipelajari oleh para hali tetologi dan penelitian tentang universalitas gerakan fasial oleh para ahli teori seperti Tomkins, Izad dan Ekman. Penjelasan fisiologis yang dipopulerkan oleh teori James-Lange dan dimodifikasi oleh riset yang dilakukan oleh Cannon mendorng pada pemahaman tentang pran penting amygdala dalam itnegrai si komponen-komponen emosi. Proposal Sachcater bahwa perubahan-perubahan fisiolgis tidak cukup untuk pengalaman emosi penuh mendorong pada pengembangan beberapa penjelasan kognitif penuh tetangn pengalaman emosi. Model penilaian yang dikembangkan oleh para peneliti seperti Lazarus ini menekankan bahwa komponen kognitif emosi bersifat primer dan terjadi sebelum pengalaman emosi penuh.
Para peneliti yang menguji kata-kata yang kita gunakan ketika menyatakan kondisi emosional memberikan bukti untuk dimensi bipolar emosi dan deskripsi sirkular pengalaman emosional. Salah satu usulan yang menarik adalah dari Russell yang berpendapat untuk model emosi sirkumplek yang menjelaskan pola sirkular emosi di sekitar dua dimensi.
Berbeda dengan model kognitif emosi, Zajonc berpendapat bahwa emosi bisa mendahului dan terjadi tanpa bergantung pada proses penilaian kognitif. Argumennya tentang keunggulan emosi didukung oleh riset oleh Izard, Ekman dn lain-lain.
Jelas sekarang bahwa studi emosi sangat kompleks dan penjelasan-penjelasan teoritis ini bisa sangat berbeda. Satu alasan atas perbedaan opini ini adalah pengalaman-pengalaman emosional kita ditentukan secara beragam,. Beberapa perasaan emosi dan ekspresi mereka mungkin bersifat bawaan dan dibagi oleh semua manusia tanpa memperhatikan kulturnya. Beberapa pengalaman emosi lainnya bisa terdiri ats interaksi-interaksi subtil dari emosi-emosi yang lebih primer atau mungkin emmerlukan kesadaran diri seperti yang disarankan oleh Lewis. Yang terkahir pegnalaman emsoioal bisa diubah oleh aturan tampilan kultural yangdipelajari yang membatasi ekspresi emosional dalam beberapa cara. Kognisi juga berperan dalam kehidupan emosional kita, meski argumen atas keunggulan emosi masih belum selesai. Jelas bahwa emosionalitas berhubungan erat dengan perubahan-perubahan fisiolgois. Meski pemikiran ktai ebrubahs ejak James dan Lange pertama menyatakan pentingnya perubahan fisik, peruabhan pada sistem saraf otonom (khususnya cabang simpatetik) biasanya menyertai pengalaman emosi. Jika emosi ditentukan oleh beberapa faktor kita mungkint diak mengharapkansatu teori menunjukkan semua hal yang kita ketahui. Seperti motivasi, emosi bisa dipicu oleh perubahan fisiologi, pembelajaran, kognisi dan bahkan faktor-faktor yang belum kita ketahui.